Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Kelinci



Kelinci

0Ibu mengajakku masuk ke sebuah toko buku di ruko dua lantai yang terlihat tua. Di dindingnya terdapat etalase yang terbuat dari kayu yang memamerkan deretan berbagai judul buku. Di toko itu juga ada banyak tumpukan buku setinggi pinggang orang dewasa yang diletakkan di lantai di tengah ruangan.     

"Faza bantu cari buku anak-anak ya. Buku cerita edukasi sekitar 35 buku." ujar Ibu sambil beranjak meninggalkanku dan berbincang dengan penjaga toko. Sepertinya penjaga toko itu adalah pemiliknya.     

Aku mengedarkan pandangan dan mencari buku yang diminta. Ada banyak jenis buku edukasi anak-anak dengan berbagai tokoh dan cerita di sini. Kualitas buku dan cetakannya bagus sekali.     

Sepertinya sudah setengah jam terlewat saat aku selesai memilih buku. Ibu menghampiriku bersama dengan pemilik toko, tepat saat aku menoleh pada mereka.     

"Selera bukunya bagus kayak Ana." ujar pemilik toko yang membuatku terkejut. Dia tersenyum dengan tatapan lembut padaku. "Faza bisa panggil saya : Om Bram."     

"Om kenal Bunda?"     

"Ana sama Abbas dulu sering ke sini. Kalau Om liat ada yang nguntit nanti Abbas ngumpet di atas, tapi Faza ga perlu ngumpet kan?"     

Sepertinya aku tahu apa maksudnya. Aku menoleh ke arah Ibu yang sedang tersenyum menatapiku.     

"Tapi lebih berat LDR kayaknya dibanding ngumpet ya?"     

Percakapan ini membuatku canggung. Aku hanya mampu menatap kedua orang di hadapanku bergantian tanpa mengatakan apapun.     

"Kalau Faza mau dapet cerita Ana sama Abbas, nanti main ke sini ya."     

Sepertinya akan lebih baik jika aku mengangguk untuk menyanggupi. Walau sebetulnya aku memiliki banyak pertanyaan, aku tahu pertanyaanku bisa menunggu. Ada eksperimen yang harus kulakukan bersama Ibu hari ini.     

Om Bram menghitung harga buku dan mengepaknya, lalu memasukkannya ke empat paper bag yang berbeda. Aku dan Ibu masing-masing membawa dua paper bag di tangan saat kembali ke mobil. Kami berkendara lebih dari satu jam hingga sampai di sebuah rumah besar berhalaman luas, dengan plang "Panti Asuhan Bakti Ayah Bunda".     

Aku mengikuti Ibu keluar mobil dan mengambil buku yang dibeli di jok tengah, lalu berjalan menghampiri pintu panti asuhan. Sudah terdengar riuh suara anak-anak dari sini, yang mengingatkanku pada suara Fara dan Danar saat kami sedang saling bercanda.     

Tepat saat kami masuk ada seorang anak laki-laki berteriak, "Ada Bu Nia! Cepet, ada Bu Nia!"     

Tiba-tiba segerombolan anak sudah mengelilingi kami dengan penuh binar di matanya. Mereka saling berebut menyalami tangan kami dengan senyum lebar mengembang di bibir mereka.     

Ada tiga orang wanita yang sepertinya adalah staf, datang menghampiri dan menyalami kami. Mereka memperkenalkan diri padaku sebelum mundur dan memberi ruang.     

"Ibu punya buku baru loh, tapi harus duduk rapi di ruang baca ya. Yang duduknya paling rapi boleh milih buku duluan." ujar Ibu pada kerumunan anak-anak di sekitar kami.     

Ibu menyodorkan buku-buku yang kami beli pada ketiga staf. Mereka membawanya dan menghilang ke satu ruangan dekat tangga. Semua anak yang mengelilingiku segera berlarian menuju ruangan yang dimasuki staf tadi, dengan suara riuh yang sama seperti saat mereka menyambut kami beberapa saat lalu.     

"Ini panti asuhan yang Ibu bangun sama Mama Denada?" aku bertanya saat berjalan menuju ruang yang sama. Aku ingat Astro pernah menyebutkan proyek panti asuhan padaku setelah aku berkata aku bersedia menunggunya.     

"Iya. Ibu sama mama Denada yang jadi pimpinan pantinya, tapi ada staf lain yang bantu ngurusin macem-macem di sini. Soalnya Ibu sama mama Denada kan ga stay (tinggal)."     

Saat kami memasuki ruang baca, Ibu memberi isyarat pada staf untuk keluar. Ruangan itu sudah penuh dengan belasan grup anak di belasan meja bulat. Mereka duduk menunggu dengan tangan terlipat di meja dan terlihat menggemaskan sekali.     

"Ibu mau ngenalin kalian ke Kak Faza. Kalian udah salaman tadi kan?"     

"Hai, Kakak." gemuruh suara anak-anak membuat bulu halusku meremang.     

"Kakak suka bunglon? Kemarin aku nemu bunglon di pohon jambu. Dia keren banget bisa berubah warna!"     

"Kakak suka makan brokoli?"     

"Kakak udah punya pacar belum? Mau jadi pacar aku?"     

