Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Kapasitas



Kapasitas

2Sepanjang hari memperhatikan gerak-gerik Zen membuatku yakin mungkin mamanya dan Kak Liana lah yang menginginkanku menjadi bagian dari keluarga mereka. Karena sikap Zen terlihat jauh lebih tenang dibanding dengan sikapnya selama dua tahun ini.     

"Ikut ke kafe, Za?" Nina bertanya.     

Aku berpikir sebelum bicara, "Tapi cuma sebentar. Ga pa-pa kan?"     

"Santai aja. Kita tau kok kamu orang sibuk." ujar Bian.     

"Aku ga ikut dulu ya. Ada latihan band." ujar Daniel.     

"Iya deh, beda yang bentar lagi release single." ujar Bian.     

"Ah, masih lama. Lain kali aku ikut ke kafe. Kabarin aja." ujar Daniel.     

Bian hanya tersenyum dan mengangguk, lalu kami beranjak menuju parkiran bersama. Aku baru menyadari sejak Nina dan Bian berpacaran, Nina tak pernah meminta untuk menumpang padaku lagi.     

"Pak Deri ga nganter kamu lagi?" Zen bertanya di tengah langkah kaki kami keluar dari gedung fakultas.     

Aku menggeleng, "Mulai hari ini udah ga nganter jemput."     

"Kamu bisa bareng aku kalau kamu mau."     

Aku menoleh untuk menatapnya, "Ga perlu, Zen. Ada asisten Astro yang nemenin aku."     

"Asisten yang mana lagi?" Zen bertanya dengan tatapan bingung.     

"Mobil darinya itu asisten dia." ujarku sambil tersenyum.     

Aku tahu Zen merasa bingung dan akan lebih baik jika aku mengabaikannya. Lagi pula, dia tak tahu aku memiliki Rommy dan Lyra yang menjagaku dari jauh. Namun aku memang mengatakan yang sejujurnya, mobilku adalah asisten pemberian Astro. Aku bahkan berpikir Astro memasang beberapa kamera di sana untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi padaku.     

Hal itu juga membuatku merasa khawatir jika Astro memang tahu saat Zen memelukku saat isu skandalnya menyebar. Tak mengherankan jika Astro sangat cemburu pada Zen.     

Aku menoleh pada Daniel yang berjalan di sampingku. Dia sedang mengetik pesan di layar handphonenya, sepertinya dengan sebuah grup. Tunggu sebentar ....     

"Kamu latihan ngeband di mana?" aku bertanya.     

Daniel menoleh padaku, "Di studionya Hendry, anaknya yang punya Nusantara First Records. Keren kan?"     

Aku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku, "Kalau ketemu Hendry, titip salam dari aku ya."     

Daniel terkejut, "Kamu kenal?"     

"Kenal biasa aja kok."     

"Tetep aja. Hendry!"     

Aku hanya tersenyum. Aku tak perlu menjelaskan padanya bagaimana aku dan Hendry bisa saling mengenal.     

"Kamu ngeband bareng Reno?" tiba-tiba saja aku bertanya pada Daniel, membuat Zen menoleh padaku.     

"Kamu kenal Reno juga?" Daniel bertanya dengan tanda tanya yang jelas sekali di wajahnya.     

"Aku sama Zen sekelas sama Reno di SMA. Aku titip salam ya."     

Daniel masih menatapku tak percaya, "Kok bisa kebetulan banget sih?"     

Sejak pertama kali ke panti asuhan bersama Ibu, aku yakin tak ada yang kebetulan di dunia ini. Entah kenapa aku merasa sepertinya akan mulai memperlakukan Daniel lebih baik mulai. Dia memang sempat bersikap menyebalkan karena menjodohkanku dengan Zen, tapi sejak aku meminta Zen untuk bicara padanya, dia tak pernah melakukannya lagi.     

"Kapan kamu latihan ngeband lagi?" aku bertanya.     

"Kamis malem minggu depan latihan terakhir sebelum UTS. Reno rewel banget minta break latihan. Mau fokus ujian dia bilang. Padahal ga ada bedanya juga kalau emang kapasitas otaknya terbatas."     

Zen tertawa, membuatku menoleh padanya. Kami berdua tahu bagaimana perilaku Reno selama ini. Namun Reno meminta waktu untuk fokus ujian adalah perkembangan yang bagus. Setidaknya dia memperlakukan ujiannya kali ini sebagai ujian yang penting.     

"Keberatan kalau kamis depan aku ikut?" aku bertanya.     

"Serius?" Daniel kembali bertanya padaku.     

Aku mengangguk. Sebetulnya aku berniat membantu band-nya. Aku akan menghubungi Hendry sebelum ke sana.     

"Aku ikut juga." ujar Zen tiba-tiba.     

"Ngapain kamu ikut?" aku bertanya.     

"Ga masalah kan kalau aku nonton? Kalian kan temen-temenku."     

Aku menatapnya tak percaya. Walau dia memang benar, kami adalah teman-temannya. Namun dia tak memiliki urusan apapun di sana, bukan?     

