Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Hippie



Hippie

1Aku mengikuti saran Astro untuk datang ke pameran. Aku sengaja berpakaian tak seperti biasanya, hanya untuk berjaga-jaga andai saja ada orang yang mengenaliku. Aku memakai rok sepanjang mata kaki bermotif bunga, dengan sweater berwarna hijau yang kebesaran, sebuah scarf besar yang hampir menutupi hidung, juga sebuah kacamata dan rambut yang kubiarkan tergerai.     

Pak Deri ikut bersamaku, juga ada Lyra dan Rommy di luar gedung pameran. Namun Kak Sendy tetap menepati janjinya dengan menyediakan beberapa orang penjaga untukku yang mengawasiku dari jarak yang cukup.     

"Kamu kayak gadis hippie tau ga?" ujar Zen.     

Aku akan mengabaikannya karena mungkin saja dia benar. Beberapa orang yang kujumpai juga memiliki selera berpakaian yang unik. Sepertinya aku tak akan mengundang rasa penasaran orang lain. Lagi pula, aku sedang menikmati pameran lukisan tanpa ada yang bertanya apapun tentang Astro atau isu skandal yang sedang dihadapinya.     

"Coba liat goresannya. Pro banget." ujarku sambil meneliti lukisan di hadapan kami.     

"Lukisan kamu juga bagus. Terakhir aku ke sekolah, lukisan kita masih dipajang di samping mading."     

Aku menoleh padanya, "Ada acara apa di sekolah? Kok aku ga tau?"     

"Aku cuma nganter undangan buat guru. Kakak kan sekolah di sana juga."     

Informasi ini baru bagiku. Andai saja Fara dan Danar masih ada, mungkin mereka akan bersekolah di sana. Atau mungkin tidak. Bunda lebih suka kami belajar dengan sistem homeschooling, maka kami mungkin akan tetap tinggal di Bogor dan aku tak akan pernah bertemu Astro.     

Kenapa tiba-tiba aku merasa tak rela membayangkan tak ada Astro dalam hidupku?     

"Mm ... kak Liana bilang kamu banyak ngelukis aku. Lukisannya kamu kemanain sekarang?"     

Zen terlihat salah tingkah. Dia terdiam lama sebelum bicara, "Masih ada di kamarku."     

Aku terkejut mendengarnya. Kupikir dia sudah benar-benar melepasku.     

"Jangan salah paham. Aku cuma ga tau mau naruh lukisannya di mana lagi. Aku ga mungkin ngasih ke orang sembarangan." ujarnya sambil mengalihkan tatapan dariku.     

"Kamu bisa kasih ke aku?"     

Zen menatapku tak percaya, "Buat apa aku kasih ke kamu?"     

"Wedding gift?" ujarku dengan sengaja agar dia benar-benar berhenti andai saja masih ada celah untuk menyimpan rasa suka padaku.     

"Ada lebih dari dua puluh. Kamu mau semuanya?"     

"Lebih bagus kalau kamu kasih ke aku kan? Dari pada kamu simpen sendiri. Kalau kamu punya pacar nanti, kamu yang repot."     

Zen menatapku dalam diam. Entah apa yang sedang dia pikirkan sekarang. Aku akan mengabaikannya.     

Aku mengarahkan langkah ke lukisan yang lain. Ada seorang laki-laki dengan rambut berwarna dongker di depan lukisan itu. Aku menjaga jarak agar tak berdiri terlalu dekat dengannya.     

Zen mengikutiku dan berdiri di sebelahku. Beberapa menit berlalu dalam hening, tapi sepertinya laki-laki di sebelahku memperhatikanku dalam diam. Aku tak berani menoleh karena khawatir dia mengenaliku, maka aku beranjak dan menghampiri lukisan yang lainnya.     

Seseorang menepuk bahuku. Saat aku menoleh, ternyata dia adalah laki-laki berambut dongker yang berdiri di sebelahku sesaat lalu. Dia mengulurkan tangannya padaku untuk meminta berkenalan, "Boleh aku tau nama kamu? Aku Gerard."     

Aku menatap uluran tangannya dengan ragu-ragu. Aku tak ingin berkenalan dengan orang asing saat ini.     

