Gerard
Gerard
Aku beranjak menghampiri ruang tamu dan menemukan Opa, Oma, Astro dan Rilley sedang berbincang. Mereka menoleh saat melihatku. Rilley langsung bangkit, disusul oleh Astro. Kurasa aku tahu kami akan langsung berangkat.
Aku menyalami dan mencium tangan Opa dan Oma, bergantian dengan Astro, lalu kami mengikuti langkah Rilley dengan saling menggenggam tangan. Entah apakah aku yang tak merasa dekat dengan Rilley seperti aku merasa dekat dengan Kyle, tapi aku merasa dia bersikap dingin padaku.
Kami berkendara dalam diam, dengan Astro memelukku dan membiarkanku bersandar pada bahunya. Rilley yang menyetir berkali-kali melirik pada kami melalui spion tengah, dengan ekspresi yang sama sekali tak berubah hingga membuatku memejamkan mata karena merasa tak nyaman.
Elusan Astro di pipiku membuatku membuka mata. Kami sampai di rumah tahanan setelah berkendara selama satu jam tanpa bicara. Rumah tahanan ini gelap sekali dan dikelilingi dinding tinggi dengan kawat duri razor di atasnya.
Kami keluar dari mobil dan dikawal oleh seorang berpakaian seragam. Rilley bicara dengannya dan dia memperkenalkan diri dengan nama Broto. Pak Broto membawa kami masuk melewati berbagai koridor dan berbagai lapisan keamanan dengan pintu teralis baja hingga sampai ke sebuah ruangan. Aku tak tahu ruangan apa ini, tapi aku cukup yakin ini bukanlah ruangan yang lazim digunakan untuk membesuk tahanan.
Kami dipersilakan duduk dan menunggu, tapi Rilley memilih berdiri di dekat pintu, mungkin untuk berjaga. Sepi sekali hingga aku berpikir kami baru saja dibiarkan masuk dengan sebuah protokol khusus agar tak ketahuan oleh siapapun. Aku bahkan baru menyadari sepertinya Astro sedang berpikir entah apa hingga tak membuka suara sejak kami berangkat dari rumah Oma.
Aku menoleh saat pintu terbuka. Ada Pak Broto dan seorang petugas berseragam lain mengapit Gerard di tengah. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang saat melihat Gerard tersenyum, senyum yang memamerkan deretan giginya yang rapi. Walau penampilannya berantakan dengan pakaian khas tahanan, tapi dia terlihat baru saja merapikan diri karena rambutnya seperti baru disisir.
Kedua petugas keluar setelah mendudukkan Gerard di hadapan kami dan melepas borgol yang mengikat kedua tangannya. Mereka memberi isyarat pada Rilley ke arah pergelangan tangannya, sepertinya waktu kami hanya sedikit.
"Saya tunggu di luar. Nona punya waktu tiga puluh menit." ujar Rilley dengan tatapan dingin dan menghilang di balik pintu.
Begitu mudahkah? Ruangan ini memang tak memiliki jalan keluar lain selain pintu yang menjadi tempat kami keluar masuk. Namun bukankah membiarkan seorang tahanan tanpa borgol adalah hal yang beresiko?
"Kalian cocok." ujar Gerard tiba-tiba. Dia menyandarkan punggungnya pada punggung kursi sambil terus menatap kami dan tersenyum. Entah kenapa aku mendapatkan kesan dia sedang berusaha membuat dirinya nyaman.
Aku menarik napas perlahan dan menatapnya lekat. Aku tak yakin apa yang akan kukatakan padanya. Melihatnya dengan tampilan menyedihkan bukanlah pilihan yang akan kuambil untuk menemui seorang teman lama, tapi elusan tangan Astro di jariku membuatku menyadari kami tak boleh menyia-nyiakan waktu hanya untuk bertatap mata.
"Luka kamu gimana?" aku bertanya pada Gerard.
Gerard mengelus bahu kirinya sambil tersenyum, "Masih sakit. Untung di kiri, kalau di kanan mungkin aku ga bisa ngelukis lagi."
"Aku nemu pesan kamu di belakang lukisan."
Gerard terlihat terkejut hingga memajukan tubuhnya dan menatapku lekat, "Oh ya?"
Aku mengangguk singkat.
"Bisa bantu aku ringanin hukumanku?"
Aku menggeleng, "Sorry."
Entah kenapa Gerard tersenyum semakin lebar dan kembali menyandarkan punggungnya pada punggung kursi, "Tapi kamu hebat bisa ketemu aku di ruangan begini. Padahal aku cuma bisa ketemu papa sepuluh menit di ruang khusus besuk."
