Darah Hijau Ajaib (Bagian 3)
Darah Hijau Ajaib (Bagian 3)
"Nenek Ye kamu sudah siuman!" kata Pao Baobao. Dia pun menyobek sehelai kain dari pakaiannya, lalu melilitkannya di pergelangan tangannya. Kemudian dia tersenyum dan memperlihatkan dua gigi taringnya yang tajam ke nenek Ye. Untung saja nenek Ye baik-baik saja! Baguslah kalau tidak apa-apa! batinnya.
Begitu nenek Ye melihat kalau Pao Baobao menyelamatkan dirinya dengan darahnya. Dia pun buru-buru bangkit dan meraih tangan Pao Baobao untuk memeriksanya. "Dasar kamu ini, anak bodoh!" katanya setelah itu.
Pao Baobao menggaruk kepalanya sendiri, tersenyum dan berkata dengan bibir yang pucat, "Tidak apa-apa kok, nenek Ye. Kamu adalah satu-satunya orang terdekatku. Semua orang boleh saja mati. Tapi kamu tidak."
Nenek Ye pun memegang pergelangan tangan Pao Baobao, lalu melilitkan dengan benar kain ke luka di pergelangan tangan itu sambil terisak sedih di dalam hati.
"Oh, iya!" kata Pao Baobao yang tiba-tiba punya ide. "Nenek Ye, apa kamu bisa memberikanku botol obatmu itu?" tanyanya.
Nenek Ye bingung, lalu mengeluarkan botol obat yang disembunyikannya tadi. "Xiaobao, obatnya sudah habis untuk mengobatimu tadi. Sekarang sudah tidak ada lagi," katanya.
Pao Baobao kemudian tersenyum lagi dan berkata, "Bagus sekali!" Nenek Ye jadi semakin bingung mendengarnya.
Pao Baobao kemudian mengambil botol obat di tangan nenek Ye, lalu dengan cepat melepaskan potongan kain di pergelangan tangannya. Setelah itu dia meneteskan darahnya yang masih mengalir ke dalam botol obat tersebut.
Nenek Ye terkejut dan bergegas menghentikannya. "Xiaobao, apa yang kamu lakukan?!" tanyanya.
Pao Baobao kemudian melepaskan tangan nenek Ye, lalu menggelengkan kepalanya pada nenek Ye dan berkata, "Nenek Ye, tidak apa-apa. Aku punya kulit yang tebal dan punya banyak sekali darah." Setelah itu dia melanjutkan meneteskan darah ke botol itu, dan berkata lagi sambil tersenyum, "Aku ingin memberi istri kecil Raja Huayou darahku. Dia memiliki luka di wajahnya. Darahku mungkin bisa menyembuhkan cacat di wajahnya, sehingga dia tidak perlu lagi memakai cadar!"
Ketika nenek Ye mendengar ini, dia pun sangat tersentuh dalam hatinya. Sebenarnya dia sangat ingin menghentikannya, tapi dia merasa tidak baik menghentikannya dengan niat sebaik itu. Tuhan telah mengirimkan gadis yang begitu baik hati, dan ini adalah berkat untuknya.
Begitu Pao Baobao selesai meneteskan darah, dia melilit pergelangan tangannya lagi dengan sobekan kain, lalu menoleh dan melihat luka di punggungnya. Dia pun seketika sangat terkejut dan berkata, "Hah?! Nenek Ye! Obat apa yang kamu oleskan padaku? Luka di punggungku jauh lebih membaik!"
Nenek terkejut dan tidak menjawab. Tiba-tiba dia teringat sesuatu, lalu segera mengingatkan Pao Baobao. "Xiaobao, ingat ya, ketika kamu memberikan obat ini untuk istri kecil Raja Huayou, jangan sampai Nona kelima melihatnya, paham tidak?" katanya.
Pao Baobao yang bingung, lalu menoleh dan bertanya, "Kenapa memangnya?"
Nenek Ye bingung dan tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi, untung saja Pao Baobao terpikirkan sesuatu. Dia pun berkata dengan suara pelan, "Oh, aku mengerti. Jika Nona kelima melihat aku memberikan darahku kepada orang lain. Dengan karakternya yang begitu pelit, dia pasti marah dan akan mencambuk ku lagi."
Nenek Ye yang tampak ragu sejenak, lalu segera mengiyakannya.
Pao Baobao kemudian mengangkat botol obat itu setinggi-tingginya. Dia tersenyum, tapi ada kesedihan dibalik senyum itu. Lalu dia berkata, "Nenek Ye, lucu ya? Darahku bisa menyelamatkan orang lain, tapi malah tidak bisa menyelamatkan diriku sendiri. Cih!"
***
Hari berikutnya,
Liuli Guoguo menolak Xuanyuan Pofan untuk mengantarkannya masuk ke dalam sekolah. Begitu sampai gerbang sekolah, dia melambaikan tangan putih kecilnya dan mengucapkan selamat tinggal kepada Kakak Po-nya. Setelah itu, dia berjalan dengan riangnya untuk masuk ke kelas Jianjia. Tapi, tidak tahu kenapa masih saja ada banyak mata yang terus melihatnya.
Di gerbang sekolah, ketika rusa raksasa hendak membunyikan gemuruh hewannya sebagai pertanda masuk kelas. Liuli Guoguo menolehkan kepala kecilnya yang sudah keenam kali, tapi masih saja tidak melihat teman barunya, Xiaobao yang dia kenal kemarin. Bangku di samping majikan Pao Baobao yang terlihat galak dan sombong itu masih saja kosong. Jadi, dia pun penasaran.
Liuli Guoguo bahkan tidak bisa berpikir dan menebak-nebak lagi. Dia pun akhirnya menepuk teman laki-laki sekelasnya yang ada di sebelah kirinya.