"Sorry. Aku ga sopan ya?" ujarnya sambil menarik tangan dengan canggung. "Aku pikir kamu temen kecilku, soalnya kalian mirip. Aku cuma lupa siapa namanya."     

Begitukah? Akan sangat tak sopan jika aku pergi begitu saja bukan?     

"Aku Zia." ujarku pada akhirnya. Kurasa akan lebih baik jika dia tak tahu nama asliku. Lagi pula,aku tak berbohong padanya. Namaku Mafaza Marzia. Kurasa nama panggilan Zia cukup masuk akal.     

Dia terlihat senang sekali dengan senyum manis yang memamerkan giginya yang tersusun rapi, "Bisa aku minta nomor kamu?"     

"Sorry, dia ga bisa kasih sembarang nomor ke orang baru." ujar Zen yang berdiri di sebelahku. Entah kenapa dia menggenggam tanganku dan membuatku merasa canggung.     

"Oh, sorry kalau gitu. Seneng bisa kenal kamu Zia." ujar Gerard yang segera berlalu. Dia sempat menoleh padaku dan menatap ganggaman tangan Zen di tanganku, lalu berjalan pergi.     

Aku melepas tanganku dari Zen, "Astro bisa ngamuk kalau tau. Ada Pak Deri yang ngawasin aku."     

"Dari pada kamu digangguin cowok ga dikenal begitu. Kan mending aku bantuin biar dia pergi."     

Aku menatapnya sebal sebelum beranjak ke lukisan yang lain, "Aku ga mau bikin Astro marah. Kamu jangan macem-macem."     

"Harusnya dia berterima kasih ada yang jagain kamu pas dia ga ada."     

Aku akan mengabaikannya. Membahas ini bersamanya akan sia-sia saja. Aku hanya berharap Pak Deri cukup memaklumi kejadian yang sebenarnya.     

Kak Sendy mendekat pada kami. Dia terlihat berbeda sekali dengan penampilannya selama ini yang selalu kasual. Hari ini dia berpakaian semi formal. Entah apakah demi bisa terlihat baik di depan kolega papanya atau memang dia selalu berpakaian seperti ini di acara tertentu seperti saat ini dan saat datang ke pertemuan.     

"Satu jam lagi ke ruangan yang ada patung rajawali ya. Papa mau ketemu kalian." ujarnya sambil berpura-pura memperhatikan lukisan yang paling dekat dengan kami.     

"Yakin, Kak, papanya mau ketemu kita? Kita cuma anak kuliahan." Zen bertanya.     

"Kalau ga yakin aku ga bakal kasih undangan. Waktu kalian ngelukis berdua itu aku kasih video detailnya ke papa. Papa tertarik banget mau kenal kalian."     

Aku menoleh untuk menatap Zen. Zen juga menoleh menatapku. Kemudian hening di antara kami.     

Seorang Hanum Cokronegoro, pelukis aliran surealisme kenamaan, yang juga adalah ketua perkumpulan kolektor barang antik seantero negeri, begitu tertarik untuk bertemu dengan kami? Ini pasti keberuntungan atau mimpi.     

"Aku ga yakin bisa sesuai ekspektasi papa Kakak atau ga." ujarku tiba-tiba. Membayangkan andai saja ekspektasi papanya padaku terlalu tinggi, membuat kepercayaan diriku menurun drastis. Terasa seperti ada batu yang tiba-tiba jatuh ke dasar perutku.     

"Tenang aja. Papa cuma mau kenalan kok. Ga perlu sungkan begitu." ujar Kak Sendy.     

"Kakak kenal sama cowok yang namanya Gerard?" Zen tiba-tiba bertanya, membuatku menoleh padanya.     

"Gerard? Yang rambutnya dicat dongker?"     

"Iya. Itu."     

"Dia anaknya om Hubert. Temen kolektor papa. Ga pa-pa kok. Dia baik, cuma emang suka kepo. Dia minta kenalan?"     

"Iya, tapi aku pakai nama samaran." ujarku.     

Zen menoleh padaku, "Minta kenalan, tapi gangguin. Untung ada aku jadi dia langsung pergi."     

Aku menatapnya tak percaya. Entah aku harus menjelaskan apa pada Astro jika dia bertanya nanti.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.