Tante Seksi Itu Istriku

Kembali Ke Rumah



Kembali Ke Rumah

0Usman sudah terbiasa mendengar permintaan yang tidak-tidak dari sang istri. Semata-mata hanya untuk memancingnya saja. Namun Usman sekarang harus mulai terbiasa. Walau belum ia coba untuk terbiasa dengan Farisha. Ini berada di alam, tidak ada penutup seperti rumah. Kalau melakukan sesuatu seperti yang dikatakan Farisha, tidak akan bisa.     

"Maafkan aku, Tante ... di sini nggak bisa pijit ke depan." Meskipun ia juga menelan salivanya karena pikirannya yang mulai kotor. Tapi sebisa mungkin ia menahannya agar tidak kebablasan. "Kalau mau pijat ke depan, kita pulang saja dulu. Nanti aku akan pijitin anunya Tante ...."     

"Anunya apa, Man? Orang di bagian depan, ya perut sama tangan. Juga kepalaku yang bagian depan. Pasti pikiran kamu yang ke mana-mana," ujar Farisha, menyunggingkan senyum senang karena berhasil membuat Usman salah paham. Seperti itu saja sudah membuat Farisha cukup senang mengerjai lelaki itu.     

"Eh ... enggak, Tante. Anu ... enggak kok." Usman menyangkal perkataan Farisha. Walaupun ia sendiri memang sempat berpikir kotor sejenak. "Emm ... kita lebih baik segera tinggalkan tempat ini. Ini sudah siang. Mungkin sudah saatnya kita makan?" Dengan mengatakan hal lain, ia berharap tidak akan terungkit kembali hal seperti tadi. Usman benar-benar bingung saat ini tapi tidak bisa berbuat apapun.     

Farisha mengambil ponselnya dan melihat waktu yang tertera di layar ponsel itu. "Ya sudahlah ... karena suami yang minta kita pulang. Tapi sekarang baru jam setengah sebelas. Tapi kalau dihitung juga, mungkin setengah jam lagi kita bisa sampai di rumah. Bisa setengah jam lagi di sini, kan?" pintanya lalu meneruskan duduknya.     

"Ya sudahlah ... tapi acara pijat-pijatnya gimana? Apakah perlu diteruskan atau tidak? Tapi di sini jangan yang sensitif. Katanya di sini ada yang lihat. Nanti kalau ada yang melihat kamu–"     

Farisha memotong, "Sudahlah Usman ... ini sudah tidak perlu diteruskan lagi. Sekarang kita nikmati saja pemandangan di sekitar sini! Alangkah baiknya kalau kita abadikan momen ini. Karena tidak tahu kita akan kembali lagi atau tidak. Pokoknya hari ini kamu harus bisa memotret." Farisha mengambil ponselnya di tas kecilnya.     

"Iya, Tante. Memang kita harusnya menikmati saja pemandangan di sini. Lihat, di sana mungkin ada air terjun. Apakah kita akan ke sana juga?" tanya Usman. Alangkah baiknya kalau mereka sampai ke sana," tunjuk Usman pada air terjun yang terlihat di tempat jauh, di belakang bukit.     

Sementara Farisha dari tadi sedang berfoto selfi. Kemudian ia memfoto Usman yang sedang menunjuk ke air terjun. Juga beberapa foto Usman yang sedang tersenyum. Pokoknya pagi menjelang siang ini, mereka menghabiskan waktu untuk berfoto ria. Walau mereka bisa datang kapan saja, setidaknya ia bisa memuaskan dirinya bersama-sama.     

Setelah selesai berfoto sampai lima belas menit, mereka pun menyudahi kegiatannya. Mereka menuruni bukit dengan berjalan kaki. Farisha yang juga berjalan di depan Usman. Mereka berjalan di jalan yang terjal, dengan guguran tanah dan bebatuan yang menghalangi langkah mereka.     

"Ini malah turunnya kudu lebih hati-hati lagi. Jadi jangan sampai kita lalai, Usman! Jalan kamu harus hati-hati agar tidak jatuh." Farisha berpegangan pada akar pohon dan kadang ia berpegang pada bebatuan dan lainnya. Yang penting itu terlihat bisa digunakan.     

Sementara Usman mengikuti wanita di depannya juga mengalami kesulitannya sendiri. Lelaki itu masih menjaga jarak dengan Farisha yang kesulitan untuk turun dari bukit. Semakin lama mereka menuruni bukit, tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai ke dasar.     

