Devil's Fruit (21+)

Tewasnya Sang Nevimbi



Tewasnya Sang Nevimbi

0Fruit 1210: Tewasnya Sang Nevimbi     

"Jo, kau tidak lupa kalau ada paman Noir di sini, kan?" ucap Shona dari dalam alam Wadidaw melalui telepati ke Jovano.     

"Astaga!" Jovano serta merta memekik. Dia melupakan itu! Dia secara cepat memasukkan tubuh Ivy ke alam pribadi dia sebelum Ivy dikeroyok anggota timnya dan bisa saja adiknya langsung dibantai ramai-ramai.     

Kini, setelah Shona menuturkan itu, Jovano baru teringat bahwa Noir masih berada di sana menunggui jasad Sabrina karena Jovano sengaja menaruh si macan gigi pedang tidak di alam sang ibu.     

Mereka belum siap memberitakan kepada para bocah liger di Cosmo mengenai kondisi Sabrina.     

Lekas saja usai ucapan dari Shona berkumandang di telinga Jovano, pemuda itu masuk ke alam pribadinya.     

Dan benar saja, di depannya kini sudah terbentang adegan Noir menghujamkan taringnya ke leher Ivy dan Shona sibuk mencegah menggunakan kata-kata karena dia masih harus mengobati Voindra.     

"Paman Noir! Jangan, Paman! Tunggu keputusan Jo dan yang lain dulu!" Begitulah teriakan Shona pada Noir yang sudah gelap mata.     

"Hrrghhhh!" geram Noir tetap mempertahankan gigi-gigi taringnya yang besar dan tajam masih bercokol di leher kecil Ivy.      

"Paman, ja-"     

Bzzzttt! Kreekk!     

Terlambat. Jovano terlambat. Meski dia sudah berteriak dan melesat, namun kalah cepat dengan kekuatan rahang Noir saat mematahkan leher Ivy.      

Segera, setelah yakin leher itu patah dan mungkin juga remuk setelah rahang kuatnya dikatupkan sembari menyalurkan serangan tenaga petir ke tubuh Ivy, barulah Noir melepaskan Ivy dari cengkeraman rahangnya.     

Jovano langsung menghambur ke adiknya yang terkulai setengah gosong. Ivy sudah tidak berdaya saat masuk ke alam Wadidaw, ditambah udara di alam itu yang berefek buruk ke vampir seperti Ivy, dan masih ada serangan petir dan katupan rahang dari Noir.      

Sudah pasti Ivy takkan bisa lolos dari maut.     

"Iv ... Ivy ... Ivy! Bertahan, yah!" Jovano mengambil tubuh lunglai adiknya dan menaruh di pangkuannya sambil menepuk pelan pipi sang adik yang kini telah kembali ke wujud asalnya sebagai gadis remaja, bukan dewasa seperti sebelumnya.      

Mata Ivy masih terbuka meski sedikit, menatap kosong ke kakaknya di saat dirinya sedang di ambang maut. "Errkkhhh ...." Ia tak bisa bicara apapun karena tenggorokan sudah remuk dan mungkin pula pita suara sudah hancur.     

"Tunggu, yah! Tunggu aku panggilkan Druana untuk mengobati kamu." Air mata Jovano mengalir turun. Meskipun beberapa waktu silam dia kecewa, marah dan murka pada adiknya, namun ketika melihat sang adik berada di waktu sekaratnya, mana mungkin dia masih menaruh marah?      

Begitulah sifat nurani manusia yang masih dimiliki Jovano. Semarah apapun seseorang kepada saudaranya, seburuk apapun sikap saudaranya, ketika sang saudara sedang sekarat dalam kondisi menyedihkan, maka yang tersisa adalah kasih sayang sebuah iba dan kesedihan.     

"Eerrrghh ... hrrkkk ...." Ivy masih mencoba berucap sesuatu sambil menatap sayu setengah hampa ke kakaknya.      

"Nggak usah maksain diri ngomong, Vy ... hiks! Kamu harus tahu, kakak dan yang lainnya tetap sayank kamu meski kamu terkadang berbuat ngawur. Kami semua sayank kamu. Kami minta maaf andai sikap kami tidak sesuai ekspektasi kamu, Vy ... hiks!" Jovano sambil terisak melihat kondisi menyedihkan adiknya.     

Tubuh Ivy setengah gosong dan begitu pula di bagian wajah, separuhnya menghitam karena efek serangan petir dari Noir tadi.     

Ivy yang tadinya secantik boneka Jepang, kini sungguh menyedihkan.     

Ivy terus menatap sayu ke Jovano dan tak berapa lama, tangannya terkulai lemah usai hendak menjangkau wajah sang kakak. Lalu dia tidak lagi bergerak.      

"Vy? Ivy? Ivy!" teriak Jovano berulang kali sambil mengguncangkan tubuh Ivy. Noir tertunduk di kejauhan dan Shona serta Voindra memandang diam kejadian di dekat mereka. "Ivy!!! IVY!!!" raung Jovano sambil menangis tanpa menahan lagi.     

Tubuh adiknya dipeluk erat sambil dia meraungkan tangis dengan wajahnya tenggelam pada tubuh dingin sang adik.     

Adiknya sudah tiada. Ivy sudah meninggal.      

