Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Listen



Listen

2Kami berkendara menggunakan mobilku menuju restoran. Astro memintaku memakai cincin darinya hingga kami berpisah besok pagi. Dia juga terus menggenggam tanganku yang berada di persneling karena tak rela melepasku yang baru saja menolak dipeluk olehnya.     

Aku tak keberatan dengan kami yang terus menggenggam tangan. Aku hanya sedang khawatir dia merasa aku menolak memeluknya karena rasa cintaku yang berkurang. Aku tahu dia kecewa padaku.     

Dia tak mengatakan apapun padaku sejak aku melepas pelukannya. Walau dia berkata tak akan memaksa, entah kenapa rasanya seperti aku sedang merasa dipaksa secara tak langsung oleh sikapnya yang membuatku merasa buruk.     

Astro memarkir mobil jauh ke dalam dan mengajakku berjalan melalui jalan setapak di antara pohon yang menjulang. Kami sampai di bagian dalam dapur dekat deretan oven dan tangga menuju balkon yang biasa kami duduki.     

Ray melihat kami saat kami akan menaiki tangga. Astro hanya memberinya isyarat yang entah bagaimana, sepertinya Ray mengerti dengan isyaratnya.     

Astro baru melepasku saat aku duduk di kursi yang biasa, lalu menarik kursi untuk duduk tepat di sisiku. Dia mengamit tanganku, mencium jari yang terpasang cincin darinya dan menatap mataku lekat, "Sebenernya aku ga mau nanya, tapi ini ganggu banget. Bisa kamu jelasin kenapa kamu nolak aku peluk?"     

Aku menghela napas. Aku tak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Kurasa aku akan mencobanya saja, "Kamu inget dua tahun lalu, pertama kali kamu peluk aku? Kamu bilang kamu mau nahan diri. Kamu yang bilang kalau itu pelukan kita yang terakhir sebelum waktunya. Kamu bahkan nolak buat sekadar aku sentuh."     

Astro terlihat terkejut. Mungkin dia sedang berusaha mencerna atau mencari alasan, "Kamu mau kita ga sentuhan lagi?"     

Aku mengangguk, "Aku tau ada banyak kejadian yang bikin kita berani lewatin batasan, tapi ... rasanya kayak aku lagi bikin salah."     

"Faza ..."     

"No, listen to me (Ga, dengerin aku). Aku minta maaf karena aku berkali-kali lepas kendali. Aku tau aku bikin kamu susah. Aku cuma ... ga mau lepas kendali lebih dari ini, Astro."     

Astro menatapku dengan tatapan bingung dan khawatir, tapi hanya diam.     

"Rasanya nyaman waktu kamu meluk aku dan ... cium dahiku. Aku cuma khawatir kita akan lakuin yang lebih dari itu sebelum waktunya. Kamu yang bilang mau nunda nikah buat selesaiin kasus dan semua deadline. Aku cuma ngerasa, mungkin lebih baik kalau kita nahan diri lagi."     

Astro terdiam dan menatapku dengan tatapan menderita. Dia membuatku merasa lebih buruk.     

Aku menggenggam tangannya dengan kedua tanganku dan mengecupnya untuk pertama kalinya dalam hidupku, "I love you, Astro. Kamu ga perlu khawatir soal Zen atau laki-laki lain. Trust me (Percaya sama aku)."     

Astro menghela napas perlahan, "Okay."     

Tatapannya yang sendu membuatku merasa terharu, "We can do this, can't we (Kita bisa lakuin ini, kan)?"     

Astro mengangguk, "I'll try. But just let me call you 'Honey' (aku mau manggil kamu 'Honey'), okay?"     

Aku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku. Entah sudah berapa kali dia memanggilku seperti itu dan baru sekarang dia meminta izin.     

"Kita masih pegangan tangan."     

Dia benar. Aku melepas genggaman tanganku padanya. Uugh, kenapa ini terasa menyakitkan?     

"Sekarang kamu tau gimana rasanya." ujarnya dengan tatapan menderita.     

"I'm sorry."     

"Yakin mau begini?"     

