Keputusan Aleksis Dan Alaric
Keputusan Aleksis Dan Alaric
"Hmm.. kalau begitu aku juga besok akan pulang bersama Terry ke New York," kata Nicolae. Ia menghabiskan wine-nya lalu pamit untuk tidur. Ia sedang tidak dapat beramah-tamah dengan banyak orang dengan suasana hatinya yang demikian buruk.
Terry dan Alaric hanya saling pandang. Alaric menghela napas panjang, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa. Bagaimanapun besar kekayaan dan kekuasaannya, ia tak dapat membangkitkan orang mati. Ia telah membeli gedung apartemen Marie di Robertson Road dan membiarkan unit yang dulu ditempati gadis itu sebagaimana adanya.
Kapan pun Nicolae ingin kembali ke sana, ia akan dapat datang kapan saja. Setidaknya, hanya itu yang dapat dilakukan Alaric untuk kakak lelaki satu-satunya itu. Ia hanya berharap suatu hari nanti Nicolae akan pulih dan menemukan kebahagiaannya, sama seperti ayah mereka, Lauriel.
***
Malam itu sebelum mereka tidur, Alaric mengajak Aleksis bicara. Sudah hampir enam bulan berlalu dari sejak liburan tahun baru, ketika Nicolae menyadari perasaannya kepada Marie dan kemudian menemukan bahwa gadis itu ternyata sudah meninggal. Hingga kini, Alaric memperhatikan bahwa kesedihan saudaranya masih belum berkurang.
Ia merasa hanya ada satu cara untuk pelan-pelan membuat Nicolae bisa terhibur dan ia ingin meminta pendapat Aleksis tentang apa yang ia pikirkan.
"Aleksis..." Alaric duduk di tepi pembaringan mereka menepuk sisi di sebelahnya, memberi tanda agar Aleksis duduk di sampingnya. Ireland dan Scotland baru saja tidur di kamar sebelah dan kakak mereka tidur bersama neneknya, sehingga pasangan itu hanya tinggal berdua di kamar mereka. "Duduklah di sini... Ada yang ingin kubicarakan."
Aleksis yang baru berganti pakaian tidur, menggerai lepas rambutnya ke bahu dan duduk di samping suaminya.
"Ada apa?" tanyanya sambil membulatkan mata. Tidak biasanya Alaric mengajaknya mengobrol dengan ekspresi serius sebelum mereka tidur seperti ini.
"Nic akan pulang besok pagi-pagi sekali bersama Terry," kata Alaric. "Aku merasa ia masih bersedih. Biasanya ia akan senang bisa berkumpul lebih lama bersama keluarga, terutama anak-anak. Aku benar-benar tidak tenang melihatnya. Apalagi di New York ia hanya bersama dengan kakakmu yang narsis itu..."
Aleksis tertawa mendengar Terry disebut narsis oleh Alaric. Ia tidak menampik, memang Terry punya sifat agak ajaib dan sekilas orang akan mengira ia narsis ataupun ingin menang sendiri. Memang pembawaannya seperti itu, mau bagaimana lagi?
"Terry memang begitu, tapi dia tidak akan pernah membiarkan hal buruk terjadi pada Nico," kata Aleksis. "Memangnya apa yang kau pikirkan?"
Alaric menghela napas panjang. Ini bukan hal yang ia sukai, tetapi saat ini ia lebih mementingkan kebahagiaan Nicolae daripada kebahagiaannya.
"Aku ingin mengirim Altair dan Vega untuk tinggal bersama Nic selama ia membutuhkan mereka," kata Alaric kemudian. "Aku sudah sangat lama memikirkan ini. Selama berbulan-bulan aku terus memikirkannya.. dan hari ini aku akhirnya memutuskan untuk membicarakannya denganmu."
"Kau tidak keberatan kalau Altair dan Vega tinggal bersama Nico? Apa kau sungguh yakin?" tanya Aleksis keheranan. Ia tahu betapa Alaric sangat menyayangi kedua anak pertama mereka dan dan selalu menyesalkan kenyataan bahwa dulu ia kehilangan masa bersama mereka selama sepuluh tahun pertama.
"Aku tidak keberatan. Kita masih bisa berkunjung kapan saja," kata Alaric. "Aku lebih memikirkan Nicolae di saat-saat sulit seperti ini."
Aleksis terdiam. Ia sangat menyayangi anak-anaknya dan ia pun tidak suka jika harus berpisah dengan mereka.
