Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Tempat



Tempat

2"Papa minta maaf, Za. Demi kamu juga." ujar Kak Sendy melalui sambungan telepon.     

Kak Sendy baru saja memberitahuku tentang pembatalan tawaran Om Hanum padaku sebagai salah satu pengurus galeri. Kak Sendy berkata mungkin nanti jika keadaan sudah jauh lebih baik, Om Hanum akan mempertimbangkan hal itu kembali.     

"It's okay. Thank you infonya, Kak." ujarku sambil memutar kuas yang sedang kupegang.     

"Apanya yang thank you? Kamu selalu terlalu sungkan." ujar Kak Sendy setengah tertawa. "Oh ya, gimana Denada?"     

"Baik kok. Kakak bisa tanya sendiri ke Denada kalau Kakak khawatir."     

"Iya sih. Aku cuma ngerasa ga enak. Mungkin aja aku ganggu."     

Aku tersenyum, "Kakak suka Denada?"     

Entah kenapa aku baru terpikirkan hal ini. Mereka bahkan sama-sama satu tahun lebih tua dariku.     

Aah aku melupakan Xavier....     

Sejak pesannya yang terakhir kali saat aku memberitahunya tentang Denada yang sudah bertemu Tiffany, dia belum menghubungiku kembali. Mungkin dia menepati ucapannya untuk memberikan Denada waktu. Namun apa yang akan terjadi andai Denada tahu Xavier dan Tiffany adalah sepupu? Sedangkan Denada begitu sakit hati hingga tak ingin membahas apapun tentang Tiffany.     

"Aku khawatir karena terakhir pertemuan dia pulang gitu aja dan ga pernah ikut sesi ngelukis di galeri lagi. Anak-anak juga nanyain, tapi aku ga bisa jawab ada apa. Bukan suka kayak yang kamu pikirin kok." ujar kak Sendy. "Ehm ... aku udah punya orang yang aku suka."     

Aku terkejut, "Oh ya? Aku boleh tau?"     

"Nanti aku ajak ke pertemuan kalau dia nerima aku jadi calon suami. Orangnya agak susah dirayu soalnya."     

Astaga ... apa yang baru saja kudengar?     

"Kakak mau langsung ngelamar?"     

Kak Sendy menggumam mengiyakan, "Aku ga berencana nikah muda kayak kamu, tapi aku emang mau ngelamar aja kalau udah waktunya. Mungkin dua tahun lagi sebelum aku skripsi."     

"Aku pikir mau dilamar dalam waktu deket."     

Kak Sendy tertawa, "Ga lah. Aku bukan Astro. Lagian aku masih belum jadi apa-apa. Aku mau punya karya dan dikenal dulu mumpung masih muda."     

Aku tahu menikah muda bukanlah hal yang sederhana dan setiap orang berhak memilih kapan mereka akan menjalin hubungan serius dengan pasangan hidupnya. Lagi pula, aku bukan Astro yang begitu bersemangat menularkan prinsip hidupnya pada orang lain.     

"Good luck ya, Kak."     

"Thank you. Kamu lagi di workshop?"     

"Aku libur hari ini. Aku lagi ngelukis."     

Kak Sendy terdiam sesaat sebelum bicara, "Sebenernya aku mau minta kamu ngelukis buat dipajang di galeri di sini. Em ... buat penyemangat anak-anak yang kangen sama kamu, tapi aku ga jadi minta soalnya aku pikir kamu pasti sibuk ngurusin workshop. Aku ga nyangka ternyata kamu masih sempet ngelukis."     

"Aku libur karena dipaksa Astro sih, tapi aku masih sering ngelukis kok kalau aku punya waktu. Kakak mau aku ngelukis apa? Nanti aku kirim ke galeri."     

"Terserah kamu. Kamu yang paling tau apa yang mau kamu lukis." ujar Kak Sendy, entah bagaimana aku bisa membayangkan dia sedang tersenyum di ujung sana.     

"Okay. Mungkin bisa sekalian aku bawa kalau aku pulang nanti."     

"Kamu mau pulang?"     

Aku menggumam mengiyakan, "Dua minggu lagi. Nanti aku kabarin."     

"Ooh I am so exited. Nanti aku kasih tau anak-anak."     

"Tapi aku ke sana weekend. Aku ga bisa ke galeri hari kamis buat ketemu mereka."     

"Gampang. Nanti kabarin aku aja. Aku yang ngurus."     

"Okay kalau gitu."     

Kak Sendy terdiam sesaat sebelum bicara, "Baik-baik ya, Za. Aku tau kamu lagi banyak masalah. Sebenernya om Hubert cerita semuanya ke papa kemarin. Aku ikut denger karena aku emang lagi di ruang kerja papa."     

