Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Keramik



Keramik

0Aku sedang duduk di pangkuan Astro, menghadap padanya dan membenamkan wajahku di tengkuknya sambil membalas semua pesan perempuan di handphone miliknya. Mataku meneliti semua pesan yang ada, memastikan tak ada satu pun pesan yang terlewat olehku. Sudah lebih dari dua jam aku diam dan bertahan dengan posisi ini karena aku tak ingin mengganggunya bekerja.     

Kami sedang berada di studio mini yang dikelilingi dinding kedap suara, yang beberapa waktu belakangan ini juga menjadi ruangan bekerja untuk Astro karena terasa lebih hening dan tenang. Aku sudah menyarankan untuk membeli sebuah sofa panjang agar aku bisa menemaninya bekerja di ruangan ini. Astro menyanggupinya.     

Astro mengelus rambutku dan mengecup tengkukku, "Belum selesai?"     

Aku menggeleng dan mengecup tengkuknya, tapi tak mengatakan apapun. Ada begitu banyak pesan dari perempuan yang aku sama sekali tak tahu siapa mereka.      

Bagaimana mereka bisa mendapatkan nomor suamiku? Bagaimana pula mereka dengan tak tahu malu masih mengajak suamiku bertemu? Perasaan ini benar-benar menyebalkan.     

Dulu aku tak pernah menghiraukannya, tapi entah sejak kapan aku mudah merasa cemburu. Aku hampir saja berniat menyadap handphonenya andai saja aku tak ingat bahwa aku lah yang tak ingin handphoneku disadap.     

Aku melonggarkan pelukanku dan menegakkan tubuhku untuk menatapnya, "Capek ya?"     

Astro mengecup bibirku, "Kamu harusnya udah tidur sekarang. Ini udah jam setengah dua pagi."     

Alih-alih menjawabnya aku justru memeluknya kembali dan membenamkan wajahku di tengkuknya. Aku memejamkan mata sambil mengelus rambutnya yang terasa lembut dan harum aroma green tea.     

Sebetulnya kebanyakan pesan yang kubalas hanya membaca pesanku, tapi ada dua orang yang sejak tadi membuatku terganggu. Entah kenapa mereka membalas pesanku seolah aku lah yang sedang mengganggunya.     

Sepertinya sekarang aku mengerti kenapa Astro memilih untuk mengabaikan semua pesan itu dibanding membalasnya. Selain menyita banyak waktu, juga ada orang-orang yang tak peduli dengan pendapatnya. Mereka memang hanya ingin mendapatkan pesan balasan, tak peduli bagaimana balasan itu untuknya. Bahkan jika pesan balasan itu adalah permintaan untuk memintanya berhenti menghubungi.     

"I'm sorry." ujarku tanpa membuka mata.     

"Kenapa?" Astro bertanya sambil mengelus punggungku dengan satu tangan. Aku tahu dia masih mengetik dengan tangannya yang lain. Kurasa aku memang mengganggunya bekerja saat ini.     

"Harusnya aku ga perlu balesin chat mereka."     

Astro mengecup tengkukku, "Ga masalah. Aku ga pernah nanggepin karena buang-buang waktu. Kalau kamu punya waktu dan nganggep mereka hiburan, kamu boleh balesin kalau kamu mau."     

"Hiburan apanya? Bikin kesel."     

Astro tertawa, "Bukannya seru? Kamu bisa pamer dan bilang ke mereka kamu Nyonya Astro. Suruh mereka cari laki-laki lain. Ancem sebarin chatnya di sosmed. Maki-maki aja bilang pelakor. Aku ga masalah kok."     

Aku melonggarkan pelukanku dan menegakkan tubuhku untuk memberinya tatapan sebal, "Kamu lagi ngajarin aku jadi psikopat ya?"     

Astro tersenyum tipis, "It's a normal thing for a wife to do so (Itu hal normal yang biasa dilakuin istri). Cuma kamu yang ga tegaan buat maki-maki orang lain yang udah jelas salah."     

Dia benar. Aku memang menghindari memaki siapapun. Aku bahkan selalu menahan untuk memaki diriku sendiri saat aku melakukan hal-hal bodoh. Bukan karena aku adalah orang yang teramat sangat baik, aku hanya merasa aku tak semestinya melakukan hal semacam itu.     

Tunggu sebentar....     