Teringat di benak Jovano betapa dia dulu sangat bersemangat ketika tahu dirinya hendak memiliki adik. Dan ketika Ivy lahir, dia begitu cantik dan indah bagai boneka, menjadi kebanggaan bagi Jovano.     

Betapa dulunya Ivy kerap mengekor dia sejak gadis itu bisa berjalan dan menempel bagai permen karet susah dilepaskan dari Jovano. Momen-momen itu merupakan momen tak terlupakan bagi Jovano, dimana adiknya begitu imut dan menggemaskan.     

Ivy yang cantik, Ivy yang memukau banyak tetangga dan teman-teman sekolah Jovano karena keimutan parasnya dan sikap dinginnya malah menggemaskan bagi sebagian orang.      

Dan sungguh sangat disayangkan, Ivy terlalu tenggelam dalam duka dan bencinya sehingga dia mengambil jalan yang salah untuk dipertahankan sebagai sebuah kebenaran bagi dia sendiri.     

Sebagai kakak, Jovano menyesal tidak mendampingi dan membenarkan pemikiran adiknya ketika dia sudah sibuk dengan kehidupan asmaranya sendiri. Dia menyesal meninggalkan sang adik ketika sebenarnya mungkin Ivy membutuhkan dirinya.     

Andaikan saat itu Jovano tidak terlalu terlena dengan asmara, mungkin dia bisa menyelamatkan Ivy sehingga sang adik tidak memilih keputusan hidup yang keliru.     

Andaikan saat itu Jovano tetap bisa membagi adil waktu untuk keluarga dan kekasih, mungkin tragedi ini tidak perlu terjadi.     

"Ivy! Ivy! Hu hu hu huuu! Aaaaarghhh! Ivy!" Jovano tidak menahan raungan tangisnya ketika dia terus tenggelam dalam duka citanya.     

Bagaimana pun juga, seburuk apapun Ivy, Ivy tetaplah adiknya. Sesalah apapun sang adik, dia sebagai kakak juga patut disalahkan karena teledor dan lengah. Pikiran Jovano terus berputar di sana.     

Jelas nampak duka mendalam dari Jovano atas tiadanya Ivy, apalagi dengan kondisi begitu mengenaskan. Berlumuran darah dan setengah gosong.      

Noir melangkah mendekat, perlahan-lahan sambil tetap menundukkan kepala, dia berucap, "Tuan Pangeran ... saya ... saya salah ... saya ... saya kehilangan kendali diri." Ia kemudian duduk di sebelah Jovano, melanjutkan bicara, "Saya siap menerima hukuman apapun dari Pangeran Muda."     

Shona dan Voindra saling pandang dan sama-sama berdebar-debar menanti apakah yang hendak dilakukan Jovano pada Noir.      

Apa kira-kira yang akan diperbuat Jovano kepada si Singa Petir, atau sekarang lebih pantas disebut Griffin Petir Badai?     

Namanya iblis, meski memiliki darah manusia sekalipun, masih lah mempunyai naluri kejam sebagai iblis. Saat ini, apakah naluri kejam iblis itu lebih mendominasi Jovano atau kah ....     

Jovano menoleh ke Noir dengan mata merah dan wajah berlumuran air mata serta ingus tidak terelakkan muncul di sana. "Paman Noir ...."     

"Pangeran ... saya sungguh rela mendapatkan hukuman apapun dari Pangeran. Saya salah ... saya kehilangan kendali, hanya karena istri saya ...." Noir terus menundukkan kepalanya penuh penyesalan.     

Noir terus merutuki dirinya yang sungguh tidak sabaran dan dikuasai amarah serta dendam ketika melihat Ivy yang tersaji di depan mata.     

Tadi dia memang memohon ijin masuk ke alam pribadi Jovano untuk menemani jasad dingin istrinya di sana sebelum nanti membawa ke Cosmo untuk diberitakan kepada anak-anaknya. Noir sudah tidak lagi tertarik meneruskan pertempuran dengan lawan di luar. Ia ingin mendampingi Sabrina dalam ketenangan.     

Tidak disangka-sangka ... mendadak saja Ivy muncul di dekat dia, tergolek lemah dalam kondisi berlumuran darah dan sama sekali kepayahan.     

Amarah Noir bangkit seketika melihat Ivy, dendamnya menyelubungi seluruh persendian tubuhnya, gelegak benci membanjiri jiwanya, sehingga dia mendatangi Ivy yang tidak berdaya.     

Sebenarnya Shona sudah berteriak ke Noir untuk berhenti dan menunggu dulu yang lainnya. Shona sudah berusaha menghentikan Noir meski dia tak bisa melepas pengobatan yang sedang dia lakukan terhadap Voindra.     

Sedangkan jasad dari Kiran masih terbujur kaku di dekatnya usai tadi Kenzo menemani beberapa saat sebelum sang panglima kembali ke medan perang.     

Andaikan Voindra bisa ditinggal, mungkin Shona akan dengan keras kepala menghalangi Noir. Sayangnya ... takdir menginginkan hal lain.     

Noir menunggu hukuman yang akan dijatuhkan Jovano kepadanya. Ia pasrah jika memang sang pangeran muda menginginkan nyawanya sebagai pembayaran atas nyawa Ivy.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.