Di Bawah Bintang-bintang
Di Bawah Bintang-bintang
"Apakah kamu juga merasa dingin?" tanya Farisha yang ada di samping lelaki yang tengah menatap lautan luas. Wanita itu cukup mengerti dengan gelagat lelaki itu.
"Hehh?" tanya Usman, menengok ke arah Farisha. Tentu ia merasa dingin dengan udara sepoi-sepoi. "Tadi Tante bilang apa?" katanya. Karena terlalu fokus menatap ke depan, ia tidak terlalu mendengar.
Farisha terkekeh pelan, lalu ia mengulang, "Apakah kamu juga kedinginan? Aku dingin banget, Man. Sini deketan duduknya, dong!" Ditariknya tangan sang suami agar lebih dekat. Dengan itu, ia berharap Usman tahu apa yang wanita itu inginkan. Kalau dipeluk, pasti akan lebih hangat. Begitu yang dipikirkannya.
Di bawah langit yang diterangi cahaya bintang dan di bawahnya ada penghangat dari api unggun yang mereka buat dari semenjak mereka datang. Kesunyian malam, berdua tak ada yang mengganggu. Ini adalah kesempatan bagus kalau Usman atau Farisha mau. Tapi di masing-masing pikiran mereka, hanya ada kepura-puraan dan tidak boleh ada cinta. Walau mereka sendiri tidak tahu, perasaan yang tumbuh antara keduanya.
Kerlip bintang bertaburan di langit yang sangat tinggi. Mungkin mereka tidak bisa di raih. Hanya satu bintang yang di hadapan. Mungkin itu adalah perkataan orang yang suka dengan gombalan. Namun Usman bukan orang yang pandai merayu. Begitu juga dengan Farisha yang hanya berharap.
"Kita kembali ke rumah saja, Tante!" celetuk di Usman. Karena tidak ingin Farisha sakit, tentu dengan kembali ke rumah, akan terasa lebih hangat. Setidaknya mereka bisa tidur dengan ditutupi selimut tebal.
Sang sopir yang tadinya berada di pantai pasir putih itu pun sudah meninggalkan tempat. Karena rasa lelahnya, sudah beberapa jam lalu sudah meninggalkan pantai yang dingin.
"Oh, baiklah ...." Akhirnya Farisha beranjak dari tempat duduknya. Karena tidak mau sakit dan memang ia tidak akan tahan kalau rasa dingin semakin menusuk. "Kita segera kembali ke rumah untuk istirahat! Jadi kamu nggak akan repot lagi. Sekarang kita matikan saja apinya dengan pasir."
Api memang sudah tidak begitu besar. Juga ranting yang digunakan pun sudah habis. Jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk tetap berada di sana. Kalau di sana pun mereka hanya saling berdiam diri. Bukan hanya udara yang dingin, sikap keduanya juga tidak ada yang mau membuat kata-kata atau sebuah ajakan untuk bersenang-senang.
"Kalau begitu, biarkan aku saja, Tante! Tanganmu nanti kotor. Kalau aku sih nanti bisa mencucinya," ujar Usman yang memegang tangan wanita yang ia nikahi beberapa hari lalu. Tapi saat ia memegang tangan itu, terasa hangat dan terasa tangan itu begitu halus.
Sesaat pandangan keduanya bertemu. Tidak ada yang mereka pikirkan selain hanya terbengong dan saling menatap. Walau sudah malam, bintang-bintang lumayan bisa membuat mereka bisa melihat wajah satu sama lain. Membuat mereka semakin gugup dan terdiam beberapa detik.
"Emm ... ya sudah ... kamu saja yang bereskan, yah. Aku tunggu di depan saja, yah!" ujar Farisha. Sebisa mungkin ia menjauh dari lelaki yang tadi memegang tangannya. Ingin sebenarnya ia kembali menggenggam tangan itu. Walau tidak kekar atau tidak begitu halus, cukup seperti itu, bisa terpikirkan lebih dalam.
"Eee ... i-iya ... kalau begitu, terserah Tante saja," tandas Usman. Setelahnya ia mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Tidak mungkin ia melihat ke arah Farisha itu. "Aku akan bereskan semuanya."
