Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Foto



Foto

0Aku sedang menatap foto-foto yang kuambil di ruang fitting room bersama Astro saat sedang memakai kebaya pesanan kami. Astro terlihat tampan sekali walau gaya berfotonya sangat menyebalkan. Aku masih mengingat tatapannya padaku sebelum foto itu kami ambil.     

Aah, jantungku berdetak kencang sekarang.     

"Ga turun, Non?" Pak Deri membuyarkan lamunanku karena kami sudah sampai di parkiran kampus. Atas saran Astro, Pak Deri masih menjadi sopirku selama seminggu ke depan.     

Aku hanya mengangguk dan menyampirkan ransel di bahu. Pak Deri berjalan di sisiku seperti biasanya, yang berbeda adalah tak ada lagi orang yang berniat mengajakku bicara tentang isu skandal Astro.     

Entah bagaimana tiba-tiba saja Zen berjalan di sisiku yang lain. Membuatku terkejut saat melihatnya.     

"Kamu dateng dari mana? Kayaknya aku ga liat kamu di parkiran." aku bertanya.     

"Kamu bengong aja mana mungkin liat."     

Begitukah? Tapi aku yakin aku tak melihatnya di parkiran beberapa saat yang lalu.     

"Mama mau ketemu kalau kamu ada waktu." ujarnya tiba-tiba.     

Aku menoleh padanya dan menunggunya melanjutkan kelimatnya. Namun Zen hanya berjalan dalam diam. Dia bahkan tidak menatapku.     

"Ada yang mau diomongin sama aku?" aku bertanya.     

"Mungkin. Aku ga tau."     

"Siang ini bisa kayaknya."     

"Kalau siang ini mama lagi ada di kafe. Kamu yakin mau ke sana?"     

"Ga masalah kayaknya. Udah ga ada yang nanya-nanya aku lagi kok."     

"Beneran?"     

Aku hanya mengangguk, tapi pikiranku mulai dipenuhi pertanyaan kenapa mamanya memintaku bertemu. Apakah untuk memberi nasehat pernikahan? Atau justru memintaku menunda rencana pernikahan?     

Tatapan mata Zen terpaku pada sekumpulan perempuan yang duduk di bawah pohon, membuatku memperhatikan mereka juga. Salah satu yang kukenali adalah Gisel. Entah mereka sedang membicarakan apa, tapi mereka tertawa sambil melihat ke layar handphone yang dipegang oleh Gisel.     

"Kamu suka sama Gisel?" pertanyaan itu keluar begitu saja dariku.     

Zen menatapku tak percaya, "Kamu ga salah nanya?"     

"Siapa tau?"     

"Ga dia juga kali, Za. Jauh banget sama kamu. Yang bener aja?"     

Sepertinya Zen baru saja menyesali ucapannya karena tatapannya padaku berubah. Dia bahkan mengalihkan tatapan dariku sesaat setelahnya, seolah kalimatnya tadi tak pernah ada.     

"Lukisan dari kamu disimpen Astro. Aku ga tau disimpen di mana."     

Aah, kenapa aku justru mengatakannya?     

"Ga masalah mau kamu apain. Kamu yang minta lukisan itu kan? Aku ngerti kalau Astro cemburu."     

"Banget."     

Zen mendengkus, "Aneh kalau dia ga cemburu."     

Aku menoleh padanya, "Kalian tuh kenapa sih? Dari dulu aku perhatiin kayak musuh."     

"Coba tanya aja sama calon suami kamu. Mungkin dia mau bahas." ujar Zen dengan senyum lebar.     

"Aku kan nanya sama kamu. Kamu ga mau jawab?"     

Zen hanya menggeleng. Dia benar-benar membuatku penasaran.     

"Faza." Nina memanggilku sambil melanbaikan tangan dari depan gedung fakultas, membuat kami menghampirinya.     

"Kenapa?" aku bertanya.     

Nina memperlihatkan layar handphone miliknya padaku. Ada akun milik Gisel, dengan sebuah foto dirinya sedang memegang sebuah papan styrofoam terisi berbagai ucapan untuk Astro. Salah satunya adalah tulisan "I love you".     

Pak Deri berdiri mendekat padaku untuk melihat ada apa di layar, lalu mengernyitkan alis. Namun aku cukup yakin Pak Deri akan melaporkan temuannya pada Astro atau keluarganya.     

