Keberangkatan
Keberangkatan
"Oh, kebetulan kamu sudah muncul. Tolong Pak Lukman, antarkan Farisha dan Usman ke tempat yang sudah aku katakan sebelumnya, yah!" perintah Azhari, yang berada di garasi mobil.
"Oh, iya Bu. Aku akan antar mereka. Kalau begitu, mereka bisa langsung ke depan. Jadi bisa langsung berangkat sekarang saja. Mumpung hari masih siang."
Lukman merupakan seorang sopir yang bekerja dengan Azhari dari semenjak Farisha kecil. Ia adalah sopir yang dipercaya oleh keluarga itu. Hal yang membuat ia betah, ia sudah mendapatkan kepercayaan dan gaji yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Ia bisa pulang ke rumahnya ketika Azhari tidak ada pekerjaan untuk dilakukan.
"Baiklah kalau begitu, akan diberitahukan pada mereka. Kamu duluan saja, Pak!" tandas Azhari. Ia meninggalkan pria paruh baya itu. Kembali ke Farisha yang sudah meninggalkan ruangan.
Di sana hanya ada Benny yang masih duduk terdiam. Melihat istrinya datang, pria itu hanya bisa diam. Ia sudah cukup menderita karena tubuhnya yang sedang tidak sehat. Tapi ia hanya bisa menyusahkan istrinya. Kadang kalau sedang dalam keadaan seperti itu, ia tidak bisa berbuat apapun. Hanya bisa duduk di sofa yang berada di ruang tamu di rumah besar itu.
"Farisha ke mana, Mas?" tanya Azhari kepada suaminya. Ia celingukan ke kanan kiri dan ke depan. Tapi memang tidak ada Farisha dan Usman berada di sana.
"Lagi ke kamar, mengambil pakaian, Bu. Apa aku terlalu keras kepadanya? Kenapa dia selalu ngelunjak dengan yang aku katakan? Dia selalu tidak mau menurut apa yang aku katakan. Padahal kan ini demi kebaikannya."
Azhari sudah lelah dengan sikap sang suami yang tidak pernah mau mengalah dan instrospeksi diri. Padahal sudah jelas kalau itu hanya keinginannya belaka. Apa yang dikatakan oleh Benny tidak akan pernah digubris oleh Farisha. Tetapi sebagai seorang istri dan seorang ibu, Azhari hanya bisa bersabar menghadapi suami dan anaknya. Kebaikan sang anak memang perlu, namun kebahagiaan itu lebih penting adanya. Jangan sampai anaknya mengalami hal yang sama dengan nasibnya.
"Kenapa kamu selalu bilang, demi kebaikannya? Apakah Mas tahu, kebaikan yang seperti apa yang dimaksud? Apa dengan menikahkan dia dengan orang lain, akan membuat dia bahagia? Tidak, Benny! Kamu salah besar! Kebahagiaan Farisha itu lebih penting daripada harus menuruti kemauanmu yang tidak masuk akal!"
"Kau berani melawanku, hah?" bentak Benny. Ia melayangkan tamparan ke arah wajah sang istri.
"Plak!" Sebuah tamparan lain yang mengenai pipi Benny. Membuat pria itu menoleh ke samping, Farisha yang menamparnya.
Kali ini Farisha bisa melawan Benny karena kondisi tubuh pria itu sedang tidak baik. Tentu karena efek kebanyakan minum obat kuat, membuat tubuhnya lemah seperti sekarang ini. Bahkan melawan Farisha sebenarnya ia tidak mampu.
"Kalau kau berani menampar ibuku, aku tidak bisa tinggal diam! Kalau mau, aku bisa menggantikan ibu untuk membalas apa saja yang kamu lakukan padanya! Oh iya, kalau kau masih mau tinggal di sini, sebaiknya kamu jaga sikapmu, Benny! Aku tidak ingin melihatmu menyakiti ibu lagi! Karena aku bisa saja membawamu ke meja hijau untukmu mempertanggungjawabkan perbuatanmu!" kecam Farisha. "Ibu, aku berangkat dulu! Dan kalau dia masih menyusahkan, buang saja ke sungai."