Aah begitukah?     

"Jadi Kakak tau kalau keluarganya ..." aku tak sanggup melanjutkan kalimatku, entah kenapa. Aku justru menatap lukisan rumah peninggalan Kakek Indra yang masih jauh dari selesai.     

"Aku tau, tapi mungkin versinya beda sama yang kamu tau. Papa udah ngasih tau om Jaya soal cerita om Hubert, tapi aku ga tau om Jaya bilang apa ke papa. Aku cuma bisa minta kamu lebih hati-hati." ujar Kak Sendy.     

"Aku pasti lebih hati-hati. Thank you infonya."     

Kak Sendy menggumam mengiyakan, "Aku ada meeting BEM sebentar lagi. Kita ketemu dua minggu lagi ya."     

"Okay."     

"See you, Za."     

"Thank you, Kak."     

Sambungan telepon kami terputus dan meninggalkan sesuatu di dalam hatiku yang terasa asing. Haruskah aku menelepon Ayah dan bertanya?     

Aku menatap layar handphone dengan perasaan gamang, lalu mengalihkan tatapanku ke lukisan di hadapanku. Mungkin sebaiknya aku bertanya pada Astro lebih dulu.     

Aku meletakkan handphone ke saku dan melanjutkan lukisan rumah peninggalan Kakek Indra. Rumah itu didesain sesuai rumah khas Jawa dan masih khas sekali dengan banyak ornamen yang sejaman dengan usia Kakek Indra. Aku bahkan bisa membayangkan bagimana jika aku hidup di jaman itu.     

Entah bagaimana tiba-tiba aku mengingat Opa. Dulu kupikir saat Astro menginap di rumah Opa, Opa sedang menginap di mansion. Aku bodoh sekali karena aku baru tahu Opa tak pernah memasuki area mansion walau hanya satu kali. Opa pasti menginap di rumah peninggalan Kakek Indra ini, bukan? Bahkan saat Opa serumah dengan Kakek Arya, Opa pasti tinggal di rumah ini juga.     

Kemarin sebelum pulang dari Lombok, aku sempat berbincang serius dengan Astro. Astro berkata pertemuan kami dengan Bu Lia yang mengenal bundaku adalah sesuatu yang tidak dia duga.     

Astro menjelaskan, sejak awal dia tahu lahan yang sedang dia incar memang milik keluarga Bu Lia. Dia mendapatkan informasi dari sumber yang tak ingin dia sebutkan, dengan berbekal rasa penasaran dari informasi yang diperoleh dari Riri.      

Berbagai informasi itu dikumpulkan dan Astro mendapati kenyataan yang mengejutkan bahwa seseorang yang didorong oleh Opa di rumah sakit ternyata memiliki hubungan dengan pemilik lahan yang dia cari. Bahkan saat Astro menceritakan tentang bagaimana mereka saling berhubungan, entah kenapa aku tahu itu bukanlah kebetulan.     

Aku menghela napas panjang. Sebenarnya ada berapa banyak hal yang tak kuketahui selama ini?     

Aku mendengar seseorang menaiki tangga. Astro muncul tak lama kemudian dengan sesuatu di tangannya. Aku menyalami dan mencium tangannya karena aku tahu dia baru saja sampai.     

"Bagus kan?" Astro bertanya sambil memperlihatkan sebuah kotak kayu dan membukanya. Ada sebuah sarung kulit yang dibuat dengan kualitas baik di dalamnya.     

"Bagus. Itu buat apa?"     

"Buat tombak kita. Aku ga bisa biarin tombaknya telanjang gitu aja." ujarnya sambil mengajakku duduk di sofa.     

"Aku pikir kamu udah simpen tombak itu ga tau di mana."     

"Iya emang aku simpen. Kan aku ga mungkin kasih liat itu ke sembarang orang." ujarnya sambil menatapku lekat.     

Astro benar. Astaga ... entah ada apa denganku. Aku merasa aku bodoh sekali.     

Astro mengamit tanganku dan mengajakku bangkit. Aku mengikuti langkah kakinya menuruni tangga menuju kamar. Dia menghentikan langkah di tepi tempat tidur dan mengangkat sisi tempat tidur miliknya. Terlihatlah sebuah bungkusan kain yang aku tahu jelas apa isi di dalamnya.     

"Jadi itu ada di situ seminggu ini?" aku bertanya sambil menatapnya tak percaya.     

Astro mengangguk sambil membongkar ujung tombak dari lilitan kain dan memasukkannya ke sarung kulit, "Besok kita cari tempat buat sembunyiin ini."     

"Cari tempat?"     

Astro hanya mengangguk dengan mantap.     

=======     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : nou     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.