Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Aneh



Aneh

0Aku sedang menatap Astro yang sedang membantuku membersihkan makam keluargaku. Entah sudah berapa kali dia menemaniku ke sini.     

Semalam saat dia mengantarku pulang, Opa terkejut karena tak tahu dia baru saja membawaku ke restoran miliknya. Dia meminta maaf dengan bersedia menemani Opa bermain catur hingga sore hari ini setelah kami pulang dari makam.     

Astro menghampiriku dan duduk bersila menghadap ke arahku. Kemudian mendekap kepalaku di dadanya, dengan bibir mengecup dahiku dan jari tangannya mengelus rambutku, "Kamu boleh nangis kalau mau."     

Aku sengaja membiarkannya menyentuhku. Dia berkata ini adalah terakhir aku bertemu dengannya sebelum kami menikah. Dia berjanji hanya akan menggenggam tangan, memeluk dan mengecup dahiku. Dia tak akan melakukan lebih dari itu. Sebetulnya aku keberatan, tapi aku tak tega untuk menolaknya karena dia terlihat begitu gusar setelah aku mengabaikannya kemarin.     

"Aku ga pengen nangis."     

"Mau aku bikin nangis?"     

Aku mendongak dan memberinya tatapan sebal, tapi dia justru kembali menatapku dengan tatapan serius yang sejak kemarin dia berikan padaku. Sial, aku merindukan senyum menggodanya yang biasa.     

"Kalau kamu ga nyuekin aku kemarin kan aku ga kesel begini sekarang. Bikin mood jelek banget, kamu tau?" ujarnya sambil mencubit pipiku.     

"Sakit, ih! Jangan cubit pipiku terus."     

"Sukurin."     

"Astro!" ujarku sambil berusaha melepas cubitannya.     

"Tell me you love me (Bilang kamu cinta aku), Honey. Baru aku lepasin."     

Aah, laki-laki ini benar-benar menyebalkan.     

"I love you."     

"I love you too." ujarnya sambil melepas cubitannya padaku, lalu mengusap pipiku dengan lembut.     

"Ngapain kamu elus-elus pipiku kalau kamu cubit dulu? Kan tetep sakit." ujarku sambil menyingkirkan tangannya dari pipiku dan mengusap pipi dengan tanganku sendiri.     

"Aku mau bikin kamu nangis sekali-sekali."     

Aku memberinya tatapan sebal, "Coba aja bikin aku nangis, nanti aku ngadu ke Ayah biar kamu diajak sparring."     

"Kalau kita udah nikah kamu ga boleh begitu. Kan aku udah bilang kalau kita punya masalah kita harus selesaiin sendiri."     

"Abis kamu nyebelin."     

"Aku serius, Honey. Simpen semua masalah di antara kita berdua. Ga boleh bawa-bawa orang lain."     

Aku menatapnya dalam diam. Aku tahu dia benar, tapi ini terasa menyebalkan.     

"Tertarik aku bikin nangis?" dia bertanya dengan tatapan serius.     

"Ga. Makasih."     

"Jelek." ujarnya sambil menyentil dahiku.     

Bertahun-tahun aku mengenalnya dan baru kali ini dia memanggilku seperti itu. Entah apakah karena aku benar-benar bersikap berlebihan saat mengabaikannya kemarin, tapi dia terasa seperti menjadi orang yang berbeda.     

Apakah dia sedang mengalami bridezilla? Bukankah bridezilla hanya dialami oleh calon pengantin perempuan? Atau aku yang salah memaknainya?     

"Iya aku jelek. Kamu mau aja nikah sama aku? Kenapa ga sama Denada?"     

"Ga tau ya? Aku sukanya sama kamu tuh."     

"Dasar aneh."     

"Kamu lebih aneh."     

"Kamu lebih dari lebih aneh."     

Astro menatapku tak percaya, "Kamu minta dicium ya?"     

Seketika jantungku terasa berhenti berdetak. Aku pernah dua kali bermimpi berciuman dengannya. Mendengar kalimatnya membuatku mengingat sensasi lembut bibirnya di bibirku. Kurasa wajahku memerah sekarang.     

"Belum dicium aja muka kamu udah merah begitu. Gimana malam pertama kita nanti?" dia bertanya dengan senyum menggodanya yang biasa.     

Baru beberapa saat lalu aku merindukan senyum itu, tapi kurasa sekarang aku membatalkannya. Dia menyebalkan sekali.     

Aku menarik tubuhku menjauh darinya, membenahi posisi duduk dan bersila menghadap ke makam keluargaku. Aku menatap satu lahan kosong di sebelah makam Ayah yang seharusnya untuk Bunda.     

Entah kenapa aku tiba-tiba berpikir bagaimana Bunda dulu menghadapi malam pertamanya. Apakah akan terasa gugup? Andai saja Bunda masih ada, mungkin aku bisa bertanya.     

Astro mengamit kepalaku dan menyandarkanku di bahunya. Aku baru saja akan menolaknya saat dia menahan kepalaku lebih mantap. Bagaimana bisa kami berakhir seperti ini? Janji yang kuminta padanya lenyap hanya karena aku membuatnya merasa kesal.     

