Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Sensitif



Sensitif

2Aku membuka mata dengan jantung berdetak kencang. Sensasi lembut bibir Astro masih tertinggal di bibirku, bahkan aromanya masih menempel di hidungku. Aku menoleh ke arah jam dinding, pukul 07.52.     

Aku memaksa tubuhku bangkit. Aku baru menyadari semalam aku tertidur saat masih melakukan panggilan video dengan Astro. Aku mengecek handphone yang ternyata sudah mati. Ternyata baterainya habis. Sepertinya aku juga lupa untuk mandi semalam.     

Aku beranjak untuk mengisi baterai handphone di meja kerja Astro. Aku melihat pantulan diriku sendiri di cermin di dekat lemari dan meraba bibirku yang masih terasa berbeda.     

Untunglah ciuman itu hanya mimpi. Aku tak yakin kami akan mampu menahan diri jika ciuman itu benar-benar terjadi. Ucapan Denada benar saat berkata sentuhan seperti itu akan terasa seperti candu.     

Sepertinya aku butuh menenangkan diri lebih dulu. Aku melangkahkan kaki ke kamar mandi dan membasuh wajah beberapa kali hanya agar aku menyadari aku sudah tidak bermimpi, lalu mandi dan keramas untuk membuat perasaanku menjadi lebih baik.     

Aku keluar kamar dengan handuk masih di bahu dan menuruni tangga. Aku menemukan Ibu sedang berbincang dengan tiga orang yang tak kukenal di ruang tamu.     

"Faza udah bangun?" Ibu menyapaku saat aku mendekat.     

Aku mengangguk dan menundukkan bahu pada tiga orang itu sebagai salam.     

"Kenalin, ini Faza. Calon istri Astro." ujar Ibu kepada ketiga orang di hadapan kami.     

"Saya Eboth." ujar seorang pria dengan perawakan urakan dan rambut melewati bahu.     

"Aku Jian." ujar seorang pria dengan wajah oriental. Dia terlihat mirip seperti seorang idola yang akan digandrungi banyak perempuan menurutku.     

"Saya Fatih." ujar seorang pria dengan kacamata yang berpakaian paling rapi di antara semuanya.     

"Faza." ujarku sambil kembali menundukkan bahu.     

"Faza sarapan dulu ya. Udah siang." ujar Ibu.     

Aku mengangguk karena tak ingin mengganggu pembicaraan penting di antara mereka. Langkahku beralih menuju dapur dan melambat saat melihat sosok yang kukenali sedang duduk di meja makan, menggigit sepotong sandwich sambil menatap handphone yang diletakkan di meja.     

Aku mengerjapkan mata beberapa kali hanya untuk memastikan aku sedang tidak berhalusinasi. Dia tetap berada di sana.     

Aku melangkahkan kaki dengan cepat dan duduk di sebelahnya. Aku menatapnya yang sedang menatapku kembali dengan senyum menggodanya yang biasa, "Kamu bilang ga bisa pulang?"     

"Kangen aku kan, Nona?" ujarnya, bersamaan dengan saat aku bertanya. Namun melihat bibirnya bergerak membuatku merasa gugup.     

Kenapa ini terasa seperti aku sedang ketahuan melakukan hal yang tidak sepantasnya?     

"Hei, kenapa muka kamu merah begitu?"     

"Apanya?"     

"Muka kamu."     

Aku meraba wajahku tiba-tiba. Sepertinya wajahku memerah sekarang. Aku bisa merasakan suhu wajah dan telingaku jauh lebih hangat.     

"Kamu katanya ga bisa pulang?" aku bertanya kembali untuk mengalihkan pikiran.     

"Bukannya aku udah bilang aku mau bikin gugatan balik?"     

Dia benar.     

"Tapi kamu ga bilang kalau kamu bisa pulang." ujarku sambil memberinya tatapan sebal.     

"Bukannya bagus kalau aku pulang? Katanya kamu kangen aku." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.     

Tunggu sebentar, kurasa itu bukan senyumnya yang biasa. Senyumnya kali ini terlihat lebih lebar dan menawan. Astaga, apa yang baru saja kupikirkan?     

Astro mengamit satu piring kosong dan meletakkan dua sandwich di atasnya, lalu menyodorkannya di hadapanku. Kemudian menuang susu ke gelas dan mendekatkannya ke bibirku, "Jangan bengong, kamu harus sarapan."     

Aku masih menatapnya tak percaya saat mengambil gelas dari tangannya. Entah bagaimana, tanganku terasa seperti tersengat saat bersentuhan dengannya. Membuatku refleks menarik tanganku kembali.     

Gelas yang dipegang olehnya hampir saja jatuh andai saja tangannya yang lain tak segera mengambil alih. Astro menatapku dengan tatapan terkejut, sama seperti aku menatapnya.     

"What was that (Yang barusan itu apa)?" aku bertanya.     

"Aliran listrik statis?" ujarnya tak yakin.     

"Seriously?"     

"Kadang bisa aja kejadian."     

Begitukah? Terasa aneh untukku.     

Astro meletakkan gelas susu di sebelah piring di hadapanku, "Kamu minum sendiri."     