"Kenapa kita tidak tinggal di sana juga?" tanya Aleksis kemudian. "Ayahku memiliki mansion di Manhattan. Kita bisa pindah ke sana dan anak-anak dapat tinggal bersama kita, dan setiap akhir pekan mereka menghabiskan waktu dengan Nic. Kita bisa tinggal di mana saja di seluruh dunia, kan?"
"Hmm.. Sebenarnya aku tidak menyukai New York. Polusi di sana termasuk salah satu yang terburuk di dunia," kata Alaric. "Tetapi kali ini aku setuju denganmu."
"Dengan begitu anak-anak bisa membagi waktu mereka dengan kita dan Nic," kata Aleksis dengan sabar. "Kurasa akan baik juga bagi mereka untuk sering-sering bertemu Nicolae. Aku tahu Vega sangat mengkhawatirkannya."
"Ahh.. kau benar. Aku bersyukur memiliki istri yang pengertian dan cerdas sepertimu. Kalau begitu aku akan membicarakannya kepada Nicoale sebelum ia berangkat besok pagi," kata Alaric sambil tersenyum. Ia merasa tenang karena Aleksis menyetujui pemikirannya.
"Uhm... sebaiknya kita tidak usah memberi tahu Nic..." cetus Aleksis sambil tersenyum simpul. "Lebih baik kita menjadikannya kejutan. Ia pasti akan senang sekali."
Sepasang mata keungungan Alaric tampak membulat mendengar kata-kata istrinya.
Ah, benar juga. Kalau mereka tidak memberi tahu Nicolae dan minggu depan tahu-tahu muncul di depan rumahnya, tentu kakaknya itu akan senang sekali.
"Ide bagus! Aku akan menyimpan rahasia ini baik-baik dan membicarakannya dengan anak-anak besok setelah Nic pergi." Alaric mencium bibir Aleksis dengan mesra lalu menepuk bahunya. "Ayo, sekarang kita tidur."
Aleksis mengangguk ia membaringkan tubuhnya di bagian dalam tempat tidur, diikuti oleh Alaric yang tidur di sebelahnya. Setelah Alaric menepuk tangannya sekali untuk mematikan lampu, Aleksis segera memeluk tubuh pria itu dan menyusupkan kepalanya ke dada Alaric.
"Selamat malam." bisiknya sambil memejamkan mata.
Alaric mengecup keningnya sekali lalu memejamkan mata mengikuti Aleksis dan tidur. "Selamat tidur."
***
Keesokan harinya Altair dan Vega menangis terisak-isak saat Nicolae memberi tahu mereka saat sarapan bahwa ia akan segera berangkat kembali ke New York bersama Terry.
"Papa Nic kenapa berangkat cepat sekali? Biasanya kalau ada acara keluarga, Papa akan tinggal cukup lama," keluh Vega dengan air mata bercucuran.
"Papa masih mengajar di kampus, jadi tidak bisa pergi lama-lama," kata Nicolae. "Universitas belum libur. Papa kan punya tanggung jawab di tempat Papa kerja."
"Tetapi kan seharusnya seminggu saja tidak apa-apa. Masa cuma izin dua hari saja..." keluh Vega lagi.
"Uhm.. kebetulan sekarang tidak bisa. Nanti saja ya, kalau liburan musim panas, Papa Nic akan mengambil waktu libur sebulan dan mengajak kalian bepergian ke Afrika atau Karibia. Bagaimana?" Nicolae berusaha membujuk sepasang anak berusia sebelas tahun itu. Setelah ia menjanjikan akan membawa mereka bepergian, barulah tangis Vega berhenti.
"Kami boleh pergi dengan Papa Nic, ya, Ma..." Vega segera menoleh dan meminta persetujuan orang tuanya. "Ayah, boleh, ya? Kami sudah lama tidak bepergian dengan Papa..."
Aleksis dan Alaric saling bertukar pandang dan kemudian mengangguk serentak. "Tentu saja."
Suara keduanya bahkan keluar bersamaan.
"Ahh.. terima kasih," kata Nicolae sambil mengangguk ke arah mereka. Ia memutuskan bahwa ia perlu kembali bertualang untuk menenangkan diri. Tetapi kali ini ia ingin membawa kedua anaknya, agar perasaannya menjadi lebih baik.
Setelah berjanji untuk menjemput Altair dan Vega untuk bepergian saat liburan musim panas berikutnya, barulah Nicolae dapat pergi dengan tenang. Ia tidak tahu Aleksis dan Alaric sudah berencana untuk pindah ke New York agar anak-anak mereka bisa menjadi lebih dekat dengan Nicolae.