"Aku ga perfect, Honey." ujarnya tiba-tiba dan membuatku menoleh padanya. "Aku punya emosi yang kadang ga bisa aku kendaliin. Biasanya aku latihan pakai samsak buat jadi pengalih emosi, tapi kemarin kamu bener-bener bikin aku kesel. Ngapain coba nyuekin aku seharian pas kita udah mau nikah begini? Kamu mau aku cuekin juga?"     

Aku tak memiliki kalimat apapun untuk membalas kalimatnya. Sepertinya aku benar-benar menguji kesabarannya.     

"Aku selalu nyoba ngabarin kamu walau cuma sekali sehari. Kecuali aku bener-bener capek kayak di proyek waktu itu."     

Aku menghela napas, "Aku kan udah minta maaf kemarin."     

"Tapi aku masih kesel."     

Aku menatapnya tak percaya, "Kamu ga mungkin lagi PMS kan? Kamu kan laki-laki."     

Astro terdiam. Yang membuatku mengingat kejadian dua tahun lalu saat dia begitu cemburu pada Zen. Dia juga bertingkah menyebalkan seperti ini.     

"Atau kamu lagi kena serangan panik karena kita bentar lagi nikah?" aku bertanya.     

Astro masih terdiam.     

"Kamu aneh banget."     

"Kamu lebih aneh."     

"Kamu lebih dari lebih aneh."     

Kami saling menatap sebelum tertawa bersama. Ada apa dengan kami?     

"Kita aneh banget sih?"     

Astro mengecup dahiku, "Ga pa-pa deh kita aneh berdua. Kalau anehnya sendirian kan kasihan."     

Aku tak dapat menyembunyikan senyum di bibirku. Dia benar.     

Dia mendekapku lebih erat, membuat aroma tubuhnya yang hangat menari di hidungku. Jika memang benar ini adalah terakhir kamu bertemu sebelum menikah, aku tak akan keberatan dipeluk olehnya.     

Uugh, betapa aku sangat naif. Aku memintanya tidak menyentuhku, tapi aku tak keberatan untuk disentuh.     

"Tadi aku bilang ke ayah kamu, aku akan jaga kamu baik-baik dan bikin kamu bahagia semampuku. Aku juga bilang sama Fara, dia boleh main sama Danar dulu sebentar soalnya aku mau pinjem kamu buat nemenin aku seumur hidup. Aku tahu bunda ga di sini, tapi aku bilang ke ayah, kalau ketemu bunda aku titip salam. Aku minta ijin anaknya aku ajak bangun rumah tangga. Aku tau mungkin ga gampang, tapi kalau berdua, kita bisa kan?"     

Air mataku meleleh mendengar kata demi kata yang meluncur dari bibirnya. Entah apakah karena aku merasa terharu atau aku merasa diriku menyedihkan karena kami bahkan tak bisa meminta izin untuk menikah secara langsung pada keluargaku, tapi aku tahu dia mengatakannya dengan tulus.     

Aku memeluknya lebih erat untuk menahan isak yang keluar dari bibirku. Aku tak ingin menangis meratap di makam keluargaku.     

Astro mengelus rambutku dengan lembut dan mengecup dahiku lama sekali. Aku tahu dia sedang berusaha membuatku merasa nyaman. Dia selalu menungguku mengelola emosiku sendiri.     

Aku baru melonggarkan pelukanku saat tangisanku reda, lalu mengusap sisa air mata di pipi. Aku mendongak dan mendapatinya sedang menatapku sendu.     

"Feeling better (Ngerasa lebih baik)?"     

Aku menggumam mengiyakan, "Aku pasti sering ngerepotin kamu kalau kita udah nikah."     

"Kamu kan tau aku ga pernah keberatan kamu repotin. Aku ngajak kamu nikah muda karena ga mau kamu sendirian terus. Keluargaku akan jadi keluarga kamu juga nanti."     

Air mataku meleleh kembali. Dia benar-benar membuatku menangis.     

Astro membantuku mengelap air mata dan mengecup dahiku, "Mau pulang sekarang?"     

"Sebentar lagi ya."     

Astro mengangguk dan menaruh kepalaku di bahunya. Entah bagaimana, tapi beban di dadaku terasa terbang pergi.     

Kami hanya duduk diam memandangi makam keluargaku selama beberapa lama, lalu aku memberinya isyarat untuk pulang. Dia menggenggam tanganku sepanjang perjalanan.     

"Berhenti di sini dulu sebentar." ujarku saat kami melewati deretan ruko.     

Astro menepikan mobil untuk menuruti keinginanku, "Mau ngapain?"     

"Tunggu di sini." ujarku sambil beranjak keluar mobil.     

Aku menghampiri toko bunga dan memesan satu buket bunga lavender, lalu ke toko di sebelahnya untuk membeli tujuh bar coklat almond. Aku segera kembali ke mobil dan menyodorkannya pada Astro.     

"Buat aku?"     

Aku menggumam mengiyakan, "Kamu kan lagi PMS. Aku beliin coklat biar kamu ga bawel."     

Astro menatapku dengan tatapan bingung, tapi tertawa lepas sesaat setelahnya. Dia tampan sekali.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSI.F & TAMAT di aplikasi W.EBNOVEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.