"Farisha ... itu adalah ayahmu. Kamu jangan katakan itu pada ayahmu, Nak!" ujar Azhari. Tidak bisa ia melihat anaknya yang kurang ajar. Tapi ia juga tidak mengapa. Anggap saja Farisha juga mewakili dirinya yang sudah tidak tahan dengan suaminya. Suami yang selama ini berbuat buruk padanya.
"Ayo, Man. Kita pergi dari rumah ini! Kalau ibu masih saja membela bajingan ini, ya sudah kalau begitu. Jangan menyesal nantinya kalau masih tetap mempertahankan parasit ini!" Farisha membawa kopernya yang dibantu oleh Usman. Kali ini koper besar yang dibawa oleh wanita itu.
"Ibu, Ayah ... aku dan Farisha pamit dulu, yah! Assalamualaikum ...." Usman menundukkan kepala pada dua mertuanya tersebut.
Hari sudah semakin siang, Usman dan Farisha menuju ke luar rumah. Di sana sudah terparkir sebuah mobil putih milk Azhari. Sang sopir yang bernama Lukman itu sudah menyiapkan semuanya. Karena hari ini akan ke pantai, ia juga ingin menikmati suasana pantai beberapa saat. Barulah ia bisa kembali pulang ke rumah. Karena hari ini ia hanya mengantar Usman dan Farisha.
"Non Farisha sudah siap? Ayo biar bapak bantuin!" tawar Lukman. Ia membuka pintu bagasi dan mengambil alih barang-barang yang dibawa Farisha. "Masnya juga, sini bapak bantuin!" Ia kemudian mengambil juga barang milik Usman, memasukan juga ke dalam bagasi yang masih di luas.
"Terima kasih, Pak," balas Farisha dan Usman bersamaan. Mereka lalu masuk ke dalam mobil karena harus segera berangkat. Hari sudah siang dan matahari mulai terasa panas.
Ketimbang dengan Benny, Farisha lebih menghormati orang yang bekerja di rumahnya. Baik itu para penjaga gerbang atau kepada sang sopir. Kalau ia memiliki orang tua, ia tidak mengharapkan seperti Benny. Yang selalu kejam kepada dirinya dan ibunya.
"Pak, apa kita nanti mampir ke tempat makan dulu saja, yah! Bapak sudah makan atau belum? Kalau belum, bisa sekalian. Kami belum sempat makan hari ini, soalnya," kata Farisha.
Lukman masuk ke dalam dan menjawab, "Sudah, Non. Tadi sudah makan di belakang. Erni sudah masak banyak hari ini. Menunggu Non Farisha sama Mas Usman. Tapi lama tidak kunjung datang. Jadi ya aku makan sekalian, hehehe," kekeh Lukman.
Walau masih pukul sepuluh pagi, matahari sudah terik. Membuat Lukman harus menghidupkan AC mobil. Pria paruh baya itu membawa mobil itu keluar dari gerbang. Setelah pintu itu dibuka oleh seorang lelaki yang sedang beristirahat, merokok dan minum kopi hitam.
"Ehh ... ehh ... ehh ... non Farisha, kenapa cepat sekali pergi lagi?" ujar pria itu. Dengan buru-buru, ia berlari menuju ke gerbang. Membuka pintu yang sudah ia kunci. Karena perintah Farisha yang melarang wanita yang mau masuk ke dalam rumah itu.
"Selamat jalan, Pak, Non Farisha dan Masnya. Selamat bersenang-senang dan segera pulang membawa oleh-oleh, hihihi," kikik pria itu menggoda.
"Iya, Bapak mau minta dibeliin apa? Nanti kalau, akan aku belikan," sahut Farisha dari jok belakang.
"Eh, minta kabar baik saja, Non. Bapak akan menunggu kabar Non Farisha segera isi, hehehe. Nanti rumah ini bisa lebih ramai, deh." Pria itu sangat senang ketika membayangkan itu. Selama majikannya bahagia, ia akan bahagia untuk Nona mudanya.
"Ya kalau yang itu, pasti akan terwujud, lah. Kamu jangan pernah khawatir. Nona kita kan sudah mendapat suami yang ganteng. Jadi nggak apa-apa, pasti akan cepat hamil," celetuk sang sopir.
***