Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Hujan



Hujan

2"Udah?" Astro bertanya melalui sambungan telepon. Dia memintaku untuk menitipkan kanzashi pada Ibu. Ibu baru saja pulang bersama Pak Deri sesaat lalu.     

Aku hanya menggumam mengiyakan.     

"Kamu harus belajar nolak, Honey."     

Aku menghela napas, "I'm sorry."     

"You don't have to say sorry (Kamu ga perlu minta maaf). Ini jadi pelajaran buat kita."     

Aku tak tahu bagaimana harus menanggapinya. Kurasa aku akan duduk di teras depan sebentar.     

Aku sudah mengajak Opa bicara tentang kanzashi pemberian Mama Zen saat pulang dari galeri. Opa setuju kanzashi itu dititipkan pada Ibu. Ibu pasti tahu bagaimana menyimpannya dengan baik.     

Opa tak tahu apakah kanzashi itu mengandung guna-guna, karena tak pernah ada sejarah kanzashi yang mengandung unsur mistis sejak dulu. Opa bahkan meminta Kyle untuk melakukan sedikit riset. Kyle berkata mungkin kanzashi itu memang hanya benda turun temurun yang diturunkan sebagai warisan pada anak perempuan yang akan menikah, tapi mengambil langkah antisipasi sepertinya menjadi pilihan paling baik untuk sementara.     

Opa memintaku untuk tak berpikir buruk tentang Zen karena mungkin saja Mama Zen hanya menganggapku sebagai anaknya, sama seperti Opa menganggap Zen seperti cucunya. Sebetulnya jika aku boleh berpendapat, itu adalah hubungan yang sulit kumengerti. Namun aku akan menyimpannya untuk diriku sendiri. Aku tak ingin Opa merasa kehilangan cucunya yang lain (Zen) hanya karena aku tak menganggapnya sama.     

"Astro."     

Astro hanya menggumam untuk menanggapiku.     

"Lukisan dari Zen kamu simpen di mana?"     

"Rahasia, Honey. Kamu ga perlu tau."     

"Kamu cemburu ya?"     

"Kamu masih nanya? Aku cemburu banget!"     

Aku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku. Ternyata terasa menyenangkan saat aku tahu dia cemburu padaku. Tak mengherankan di selalu menuntutku untuk cemburu padanya.     

"Kenapa kita ga video call?" aku bertanya.     

"Aku ga bisa pulang weekend ini. Aku ga mau tambah kangen sama kamu."     

"Bukannya baru beberapa hari lalu kamu bilang udah bisa ngendaliin diri?"     

Astro terdiam sebelum bicara, "Sementara telpon dulu ya. Bisa kan, Honey?"     

Aku akan menyanggupinya saja, "Okay. How was your day (Gimana kamu hari ini)?"     

"Akan lebih baik kalau ada kamu."     

"Kalau ada aku mau ngapain?"     

Astro terdiam. Andai saja aku bisa menatap wajahnya, aku pasti bisa menebak apa yang dia pikirkan.     

"Kamu inget tebakan kamu soal belalang sembah dulu?" aku bertanya.     

"Yang di teras belakang waktu hujan?"     

Aku menggumam mengiyakan, "Tiba-tiba aja aku inget."     

"Kamu udah tau jawabannya?"     

"Aku mau nanya jawabannya ke kamu."     

"Coba kamu tebak dulu. Kalau ga bisa nebak ga aku kasih tau."     

"Ya udah ga usah kasih tau. Aku nebak atau ga nebak, ga ada bedanya. Kalau aku ga bisa nebak kan kamu ga mau kasih tau." ujarku sambil menatap ujung pandanganku dengan tatapan sebal. Andai dia berada di sini, dialah yang sedang kuberi tatapan sebal sekarang.     

"Dasar tukang ngambek." ujarnya. Entah kenapa aku bisa membayangkan dia sedang tersenyum menggoda.     

"Serius, Astro. Aku mau tau jawabannya."     

"Mau kasih aku apa kalau aku kasih tau jawabannya?"     

"Kamu maunya apa?"     

Astro terdiam sebelum bicara, "Gimana kalau kamu ke Surabaya weekend ini?"     

"Seriously? Kamu kan tau aku mau ke Jogja."     

"Ya udah kalau ga mau."     

Aah, laki-laki ini benar-benar ....     

"Udah malem, Honey. Kamu harus istirahat. Sebentar lagi ujian. Kamu ga boleh sakit."     

Aku melirik jam di sudut layar handphone, pukul 21.09. Biasanya dia akan menyuruhku beristirahat pukul sebelas malam.     

"Kamu mau istirahat?" aku bertanya.     

Astro menggumam mengiyakan, "Kerjaanku udah selesai. Aku mau istirahat cepet. Kamu juga ya."     

"Mm, okay."     

"I love you, Honey."     

"I love you too."     

Aku terdiam sebelum bicara, "Call me 'Honey'."     

"I love you too, Honey."     

"Thank you. Aku matiin ya."     

Aku hanya menggumam mengiyakan. Entah kenapa aku menyanggupi memanggilnya "Honey", padahal biasanya aku akan memintanya menunggu. Aku memang berkali-kali memanggilnya seperti itu, tapi hanya untuk menggodanya.     

