Berkorban
Berkorban
Aku membatalkan niat memberi kartu itu untuknya beberapa saat lalu. Aku sudah menggantinya dengan kartu yang baru.
"Mikir apa sih?"
"Menurut kamu, aku baperan?"
"Kenapa nanya gitu?"
"Tadi Opa bilang perempuan biasanya lebih ngeduluin perasaan. Katanya Opa rela lepasin aku ke kamu karena kamu bisa bantu kalau aku terlalu kebawa perasaan."
Astro terdiam sebelum bicara, "Kamu inget waktu kita pertama ke rumah pohon?"
"Aku inget."
"Yang kamu nangis sambil ingusan." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.
Aku tahu dia mengatakan kejadian sebenarnya, tapi membahasnya sekarang memang terasa seperti dia sedang sengaja mengatakannya untuk membuatku kesal, "Serius, Astro."
"Fine. Aku cerita kejadian itu ke opa karena opa nanya gimana reaksi kamu di sana. Dari situ opa minta aku jagain kamu. Opa bilang khawatir kalau kamu nyimpen trauma kelamaan."
Begitukah?
"Menurut kamu, aku baperan sampai sekarang?"
"Kalau dibandingin sama perempuan lain kamu jauh lebih realistis, tapi kamu kan perempuan. Kamu baperan juga kadang-kadang."
"Baperan tuh jelek ya?" aku bertanya karena benar-benar tak tahu.
"Bukan jelek, Honey. Kadang bisa bikin yang harusnya bukan masalah jadi masalah."
"Contohnya?"
"Waktu kamu nanya macem-macem soal gimana kalau aku nanti punya pacar. Kamu inget?"
Aku mengingatnya dengan jelas dan tetap tak mengerti, "Emang itu jadi masalah?"
"Jadi masalah kalau aku ga langsung bilang kamu ga perlu khawatirin soal itu." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.
"Di mana letak masalahnya? Kan ga ada apa-apa."
"Bisa jadi masalah kalau kamu mikir aku akan pacaran selain sama kamu, Honey."
Aku baru menyadarinya. Saat itu aku begitu khawatir andai saja ada perempuan yang akan merasa cemburu padaku. Kurasa yang sebetulnya sedang khawatir akan cemburu padanya adalah diriku sendiri.
"Trus waktu kamu ke Dino Park nolak aku jemput, tapi malah pulang bareng Zen."
"Hah? Itu di mana masalahnya?"
"Masalah karena kamu bikin aku galau. Aku tau opa udah percayain kamu ke aku. Aku cuma ga tau kalau ternyata kita udah dijodohin. Kamu tau gimana keselnya aku yang bingung gimana harus jelasin ke kamu kalau selama bertahun-tahun ini aku udah jagain kamu?"
Aku juga baru menyadarinya. Dia pasti sangat kesulitan mencari cara untuk menjelaskan padaku bahwa selama ini dia sudah berkorban begitu banyak.
Aku menatap lavender di vas di sebelah laptop. Entah sudah berapa banyak lavender yang dia beri untukku, untuk berusaha menunjukkan bahwa dia tulus padaku.
"Aku perlu buang baperku?" tiba-tiba saja aku bertanya. Aku tak tahu bagaimana aku akan membuangnya. Aku hanya bertanya karena hal itu tiba-tiba terlintas di pikiranku.
Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Ga perlu, Honey. Baper kamu bikin kamu gemesin walau kadang bikin aku kesel. Lagian ada aku yang bisa nahan kamu ga terlalu kebawa perasaan jadi kamu ga perlu khawatir."
Tiba-tiba teringat segala kejadian saat aku selalu menggenggam tangannya. Dia selalu mengizinkanku melepas beban pikiran dengan cara itu. Sepertinya aku juga baru menyadari bahwa mungkin dia merasa khawatir saat aku memintanya untuk tidak menyentuhku. Karena dengan permintaanku, dia tak mungkin bisa membantu saat aku membutuhkan ketenangan berpikir darinya.
