Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Pamor



Pamor

0Jian memberiku laporan berkala dari sidang pertama Astro. Dia berkata sidang berlangsung tegang karena Cokro yang didatangkan sebagai saksi merasa dipermainkan oleh pernyataan Dissa yang tiba-tiba menyeretnya sebagai dalang perencana gugatan. Semua bukti sudah dibeberkan, tapi hakim masih memberi kesempatan pada Cokro untuk membuktikan diri tidak bersalah.     

Aku yang masih menatap layar handphone merasa perkuliahan hari ini cepat sekali berlalu, tapi tidak bisa konsentrasi memperhatikan materi yang dijabarkan dosen hingga tak ada satu pun yang kucatat.     

"Bawa pulang. Besok balikin ke aku." ujar Zen sambil menyodorkan catatan miliknya.     

"Thank you."     

Zen segera membereskan barang-barang seolah tak peduli aku akan menerima atau menolaknya, "Jangan liatin hape terus. Dosen udah beberapa kali liatin kamu, tapi kamu ga sadar. Jangan sampai reputasi kamu jadi jelek juga."     

"Okay."     

"Aku duluan." ujarnya yang segera bangkit.     

"Thank you, Zen."     

Zen melangkah menjauh tanpa menoleh sedikit pun padaku. Dia membuatku merasa canggung.     

"Apa aku bilang? Mending juga sama Zen. Dia suka sama kamu udah lama kan." ujar Daniel tiba-tiba.     

Aku akan mengabaikannya. Aku segera membereskan barang-barangku dan memasukkan buku catatan Zen ke dalam ransel, lalu segera bangkit dan berlalu.     

Beberapa orang masih berbisik saat melihatku lewat, tapi aku mengabaikannya. Aku mempercepat langkah kaki karena Pak Deri pasti sudah menunggu di depan gedung fakultas.     

"Mau langsung pulang atau ke toko dulu, Non?"     

"Ke toko ya, Pak. Nanti jemput di sana jam delapan."     

"Baik, Non."     

Sepanjang jalan ke parkiran tak ada seorang pun yang bertanya padaku, walau aku masih menemukan orang-orang yang saling berbisik. Mungkinkah Astro benar-benar meminta Rommy untuk menyebarkan rumor?     

Aku baru saja akan mengeluarkan handphone dari saku saat menyadari Astro pasti masih di ruang pengadilan. Aku akan bertanya padanya nanti malam.     

Aku duduk di jok tengah sementara Pak Deri yang menyetir. Aku mengeluarkan laptop untuk mencari berita terbaru tentang perkembangan isu skandal Astro dari berbagai portal berita. Semuanya memberitakan hal yang sama: Skandal Astro adalah skandal buatan! Apakah untuk menaikkan pamor perusahaan game barunya?     

Aku menghela napas. Aku tahu media bisa menjadi sangat menyebalkan sejak Astro gencar diberitakan oleh mereka. Namun isu demi isu baru seolah datang tak ada habisnya, membuat kepalaku terasa berdenyut mengganggu.     

"Non, bisa pasang sabuk pengaman?"     

"Kenapa, Pak?" aku bertanya sambil meletakkan laptop di samping, lalu memasang sabuk pengaman seperti yang diminta.     

"Ada yang ngikutin."     

Aku menoleh ke arah jendela belakang. Ada sebuah mobil yang tak kukenali, dengan kaca mobil yang cukup gelap hingga aku gagal menebak siapa yang ada di dalamnya.     

"Kita diikutin dari kapan?" aku bertanya saat merasakan mobil melaju lebih kencang.     

"Baru aja, Non. Kayaknya mereka sengaja nungguin kita."     

Jantungku berdetak tanpa irama. Rute yang kami lewati adalah rute yang biasa kupakai saat ingin menghindari jalan raya yang ramai, dengan hutan dan sawah di kanan kiri jalan. Rute ini memang lebih lengang.     

"Cepet, Pak. Di depan ada kantor polisi. Kita bisa berhenti di sana. Masih lumayan jauh, tapi kalau ngebut kita bisa sampai sana setengah jam lagi."     

Pak Deri mengangguk. Aku tahu dia sedang berkonsentrasi. Akan lebih baik jika aku tak mengganggunya yang sedang menyetir dalam keadaan darurat. Aku menelpon Lyra, "Ada yang ngikutin mobilku, kamu tau?"     

"Aku tau. Aku lagi lacak itu mobil punya siapa. Kita ngikutin kalian di belakang."     

"Kabarin aku kalau udah dapet identitasnya."     

Aku menutup sambungan telepon dan mencoba menelepon Astro, tapi dia tidak merimanya. Mungkin dia masih sangat sibuk. Aku memperhatikan plat mobil yang mengikutiku dengan seksama, lalu memberi pesan pada Paolo untuk mengecek kepimilikannya.     

Paolo : Tunggu     

Aku tak bisa menunggu. Mobilku sudah melaju dengan cepat, tapi mobil penguntit di belakang mampu mengikuti kami dengan jarak tak kurang dari sepuluh meter. Mungkin kah pengendaranya adalah pengendara profesional?     

