Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Move On



Move On

1Kak Sendy menemuiku dan Zen di sebuah sudut di bawah pohon di depan gedung fakultas pagi ini. Dia memberi kami masing-masing satu kartu undangan untuk datang ke pameran lukisan papanya, Hanum Cokronegoro.     

"Aku ga janji bisa dateng, Kak." ujarku.     

"Ga pa-pa. Kalau kamu berubah pikiran tinggal dateng aja. Ada alamatnya di situ."     

"Okay."     

"Atau kamu bisa bareng Zen jadi dia bisa nemenin?"     

"Jangan. Nanti kena skandal baru." ujar Zen.     

Aku menoleh pada Zen. Aku tahu dia sedang berusaha menjaga jarak denganku, tapi aku baru menyadari bahwa dia peduli dengan perkembangan isu yang beredar tentang skandal Astro yang menyeret namaku.     

"Aku denger ada anak fakultas lain yang diintrogasi soal berita yang kesebar tentang kamu. Kamu tau?" kak Sendy bertanya padaku.     

"Itu kerjaan Astro kayaknya. Dia sengaja bikin rumor biar ga banyak orang yang nanya-nanya aku lagi."     

"Ooh, I see. Jadi itu sengaja?"     

Aku menggumam mengiyakan, "Kenapa? Ada masalah?"     

"Ga sih. Aku cuma khawatir nama kamu jadi jelek. Kamu tau sendiri anak-anak suka nyimpulin berita seenaknya. Mereka bisa aja mikir kalau yang introgasi itu orang suruhan kamu, secara kamu sekarang dijagain sama pak Deri."     

Sepertinya Kak Sendy benar. Aku harus membicarakan hal ini pada Astro nanti.     

"Ada kendala di semester ini ga? Kalian bisa nanya aku kalau butuh saran."     

"Sementara ga ada, Kak." ujar Zen.     

"Oh ya, kamu dicariin anak-anak BEM. Kamu jarang nongol sih."     

"Aku kan batal daftar, Kak. Kenapa dicariin?"     

"Tapi nama kamu kedaftar tuh."     

Aku menatap mereka berdua bergantian. Sepertinya mereka sama-sama tak mengerti.     

"Nanti abis kelas aku coba ke sana." ujar Zen.     

"Okay. Aku cuma mau bahas itu aja sih. Kalian juga harus masuk kan?"     

Aku mengangguk, "Thank you undangannya, Kak."     

"Kalau bisa dateng kabarin aku. Nanti aku minta orang buat jagain kamu."     

"Pasti aku kabarin."     

"Aku duluan ya."     

Aku dan Zen mengangguk. Kak Sendy pergi sesaat setelahnya.     

Aku menoleh untuk menatap Zen, "Kenapa kamu batal jadi anggota BEM?"     

"Kemarin lagi sibuk ngurusin kafe. Aku pikir ga akan sempet." ujarnya sambil bangkit.     

Aku mengikutinya bangkit dan berjalan di sisinya, "Kafe kamu bagus."     

Zen menoleh padaku, "Baru bilang sekarang?"     

"Aku baru inget belum pernah muji kafe kamu. Sorry."     

Zen menatapku tak percaya, "Kamu terlalu sibuk sama cinta jadi ga inget yang lain."     

"Coba liat siapa yang ngomong? Kamu kan juga ..." aku menghentikan kalimatku. Aku hampir saja akan mengatakan hal yang tak perlu.     

"Iya. Aku juga kelamaan ngurusin cinta yang ga cinta aku balik. Waktunya aku buat balik ke kenyataan kan?"     

Kalimatnya membuatku merasa buruk dengan diriku sendiri. Entah sejak kapan dia benar-benar melepasku, tapi dia memang benar. Akan lebih baik jika dia kembali fokus pada dirinya sendiri.     

"Kamu baik, Zen."     

Zen tersenyum, "Aku emang baik. Bodoh banget yang ga nerima aku kan?"     

"Maksud kamu aku bodoh?"     

"Mungkin. Kalau kamu ngerasa." ujarnya sambil memberiku senyum yang lebar sekali.     

Aku menatapnya tak percaya. Sepertinya ini adalah percakapan kami yang hangat setelah dua tahun lamanya. Aku masih mengingatnya yang bertanya padaku tentang keluargaku. Saat itu dia teman yang sangat menyenangkan.     