"Thank you buat semuanya."
"Anytime, Honey. Kamu punya pertanyaan yang lain?"
Aku menggeleng, "Aku kangen."
"Nyesel ga mau aku sentuh lagi?" dia bertanya dengan senyum menggoda yang masih menghiasi bibirnya.
Aku menatapnya sebal. Dia benar-benar mengerti aku, tapi aku tak mungkin membatalkan permintaanku.
"Kamu emang bener-bener seneng nyusahin diri sendiri ya?"
"Aku cuma ga mau kita lepas kendali lebih dari itu, Astro." ujarku sambil melirik ke kartu yang batal kuberikan padanya. Menahan diri seperti ini saja membuatku mampu berpikir untuk memberinya kartu dengan tanda bibirku. Bagaimana jika aku tak menahan diri sama sekali?
Uugh, kenapa sensasi bibirnya yang lembut saat menciumku dalam mimpi tiba-tiba muncul?
"Sebenernya aku seneng karena kamu yang minta kita ga sentuhan lagi. Aku juga ga yakin aku bisa nahan diri kalau keseringan meluk kamu." ujarnya dengan tatapan sendu.
Aku akan menggodanya sebentar, "Makanya jangan dikit-dikit meluk. Kan kamu sendiri yang bilang kalau kamu sehat banget."
"Aku kan emang sehat banget. Makanya kalau lagi mimpiin kamu aku ga buang kesempatan."
Kalimatnya membuatku membeku. Entah apa yang ada di pikiranku sekarang. Aku tahu aku baru saja berpikir yang tidak-tidak.
Astro tertawa, "Coba liat muka kamu."
"Uugh, bisa bahas yang lain?" aku bertanya sambil menutup wajah dengan kedua tangan.
Tak ada suara apapun. Aku melepas tangan dari wajah, tapi Astro tak ada di layar handphone. Yang terlihat di sana adalah langit-langit apartemennya.
"Astro" aku memanggilnya untuk mengecek apakah dia masih di sana.
Astro hanya menggumam.
"Kamu kenapa?"
"Aku kangen." ujarnya dengan nada yang terdengar berbeda dengan suaranya yang biasa. Sekarang terdengar lebih berat dan membuat jantungku berdetak kencang.
"Dua hari lagi katanya ada panggilan sidang."
"Iya, tapi aku ga bisa pulang. Aku harus langsung balik ke Surabaya."
"Aku bikinin brownies. Nanti aku minta Pak Said nganter ke pengadilan. Kamu bisa bawa ke Surabaya."
"Aku maunya bawa kamu ke sini."
"Kita belum nikah, Astro."
"Aku tau."
"Kamu lagi ngapain sih?" aku bertanya sambil menatap layar handphone dengan canggung. Apa yang sedang dilakukannya hingga tak bersedia terlihat olehku?
Suasana layar handphone-ku berubah, memperlihatkan Astro dengan selembar kertas di tangannya. Dia mendekatkan kertas itu hingga terlihat jelas olehku. Ada gambar karakter kami berdua sedang berada di pantai saat senja, saling memeluk satu sama lain.
Wajahnya kembali terlihat di layar, "Beberapa bulan lagi. Tunggu ya."
"Beberapa bulan itu batasnya cuma sampai tiga bulan, kamu tau? Kalau lebih dari tiga bulan disebutnya berbulan-bulan lagi."
"Aku tau, Honey. Percaya aja sama aku. Aku bisa usahain kita nikah beberapa bulan lagi."
"Jangan bikin janji yang ga bisa kamu tepatin, Astro." aku mengatakannya karena tak ingin terlalu berharap. Terlebih, aku masih ingin berada di rumah ini bersama Opa dan Oma.
"Percaya sama aku. Kamu tunggu aja."
Entah bagaimana, kurasa dia serius mengatakannya. Dia pasti memiliki cara. Aku hanya tak tahu cara apa yang akan dia gunakan. Mungkin aku memang harus mempersiapkan diri mulai sekarang.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-