Kanzashi
Kanzashi
Ada dua orang pengunjung memandangku dengan tatapan tak yakin. Sepertinya mereka penasaran padaku, tapi tak berani menyapa.
"Faza." ujar mama Zen yang datang dari sebuah ruangan dan langsung memelukku.
"Tante sehat?" aku bertanya.
"Tante sehat kok." ujar mama Zen sambil menatap teman-temanku dan tersenyum ramah. "Boleh Tante pinjem Faza sebentar ya?"
Mereka saling bertatapan, tapi mengizinkanku mengikutinya. Mama Zen mengajakku masuk ke ruangan yang sesaat lalu dia tinggalkan, dan memberiku isyarat untuk duduk di sofa.
"Tante boleh minta tolong sama Faza?"
"Apa, Tante?"
"Jangan panggil Tante ya? Panggil Mama aja."
Ini terasa canggung untukku. Saat orang tua Astro memintaku memanggil mereka Ibu dan Ayah, kami sudah dekat sekali karena sering berpergian ke berbagai destinasi saat Astro libur sekolah. Sedangkan aku hanya menemui mama Zen saat mengantar dan menjemput Zen bulan lalu. Aku tak merasa sedekat itu dengannya hingga bisa memanggilnya dengan sebutan "Mama".
"Zen bilang sama Mama kalau opa sama oma Faza baik banget udah nganggep Zen cucu sendiri. Mama jadi pengen nganggep Faza anak Mama juga." ujar mama Zen.
Begitukah?
"Bisa ya panggil Mama?"
Sepertinya aku tak memiliki alasan untuk tidak menyetujuinya, maka aku mengangguk. Lagi pula, akan terasa tak sopan jika aku menolaknya, bukan?
"Zen baik kok ke Opa sama Oma. Zen sering nemenin Opa main catur. Jadi bikin Opa seneng." ujarku.
Mama Zen sepertinya mengerti aku masih canggung memanggilnya dengan sebutan "Mama". Mama Zen bahkan memberiku senyum pengertian khas seorang ibu, membuatku tiba-tiba merindukan Bundaku.
"Mama denger dari Zen kalau Faza mau nikah sama Astro."
Aku hanya mengangguk. Aku akan menunggunya melanjutkan perkataannya lebih dulu.
"Mama punya sesuatu buat Faza. Tunggu di sini ya." ujar mama Zen sambil beranjak dan mengambil sesuatu dari lemari. Kemudian kembali duduk dengan sebuah kotak yang dibungkus rapi dengan selembar kain bermotif cantik menggunakan teknik furoshiki*.
"Ini ...?"
"Tadinya mau buat Liana, tapi Liana ga mau. Jadi buat Faza aja." ujar mama Zen sambil meletakkan kotak itu ke pangkuanku.
"Ini apa, mm ... Ma?"
"Isinya kanzashi**. Bisa dipakai pas Faza nikah nanti, tapi kalau Faza ga mau pakai ga pa-pa. Mama seneng kalau Faza simpen ini baik-baik."
Aku menatap Mama Zen ragu-ragu, tapi aku tak yakin bagaimana harus menjelaskannya.
"Mama sama Zen udah ngatur jadwal biar bisa dateng ke nikahan Faza. Faza mau dibawain apa buat hadiah?"
"Ga usah repot-repot, mm ... Ma. Kemarin Faza udah dapet banyak lukisan kok dari Zen."
"Itu kan dari Zen, bukan dari Mama."
Ucapan Zen saat itu benar. Mamanya pasti memaksa untuk memberiku buah tangan dari Jepang.
"Mm ... apa aja boleh kok, Ma. Faza kan ga tau barang-barang dari sana." ujarku pada akhirnya.
Aku sedang berbohong. Aku memang tak pernah pergi ke Jepang, tapi aku tahu beberapa benda khas dari sana. Saat aku kecil dulu, Nenek Agnes pernah mengirim satu set boneka Hina Ningnyo dan satu set Musha. Boneka itu sepertinya masih tersimpan rapi di runah peninggalan Ayah di Bogor.
Mama Zen tersenyum, "Ya udah nanti Mama minta Zen yang pilihin."
Aku akan menyetujuinya saja, maka aku mengangguk.
