Besok
Besok
"Kamu bisa langsung tidur aja, Astro."
Aku melirik jam di sudut layar handphone, pukul 23.17. Aku tahu dia pasti lelah sekali karena baru pulang dari proyeknya yang entah berada di mana karena matanya terlihat sayu. Dia mungkin memaksa memberi panggilan video call karena merindukanku.
"Aku kangen." ujarnya sambil menahan sebuah uapan lolos dari mulutnya. Dugaanku tepat sekali.
"Sepuluh menit aja ya. Kamu harus istirahat."
"Lima belas menit?"
Aku menghela napas, "Okay. Kamu masih ga mau cerita soal proyek itu?"
"Nanti aku kasih tau kalau kita udah nikah. Ga sabaran banget sih?"
"Coba liat siapa yang ngomong? Siapa coba yang ga sabaran?"
Astro tersenyum lebar sekali walau matanya terpejam selama beberapa saat sebelum terbuka kembali.
"You really need to sleep (Kamu butuh tidur), Astro."
"Aku masih bisa ngobrol sama kamu sebentar. Kamu jadi ke panti asuhan sama ibu hari ini?"
Rupanya dia sudah tahu. Aku hanya menggumam mengiyakan untuk menjawab pertanyaannya.
"Udah dapet jawaban yang kamu cari, Nona?"
"Kayaknya iya."
Di perjalanan pulang tadi, Ibu mengajakku berdiskusi tentang kesimpulanku. Aku berkata pada Ibu bahwa mungkin segala sesuatu memang sudah diatur sedemikian rupa. Kalaupun terlihat seperti ada yang mengatur, sebetulnya ada pengatur yang tak terlihat yang menjadikan itu terjadi. Walau reaksi dan sikap kita memang kita lah yang menentukan.
Seperti saat entah bagaimana aku bisa memilih Nino untuk kuajak bicara dan entah bagaimana dia memiliki kakak yang bisa menggambar sepertiku. Itu terasa menakjubkan, tapi juga membuatku takut. Walau begitu, Ibu memang setuju pada kesimpulanku. Ibu bahkan menambahkan, kejadian apapun yang terjadi sebetulnya terjadi bukan karena kebetulan.
"Ngerasa lebih baik sekarang?"
Aku menggumam mengiyakan. Sebetulnya ada lebih banyak pertanyaan di kepalaku, tapi aku akan membiarkan waktu yang menjawabnya untukku.
"Udah siap jadi istriku kan?" dia bertanya dengan senyum menggodanya yang biasa. Bagaimana bisa kesimpulannya sama dengan ibunya?
Aku akan menggodanya sebentar, "Kalau belum gimana?"
"Aku yang bikin kamu siap."
"Gimana cara kamu bikin aku siap?"
"Aku punya beberapa cara sih, tapi semuanya baru bisa dipraktekin kalau kita udah nikah. Lebih tepatnya, di malam pertama kita. Aku bisa ..."
"Wait! No! Stop it there! Apapun yang kamu mau bilang, aku ga mau denger. Aku ga mau bahas itu sekarang."
Astro menggigit ujung bibirnya sambil menatapku seperti orang lapar. Laki-laki ini benar-benar kesulitan menahan diri rupanya.
"Aku serius, Astro."
"Fine." ujarnya dengan tatapan yang masih belum berubah.
"Uugh, can we stop talking about this (bisa kita berhenti bahas soal ini)? Bahasan ini bikin aku mikir aneh-aneh."
Astro tertawa, "Kamu mikir apa?"
"Aku ga mau bahas itu sama kamu." ujarku sambil memberinya tatapan sebal.
"Ooh, come on. Tiga bulan lagi kita nikah."
"Masih tiga bulan lagi. Belum beneran nikah, Astro. Aku ga mau bahas itu sekarang."
"Fine. Kita bahas yang lain ya, Calon Istriku yang Cantik?"
Kurasa wajahku memerah sekarang. Dia benar-benar tahu bagaimana meredakan suasana hatiku yang buruk.
"Kamu harus istirahat, kamu tau?" ujarku.
