Rajawali
Rajawali
Sialnya, saat menemukan ruangan dengan patung rajawali di depannya, ada Gerard sedang berbincang dengan seorang pria paruh baya tepat di samping patung. Dia mengenaliku dan tersenyum manis yang memamerkan giginya yang tersusun rapi.
Aku tersenyum singkat padanya, hanya untuk sopan santun. Namun Zen menghalangi pandanganku dengan maju beberapa langkah dan mengetuk pintu. Pintu terbuka sesaat setelahnya. Kak Sendy tersenyum saat melihat kami dan memberi isyarat pada kami untuk masuk.
Ruangan itu terlihat seperti perpustakaan untukku, dengan deretan buku di berbagai sudut dan sebuah tangga spiral di belakang deretan sofa. Jika tebakanku benar, sepertinya gedung ini adalah milik keluarga Kak Sendy. Tak mungkin ada sembarang orang menggunakan perpustakaan seperti ini untuk sebuah pertemuan pribadi, bukan?
Kak Sendy membimbing kami berjalan mendekat ke sofa dan berhenti tepat di sebelah papanya. Papanya, Hanum Cokronegoro, berusia 48 tahun, tapi tubuhnya masih terlihat bugar seperti masih berusia 32 tahun. Raut wajahnya dihiasi senyum ramah walau memiliki tatapan tajam.
"Pa, ini Faza sama Zen." ujar Kak Sendy.
Aku mengulurkan tangan, "Mafaza Marzia, Pak."
"Cucunya opa Dewanto kan? Ah, jangan panggil 'Pak', kesannya udah tua. Panggil Om aja ya?" ujarnya sambil menerima jabatan tanganku.
Genggaman tangannya mantap, tak terlalu kencang atau longgar. Tangannya menggenggam tanganku dengan tempo yang tepat. Tak terlalu singkat, juga tak terlalu lama. Aku menyukainya kepribadiannya.
Zen mengulurkan tangan, "Hayakawa Zen, Om."
"Zen. Sendy bilang papa kamu dokter ya?"
"Betul, Om."
"Silakan duduk."
Aku dan Zen duduk di satu sofa panjang yang sama. Sedangkan Kak Sendy duduk di sebelah papanya. Menurutku mereka terlihat mirip, hanya berbeda usia. Walau Om Hanum jelas memiliki selera berpakaian yang unik.
"Sebenernya Om udah lama mau kenalan sama kalian, tapi baru ada waktu sekarang. Sendy kasih liat video lukisan kalian di SMA. Lukisan kalian bagus sekali untuk ukuran anak muda yang masih seusia kalian."
Aku dan Zen saling menoleh satu sama lain dan tersenyum. Bagaimana mungkin kami tak merasa senang dipuji langsung oleh seorang Hanum Cokronegoro?
"Om punya tawaran buat kalian. Kalau kalian sanggup, kalian bisa belajar banyak nanti."
"Penawaran apa, Om?" Zen bertanya.
"Om mau buat galeri pribadi dan butuh anak muda yang punya passion ngelukis kayak kalian buat jaring lebih banyak anak muda lain biar mereka tertarik sama seni lukis juga. Semacam perkumpulan para pelukis baru."
Rasa bahagia yang baru saja kurasakan seketika menguap, mengingat beberapa bulan lagi aku akan menikah. Aku memang belum tahu tanggal tepatnya, tapi Astro sudah berjanji. Aku tahu Astro akan menepati janjinya entah bagaimana caranya.
"Om udah denger soal rencana nikah kamu sama Astro. Om salut sama kalian. Berani nikah di usia muda bukan hal yang bisa dianggap remeh."
Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Bagaimana seorang Hanum Cokronegoro bisa mengetahui berita itu lebih dulu?
"Kok Om bisa tau?" aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Om sama Jaya punya hubungan lumayan deket. Kita emang jarang ketemu karena sama-sama sibuk, tapi kita biasa chatting dan telepon. Om pikir, kamu milih orang yang tepat buat jadi suami. Astro itu multitalenta. Kamu pasti tau."
