Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Easel



Easel

2Kami sampai di galeri saat hujan baru saja turun. Hujan deras yang tiba-tiba membuat tubuh kami kebasahan hanya dengan berlari dari parkiran menuju gedung.     

"Non Faza bawa baju ganti?" Pak Said bertanya.     

"Ada di mobil, Pak, tapi ga usah. Ga pa-pa kok." ujarku sambil mengelap air hujan yang menetes di dahiku.     

"Nanti kalau Non Faza sakit, den Astro marah sama saya. Saya ambilin ya. Ditaruh di mana bajunya?"     

"Ga usah, Pak. Ga pa-pa kok. Nanti juga kering. Kalau nanti aku sakit aku salahin Astro. Siapa suruh biarin aku keluyuran sendiri."     

Zen tertawa, tapi tak mengatakan apapun saat aku memberinya tatapan tajam.     

"Siang Mas Sendy." ujar seorang perempuan yang menghampiri kami dengan membawa empat helai handuk.     

"Siang, Miss. Ini Miss Sena." ujar Kak Sendy sambil mengambil satu handuk darinya. Miss Sena memberi kami masing-masing satu untuk menyeka tubuh.     

"Makasih, Miss." ujarku.     

"Mari saya anter ke dalam." ujar Miss Sena.     

"Saya tunggu di sini ya, Non." ujar Pak Deri.     

Aku mengangguk padanya dan kami mengikuti Miss Sena masuk lebih dalam. Ada banyak lukisan terpajang di setiap dinding. Juga ada patung, gerabah dan tanaman hias di berbagai sudut. Selera seni Om Hanum sangat kental terasa di galeri ini.     

Kami sampai di sebuah ruangan besar, dengan sebuah lukisan sangat luas di salah satu dinding. Terdapat satu meja panjang dan banyak kursi mengelilinginya, satu deret loker, dan papan kerja di dinding. Juga berderet-deret easel (alat penyangga kanvas), lengkap dengan kanvas, alat lukis dan cat. Ruangan ini adalah surga bagi pelukis.     

"Ini ruangan buat kalian ngumpulin pelukis baru. Kalian bisa saling sharing dan bikin sesi ngelukis bareng." ujar Miss Sena.     

"Maaf, maksud Miss, kita yang nyari pelukis baru buat gabung ke sini?" aku bertanya.     

"Betul. Nanti kita bisa datengin pelukis profesional di waktu tertentu jadi kalian bisa belajar banyak dari mereka."     

Aku menoleh untuk menatap Zen dan Kak Sendy. Sepertinya mereka terlihat begitu bersemangat. Membuatku merasa buruk karena memikirkan aku hanya bisa bergabung bersama mereka dalam waktu beberapa bulan sebelum menikah.     

"Kalian bisa pakai semua alat yang ada di sini. Mau langsung ngelukis sekarang juga boleh." ujar Miss Sena.     

Tanpa membalas kalimatnya, kami langsung menghampiri tempat melukis pilihan kami. Aku dan Zen memilih yang paling dekat dengan jendela besar. Sedangkan Kak Sendy memilih tempat yang dekat dengan pintu.     

"Kalau butuh bantuan, kalian bisa ke ruangan di sebelah pintu masuk tadi. Itu ruang kantor pengurus. Saya ada di sana."     

"Makasih, Miss." ujar Kak Sendy.     

Miss Sena hanya mengangguk singkat dan segera berlalu.     

Jantungku berdebar kencang saat mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan ini benar-benar luar biasa. Andai saja aku masih bisa tinggal di sini setelah menikah, aku akan sering menghabiskan waktu di sini. Namun, itu tak mungkin. Mungkin aku akan lebih sering ke Surabaya untuk menemui suamiku.     

Tunggu sebentar, Astro masih belum menjadi suamiku. Apa yang baru saja kupikirkan?     

Selama beberapa jam kami berkutat dengan lukisan masing-masing. Sepertinya entah bagaimana ide di dalam kepala kami mengalir keluar begitu saja dan kami menuangkannya ke dalam kanvas dalam diam.     

"Kalian udah selesai?" Kak Sendy bertanya tepat saat aku meregangkan tangan ke atas.     

"Aku udah sih. Kamu, Zen?" aku bertanya.     

"Tinggal finishing." ujar Zen.     

Kak Sendy menarik kursi yang dia duduki mendekat pada kami, "Aku punya ide bawa anak-anak klub lukis SMA ke sini. Mereka jadi bisa punya basecamp lain selain di sekolah kan? Gimana?"     

"Aku setuju." ujarku.     

"Mau ngajak anak-anak alumni tahun lulusanku juga, Kak?" Zen bertanya.     

"Boleh, ini kan buat umum. Papa bilang lebih bagus kalau kita bikin komunitas. Kalian punya ide mau kasih nama apa?"     

Aku terdiam. Ini adalah komunitas bersama, tak mungkin aku menggunakan nama yang hanya aku yang menyukainya. Aku menoleh pada Zen, sepertinya dia juga sedang berpikir.     