"Sebentar lagi. Masih ada delapan menit."
Dia benar. Apa lagi yang harus kubahas dengannya? Rasanya hari ini juga melelahkan untukku. Walau menyenangkan bisa bermain dengan anak-anak di panti asuhan seharian, tapi aku akan berpikir dengan matang saat memutuskan untuk memiliki anak nantinya.
"Kamu makan tepat waktu kan?" aku bertanya karena khawatir padanya yang selalu sibuk setiap hari.
"Kemarin sempat makan telat dua hari, tapi ga pa-pa kok. Aku sehat."
"Kamu minum vitamin?"
"Vitamin aku kan kamu." ujarnya dengan tatapan sendu.
"Serius, Astro."
"Kalau kamu kasih aku senyum aku mau jawab serius. Dari tadi muka kamu jelek banget. Minta dicubit."
Astaga, apa-apaan itu? Namun aku memang belum tersenyum sejak menerima video call darinya.
"Coba rayu aku biar aku mau senyum." ujarku tiba-tiba. Sepertinya keisenganku kambuh.
Astro menatapku tak percaya, "Aku ga mau ngerayu kamu. Kamu kan ga pernah ngerayu aku."
"Ya udah. Kalau gitu aku ga kasih kamu senyum tiga bulan ke depan."
"Seriously?" ujarnya dengan alis mengernyit mengganggu.
"Sabar ya nunggu aku tiga bulan. Senyumku mahal, kamu tau?"
Sepertinya dia mulai paham aku sedang mencoba menggodanya. Dia menatapku dengan tatapan intens hingga hampir saja membuatku memalingkan wajah darinya.
"Kamu tau yang siapa yang bikin pesawat?" tiba-tiba pertanyaan itu keluar darinya.
"Wright bersaudara?"
"Kamu tau kenapa mereka bikin alat buat bisa terbang?"
"Karena males jalan kaki jauh?"
"Bukan, Nona."
"Karena mereka mau merubah peradaban?"
"Mereka mau bikin mesin waktu buat dateng ke masa depan buat ketemu kamu, tapi aku larang. Aku bilang ke mereka kalau kamu udah cinta mati sama aku, trus mereka milih bikin pesawat aja biar bisa keliling dunia nyari perempuan cantik yang lain."
Aku tak mampu menahan tawa. Dia benar-benar mood booster paling baik yang kumiliki.
"Ah, kamu ga seru. Aku minta kamu senyum. Bukan ketawa." ujarnya dengan tatapan kecewa yang dibuat-buat.
Aku tak mampu membalas kalimatnya karena masih harus menyelesaikan tawaku. Entah dari mana dia mendapatkan lelucon seperti itu. Dia lucu sekali.
"Nona."
Aku menatapnya dan menunggu. Tawaku masih harus kuselesaikan sebentar lagi.
"Berita apapun yang kamu denger besok, percaya aja sama aku. Aku ga begitu."
Tawaku tiba-tiba lenyap. Entah apakah karena aku sudah terlalu lelah atau sedang salah mendengar. Berita apa yang dia maksud?
"Percaya sama aku. Okay?"
"Aku ga ngerti."
"Besok kamu tau. Ga usah terlalu dipikirin. Aku ga akan bisa pinjemin tanganku karena aku bener-benar ga bisa pulang. Deadline-ku banyak banget dan harus selesai sebelum kita nikah."
Sepertinya aku benar-benar bodoh sekarang. Tak ada satupun dari kalimatnya yang bisa kumengerti.
"Percaya sama aku, ya?"
"Mm ... okay?"
"Serius, Nona. Percaya sama aku. Apapun yang kamu denger, percaya aja sama aku."
"Iya, Astro. Kita selalu baik-baik aja selama ini. Lagian yang biasanya kena masalah kan aku. Kamu selalu bebas masalah."
"Kita liat besok." ujarnya dengan tatapan menyayangkan yang jelas sekali.
Walau aku mengatakannya seperti itu, entah kenapa seolah aku baru saja mendapatkan firasat buruk. Ada sesuatu di dalam dadaku yang terasa tak semestinya.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-