"Hahhh ... syukurlah kalau kita sudah sampai di sini dengan selamat. Itu pantas untuk kita syukuri. Ayo Usman, kita lanjutkan perjalanannya. Aghhh!" pekik Farisha karena tiba-tiba terjatuh.     

"Tante ... kamu kenapa? Nggak apa-apa, kakinya, kan?" tanya Usman dengan raut wajah yang pamit. Ia mendekat ke arah istrinya yang dalam posisi duduk saat ini.     

Farisha meringis dan mengatakan, "Uhh, kayaknya kakiku keseleo, Man. Aku nggak bisa jalan lagi kayaknya. Mmm ... apa kamu mau membantuku? Apa kamu mau menggendongku kali ini? Oh, kenapa rasanya sakit gini?"     

"Kalau gitu, bagaimana kalau aku gendong saja, Tante. Tapi aku urut dulu kakinya, mungkin bisa sedikit lebih baik. Tapi nggak tahu, aku nggak tahu harus bagaimana. Pokoknya ayo naik ke punggung, agar aku gendong!"     

Farisha akhirnya tersenyum, mendengar niat baik dari lelaki yang sudah menjadi suaminya itu. "Iya, Usman. Ayo bantu aku kembali saja, akhh!" pekik Farisha sambil menahan sakit akibat pijatan Usman kepada dirinya.     

"Sabar, yah! Nanti juga tidak apa-apa, kok. Tapi Aku tidak terlalu tahu masalah keseleo. Ayo naik sekarang!" perintah Usman pada Farisha. Ia jongkok di depan sang istri agar bisa menggendong wanita itu.     

Farisha naik ke pundak Usman yang lebih pendek darinya. Walau lelaki itu lebih pendek, tenaganya cukup lumayan. Maka dengan mudah bisa menggendong Farisha. Namun tentu, karena Farisha yang digendong, menempel terus pada lelaki itu. Tibalah saatnya pemuda dua puluh tahun menggendong istrinya.     

"Jalannya pelan-pelan saja yah, Man! Aku nggak mau kalau terjadi apa-apa sama aku. Jadi kamu harus pastikan kalau sampai di rumah. Eh, nggak jadi, deh. Kamu pelan-pelan jalannya, ihhh, ini dadaku juga sakit. Maaf, aku tempelkan ke punggung kamu. Soalnya lama nggak dipijit. Nanti kamu pijat, yah!"     

Usman tidak peduli dengan ucapan Farisha. Wanita itu menggesekan dadanya yang montok itu ke punggungnya. Tentu membuat lelaki manapun akan merasa kalau itu disengaja. Dengan rasa malunya, lelaki itu mencoba menahan gejolak yang tercipta karena adanya Farisha di gendongannya.     

Dalam perjalanan, Usman kadang berhenti bergerak dan selalu menghindari orang lewat. Butuh waktu lima belas lebih untuk menuruni bukit hingga sanpai ke rumah. Setelah sampelai ke rumah sederhana itu, Usman meletakkan sang istri ke sofa yang ada di ruang depan.     

"Terima kasih karena sudah menggendongku, Usman. Tapi kayaknya sebentar lagi sudah sembuh. Jadi kita istirahat saja, yah! Hari ini tidak boleh ada suami atau istri bohongan. Jadikan aku istrimu yang satu. Usman, aku sudah tidak tahan. Ayo kita lakukan itu sekarang!"     

Baru pulang, Usman sudah lelah. Tapi Farisha malahan menggoda Usman. Membuat lelaki itu dalam kebingungan. Perjanjiannya masih belum saatnya dilaksanakan. Karena sebelumnya Usman diberi waktu satu hari untuk berpikir. Ini belum satu hari, Farisha terus menggoda Usman untuk melakukan keinginannya.     

"Kenapa? Apa kamu masih mau menolakku? Pokoknya kamu harus menuruti apa yang aku minta. Dan jangan harap kamu bisa lepas dariku saat ini, Usman." Farisha tersenyum manis di depan sang suami lalu menyodorkan pemandangan luar biasa di dalam rumah itu.     

Seperti sebuah mimpi yang tidak tahu jalannya akan ke mana. Tapi kali ini memang kejadian nyata di antara Farisha dan Usman. Hari ini seakan menjadi saksi, di mana keduanya mencapai apa yang mereka idamkan tapi tidak pernah dilakukan sebelumnya.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.