Aku menghela napas perlahan dan mengangguk, "Bisa kan?"     

"Aku ga bisa janji sama kamu kapan kita bisa nikah, tapi kemungkinan bukan setelah ujian semester ini. Kerjaanku banyak banget dan kasus ini nyita banyak waktu. Aku ga mau nikahin kamu selama namaku belum bersih."     

"Aku bisa nunggu."     

Astro menatapku penuh perhitungan. Aku tahu dia sedang berpikir keras sekali.     

"Tapi ...," ujarku sambil mendekatkan wajah padanya dan mengecup pipinya sedikit lebih lama sebelum menarik diriku kembali, "yang terakhir sebelum kita nikah."     

Aku tahu wajahku merona merah sekali karena terasa panas. Begitu pun dengannya. Jelas sekali dia sedang berusaha menahan diri lebih kuat dari sebelumnya.     

"Kamu yakin kita harus begini?" Astro bertanya. Aku tahu dia sedang berusaha membatalkan permintaanku.     

"Jangan bikin aku ngerasa ga enak, Astro."     

Astro menghela napas, "Fine. Tunggu di sini sebentar."     

Astro beranjak dari duduknya, lalu menuruni tangga dan kembali sesaat setelahnya. Dia duduk di kursi yang tadi dia tinggalkan dan memberiku sebuket bunga lavender yang terlihat cantik sekali.     

"Sekarang kamu beneran bikin aku ngerasa ga enak." ujarku saat menerima buket bunga darinya.     

"Kamu bisa batalin permintaan kamu tadi kapan pun kamu mau."     

"Ga akan aku batalin."     

"Mungkin nanti kamu berubah pikiran. Kamu bisa kasih tau aku."     

Aku hanya mampu menatapnya dalam diam. Sepertinya aku baru saja melakukan hal yang benar. Aku akan berusaha tidak memancingnya untuk menyentuhku mulai saat ini.     

"Nanti kamu tidur di kamarku aja. Aku bisa tidur di sofa. Jangan nolak. Aku mau maksa kamu tidur di kamarku malem ini." ujarnya seolah pembicaraan kami sebelum ini tak pernah ada.     

"Kamar kamu ga ada kameranya kan?"     

Astro menatapku bingung, "Ngapain aku pasang kamera di kamarku sendiri?"     

Aku menaikkan bahu, "No idea? Semalem kamu video call aku pas aku masuk kamar. Aku pikir kamu pasang kamera di sana."     

"Aku ga segila itu mau pasang kamera di ruangan pribadiku, tapi aku emang pasang satu kamera di depan kamar. Aku liat kamu masuk sebelum video call semalem."     

Aku sudah mendapatkan jawaban yang kucari. Tak mengherankan kenapa dia bisa tahu kapan waktunya menghubungiku.     

Terdengar langkah seseorang menaiki tangga. Seorang pramusaji sampai di sisi kami sesaat setelahnya. Dia menaruh dua porsi steak, dua teko berisi jus dan air dingin, dengan empat gelas di sisinya, lalu segera pergi.     

Astro memotong steak dan menyodorkan potongan dagingnya padaku, "Ga ada aturan aku ga boleh nyuapin kamu kan?"     

"Ga ada sih, tapi ..."     

"Aaa ..."     

Sepertinya aku harus menurutinya sekarang. Aku menerima suapannya dengan enggan, tapi Astro justru tersenyum yang lebar sekali.     

"Kalau kamu ga mau nyentuh aku, berarti kamu juga ga boleh pegang-pegang laki-laki lain ya. Termasuk ga boleh pegang Zen. Ya kan, Honey?"     

"Mana pernah aku pegang-pegang Zen?"     

"No idea?" ujarnya dengan nada kemenangan di suaranya.     

"Kamu ga pasang kamera di mobil kan?" aku bertanya karena baru saja menemukan pemahaman ini.     

Astro menaikkan bahu sambil tersenyum lebar sekali, "Jangan nakal cuma karena aku ga liat, Honey. Kamu ga mau liat aku marah kan?"     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.