Souvenir
Souvenir
Astro dan keluarganya memang membebaskanku memilih souvenir mana yang aku sukai. Aku langsung memberikan desain souvenir itu pada Putri untuk segera dikerjakan. Aku memang tak tahu kapan waktunya menikah dengan Astro, tapi jika dia benar-benar menepati janji, seharusnya souvenir itu akan selesai dibuat tepat waktu.
Oma sempat meneleponku dari acara pernikahan Kak Liana untuk mengabariku bahwa Opa dan Oma mungkin akan pulang malam karena ingin bertemu teman lama. Hal itu membuatku menunda keinginanku untuk pulang. Aku baru pulang setelah hari sedikit lebih gelap.
Lebih menyenangkan untukku menyetir saat malam hari karena tak perlu khawatir pada tatapan siapapun yang tak sengaja melihatku. Tatapan ingin tahu dari orang lain terkadang membuat suasana hatiku buruk walau aku memang bisa mengabaikannya.
Aku memasuki rumah yang telah terang dengan cahaya lampu. Mungkin Pak Said yang menyalakannya karena tahu kami akan pulang malam. Langkah demi langkah di tengah rumah yang kosong membuatku merasa sepi. Sepertinya akan menyenangkan jika aku memiliki anak nanti.
Membayangkan ada anak-anak berlarian membuatku mengingat momen saat aku, Fara dan Danar bermain di rumah kami di Bogor. Suasana rumah itu riuh sekali setiap hari. Entah bagaimana keadaan rumah itu sekarang.
Aku baru saja mengeluarkan handphone dari saku saat menyadari seseorang duduk menyandarkan punggung di kusen pintu kamarku. Dia berkutat dengan laptop di pangkuannya, earphone di telinganya dan koper di sisinya.
Aku mengambil langkah panjang dan cepat dengan jantung berdetak kencang. Aku duduk bersila saat sampai di sisinya dan menatapnya tak percaya. Namun dia memberiku senyum menggodanya yang biasa.
"Hai, Honey."
"Kamu di sini dari jam berapa?"
"Satu jam yang lalu. Nunggu kamu lama jadi aku lanjut ngerjain deadline."
"Kenapa ga bilang kalau mau pulang? Aku kan ga tau kamu di sini udah satu jam."
"Kan kemarin aku udah bilang hari ini pulang dan nunggu kamu di depan pintu kamar."
Astro benar. Aku bahkan sudah menunggunya sejak pagi, tapi dia tak kunjung datang.
"Kamu kan bisa chat aku kalau udah sampai. Aku bisa pulang dari tadi." ujarku untuk memprotesnya.
"Kalau aku chat bukan kejutan dong?"
Aku memberinya tatapan sebal, "Tapi waktu kamu jadi sia-sia satu jam duduk di sini sendirian."
"Ga sia-sia kok. Aku kan ngerjain deadline. Aku ga nganggur."
Aku akan mengabaikannya. Aku bangkit dan berjalan menuju dapur tanpa mengatakan apapun.
"Tunggu." ujarnya sambil mengikuti langkah kakiku.
Aku mengeluarkan beberapa bahan untuk membuat coklat panas dari kitchen set, lalu berkutat dengannya di dekat kompor. Aku segera kembali dengan dua cangkir coklat panas yang masih mengepul dan duduk di sebelah Astro yang sedang fokus mengerjakan deadline di meja makan.
"Ngapain kamu pulang kalau nyuekin aku?" aku bertanya sambil menopang pelipis dengan sebelah tangan di atas meja.
Astro menoleh, "Empat menit ya."
Aku memberinya tatapan sebal, lalu bangkit untuk mengambil setoples sus kering isi coklat. Menatapnya saat dia begitu fokus membuatku tak tega mengganggunya.
Astro benar-benar menyelesaikan deadline tepat empat menit setelahnya. Dia mematikan laptop dan menoleh ke arahku sambil mengamit sus dari toples, "Aku cuma di sini sampai jam delapan. Aku harus pulang ke Surabaya."
"Kenapa ga nginep aja? Kan kamu bisa pulang besok."