Sepertinya Pak Deri kesulitan menjaga jarak dengan mobil penguntit karena sempat hampir tersalip beberapa kali. Sialnya, jendela samping mobil itu diberi gorden penutup hingga mustahil bagiku melihat siapa yang ada di dalamnya.     

Hingga sampai di sebuah belokan yang sepi, mobilku benar-benar berhenti karena mobil penguntit itu berhasil menyalip dan memaksa kami menepi. Tak lama kemudian, ada sebuah mobil lain yang berhenti di sebelah mobilku.     

Aah, kami tak bisa mundur untuk melarikan diri.     

"Tunggu di sini aja, Non. Mobil ini sistem keamanannya bagus. Asal mereka ga nembak, kita aman." ujar Pak Deri.     

Aku baru saja menyadari aku mungkin membutuhkan body mobil dan kaca jendela anti peluru. Kenapa aku bodoh sekali?     

Pintu mobil tengah penguntit itu terbuka sesaat setelah kami semua menepi. Ada sosok yang sangat kukenali, membuatku refleks melepas sabuk pengaman dan meminta Pak Deri membuka kunci. Dia membuka pintu di sebelahku dan memberiku senyum menggodanya yang bertahun-tahun ini selalu menghiasi wajahnya.     

"Kamu ngapain sih? Bikin orang panik." aku bertanya sambil memukul bahunya.     

"Tadinya mau langsung ke bandara, tapi aku kangen jadi mau ketemu kamu sebentar." ujarnya sambil duduk di sisiku dan menutup pintu.     

Astaga, yang benar saja?     

Astro menepuk bahu Pak Deri dan memberi isyarat agar Pak Deri keluar dari mobil. Kemudian menyodorkan satu buket kecil lavender padaku yang sesaat lalu dia sembunyikan di balik punggungnya, "Jangan cemberut. Nanti aku ga tahan buat cubit kamu."     

Aku menatapnya tak percaya. Bisa-bisanya dia membuatku mengira nyawaku sedang terancam.     

"Ga mau nih?" dia bertanya sambil melirik lavender di tangannya yang belum kuterima.     

Aku mengambil buket bunga darinya dan memukul bahunya dengan bunga, "Jangan begini lagi. Kalau aku jantungan gimana?"     

Astro tertawa tanpa menghindar dari pukulanku, "Sorry. Sekalian aku mau ngetes pak Deri bisa jaga kamu atau ga."     

"Ga lucu, Astro." ujarku sambil memukul bahunya dengan buket bunga sedikit lebih keras.     

Astro menggenggam sisi buket yang tak tersentuh tanganku, "Tuh, bunganya jadi rusak. Tega banget kamu nyia-nyiain pengorbananku beli lavender."     

"Kamu nyebelin banget!"     

"Aku cuma bisa ketemu kamu sebentar, Honey. Jangan ngomel-ngomel begitu."     

"Kamu kan bisa bilang dulu kalau mau ketemu."     

Astro menatapku dalam diam, dengan senyum menggodanya masih menghiasi bibirnya. Entah apa yang dia pikirkan sekarang. Tiba-tiba saja tangannya melepas buket bunga dan tubuhnya berbalik untuk membuka pintu, "Udah. Aku harus balik ke Surabaya. Jaga diri ya. I love you, Honey."     

"Begitu doang?" aku bertanya dengan tatapan tak percaya. Melihat punggungnya yang bersiap pergi membuat sesuatu menyengat hatiku.     

Astro menoleh padaku, "Mau ngapain lagi? Kamu kan nolak aku sentuh. Jadi aku pulang."     

Sepertinya aku bodoh sekali. Apa gunanya dia mengejarku hingga kami menggunakan jalanan sebagai arena balap jika hanya ingin menemuiku tak lebih dari lima menit?     

Aku menarik lengannya mendekat. Rasanya aku ingin memeluknya, tapi aku membatalkannya. Namun aku mencubit kedua pipinya saat tubuhnya cukup dekat.     

"Aah, sakit! Kamu udah janji kita ga sentuhan." ujarnya dengan kedua tangan di samping tanganku. Aku tahu dia ingin melepas tanganku, tapi dia pasti akan menyentuhku.     

"Janji ga begini lagi ya, Honey?" ujarku dengan senyum manis.     

"Iya, aku janji."     

"Kalau kamu langgar kamu harus pulang setiap weekend."     

"Kamu kan tau aku ga bisa begitu."     

"Janji?"     

"Aah, iya janji."     

Aku melepas tangan dari pipinya dan memberinya sebuah senyum lebar. Dia menatapku dengan tatapan sebal tepat saat jendela di belakangnya diketuk oleh Jian.     

"Waktuku abis." ujarnya sambil mengusap pipi dan menatapku sendu. Dia terlihat imut sekali.     

"Hati-hati ya."     

"Begini doang? Kamu udah sentuh aku barusan. Nyubit lagi."     

"Kan kamu yang tadi bilang mau pergi. Kalau kamu ga nyebelin ga akan aku cubit."     

Astro terlihat dilema akan beranjak atau duduk lebih lama, tapi ketukan di jendela membuatnya membuka pintu.     

"I love you, Honey."     

"I love you too, My Honey." ujarnya dengan tatapan kesal yang jelas sekali.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.