Itu adalah beberapa komentar yang sempat kudengar, yang membuatku mengingat pertanyaanku pada Bunda saat kami sedang berada di sesi belajar.     

"Kak Faza ini calon menantu Ibu. Berani-beraninya mau jadiin pacar?"     

Kalimat Ibu disambut gelak tawa di antara anak-anak itu. Walau ada yang hanya diam, juga ada yang sepertinya bingung dengan apa yang baru saja terjadi.     

"Calon menantu artinya apa?" seorang anak di ujung belakang bertanya pada teman di sebelahnya, tapi suaranya cukup kencang untuk di dengar seisi ruangan. Usianya mungkin sekitar delapan tahun.     

"Calon menantu itu artinya nanti Kak Faza akan nikah sama kak Astro, trus nanti kalau punya anak bisa jadi adiknya kalian."     

"Wah, kita mau punya adik! Kak Faza mau punya anak berapa? Yang banyak bisa? Aku pinter bantu Ibu ngurus adik loh. Tadi pagi aku bantu Gita makan, soalnya dia belum bisa makan sendiri jadi kalau makan harus disuapin." ujar seorang anak laki-laki yang duduk dekat denganku. Entah bagaimana, tapi pertanyaannya membuatku merasa malu.     

"Wah, Dika pinter, tapi Gita harus belajar makan sendiri ya. Gita kan udah gede." ujar Ibu.     

"Ibu, ayo aku mau baca buku." ujar seorang anak perempuan yang duduk di meja tengah.     

"Oh, iya. Ayo duduk yang rapi. Nanti ibu panggil. Yang duduknya paling rapi bisa milih duluan."     

Kemudian sikap mereka berubah jauh lebih tenang, dengan tangan kembali terlipat di meja dan tatapan penuh binar khas anak-anak yang membuatku mengingat Fara dan Danar. Ibu memanggil nama mereka satu-persatu dan mereka memilih buku yang mereka inginkan hingga semua anak mendapatkan buku bagiannya.     

"Ingat pesan Ibu ya. Kalau baca, bukunya harus dijaga baik-baik. Ga boleh rebutan. Jangan sampai rusak. Paham?"     

"Paham." suara menggema di ruangan lagi-lagi membuat bulu halusku meremang.     

"Okay, Ibu mau ke kantor dulu. Kalian ditemenin baca sama Kak Faza ya? Baca bukunya harus tenang."     

"Iya, Bu."     

Ibu menepuk lenganku perlahan sebelum beranjak pergi. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Melihat interaksi Ibu dan anak-anak yang terasa sangat dekat, membuatku ragu apakah aku akan bisa seperti itu. Aku bahkan tidak mengingat nama mereka satu-persatu.     

Aku berjalan mengelilingi ruangan. Anak-anak itu terlihat antusias dengan buku di tangan mereka. Mereka saling mengintip buku milik teman di sebelahnya dan mulai membandingkan buku mana yang lebih bagus.     

Ada satu anak laki-laki yang sejak tadi hanya diam, sepertinya masih berusia enam atau tujuh tahun. Dia duduk di ujung belakang, hingga aku berpikir mungkin dia kesulitan membaca karena dia hanya memperhatikan gambar di setiap halaman.     

"Hai, nama kamu siapa?" aku bertanya untuk meminta perhatiannya padaku.     

Dia menoleh, "Nino, Kak."     

"Nino mau Kakak bantu baca bukunya?" aku bertanya sambil duduk bersila di sebelahnya.     

Nino menggeleng, "Nino bisa baca sendiri."     

Rupanya aku salah menduga. Aku memperhatikan buku yang dipegang olehnya yang merupakan buku cerita dengan tokoh kelinci, "Nino suka kelinci?"     

Nino menggeleng dan menunjukkan luka di jarinya yang hampir sembuh, "Kemarin waktu main sama Bunny di taman belakang, Bunny gigit jari Nino."     

Mungkin yang dimaksud Bunny adalah seekor kelinci peliharaan panti di taman belakang. Aku hanya menduganya karena namanya Bunny.     

"Kalau Nino ga suka kelinci, kenapa pilih buku itu?"     

"Gambarnya bagus. Kayak gambar kakak Nino, tapi kakaknya Nino udah ga ada."     

Entah bagaimana, seperti ada aliran air dingin melewati tengkuk dan menjalar ke jantungku. Membuat jantungku terasa seperti berhenti berdetak sesaat lalu. Aku bahkan terdiam selama beberapa lama hanya menatapi sosok Nino.     

"Nino mau liat kakak gambar kelinci?" aku bertanya setelah menyadari detakan jantungku kembali.     

"Kakak bisa?"     

Aku mengangguk, "Tunggu di sini ya."     

Aku kembali ke depan mencari sebuah buku kosong dan alat tulis. Kemudian kembali duduk bersila di sebelah Nino dan membuat sketsa Nino sedang memeluk anak kelinci.     

"Wah, lebih bagus dari bikinan kakak aku! Kak Faza bisa ajarin Nino bikin ini?"     

"Bisa."     

Pertemuanku dengan Nino membuatku mengerti. Aku tahu kenapa diajak ke sini.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.