Kurasa aku akan mengabaikannya karena ada pertanyaan lain yang menanti, "Apa yang kamu tau soal kakek buyut keluarga Astro sama keluarga kamu?"
"Soal tombak tua maksud kamu?"
Elusan jari Astro di jariku berhenti, tapi aku mengelusnya kembali untuk menenangkan dirinya. Kami memang sudah menebak hal ini dan hal ini tak pernah terbuka di pengadilan, tapi pengakuan Gerard sepertinya membuka pemahaman baru.
"Tombak itu udah jadi cerita turun temurun di keluarga papa. Zenatta juga tau walau dia ga peduli. Dia cuma peduli sama Astro." ujar Gerard sambil menatap Astro lekat, senyum di bibirnya menghilang tanpa sisa. Namun pengakuannya membuktikan dugaanku.
"Aku boleh tau ... kenapa ibu sama ayah kamu cerai?" aku bertanya.
Gerard menatapku ingin tahu, "Kenapa kamu mau tau? Itu udah lama, ga lama setelah kamu pindah."
Aku menaikkan bahu, "Ibu sama ayah kamu keliatan baik-baik aja dulu. Aku sama sekali ga bisa mikir alasan kenapa mereka cerai."
Gerard terlihat berpikir sebelum bicara, "Kalau aja mama ga marah sama kamu, aku bisa aja minta kamu ketemu mama dan kamu bisa nanya sendiri."
Aah....
Sebetulnya aku hanya penasaran apakah mungkin Om Hubert memang sengaja membuat keluarga Gerard berantakan, tapi sepertinya cara ini tak berguna. Bagaimanapun Gerard mungkin hanya tahu Om Hubert sebagai papa tiri yang baik.
"Aku minta maaf ke sini tanpa bawa apa-apa. Sebenernya aku pengen bikinin kamu brownies, tapi pasti aneh." ujarku.
"Aku tagih kalau aku udah keluar dari sini."
Aku tersenyum saat mengingat betapa Gerard akan sangat girang saat Bunda memberinya beberapa potong brownies kesukaan kami, "Kalau kamu bisa nemuin aku nanti aku bikinin, dan ... kalau kamu dapet ijin dari Astro."
"Aku ga akan ngijinin." ujar Astro dengan ketus.
"Bucin ternyata." ujar Gerard sambil tertawa, tapi tawanya segera hilang dan dia menatap kami bergantian dengan tatapan sendu. "Sebenernya aku baru tau soal kalian dua minggu sebelum resepsi kalian. Aku ikut ke Zenatta antara bingung mau balas dendam atau mau bantu kalian kabur."
"Balas dendam?" Astro bertanya.
Gerard mengangguk dan menatap Astro dengan tatapan dingin, "Karena kamu udah ngambil calon istriku."
Jantungku hampir saja berhenti berdetak. Aku bahkan bisa merasakan sensasi dingin es merayapi tengkukku dan menjalar ke seluruh tubuh. Tiba-tiba saja ingatan tentang mimpiku dengan Gerard menyusuri hutan untuk mencari rumpun bunga lavender berkelebat di mataku.
Astro tertawa, "Calon istri apanya? Aku sama Faza emang udah dijodohin dari dulu. Dari kita belum kenal."
Gerard terlihat terguncang dan menatap kami dengan pupil mata bergetar, "Apa kamu bilang?"
"Kita udah dijodohin dari sebelum kita kenal. Kesepakatan yang ayahnya Faza juga tau. Pede banget kamu bilang aku ngerebut calon istri dari kamu?!" ujar Astro dengan senyum kemenangan.
"Kamu tau soal itu?" Gerard bertanya sambil menatapku lekat.
Aku hanya mengangguk. Kenyataan itu tak bisa dipungkiri walau kami baru mengetahuinya tadi pagi saat berbincang dengan Om Chandra.
Gerard tertawa dilema dan mengedarkan tatapannya ke sekeliling ruangan, "Zenatta kena prank. Dia pikir kalian baru kenal setelah Faza pindah ke sini jadi dia pede banget bisa misahin kalian karena ngerasa kenal Astro lebih dulu. Ternyata dari awal dia emang ga punya kesempatan ... aku juga."
"Apa kita pernah ke samping rel kereta api?" tiba-tiba saja aku bertanya untuk menghentikan apapun yang akan keluar dari bibir Gerard.
Gerard menatapku bingung, "Rel kereta api mana?"
=======
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow nou di sana yaa..
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-