Bulir hujan turun dari langit yang gelap dan suhu mulai terasa dingin mengigit kulit. Namun aku akan berdiam diri di sini sedikit lebih lama. Sepertinya aku mulai menyukai sensasi hujan beberapa waktu belakangan ini.     

Entah bagaimana tiba-tiba teringat saat aku dan Astro datang ke ruko cikal bakal perusahaan game-nya, saat dia berkata ingin satu liang kubur denganku. Aku tahu saat itu dia mengatakannya dengan serius.     

Aku menghela napas. Aku bahkan tak tahu akan berapa lama aku hidup. Akan terasa sakitkah saat nyawaku dicabut nanti? Apakah pandanganku akan berubah menjadi gelap tiba-tiba?     

Bagaimana rasanya saat keluargaku meninggal dulu? Apakah mereka merasakan sakit? Atau mereka tak sadar nyawa mereka telah kembali pada pemiliknya?     

Aku bangkit, meletakkan handphone dan earphone di meja, lalu mengikat rambut di puncak kepala. Aku melangkah ke halaman dan membiarkan bulir hujan membasahi tengkukku.     

Terakhir kali aku dan Astro bermain hujan rasanya sudah lama sekali. Ibu memarahi kami karena kami sakit keesokan harinya. Aku tak dapat menyembunyikan senyum di bibirku. Kami sudah bersama selama hampir seumur hidup kami. Tak akan jadi masalah saat kami melanjutkan hidup kami berdua dalam pernikahan, bukan?     

Sensasi dingin air hujan terasa menyegarkan pikiranku. Aku menegadahkan wajah dan menatapi langit. Entah kenapa langit gelap itu terlihat cantik sekali walau tanpa bintang yang terlihat.     

Tiba-tiba mataku terasa panas dengan air mata yang segera menghilang terbawa hujan yang membasahi wajah. Aku bisa membayangkan Ayah dan Bunda sedang menatapku. Jika mereka masih hidup, mereka pasti akan membantuku mengurusi segala keperluan menikahku dengan Astro.     

Aku menarik napas panjang beberapa kali untuk melepas beban yang terasa berat di dadaku, lalu beranjak kembali ke teras. Ada Oma sedang menungguku, dengan sebuah handuk di pelukannya.     

"Oma belum tidur?" aku bertanya sambil menerima handuk yang disodorkan olehnya.     

"Udah malem kenapa hujan-hujanan? Kalau sakit gimana?"     

"Faza sehat kok, Oma. Cuma kena hujan sedikit." ujarku sambil mengusap rambut dan wajah dengan handuk.     

Oma memelukku dan mengusap pipiku, "Kalau Faza punya masalah, bisa cerita ke Oma."     

"Faza ga punya masalah kok. Oma ga perlu khawatir."     

Oma menatapku dengan tatapan khawatir, "Duduk dulu. Minum tehnya."     

Aku menuruti permintaan Oma dan meneguk teh yang diodorkan Oma padaku. Hangatnya teh membuat tubuhku terasa lebih hangat.     

"Opa udah istirahat?" aku bertanya.     

"Udah. Faza juga harus istirahat. Ga boleh tidur kemaleman. Malem ini ga usah kerja dulu ya."     

Aku akan menuruti permintaan Oma, maka aku mengangguk. Mungkin memang lebih baik aku tidur lebih cepat.     

"Faza mau tau kenapa opa nganggep Zen cucu?" tiba-tiba Oma bertanya.     

Aku hanya menatap Oma dalam diam. Aku dan Astro pernah membicarakannya dan kami berpendapat karena Zen adalah laki-laki. Juga karena Opa juga tak memiliki anak lain selain bunda.     

"Karena Zen mirip opa."     

Aku berpikir sebelum bicara, "Mirip gimana?"     

"Sifatnya, pembawaan dirinya. Bikin opa inget sama diri opa sendiri. Astro emang baik dan bisa diandelin, tapi Astro lebih mirip Arya. Opa jadi ngerasa lebih deket sama Zen dibanding Astro."     

Aku sama sekali tak mengerti.     

"Opa cuma ngerasa muda lagi kalau ngobrol sama Zen."     

Begitukah? Kenapa aku masih belum mengerti?     

"Udah ga usah dipikirin. Oma cuma mau bilang, Faza jangan terlalu nganggep jelek ke Zen. Zen anak baik kok."     

"Faza tau kok Zen baik. Faza cuma sering ga ngerti sama sikapnya. Apalagi yang kemarin waktu mamanya ngasih Faza kanzashi. Kalau emang itu barang penting buat keluarganya, harusnya ga boleh dikasih ke orang lain sembarangan kan? Faza ga abis pikir."     

"Menurut Oma sih Faza dikasih kanzashi itu karena mamanya Zen sayang sama Faza."     

"Tapi bikin Faza ngerasa ga enak. Zen kan pasti nikah nanti, harusnya bisa dikasih ke calon istrinya."     

Oma hanya terdiam.     

"Kecuali kalau mamanya emang ngarep Faza jadi istrinya." ujarku tiba-tiba.     

Aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, tapi kesadaran ini mulai terasa menggangguku. Bagaimana jika dugaanku memang benar?     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.