Dia Masih Berada di Alam Wadidaw
Dia Masih Berada di Alam Wadidaw
King Zardakh masih mengejar topik mengenai mayat Ivy. "Jo, kau belum lupa mengenai pembahasan mayat Ivy, kan? Atau kau masih ingin berkelit lagi sekarang?" sindir sang raja.
Jovano menelan daging di mulutnya dengan susah payah dan menjawab, "Tenang saja, Opa. Akan kita bicarakan sekarang."
Mendengar ucapan Jovano, mendadak suasana pun hening, tak ada yang bicara lagi. Jovano hanya bisa menangis dalam hatinya, apakah sebenarnya mereka sudah menunggu-nunggu momen ini sejak tadi? Oh astaga!
"Ehem! Jadi begini ...." Jovano hendak memulai pembicaraannya. "Mayat Ivy memang masih ada di alam pribadiku. Dan dia memang sudah tewas, seratus persen tewas, tidak lagi ada kehidupan."
"Kalau begitu, serahkan saja ke Opa, Jo." King Zardakh sedikit tak sabar karena cucu lelakinya seperti sedang mengulur-ulur waktu.
"Um, Opa ... kalau mayat Ivy tetap berada di alam pribadiku, bagaimana?" tawar Jovano mencoba menegosiasikan ini.
"Kenapa harus di alam pribadimu?" Kuro langsung bereaksi.
"Jo, sudahlah, keluarkan saja dia, dan biarkan kakek kamu yang membuat keputusan mewakili orang tuamu." Vargana menyambung.
"Ya, benar, Jo! Serahkan saja dia ke Baginda Raja." Kyuna ikut menimpali.
Mendadak, banyak yang bersuara yang intinya ingin agar mayat Ivy dikeluarkan dari alam Wadidaw milik Jovano. Ini membuat Jovano jadi bingung.
"Jo, kenapa mayat Ivy harus disimpan di alam kamu?" Kali ini, Shona mengambil kesempatan untuk bertanya dengan nada pelan.
"Karena udara dan atmosfir di alam pribadi aku bisa menekan Ivy." Jovano menjawab. Seketika mereka semua heran juga bingung.
"Apa hubungannya, Jo?" Vargana meraung. Dia masih kesal pada Ivy yang melukai adiknya hingga hampir mati.
"Serahkan saja ke kakek kamu, Jo!"
"Jo, apakah kau masih goyah hanya karena dia adik kamu?"
"Ayolah, Jo ... jangan jadi lembek lagi begitu! Apa kau tidak ingat apa saja perbuatan adikmu itu?"
"Jo! Bahkan Ivy sudah melukai mommy kamu! Apa kau sudah lupa?"
Bertubi-tubi, anggota tim Blanche menyuarakan protes dan ketidaksetujuan mereka pada pemikiran Jovano.
"Bisakah kita menunggu mom dan dad bangun untuk memutuskan akan kita apakan mayat Ivy?" Jovano tidak gentar meski mendapat protes dari berbagai rekan dan saudaranya.
"Astaga, Jo! Apa maksudmu dengan ngomong seperti itu? Kau sedang mengulur waktu?" Vargana memutar bola matanya dengan kesal atas sikap lunak Jovano pada mayat adiknya.
Kenapa harus memikirkan Ivy sebegitu rupa? Gadis itu jahat, sangat jahat, bahkan kejahatannya tidak memandang bulu apakah itu teman atau keluarga, semua diserang Ivy. Dan sekarang, Jovano masih saja ingin melindungi Ivy meski sudah jadi mayat?
Apa-apaan!
"Kurasa kita memang memerlukan pendapat Andrea dulu sebelum melakukan sesuatu pada mayat Ivy." Myren mendadak berbicara tegas. Semua langsung terdiam ketika Myren menatap satu demi satu mata mereka. "Kalau kita salah bertindak dan ternyata itu tidak sesuai dengan keinginan Andrea, apakah kalian bisa menanggungnya?"
"Tapi, Ma ... Ivy kan-"
"Kau belum pernah jadi seorang ibu, Va." Myren memotong ucapan putri sulungnya. "Aku sudah pernah melahirkan beberapa kali sehingga sedikit banyak aku bisa mengetahui perasaan Andrea. Mungkin dia sempat kesal dan marah pada Ivy, tapi jangan lupa, Andrea lebih manusiawi ketimbang kita! Darah manusia dia masih terasa meski sudah menghilang dari tubuhnya."
Semua masih terdiam.
"Kalau kita melakukan sesuatu yang buruk pada mayat Ivy dan Andrea ketika bangun mendapati itu, dia tidak terima, apakah kalian berani bertanggung jawab? Apakah kalian bisa tahan jika dia bersedih dan menyalahkan diri?" Myren menatap tegas mata mereka.
