Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Lukisan



Lukisan

2Astro : Pesawatnya delay. Ga tau sampai jam berapa     

Aku : Istirahat aja dulu. Kamu udah makan?     

Astro : Belum. Aku cari makan dulu ya     

Aku : Okay     

Aku masih menatap pesan dari Astro tiga jam yang lalu. Dia melewatkan jam makannya lagi.     

Aku beranjak keluar kamar sambil membawa handphone dan laptop. Aku membatalkan niat untuk ke teras belakang karena mendengar Opa berbincang dengan seseorang.     

Betapa terkejutnya aku saat melihat ada banyak lukisan berderet di ruang tamu, dengan Zen yang sedang beranjak kembali ke mobilnya dan mengambil lukisan lain. Aku menghampiri Opa dan menaruh laptop di meja.     

"Zen bilang lukisannya untuk Mafaza sebagai hadiah pernikahan." ujar Opa.     

Aku tak tahu bagaimana harus menanggapinya. Aku memang pernah meminta Zen untuk memberikan lukisanku yang dia buat sebagai hadiah pernikahan, tapi aku tak benar-benar berpikir lukisannya akan sebanyak ini.     

"Ini yang terakhir." ujar Zen saat sampai di ruang tamu sambil membawa lima kanvas lainnya.     

Aku menatapnya tak percaya, "Kamu beneran kasih ke aku semuanya?"     

"Kan kamu yang minta." ujarnya setelah menaruh lukisan yang dibawa di sebelah lukisan-lukisannya yang lain.     

"Iya, tapi ..."     

"I don't mind. Aku emang pengen ngasih ke kamu kok dari dulu. Aku cuma ga tau gimana harus ngasihnya. Aku bakal keliatan kayak ngarep banget kan kalau ketauan ngelukis kamu sebanyak ini?"     

Aku tak tahu bagaimana harus menanggapinya. Aku mengalihkan tatapan pada Opa yang sedang menatap kami dengan tatapan damai khas orang tua. Opa tak mengatakan apapun. Seolah hal seperti ini memang tak perlu dikomentari.     

"Zen ada waktu untuk main catur sekarang?" Opa bertanya.     

Zen menatapku dalam diam. Aku mengangguk karena sepertinya dia menungguku memberinya izin. Aku pernah mengatakan padanya aku tidak merasa keberatan jika dia ingin bermain catur dengan Opa.     

"Bisa, Opa." ujar Zen.     

Opa mengangguk, "Mafaza bisa ambilkan caturnya?"     

"Bisa, Opa. Duduk dulu, Zen." ujarku sambil beranjak ke ruang baca untuk mengambil catur shogi yang tersimpan rapi di salah satu meja sudut.     

Aku kembali ke ruang tamu saat Opa dan Zen sedang berbincang tentang entah apa. Namun Zen terlihat terkejut saat melihatku datang.     

"Kenapa kamu ngeliatin aku begitu?" aku bertanya padanya sambil meletakkan catur di meja kecil yang sudah diatur dengan kursi saling berhadapan.     

"Nanti aku atur waktu kapan pulang dari Jepang buat dateng ke nikahan kamu." ujar Zen.     

Rupanya Opa sudah memberitahunya tentang tanggal pernikahanku, "Thank you, Zen. Salam buat Tante."     

Zen mengangguk, "Kamu juga dapet salam dari mama tadi."     

Aku dan Zen hanya saling menatap selama beberapa lama. Suara dehaman Opa membuyarkan tatapan kami dan membuat kami merasa canggung.     

"Aku ambil minum dulu." ujarku sambil beranjak ke dapur.     

Entah apa yang baru saja kulakukan. Menatap Zen yang sedang menatapku kembali terasa seperti dia sedang melepasku pergi tanpa mengatakan apapun. Terasa aneh untukku.     

Aku mendapati Bu Asih sedang memasak di dapur dan Oma sedang merajut di teras belakang. Aku melanjutkan langkah ke teras belakang untuk menemui Oma, "Oma mau teh?"     

Oma menoleh dan tersenyum, "Boleh. Ada siapa di depan?"     

"Ada Zen nganter lukisan. Sekarang mau main catur sama Opa."     

Oma terdiam sesaat sebelum membereskan perlengkapan merajutnya dan bangkit, "Oma ke ruang tamu ya."     

Aku mengangguk dan berjalan menuju kompor. Aku mengambil panci kecil dan mengisinya dengan air untuk direbus.     

"Mau bikin apa, Mbak Faza?" Bu Asih bertanya.     

"Mau bikin teh. Faza aja ga pa-pa, Bu."     

Bu Asih mengangguk dan tak mengatakan apapun. Aku berkutat selama beberapa saat di sebelahnya untuk membuat satu teko teh. Aku menaruh teko teh dan empat gelas di sisinya ke atas nampan, juga sepiring brownies buatanku. Kemudian membawa semuanya ke ruang tamu.     