"Boleh. Nanti aku bilang Reno. Dia pasti kaget kalau aku cerita." ujar Daniel dengan binar di matanya, membuatku tak tega untuk memintanya menolak permintaan Zen.     

Kami sampai di parkiran dan menghampiri kendaraan masing-masing. Kami saling melambaikan tangan sebelum berkutat dengan diri kami sendiri.     

Aku menaruh handphone di holder dekat kemudi, lalu menyalakan mobil dan keluar dari parkiran. Aku baru saja akan memberi Astro panggilan video call saat mengingat dia memintaku untuk meneleponnya saja sementara waktu ini.     

Aku menghela napas sebelum meneleponnya, entah kenapa terasa berbeda. Melakukan panggilan video call terasa lebih menyenangkan bagiku.     

Astro mengangkat telepon sesaat setelahnya, "Hai, Honey. How was your day?"     

Aku tak bisa menyembunyikan senyum di bibirku. Mendengar suaranya memberikan sensasi menyenangkan, "Akan lebih baik kalau ada kamu."     

"Kalau ada aku mau ngapain?" dia bertanya dan aku bisa membayangkannya sedang memberiku senyum menggodanya yang biasa.     

"Mau aku ajak debat soal belalang, kamu mau?"     

Astro menghela napas, "Belum selesai juga bahasan belalangnya?"     

"Kamu ga mau ngasih tau jawabannya sih."     

"Aku kasih tau kalau weekend ini kamu ke Surabaya, Honey."     

Aku menatap layar handphone dengan tatapan sebal. Aku lupa kami hanya sedang melakukan panggilan telepon. Aku bodoh sekali, "Aku mau ke kafe Zen sebentar sebelum ke toko."     

"Ngapain?" dia bertanya. Aku tahu ada nada tak rela yang jelas sekali pada suaranya.     

"Aku mau mastiin sesuatu. Nanti aku kasih tau kalau udah dapet jawaban yang aku cari."     

"Harus banget ke sana?"     

Aku menggumam mengiyakan, "Oh iya, kamis depan abis dari galeri aku mau ke studio Hendry. Boleh ya?"     

"Kamu udah bikin janji sama Hendry?"     

"Belum. Inget Daniel?"     

"Iya, kenapa?"     

"Ternyata dia nge-band sama Reno. Aku mau bantu mereka. Siapa tau mereka dapet kesempatan lebih."     

Astro terdiam sebelum bicara, "Tapi janji sama aku, jangan nyanyi di sana."     

Aku menatap layar handphone dengan tatapan bingung, yang membuatku merasa aneh dengan diriku sendiri. Kenapa aku terus melakukan ini? Astro bahkan tak dapat melihat ekspresiku.     

"Kenapa?" aku bertanya.     

"Kamu bisa diambil jadi koleksinya kalau kamu nyanyi. Dia ga akan nyerah buat bikin kamu bikin album bareng dia."     

"Segitunya?"     

"Janji sama aku, Honey."     

Aku berpikir lama sekali, tapi masih tak menemukan sebuah kalimat untuk kukatakan padanya.     

"Janji, Honey."     

"Okay. Aku janji."     

"Bakal repot banget kalau dia ngejar kamu sekarang. Kita mau nikah."     

"Kalau dia ngejar aku abis kita nikah, boleh?" aku bertanya hanya untuk menggodanya.     

"Kamu mau jadi seleb?"     

"No, I guess (Ga, kayaknya)."     

Membayangkan menjadi seorang penyanyi terkenal membuat kepalaku berdenyut. Dengan isu skandal Astro yang baru saja reda, aku tahu akan mudah saja bagiku memanfaatkan situasi. Namun saat membayangkan aku akan berhadapan dengan media sepanjang waktu, sepertinya aku akan lebih memilih melukis dalam galeri yang tenang tanpa sorotan.     

"Aku ga akan ngijinin juga sih. Kalau kita nikah kan kamu jadi punyaku. Kamu cuma boleh nyanyi buat aku."     

Aah, laki-laki ini benar-benar ....     

"Udah cek kalender kamu, Honey?"     

"Belum, kenapa?"     

"Kita nikah empat minggu lagi. Aku mau ngingetin aja biar kamu ga kaget."     

Entah bagaimana tiba-tiba bulu halusku meremang dengan sendirinya, membuatku bersikap salah tingkah padahal tak ada seorang pun selain aku di mobil ini. Bahkan tak ada siapapun yang memperhatikanku sekarang.     

"Kamu pulang kan abis ujian?" aku bertanya.     

Akan ada banyak sekali daftar yang harus kami selesaikan sebelum menikah nanti. Akan sulit sekali jika dia masih menunda waktu kepulangannya saat hari pernikahan kami semakin dekat. Memang sudah ada Ibu dan Oma yang membantu kami menyiapkan segalanya, tapi kami juga harus mempersiapkan diri, bukan?     

"Erm, nanti aku kabarin. Proyek opa harus aku pantau lagi abis UTS nanti."     

"Kamu kan bisa bilang Opa buat nunda ke sana dulu."     

"Ga bisa. Kamu ga mau tanggal nikah kita mundur jadi semester depan kan?"     

Aah, kenapa ini terasa menyebalkan?     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.