Aku masih menatapnya tak percaya. Bagaimana mungkin terjadi hal seperti tadi? Kami berkali-kali saling menggenggam tangan, tapi tak pernah terjadi hal seperti itu sebelumnya.     

"Jangan maksa aku suapin kamu, Nona. Aku ga mau nyetrum kamu lagi. Kalau rambut kamu tiba-tiba berdiri trus gosong kan ga lucu."     

Entah lelucon macam apa yang sedang dia lontarkan padaku, tapi dia membuatku tertawa. Ini terasa aneh sekali.     

"Kamu ga usah masuk kuliah dulu. Aku mau bikin konferensi pers siang ini. Aku ga mau ambil resiko kamu dapet pertanyaan dari netizen."     

"Tapi aku masih punya janji buat jemput Zen. Hari ini terakhir."     

Alisnya mengernyit mengganggu, "Masih aja kamu mikirin Zen? Keselamatan kamu lebih penting, Nona."     

"Aku masih punya janji, Astro."     

"Makanya jangan bikin janji sembarangan." ujarnya dengan tatapan kesal yang jelas sekali.     

Aku menghela napas, "I'm sorry."     

"Biar pak Deri yang nganter dia hari ini. Kamu di rumah aja." ujarnya sambil menggigit sandwich.     

Sepertinya akan lebih baik jika aku akan menurutinya saja. Aku bisa membolos kuliah hari ini demi membuatnya merasa lebih tenang. Sepertinya membolos sehari tak akan membuatku mendapatkan masalah.     

"Abis ke pengadilan kamu balik ke Surabaya lagi?" aku bertanya setelah menelan gigitan sandwich pertamaku. Aku tahu sandwich ini dialah yang membuatnya.     

"Tadinya mau ngajak kamu kencan, tapi ga usah deh. Pagi-pagi yang kamu khawatirin cuma Zen." ujarnya tanpa menoleh padaku.     

"Astro ..."     

"Kamu bikin aku patah hati dua kali minggu ini. Makasih." ujarnya sambil melirikku dengan tatapan tak ramah.     

"I didn't mean to (Aku ga bermaksud begitu)."     

Dia mengabaikanku. Mengunyah sandwichnya tanpa minat dan meneguk susunya sampai habis, lalu mulai berkutat dengan handphone-nya kembali. Dia benar-benar menyebalkan.     

Aku meletakkan sandwich yang sudah tergigit di piring dan beranjak dari duduk. Aku sama sekali tak memiliki nafsu untuk menghabiskan makananku walau harus kuakui sandwich buatannya terasa enak sekali.     

Astro menahan lenganku saat aku akan melangkah menjauh, "Sarapan kamu belum abis, Nona. Mau ke mana?"     

"Aku bad mood liat kamu nyebelin." ujarku sambil melepas tangannya di lenganku.     

Astro meraih pinggangku dan menarikku mendekat padanya. Wajahnya yang berada di punggungku terasa panas sekarang. Kurasa aku baru saja menemukan satu titik sensitif di tubuhku karena bulu halusku meremang dan terasa aneh.     

"Please. Aku butuh pikiranku jernih sekarang. Jangan ngambek begini."     

Aku tahu dia mengatakannya dengan tulus, tapi entah bagaimana yang ada di kepalaku hanyalah bibirnya yang sedang bergerak di punggungku. Sepertinya aku benar-benar sudah gila.     

Aku melepas tangannya di pinggangku dan menggenggamnya. Ada kelegaan di tatapan matanya saat aku kembali duduk.     

Astro mengecup tangan kiriku yang masih menggenggamnya. Dia menatapi jari manisku yang seharusnya terpasang cincin darinya, lalu mengecupnya dan menatapku dengan tatapan sendu, "Tunggu aku pulang ya. Kita ke resto. Aku lupa minta Ray delivery ke kamu gara-gara kasus ini."     

Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu? Melihatnya terlihat baik-baik saja sudah membuatku merasa lega. Aku tak akan memperhitungkan kealpaannya yang lupa menghubungi Ray untuk mengirimiku steak demi menaikkan berat badan.     

"Yang di depan itu bodyguard sama pengacara yang nemenin kamu hari ini?" aku bertanya untuk mengalihkan topik pembicaraan. Melihatnya menatapku dengan wajah sendu mengingatkanku pada ciuman kami di mimpiku semalam.     

Astro menggumam mengiyakan, "Nanti Kyle bantu jaga dari jauh."     

Aku mengelus jarinya perlahan, "Semangat ya."     

Astro meraih kepalaku mendekat padanya. Dia mendekapku di bahunya dan mengecup dahiku. Puncak kepalaku terasa hangat oleh napasnya karena dia bicara dengan nada pelan seolah sedang berbisik, "Sebenernya aku bisa aja bikin Zen pergi dari kamu pakai cara kotor kalau aku mau."     

Jantungku berdetak kencang. Aku mendongak untuk menatapnya dan berharap aku baru saja salah mendengar.     

"Aku serius, Nona. Aku ga akan bikin usahaku bertahun-tahun jagain kamu jadi sia-sia."     

Aku baru saja menyadari, bahwa Astro bisa lebih menyeramkan dibanding siapapun yang pernah kukenal. Entah aku harus bersyukur atau takut saat ini.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.