Mama Zen mengamit kedua tanganku dan menggenggamnya, tapi tak mengatakan apapun. Ada kegetiran di tatapan matanya yang sempat kutangkap sebelum tubuhku dipeluk tiba-tiba.
Kenapa ini terasa seperti aku sedang dilepas pergi?
Aku mengulurkan tangan ke punggung Mama Zen dan mengusapnya, "Makasih ya, Ma. Kanzashinya nanti Faza simpen baik-baik."
Mama Zen mengangguk di bahuku sebelum melepas pelukannya. Ada kelegaan di tatapannya sekarang, "Mama cuma mau ngasih itu aja kok. Mama anter Faza ke depan yuk."
Aku mengangguk sambil memeluk kotak berisi kanzashi di tanganku.
Mama Zen mengamit tanganku dan mengantarku kembali ke sofa yang tadi kutinggalkan, "Fazanya Tante balikin."
"Faza dapet apa tuh?" Bian bertanya.
"Kita ga dapet, Tante?" Daniel bertanya.
Mama Zen menaruh satu jari di depan bibirnya, "Sstt, ini spesial buat Faza. Buat kalian nanti Tante traktir dorayaki."
"Asik. Sering-sering dong, Tante." ujar Daniel.
"Hari ini aja. Besok bayar." ujar Mama Zen.
Bian baru saja akan protes saat tangan Nina menutup mulutnya.
"Makasih, Tante." ujar Nina.
"Iya sama-sama. Tante tinggal ya." ujar Mama Zen.
"Makasih, Ma." ujarku.
Mama Zen mengangguk pada kami dan berlalu. Sudah ada berbagai pesanan berjejer di meja. Aku meneguk green tea float pesananku karena haus sekali, tapi aroma green tea-nya membuatku merindukan Astro.
"Faza kayaknya deket ya sama mamanya Zen?" Wanda bertanya.
"Rumah kita deket. Dulu aku satu SMA juga sama Zen." ujarku.
"Tapi ... Zen bukan mantan kamu kan?" Wanda bertanya.
Aku hanya menggeleng. Akan lebih baik jika aku tidak menanggapinya lebih dari ini. Lagi pula, Zen sedang tidak ada di antara kami. Daniel, Nina dan Bian menatapku dalam diam. Kurasa aku tahu apa yang sedang mereka pikirkan.
"Kenapa? Kok diem-dieman?" tiba-tiba Zen datang dari arah belakangku.
"Kamu dari mana?" aku bertanya.
"Dari belakang koordinasi sama anak-anak sebentar." ujarnya sambil duduk di sebelahku. Tatapan matanya terpaku pada kotak di pangkuanku, lalu menatapku dengan tatapan terkejut.
Reaksi Zen membuatku berpikir mungkin saja kanzashi yang diberikan mamanya adalah benda penting. Namun aku tak mungkin membahasnya sekarang.
"Kamu udah ngasih tau soal foto Gisel tadi ke Astro, Za?" Nina bertanya.
Aku menggeleng, "Mungkin Astro udah tau."
Jika memang foto itu benar-benar viral seperti ucapan Nina, mungkin Paolo sudah melaporkannya pada Astro dan Astro mungkin hanya akan mengabaikannya seperti biasa.
"Kamu segitu percayanya sama Astro ya, Za? Cewek sekarang kalau mau nikung caranya ekstrim loh." ujar Wanda.
"Astro yang bilang aku ga perlu khawatir sama perempuan lain." ujarku.
"Tapi dia bisa aja bohong kan?"
"Isu skandalnya kemarin udah ngebuktiin kalau Astro emang bisa jaga janji. Bohong kalau aku bilang aku ga cemburu, tapi buat apa buang waktu mikirin perempuan yang bukan siapa-siapa?"
"Bener. Lagian Astro pernah bilang kalau Faza itu calon istrinya. Aku pikir Astro ga mungkin macem-macem sama cewek lain." ujar Nina.
"Oh ya? Kalian mau nikah kapan?" Wanda bertanya.
"Kapan ya?" ujarku sambil meraba cincin di balik pakaianku.
_____
*furoshiki: seni melipat kain dari Jepang.
**kanzashi: aksesoris rambut tradisional Jepang yang sudah digunakan sejak jaman dahulu. Orang Jepang menganggap bahwa kanzashi ini bisa melindungi dari roh jahat. Kanzashi ini ada banyak jenis & bentuknya.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-