Melihat Opa, Oma dan Zen sedang bercakap di ruang tamu terasa menyengat hatiku. Entah kenapa aku berpikir mungkin benar Zen memang sudah mereka anggap sebagai cucu mereka sendiri. Sepertinya keputusanku untuk meminta Zen bermain catur dengan Opa adalah keputusan yang tepat. Bahkan kurasa Opa dan Oma tak akan merasa kesepian saat aku tak ada di rumah jika pindah ke Surabaya nanti.     

Aku menata piring berisi brownies, teko dan gelas di meja, lalu menuang teh ke masing-masing gelas sebelum duduk di sebelah Oma.     

"Diminum, Zen." ujar Oma.     

"Makasih, Oma." ujar Zen.     

Aku mengambil laptop dari meja, menyalakannya dan mengaktifkan wifi. Aku akan bekerja di sini sambil menemani mereka dalam diam. Aku bisa mendengar Opa dan Oma membahas tentang kampus, Kak Liana, bahkan rencana Zen beberapa tahun ke depan setelah lulus kuliah.     

"Zen mau belajar banyak dari galeri om Hanum. Mungkin nanti Zen bisa bikin galeri sendiri." ujar Zen.     

"Nanti Zen bisa tuker pikiran sama Faza. Faza jadi pengurus di galeri Hanum yang di Surabaya kalau udah pindah nanti." ujar Oma.     

Zen menoleh untuk menatapku, "Beruntung banget ya kamu."     

Aku menaikkan bahu, "Ide ayahnya Astro biar aku ga bosen di sana, tapi nanti kita bisa tukeran info kalau kamu mau."     

Zen mengangguk dan mengalihkan tatapan kembali ke papan catur di hadapannya.     

"Zen ada rencana menetap di Jepang?" Opa bertanya.     

"Belum tau, Opa."     

Aku akan mengabaikan pembahasan mereka sekarang. Aku sedang berkoordinasi dengan Pak Bruce mengenai cabang toko kain baru di Jogja. Aku ingin ke sana minggu depan sebelum sibuk dengan ujian akhir semester dan persiapan pernikahanku.     

Terdengar suara pintu diketuk beberapa kali. Aku mengalihkan tatapan dari laptop dan menemukan Astro sedang berdiri, dengan tatapan dilema dan khawatir di saat yang sama. Aku mematikan laptop dan meletakkannya di atas meja sebelum menghampirinya. Sepertinya aku tahu apa yang sedang dia pikirkan.     

Aku mengamit tangan Astro dan menciumnya, "Capek ya?"     

Astro tersenyum lebar sekali, lalu meraih kepalaku dan mengecup puncaknya selama beberapa saat. Hangat napasnya membuat jantungku berdetak kencang. Bahkan sepertinya wajahku memerah.     

"Udah ga capek kok." bisiknya.     

Aku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku. Entah bagaimana aku harus menatap Opa, Oma dan Zen yang pasti melihat tingkah kami.     

Astro melepas kecupan dan tangan yang masih kugenggam. Dia meraih pinggangku dan mengajakku berjalan menghampiri Opa, dengan koper di tangannya yang lain. Dia baru melepasku saat sampai di sebelah Opa untuk menyalami dan mencium tangan Opa.     

"Bagaimana?" Opa bertanya.     

"Bisa X-Ray dua minggu lagi kayaknya, Opa." ujar Astro.     

Opa mengangguk, "Jangan sampai telat makan. Nanti ada yang khawatir."     

Astro menoleh padaku saat aku sedang mengambil laptop di meja. Dia memberiku senyum menggodanya yang biasa sebelum menoleh pada Zen, "Hai, Zen. Mau main sama aku abis main sama Opa?"     

"Boleh aja." ujar Zen.     

Astro beranjak untuk menyalami dan mencium tangan Oma, "Oma tambah cantik."     

Oma tersipu malu, "Bisa banget ngerayu nenek-nenek."     

Aku memberi Astro tatapan sebal sambil beranjak menjauh, "Kamu ngobrol di sini sama Oma kalau kangen. Aku mau ke kamar."     

Astro terkejut saat melihatku menjauh darinya. Dia mengalihkan tatapan pada Opa dan Oma, seolah meminta izin untuk mengikutiku ke dalam.     

"Boleh." ujar Oma.     

"Makasih, Oma, Opa." ujar Astro yang segera mengikutiku sambil menarik koper. Dia mencoba meraih tanganku saat sampai di ruang tengah, tapi aku menolaknya. "Kenapa nolak? Tadi aja kamu cium tanganku."     

"Itu biar kamu ga mikir aneh-aneh sama Zen. Kesepakatan kita tetep berlaku, Tuan Astro." ujarku dengan nada pelan sambil tersenyum manis.     

Astro menatapku tak percaya, "Seriously? Kamu baru aja aku cium barusan."     

"Aku serius." ujarku sambil membuka pintu kamar.     

"Aku baru pulang, trus kamu mau ngurung diri di kamar?"     

"Janji ga sentuh aku dulu."     

"Rrgh, kamu curang banget!"     

Aku hanya menatapnya dalam diam. Sepertinya dia mengerti maksudku.     

"Fine." ujarnya pada akhirnya.     

"Tunggu di teras belakang. Aku mau naruh laptop. I love you, Honey." ujarku dengan senyum manis.     

"Rrgh!!"     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.