‘Mahakarya’ Xiang Gua
‘Mahakarya’ Xiang Gua
Liuli Guoguo masih sangat kooperatif. Dia bertepuk tangan, lalu melanjutkan memijat pundak Xuanyuan Pofan dan berkata, "Hehe, Kakak Po, lihatlah, Xiang Gua benar-benar bisa melukiskan. Lihatlah, bagus sekali lukisan cakar ayam miliknya ini, benar-benar indah dan mirip sekali!"
Begitu ucapan Liuli Guoguo ini terlontar, Xiang Gua langsung terdiam, keningnya pun mengerut dan menggelap. Setelah diam sebentar, telinganya berdiri, menggaruk belakang kepalanya, kemudian dia berkata kepada Liuli Guoguo, "Nyonya kecil, yang aku lukis ini bukan cakar ayam, tapi aku melukis… Melukis tanganmu."
Tanganmu sering mengelusku, memelukku, menggendongku. Menyisir buluku, menyuapiku, memandikanku. Jadi lukisan pertamaku, aku dedikasikan untuk melukis tanganmu, batin Xiang Gua.
Liuli Guoguo terdiam cukup lama dan hampir saja terjatuh dari tempatnya. Setelah sudut bibirnya berkedut, dia pun berkata, "Hehe tidak apa-apa, tidak apa-apa. Mari kita melukis satu lukisan lagi."
"Aku akan meminta pelayan untuk menggulung lukisan pertamamu ini dan memasukkannya ke dalam gulungan lukisan untuk dijadikan kenang-kenangan. Ayo Xiang Gua, mari kita lukis satu lukisan lagi untuk Tuan besar."
Liuli Guoguo mengambil lukisan cakar ayam, bukan-bukan, tapi lukisan tangannya itu kepada Xiao Denglong, lalu memintanya menggulungnya. Setelah itu dia bersorak, kemudian memberikan selembar kertas lagi kepada Xiang Gua. "Ayo Xiang Gua, tampilkan pertunjukkan lukisan keduamu untuk Tuan."
"Em em!" Xiang Gua mengangguk. Dia diajari oleh ayah gemuknya kalau tidak boleh sombong saat menang dan tidak boleh putus asa saat kalah atau gagal. Karena kegagalan adalah ibu dari kesuksesan.
Jadi, tidak lama kemudian, Xiang Gua sudah mendapatkan kembali kepercayaan dirinya dan semangat juangnya. Dia dengan cepat bergerak ke sisi kuas, lalu memegang kuas itu dengan erat. Setelah diam sejenak, lagi-lagi muncul 'Mahakarya' yang terpampang di depan Xuanyuan Pofan dan Liuli Guoguo.
Setelah Cai Gua selesai menampilkan pertunjukan tendangan dan pukulannya yang luar biasa. Dia membaringkan tubuhnya ke tumpukan buku sambil menyaksikan adik keenamnya melukis.
Cai Gua memandangi lukisan yang baru dilukis Xiang Gua, lalu memandanginya lagi dan lagi. Tanpa sadar dia menghela napas dan berkata, "Wow, adik keenam, lukisan dua ulat bulumu ini sangat bagus sekali! Gemuk dan bulat!"
Xiang Gua meneteskan keringat. "Kakak kelima, ini bukan gambar ulat bulu, tapi gambar alis Tuan."
Cai Gua, Liuli Guoguo, dan Xuanyuan Pofan tercengang.
Cai Gua pun langsung menutup mulutnya sendiri. Cuih cuih cuih, anggap saja aku tidak mengatakan apa-apa, batinnya.
Kakak kelima, aku tidak bermaksud. Tuan besar, aku tidak bermaksud, batin Xiang Gua.
Liuli Guoguo kemudian mengelus kepala gemuk Xiang Gua, mencoba menghiburnya.
Detik berikutnya, lukisan dua ulat bulu di atas meja, bukan, tapi kertas yang ada lukisan alis kakak Po pun digantikan dengan kertas yang baru.
Setelah setengah dupa sudah habis, tak terasa Xiang Gua di bawah penghiburan dari Liuli Guoguo, telah menciptakan empat mahakarya lagi.
Lukisan ketiga, Xiang Gua jelas-jelas melukis kesembilan anggota keluarganya. Tapi, Xiao Denglong malah bilang kalau mahakaryanya itu terlihat seperti sekelompok semut.
Lukisan keempat, Xiang Gua melukis sebuah labu, tapi yang lain bilang kalau dia melukis sebuah kacang. Lalu lukisan kelima, dia melukis buku, yang kemudian malah dikira melukis batu bata.
Kemudian, lukisan keenam yang menjadi lukisan terakhir ini. Akhirnya usaha keras Xiang Gua terbayar., karena mahakaryanya benar-benar berubah menjadi mahakarya sejati.
"Xiang Gua, kamu… Em… Kamu ini melukis… Melukis hatiku ya?"
Liuli Guoguo memandangi lukisan di atas meja itu. Dia takut jika dirinya lagi-lagi salah membaca lukisan Xiang Gua. Dia pun menelan ludahnya, lalu mengucapkan kata-kata dengan hati-hati sambil menyatukan dua tangannya membentuk hati.