"Biarin aja." ujarku pada Nina sambil mengembalikan handphone dengan jantung berdetak kencang. Sepertinya aku sedang cemburu.     

Nina menatapku khawatir, "Tapi ini viral, Za."     

"Ga masalah. Masuk yuk."     

Nina menatap Zen seolah sedang meminta pertolongan. Namun Zen justru menatapku dengan tatapan khawatir.     

"Kenapa lagi?" aku bertanya.     

"Kamu ga cemburu?" Zen bertanya.     

"Emangnya aku harus bilang kalau aku cemburu?" aku bertanya.     

"Kalau aku jadi kamu udah aku labrak, Za." ujar Nina.     

Aku menatapnya tak percaya, "Ngapain aku labrak dia? Buang-buang energi."     

Berurusan dengan media membuatku mengerti bahwa ada hal yang harus serius ditanggapi dan ada hal yang memang seharusnya tak perlu dibahas. Hal ini jelas merupakan hal yang tak perlu dibahas karena Gisel hanyalah seorang penggemar. Walau harus kuakui, aku memang cemburu. Astro pasti sangat senang jika mengetahui hal ini.     

Nina dan Zen masih saling bertatapan. Jelas sekali mereka mengkhawatirkanku.     

"I'm okay. Dia cuma fans. Masuk aja yuk." ujarku sambil tersenyum dan mengamit lengan Nina.     

"Saya tunggu di sini ya, Non. Kalau ada apa-apa bisa telpon saya." ujar Pak Deri.     

Aku hanya mengangguk dan menarik Nina memasuki gedung. Aku tahu ada berbagai pasang mata yang menatapku tanpa mengajakku bicara. Kurasa aku tahu kenapa.     

Aku tersenyum pada mereka. Mereka membalasnya dengan senyum canggung yang dipaksakan. Aku tahu situasi ini terlihat aneh sekali, tapi akan lebih baik jika aku mengabaikan perasaan aneh ini.     

Bian menghampiri kami dan menatapku, "Kamu udah tau?"     

"Fotonya Gisel?" aku bertanya.     

Bian mengangguk, "Aku bisa bantu labrak dia. Nanti siang?"     

"Ga perlu. Biarin aja. Lagian nanti siang aku mau ke kafe Zen. Kalian mau ikut?"     

Bian menatap Nina dan Zen bergantian, "Tumben kamu ngajakin duluan?"     

"Faza mau ketemu mamaku. Kalau kalian mau ikut juga, ga pa-pa. Ajak Daniel sekalian." ujar Zen.     

"Aku belum liat Daniel sih, tapi coba aku telpon dulu." ujar Bian sambil mengambil handphone dari saku dan menelepon Daniel. "Ga diangkat. Mungkin masih di jalan."     

"Kalian mau ke kafe Zen?" tiba-tiba Wanda bertanya. Entah dia datang dari mana.     

"Mau ikut?" aku bertanya.     

"Boleh, tapi aku lagi ga bawa motor. Bisa nebeng ga?"     

Aku menatap Zen, "Ikut mobil Zen, bisa kan?"     

Zen menatapku penuh tanda tanya. Aku tahu dia akan sulit menolak permintaanku.     

"Bisa, Zen?" Wanda bertanya dengan mata berbinar. Sepertinya dia menyukai Zen.     

"Nanti ajakin yang lain juga. Biar sekalian." ujar Zen.     

"Nanti aku coba ajakin Caca deh." ujar Wanda walau sepertinya sedikit kecewa.     

Zen mengangguk pada Wanda, tapi segera memberiku tatapan tajam. Aku hanya tersenyum untuk menanggapinya. Akan lebih baik jika Zen berusaha membuka hati pada perempuan lain, bukan?     

Kami berjalan beriringan menuju kelas. Sepertinya aku akan merindukan mereka saat pindah ke Surabaya. Walau aku merasa mereka tak terlalu dekat denganku seperti aku dekat dengan Donna, Tasya, Siska, Fani, dan Reno. Namun mereka adalah teman-temanku juga.     

Memikirkan teman-teman SMA, mungkin akan menyenangkan jika kami berkumpul lagi sebelum aku menikah dengan Astro. Aku akan membicarakan ini dengan Zen nanti.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.