Aku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku. Om Hanum benar.
"Galeri yang Om sebut tadi udah siap dipakai. Kalian bisa ke sana kapan aja kalian sempet. Nanti ada Sena yang ngarahin kalian harus gimana. Atau kalian bisa ke sana bareng Sendy."
Kami semua saling pandang dalam diam, tapi kurasa kami tahu apa yang ada di benak masing-masing. Kami akan saling menghubungi dan menentukan tanggal untuk berkumpul kembali.
Tiba-tiba pintu terbuka, datang seorang pria dengan senyum sangat lebar di bibirnya yang langsung menghampiri Om Hanum. Mereka saling berpelukan sesaat dan menepuk bahu satu sama lain.
"Siap bahas trading kita?" pria itu bertanya.
"Biar tamu mudaku nikmatin pameran dulu ya." ujar Om Hanum sambil tersenyum padaku dan Zen. Sepertinya itu adalah isyarat agar kami meninggalkan mereka berdua. Aku segera bangkit dari dudukku, Zen dan kak Sendy mengikuti.
"Makasih buat tawarannya, Om. Nanti kita koordinasi sama Kak Sendy." ujarku.
"Tunggu dulu, kita belum kenalan. Tamu Hanum pasti orang penting kan? Nama Om : Hubert. Kalian?" ujar pria itu sambil mengulurkan tangan.
Bagaimana aku akan memperkenalkan diri? Jika aku tak salah menduga, dia adalah orang tua Gerard. Kak Sendy menyebut namanya tadi.
"Hayakawa Zen, Om." ujar Zen sambil menyambut tangannya.
"Saya ... Zia, Om." ujarku sambil menyambut tangannya bergantian dengan Zen.
Om Hanum dan Kak Sendy menatapku penasaran. Aku memberi mereka isyarat untuk merahasiakan namaku dengan sebuah senyum singkat. Kuharap mereka mengerti.
Jika dugaannya benar, Om Hubert dan Gerard bukanlah tipe yang suka membaca atau melihat berita di internet. Kemungkinan mereka tidak mengenaliku karena tak menyinggung apapun tentang Astro atau isu skandal yang sedang dihadapi.
"Seneng bisa kenal sama tamu mudanya Hanum." ujar Om Hubert.
Aku mengangguk, "Kita undur diri ya, Om. Sekali lagi makasih buat tawarannya."
"Bisa lanjutin ngobrol sama Sendy ya." ujar Om Hanum.
Aku mengangguk, lalu Kak Sendy mengantar kami keluar. Sepertinya dia tak ingin mengganggu pembicaraan papanya dengan Om Hubert.
"Mereka bisa ngobrol berjam-jam berdua. Aku ga kuat dengerin bahasan trading benda purba apalah." ujar Kak Sendy setelah menutup pintu.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, untunglah Gerard tak terlihat di mana pun. Akan sangat canggung untukku jika bertemu lagi dengannya.
Kak Sendy mengajak kami beranjak ke area pameran, "Kalian punya waktu luang sabtu atau minggu depan? Kita bisa ke galeri kalau kalian bisa."
"Sorry, Kak, kakakku nikah. Aku ga bisa ke galeri hari itu." ujar Zen.
"Aku ga yakin bisa dateng atau ga, Zen. Aku ga mau ngundang perhatian orang-orang di acara pentingnya Kak Liana. Sorry."
"Ga masalah. Nanti aku bilang ke kakak."
"Berarti kamu bisa ikut aku, Za?" kak Sendy bertanya.
"Nanti aku kabarin ya, Kak. Aku ga bisa janji, soalnya ada crafter baru yang mau aku temuin."
"Ah, gitu ya? Gimana kalau pulang kuliah aja?" Kak Sendy bertanya.
Aku dan Zen saling bertatapan. Kurasa idenya bisa kami terima. Kami saling membicarakan jadwal dan setuju akan ke galeri hari kamis setelah semua proses perkuliahan selesai.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-