"Tapi ... sampai kapan kita harus menunggu aunty bangun?"
"Va! Jaga ucapanmu! Dia hanya tidur, beristirahat sejenak sembari memulihkan diri! Ingat itu. Tugas kita adalah mencarikan jalan untuk dia agar bisa kembali." Myren menegaskan perkataannya, tidak hanya untuk Vargana namun untuk semua yang ada di sana.
"Aku tahu, banyak dari kalian yang memiliki dendam kesumat pada Ivy, tapi coba tahan sebentar dendam kalian. Toh dia sudah mati, dia sudah berhasil dimatikan! Jadi, sudahi saja dendam itu dan biarkan Jovano selaku kakaknya, orang paling dekat dengan Ivy, mengurus jasad adiknya. Kita tidak perlu ikut campur." Myren meneruskan.
"Lagi pula, kau, Ayah," tudingnya ke King Zardakh, "untuk apa kau getol menginginkan mayat Ivy? Katakan, untuk apa?" cecar Myren pada ayahnya.
King Zardakh sedikit gugup ditanya putrinya. Myren adalah salah satu putri yang berani bersikap dan berkata tegas kepadanya. Yang kedua adalah Andrea. Kini, baginda raja tak tahu harus memberikan jawaban apa ke Myren. "Aku ... aku ingin membakarnya."
"Membakar?" Myren memicingkan matanya. "Hanya itu? Sungguh?" Ia agak tak percaya pada jawaban ayahnya. Terlalu sederhana dan itu semakin mencurigakan.
"Hmph, ya sudah, kalau memang harus disimpan di alam Jo, yah simpan saja di sana." King Zardakh pun langsung menghilang dari tempatnya duduk, keluar dari alam Cosmo. Sebagai seorang raja iblis, masuk dan keluar alam pribadi siapapun bukanlah hal mustahil. Hanya, itu membutuhkan energi yang sangat besar.
King Zardakh memilih keluar daripada dia terus didesak oleh putrinya dan akan ketahuan motif sesungguhnya. Karenanya, dia buru-buru pergi tanpa pamit. Memangnya dia siapa harus pamit? Dia ini raja iblis!
Sepeninggal King Zardakh, Myren hanya mendengus. Kepergian ayahnya saat didesak pertanyaan hanya makin mengukuhkan kecurigaan Myren. Tapi dia belum tahu apa yang sedang dikejar sang ayah dari mayat Ivy.
"Hm, masih ada yang ingin meributkan mayat Ivy?" tanya Myren. Semua diam tidak menjawab. Mungkin takut atau sudah menyerah. Lagi pula, yang memprovokasi mengenai mayat Ivy bukankah King Zardakh? Jika sang raja tidak meributkan itu, mungkin yang lain juga tidak akan ribut.
"Uhum!" Jovano berdehem, bersyukur dia dibela oleh bibinya, Myren, untuk meyakinkan semua orang agar dia bisa menyimpan mayat adiknya di alam pribadi dia. "Berarti ini sudah pasti, yah! Ivy akan aku simpan di alamku, oke? Setuju?"
"Yah, bagaimana lagi ... Mama sudah bilang begitu." Vargana menyerah. Tak ada gunanya melawan ucapan sang ibu. Percuma.
-0-0-0-0-
"Vy, kenapa kamu senekat itu, sih?" Suara Danang mengalun ketika dia mengelus kepala Ivy. "Kenapa harus melakukan hal segila itu? Harusnya kamu curhat dulu ke Om, jangan terburu-buru emosi dan akhirnya jadi berantakan kacau balau begini, ya kan?"
Meski berkata seperti apapun, tetap saja Ivy terbaring kaku dan tak bergerak. Luka menganga di lehernya masih kentara, namun itu tidak menakutkan lagi untuk Danang. Dia justru iba pada gadis ini.
"Hghh ... Ivy, Ivy ... andai kamu bisa curhat ke Om dan ngomong semua permasalahan kamu dan apapun unek-unek kamu, pasti sekarang mamak dan bapakmu akan baik-baik saja." Danang masih terus melakukan monolog.
Ia teringat sebelumnya, Andrea terluka dan sekarat karena hantaman tongkat sihir Ivy dan sekarang entah bagaimana kondisi Andrea setelah dibawa pergi ke ... entah ke mana, dia sendiri juga kurang paham.
Bahkan dia sekarang ini berada di alam antah berantah begini pun dia tak paham dan hanya main iya-iya saja ketika anak sulung Andrea menyarankan dia untuk masuk ke alam ini. Sempat terkaget-kaget ketika pertama kali melihat mayat Ivy, bahkan juga sempat bertemu singa besar bersayap sebelum kemudian singa itu tiba-tiba menghilang bersama dengan 2 tubuh kaku lainnya.
Danang masih ada di alam Wadidaw.