"Jangan lama-lama, yah!" pinta wanita itu dengan lembut. "Ayo aku akan tunggu kamu selesai." Padahal ia tidak mau berpaling. Tapi ia tidak ingin hanya dirinya yang berharap. Jadi untuk membuatnya tenang, harus menjauh dari pemuda yang telah memporak-porandakan hatinya.
Usman mengambil pasir dengan tanah dan menyiramkannya pada bara api itu. Sedang ia merasa pasir itu panas karena ia mengambil pasir yang di dekat kayu bakar tersebut. Ia mengangkat tangannya dan ia kibaskan sambil mengeluh.
"Kamu kenapa, Man? Apa kamu butuh bantuan, hemm?" gumam Farisha, menawarkan bantuan. Ia menengok ke belakang dan Usman terus menaburi api unggun dengan pasir.
"Enggak apa-apa, Tante. Tadi pasirnya terlalu panas. Tapi sudah nggak apa-apa, kok. Tante di sana saja, yah!" sahut Usman sambil menengok ke arah wanita itu. Ia berusaha untuk membuat api itu padam sepenuhnya.
"Kalau begitu hati-hati, lah. Eh, oh iya ... biar aku terangin pakai senter hapeku, yah!" Wanita itu merogoh sakunya yang ada telepon genggam di dalamnya. Ia lalu menghidupkan senter untuk membantu Usman melihat pasir itu.
Tidak terlalu lama Usman menguburkan semua ranting yang belum sempat terbakar. Alhasil, terbentuk gunungan setinggi hampir setengah meter ketika Usman selesai mengubur semuanya dengan pasir.
Melihat Usman yang sudah selesai, Farisha tetap menerangi Usman. Tanpa bicara lagi, mereka meninggalkan tempat itu. Dengan sentet dari ponselnya, Farisha menuntun jalan ke arah rumah yang jaraknya sekitar seratus meter lebih. Itu adalah rumah yang paling dekat dengan pantai.
"Man ... apakah kamu senang di sini? Besok kita mau ngapain saja di sini? Apa kamu punya rencana yang belum terlaksana? Mumpung kita berada di pantai, jadi kita bisa rencanakan apa yang akan kita lakukan besok. Tapi jangan terlalu dipikirkan, sih."
Usman berhenti dari jalannya, melihat Farisha yang berjalan lebih dahulu. Ia tidak memikirkan apapun di dalam isi kepalanya. Yang penting ia bersama wanita yang paling cantik, yang pernah ia temui. Walau hanya bisa berada di belakang. Tapi Farisha menyadarinya langsung menengok ke arah sang suami.
"Kamu kenapa? Apa kamu sakit, Usman? Sebaiknya kita harus cepat kembali karena ini sudah pukul sepuluh malam. Takutnya di sini ada hantu. Kamu tidak mau ketemu sama mereka, kan?" tanya Farisha yang membalikan badannya ke arah Usman
"Nggak apa-apa, kok Tante. Ini nggak tahu kenapa aku jadi kepikiran. Ya sudah ... aku tidak tahu harus melakukan apa. Jadi aku ngikutin Tante saja, yah, hehehe," kekeh Usman menjawab pertanyaan wanita yang usianya sepuluh tahun lebih tua itu.
"Ya sudah kalau kamu sudah bilang begitu. Kita rencanakan besok saja, yah! Yang penting kita harus segera kembali. Ayo kita kembali lebih cepat! Aku sudah ingin tidur di tempat yang hangat itu." Farisha mengulurkan tangannya pada Usman sambil melambaikannya. Ia berharap Usman segera bergegas.
Malu rasanya saat mendapat perhatian dari wanita yang lebih dewasa darinya. Tapi wanita yang lebih dewasa, entah mengapa Usman menyukainya. Entah itu sebatas sebagai bawahan atau karena tidak pernah mendapat perhatian dari wanita lain. Bahkan dari ibu kandungnya, yang ia tidak tahu di mana. Entah masih hidup atau sudah mati.
***