"Ga pa-pa nanti sambil jalan aja kalau emang bingung." ujar Kak Sendy setelah sekian lama hening di antara kami.     

"Mm, bukannya Kakak ga mau ketauan kalau Kakak anaknya Om Hanum? Kalau Om Hanum bikin galeri gini bukannya jadi publikasi?" aku bertanya.     

Kak Sendy tersenyum, "Aku minta kalian rahasiain ya. Ga mungkin ada yang tau aku anaknya papa kalau bukan salah satu dari kalian yang ngasih tau. Galeri ini emang punya papa, tapi ga ada yang tau soalnya ini galeri baru."     

Kurasa aku mengerti sekarang. Aku mengangguk sebagai tanda setuju, "Lukisannya bisa aku bawa pulang?"     

"Boleh."     

"Thank you."     

"Kita balik sekarang?"     

"Nanti aku kontak anak-anak klub lukis buat gabung sama kita." ujar Zen.     

"Aku coba hubungin yang lain juga. Mungkin ada yang mau gabung." ujarku.     

Kami berbincang untuk membahas kapan pertemuan selanjutnyadan sepakat untuk kembali lagi hari selasa minggu depan. Zen pulang menumpang dengan mobilku karena tadi pagi dia juga menumpang saat berangkat kuliah. Aku sudah meminta izin Astro untuk itu. Dia duduk di depan, di sebelah Pak Deri. Sedangkan aku duduk di tengah.     

Aku mengambil handphone dari saku dan mengecek semua pemberitahuan yang kuabaikan, lalu membuka pesan dari Astro lebih dulu.     

Astro : Kalau udah selesai kabarin aku     

Aku : Aku udah selesai. Lagi di mobil mau pulang     

Astro memberiku panggilan video call. Aku memasang earphone dan menerimanya.     

"Hai, Honey." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa, membuatku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku.     

"Hai."     

"Seneng?"     

Aku menggumam mengiyakan. Entah apakah dia mendengarnya atau tidak. Sepertinya dia mengerti.     

"Zen di depan?" Astro bertanya.     

"Mau ngobrol sama Zen?" aku bertanya sambil melirik ke arah Zen. Zen menolehkan kepala padaku.     

"Ngapain aku ngobrol sama dia? Ada perempuan cantik di depanku kok."     

Aku hampir saja tertawa andai saja tak mengingat ada Zen dan Pak Deri di mobil ini. Sepertinya aku harus mengalihkan percakapan, "Kamu di apartemen?"     

"Kamu ga denger aku tadi bilang kamu cantik?"     

"Aku denger. Thank you."     

Astro justru menatapku dengan tatapan kecewa. Kurasa aku tahu kenapa.     

"Thank you, Ganteng."     

Astro tersenyum lebar sekali. Dia benar-benar bisa menjadi sangat menyebalkan saat bertingkah. Karena menyebutnya 'ganteng' membuat Zen dan Pak Deri sempat menoleh padaku.     

"Aku udah minta Ray delivery steak. Kamu harus makan banyak. Aku minta Ray ngirimin tiga."     

"Buatku cuma satu kan? Yang dua buat Opa sama Oma?"     

"Pinter." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa. Dia benar-benar menyebalkan.     

"Minggu ini pergi ke proyek kamu lagi?"     

"Iya, aku harus ke sana ngerjain kerjaan yang ketunda."     

"Jangan telat makan. Kamu udah janji."     

"Iya, Honey. Jangan khawatir begitu. Kamu jadi kedengeran kayak ibu."     

Aku memberinya tatapan sebal, "Ibu bilang apa?"     

"Nyuruh aku banyak makan sayur sama buah. Ngomel waktu tau aku sering makan junk food."     

"Kalau gitu nanti aku ngadu ke Ibu. Aku bilang kamu bandel makannya junk food terus."     

"Coba aja bilang. Nanti aku mundurin jadwal nikah kita."     

Entah kenapa tiba-tiba jantungku seperti berhenti berdetak. Aku tahu dia hanya bercanda, tapi aku tidak menyukainya.     

"Sorry, aku bercanda." ujarnya tiba-tiba. Mungkin dia menyadari ketidaksukaanku.     

"Bahas yang lain. Aku ga mau bahas itu."     

Astro terdiam sebelum bicara, "Gimana galerinya?"     

"Bagus, aku suka. Kalau aku ga harus ikut kamu, aku mau sering ke sana."     

Astro menatapku dalam diam. Kurasa dia tahu apa maksudku, "Aku minta maaf, Honey."     

"Aku ga suka kamu bercanda begitu."     

"Aku minta maaf. Lagian mana mungkin aku mundurin, yang bener aja?"     

"You're a man with your word (Kamu laki-laki yang selalu peganga janji), Astro. Aku selalu percaya itu."     

"Kamu bikin aku ngerasa ga enak."     

"Bagus. Aku ga lagi bercanda sama kamu."     

"Rrgh, kalau deket aku udah peluk kamu."     

Aku akan mengabaikannya.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.