"Kamu kasih tau Kak Liana kalau Astro ngelamar aku?" aku bertanya karena tiba-tiba mengingat ucapannya beberapa hari lalu bahwa Kak Liana akan memberiku buket bunga pernikahannya agar aku bisa segera menikah.     

"Aku kasih tau soalnya kakak maksa aku buat coba minta kamu ke opa. Aku ga punya muka buat itu. Opa bakal mikir apa ke aku coba?" ujarnya dengan raut kesal dan frustrasi di saat yang sama, tapi harus kuakui dia mengendalikan diri dengan baik.     

"Thank you, Zen."     

"Ga perlu. Kapan kamu nikah sama Astro?" ujarnya dengan suara tercekat, seolah masih berusaha menerima kenyataan aku dan Astro akan menikah.     

"Belum tau. Astro bilang mau masalah ini selesai dulu."     

"Skandalnya bukan kasus gampang. Harusnya kamu tau."     

"Aku tau."     

Tak terasa, kami sudah berada di dalam gedung. Berbincang dengan Zen membuatku lupa seharusnya ada Pak Deri yang mengikutiku sejak tadi. Aku menoleh ke sekitarku, Pak Deri tak terlihat di manapun. Mungkin dia menungguku di depan gedung seperti biasanya.     

"Kemarin opa ngajak aku main catur lagi waktu kamu angkat video call dari Astro."     

Aku menoleh padanya, "Kamu terima?"     

"Aku tolak, tapi aku bilang mungkin aku bisa main lagi kalau kamu sama Astro udah nikah. Aku ga mau dianggep jadi pengganggu."     

Aku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku, "Kamu bisa main sama Opa kalau aku lagi ga di rumah. Ga perlu nunggu aku nikah."     

Zen tertawa, "Nanti calon suami kamu ngamuk kalau tau."     

"Kayaknya dia ga masalah kalau aku ga ada. Beberapa waktu ke depan juga aku jarang di rumah kalau weekend. Tolong temenin Opa main ya." aku mengatakan yang sebenarnya. Aku ingin lebih banyak menghabiskan waktu di toko Lavender's Craft sebelum Astro benar-benar membawaku ke Surabaya bersamanya.     

Zen tak menjawab permintaanku, tapi menatapku dalam diam hingga sampai di depan ruang kelas yang seharusnya kami datangi.     

"Boleh aku minta tolong?" aku bertanya.     

"Apa?"     

"Bilang Daniel buat berhenti comblangin kita. Kamu udah move on kan?"     

Zen mengangguk, "Nanti aku bilang ke dia."     

"Thank you." ujarku sambil melangkah masuk ke ruangan yang sudah ramai.     

Beberapa orang menoleh pada kami dan berbisik sesaat setelahnya. Zen menghampiri mereka dan duduk di antaranya. Aku mengikutinya dan duduk tepat di sebelah Zen.     

"Ngobrolin apa?" Zen bertanya.     

"Itu ..., ada berita ..." ujar Caca sambil menatapku ragu-ragu.     

"Berita apa?" aku bertanya.     

Caca memperlihatkan layar handphone-nya padaku. Ada fotoku dan Astro sedang berjalan di area reservasi resort, dengan keterangan: Ternyata mereka memang sering ke resort sejak masih di SMA! Fakta yang tersembunyi!     

"Kalian percaya?" aku bertanya dengan nada yang biasa.     

"Fotonya emang foto kamu sama Astro. Gimana kita ga percaya?" Wanda bertanya.     

"Fotonya bener, tapi caption-nya bikin masalah. Aku sama Astro emang sering ke resto di resort itu dari SMA buat makan."     

"Tapi fotonya kamu lagi di resort?"     

"Itu aku lagi bantu pemilik resortnya buat kasih saran desain baru. Dia cuma nemenin sampai area reservasi. Lagian kita ga mungkin masuk sana bareng. Kita harus punya surat nikah dulu."     

Mereka semua saling bertatapan. Entah apa yang ada di pikiran mereka saat ini.     

Aku mengeluarkan handphone dari saku, lalu meminta Paolo dan Ray mengurus situs berita yang baru saja kubaca. Mereka pasti tahu apa yang harus dilakukan.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.