"Ga mau. Kamu kan ga bisa nemenin aku. Ngapain aku nginep?"
Kurasa aku tahu apa maksudnya. Namun aku akan mengabaikannya, "Gimana proyeknya?"
"Bagus banget, makanya aku bisa pulang." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.
"Berarti minggu depan kamu bisa pulang lagi?"
"Kamu maunya aku pulang atau ga?"
"Ga usah pulang kalau cuma mau numpang ngerjain deadline."
"Kamu cemburu sama deadline-ku?"
Aku tak memiliki kalimat apapun untuk menanggapinya meskipun kalimatnya memang benar.
"Aku mau peluk, tapi ga boleh kan?"
Aku menggeleng walau sebetulnya aku juga menginginkannya. Aku tak ingin membatalkan permintaanku.
"Kalau kita udah nikah, aku cubit kamu kalau nolak aku." ujarnya sambil menatapku sebal.
Mana mungkin aku menolaknya? Aku bahkan bisa membayangkan dia mungkin saja akan memaksaku menggunakan kalimat-kalimat persuasifnya untuk membuatku menuruti keinginannya.
Aku mengamit cangkir dan meneguk coklat panas yang mulai menghangat. Kemudian melirik jam di lengan, pukul 19.02. Andai saja dia memberitahuku dia sudah sampai di sini sejak tadi, mungkin kami bisa bertemu sedikit lebih lama.
"Kamu ga pulang ke rumah kamu?" aku bertanya saat tiba-tiba menemukan pemahaman ini.
Astro menggeleng karena sedang meneguk coklat panas, "Bisa bikinin aku satu termos kecil buat aku bawa pulang?"
"Kamu kan bisa bikin sendiri."
"Aku maunya bikinan kamu. Aku kan ga mungkin minta kamu bikin brownies sekarang." ujarnya dengan tatapan memelas. Sepertinya aku membuatnya kecewa. Aku tak ingin pertemuan kami yang singkat justru memberi kami perasaan tak menyenangkan.
"Mau bikin bareng?" aku bertanya sambil bangkit.
Aku baru saja akan mengambil panci kecil yang tergantung di dinding saat merasakan keberadaan Astro di belakangku, napasnya yang hangat membelai puncak kepalaku. Aku menoleh untuk menegurnya menjauh, tapi dia justru mengecup dahiku dalam sedetik waktu yang terlewat dan berpura-pura seolah kecupannya tak pernah ada.
"Astro!" aku membalik tubuh untuk mendorongnya menjauh, tapi justru tubuhku yang terdorong lebih dekat ke arah kompor.
"Hati-hati dong." ujarnya sambil menahan punggungku dan menarikku mendekat padanya.
"Bisa banget ngambil kesempatan." ujarku sambil mencubit pinggangnya.
Astro tertawa sambil mendekapku erat di pelukannya, "Aku kangen banget. Aku rela minum jamu asal bisa peluk kamu sebentar."
Tubuhnya yang hangat dengan aromanya yang selalu kurindukan membuatku ingin berlama-lama dipeluk olehnya. Sepertinya wajahku memerah sekarang. Aku bahkan menundukkan wajah karena tak mampu menatapnya.
"Tapi kamu juga harus minum jamu, Honey. Kan bukan cuma aku yang meluk kamu."
Aku bisa membayangkan ada senyum menyebalkan di bibirnya. Aku hanya tak ingin mendongak untuk melihatnya. Akan terasa memalukan sekali untukku.
"Kangen banget kan sama aku?" ujarnya dengan tawa di ujung kalimat karena aku tak mengatakan apapun.
Aku mendorong tubuhnya menjauh, "Kamu harus minum dua gelas jamu, kamu tau?"
"Kenapa dua?"
"Satu karena meluk. Satu lagi karena cium dahiku. Besok video call. Aku mau liat pas kamu minum jamu."
"Kalau gitu kamu juga harus minum dua. Satu karena nyubit pinggangku, satu karena ga nolak aku peluk." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.
Aah, dia benar-benar menyebalkan.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-