"Tapi aku ga pernah denger kamu maki orang."     

Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Aku ketularan kamu. Kamu kan ga pernah maki orang. Aku jadi ga enak kalau maki orang sembarangan. Dulu sebelum ketemu kamu aku lumayan sering ngomong sesukaku, tapi aku harus mastiin ayah ga tau atau aku pasti diajakin sparring."     

Aku mencubit pipinya, "Maki orang itu ga sopan, kamu tau?"     

Astro tertawa, "Ga heran kan kenapa ayah milih kamu jadi menantu idaman?"     

Aku melepas cubitanku dan menatapnya dalam diam. Aku tak mengerti dengan maksud ucapannya. Aku tak pernah tahu ayah memilihku menjadi menantunya. Selama ini aku hanya berpikir ibunya lah yang selalu menyukai keberadaanku. Aku tak pernah berpikir apapun mengenai ayah.     

Aku tahu ayah selalu bersikap baik padaku. Juga selalu menganggapku seperti anaknya sendiri, tapi memilihku untuk menjadi menantu? Aku sama sekali tak pernah memikirkannya.     

"Ayah yang selalu ngingetin aku buat ketemu kamu kalau aku lagi sibuk main game waktu aku masih SD dulu. Ayah bilang kalau aku ga ke rumah opa, kamu bisa aja kenalan sama laki-laki lain trus suka sama dia." ujarnya dengan senyum tipis, seolah tahu apa yang sedang kupikirkan.     

Aku menatapnya dengan tatapan tak percaya. Aku tahu dia jujur padaku. Aku hanya sama sekali tak menyangka.     

Astro mengelus pipiku dengan lembut, "Ayah juga bilang aku harus lembut sama kamu. Kamu kayak keramik. Walau udah diremes-remes buat dapet bentuk yang dimau, dipanggang suhu tinggi berkali-kali, juga dikasih tes tahan pecah, tapi kalau aku ga jaga kamu baik-baik kamu akan jadi keramik yang ga keliatan seninya. Akhirnya bisa-bisa kamu diambil laki-laki lain yang lebih bisa jaga dan ngerawat kamu."     

Entah bagaimana, tapi aku merasa terharu. Aku tahu betapa Astro memang berbeda dengan ayahnya, tapi mengetahui ada kalimat ayahnya yang dia pegang selama ini membuatku ingin menelpon ayah sekarang juga. Sialnya aku tiba-tina mengingat ucapan ayah beberapa jam yang lalu bahwa ayah sedang tak ingin diganggu karena sedang ingin berbulan madu.     

Kurasa sekarang aku tahu kenapa ayah begitu romantis pada ibu. Aku juga baru menyadari kenapa laki-laki di hadapanku begitu manis padaku.     

Aku meletakkan handphonenya di meja, lalu mengamit tengkuknya dengan kedua tanganku dan mencumbunya dengan lembut. Aku tak ingin membuat hasratnya naik di jam seperti ini. Dia harus berkuliah esok hari.     

"Kamu beruntung jadi menantu ayah." ujar Astro saat aku melepasnya.     

Aku mengangguk dan tersenyum manis, "Aku beruntung ketemu kalian."     

Astro mengelus rambut di dahiku, "Nanti aku ganti security hapeku pakai password. Kamu bisa buka hapeku kapan aja kamu mau."     

"Buat apa?"     

"Buat balesin chat perempuan ga jelas." ujarnya dengan tatapan mantap.     

Aku menghela napas, "Ga ah. Capek. Kayak aku ga punya kerjaan lain aja."     

Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Ga masalah. Nanti Nyonya Gila Kerja bisa ngecek hapeku kapan aja Nyonya mau."     

Aku memukul dadanya untuk memprotesnya yang memanggilku "Nyonya", tapi aku justru baru menyadari sejak tadi dia membiarkan dadanya telanjang.     

"Kamu ga kedinginan telanjang begini?" aku bertanya karena ruangan ini dipasangi pendingin ruangan agar tak terlalu terasa pengap.     

Astro menatapku dengan tatapan menyelidik, "Kamu ga kedinginan cuma pakai lingerie tipis begitu?"     

"Aku kan meluk kamu dari tadi."     

Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Aku kan dipeluk sama kamu dari tadi."     

Kurasa aku tahu apa maksudnya.     

=======     

Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : iamno     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.