Sandiwara Yang Menjadi Serius
Sandiwara Yang Menjadi Serius
"Mama, aku tidak mempunyai seorang ibu, dan aku mengerti betapa sayangnya Marie kepadamu. Aku akan melakukan apa pun untuk kebahagiaan ibuku, jadi aku mengerti bagaimana perasaan Marie kepada Anda. Aku sangat mengagumi Marie dan merasa bahwa kami saling mengisi. Aku mengagumi ketegarannya. Aku mengagumi bahwa ia tidak pernah putus asa dan bahwa ia sangat menyayangi Anda." Nicolae menggenggam tangan Marie dan menaruhnya di lutut Nyonya Lu. "Aku sangat ingin menikah dengannya. Kalau Mama Lu berkenan, aku hendak meminta restu kepada Anda hari ini. Apakah Mama bersedia mempercayakan putri kesayanganmu kepadaku? Aku akan menjaganya. Aku akan mencintainya. Aku akan memastikan ia selalu bahagia. Kalau Mama Lu berkenan, maka izinkan aku meminang Marie..."
Kedua wanita itu sama-sama tampak terpana. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa Nicolae akan mengatakan hal semacam itu, terutama Marie. Ia tahu pasti bahwa pemuda itu sedari awal sangat tegas tidak ingin memiliki hubungan apa pun dengannya setelah sandiwara dua hari ini selesai.
Kalau mereka akan benar-benar menikah di depan Nyonya Lu, Marie tahu sandiwara ini akan menjadi serius dan ia tidak tahu bagaimana harus bersikap.
Untuk sesaat Nyonya Lu menatap Nicolae dengan pandangan kaget. Air mata kemudian mengalir turun dari sepasang matanya dan tanpa dapat ditahan lagi ia pun menangis terisak-isak. Ia menangis lama sekali sehingga Nicolae dan Marie tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
"Mama... apakah Mama marah?" tanya Marie dengan nada kuatir.
"Apakah aku sudah menyakiti hati Anda?" tanya Nicolae.
Nyonya Lu menggeleng kuat-kuat dan mengusap kepala Nicolae dan Marie bergantian.
"Bukan... Ini bukan tangisan kesedihan. Ini tangisan karena Mama sangat bahagia. Terima kasih..." bisiknya di antara sedu-sedannya. "Selama ini Mama selalu merasa bersalah karena Mama tidak bisa ada untukmu. Sejak kau lahir, Mama hanya memberikan penderitaan kepadamu. Hal ini membuat Mama merasa sangat sedih. Seumur hidupmu, kau tidak pernah mendapatkan kebahagiaan dari Mama. Aku merasa ini tidak adil bagimu. Tetapi, Aku memang tidak berdaya, dan tidak ada yang dapat kulakukan untukmu. Semua ini membuatku sangat patah hati..."
Isak tangis Nyonya Lu menjadi semakin hebat. Ia kini menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ia tampak benar-benar berduka.
"Itu tidak benar. Mama melakukan yang terbaik untukku dan hidupku sangat bahagia..." cetus Marie menenangkan.
"Itu tidak benar. Kau mengurus dirimu sendiri. Mama justru menjadi bebanmu," bisik Nyonya Lu. "Mama merasa sangat bersalah kalau Mama meninggalkanmu sendirian di dunia ini untuk bertemu kembali dengan ayahmu. Tetapi kini, karena Mama melihat bahwa ternyata ada orang yang juga sama menyayangimu seperti Mama, orang yang bersedia melakukan apapun untukmu... Mama merasa mulai tenang."
"Oh.. Baiklah, kalau begitu, apakah Anda setuju?" tanya Nicolae sambil tersenyum. "Kami akan sangat senang bila Mama Lu bisa datang dan memberikan restu."
Wajah Marie juga terlihat cerah mendengar kata-kata ibunya. Ia bertukar pandangan dengan Nicolae dan keduanya saling tersenyum.
"Kami akan menikah secepatnya. Kalau Mama siap besok pagi, kita akan melaksanakannya segera..." kata Marie dengan suara riang. "Kita harus tampil cantik bersama."
Nyonya Lu mengangguk dan tersenyum bahagia. Suasana yang tadi dipenuhi dengan kesedihan dan rasa murung pelan-pelan berubah menjadi lebih ringan. Nyonya Lu terus-menerus tersenyum. Ia bahkan tertawa beberapa kali saat ia mencium pipi putrinya dan menepuk-nepuk bahu Nicolae dengan penuh kasih sayang.
Walaupun dari jauh kelihatannya wanita itu seperti semakin kuat dan sehat, Nicolae tahu bahwa sebenarnya kondisi Nyonya Lu bagaikan sumbu api di lilin yang hendak padam. Sebelum padam biasanya api lilin akan tampak bersinar lebih terang. Nicolae bisa melihat bahwa waktu wanita separuh baya itu sudah tidak lama lagi.
Nicolae baru kali ini melanggar prinsipnya dan berbohong demi menyelamatkan dan membahagiakan seorang wanita yang sedang sekarat, agar di akhir hidupnya ia bisa merasakan sedikit kebahagiaan.
Mereka bercengkerama di taman selama setengah jam, menikmati hembusan angin, bau rumput segar yang baru dipotong, hangatnya sinar matahari, dan memberi makan itik-itik di kolam teratai. Saat matahari sudah tinggi, Nyonya Lu kemudian meminta untuk dibawa kembali ke kamarnya.
"Kepala Mama rasanya sakit sekali. Bolehkah Mama tidur sekarang?"
"Tentu saja Mama, tentu saja. Mama beristirahat ya, aku akan di sini, duduk menjaga Mama."
Mereka membawa Nyonya Lu kembali ke kamarnya dan membiarkan wanita itu beristirahat. Setelah melihat ibunya tertidur, Marie duduk terpekur di samping tempat tidur ibunya. Ia masih belum dapat melupakan peristiwa yang terjadi barusan di taman.
Pria asing ini, yang seharusnya berpura-pura menjadi suaminya, tiba-tiba melamarnya untuk menikah di depan ibunya.. hanya demi ibunya bisa menghembuskan napas terakhirnya dengan tenang.
"Kurasa.. sebaiknya aku pulang sekarang," kata Nicolae sambil bangkit berdiri dari kursinya. Marie mengangguk. Ia ikut berdiri dan mengantar Nicolae keluar pintu kamar. Mereka berjalan lambat-lambat keluar. Wajah Marie tampak pucat dan bingung ketika ia berbicara kepada pria itu di lorong rumah sakit.
"Apa yang kau lakukan tadi?" bisiknya dengan nada sedikit protes. "Seharusnya sandiwara kita tidak usah sejauh itu."
Nicolae menatap Marie lekat-lekat dan menggeleng. "Marie, ibumu hanya sakit, ia tidak bodoh. Ia tahu apa yang terjadi dan kalau aku tidak mengambil inisiatif pada saat itu, ia tidak akan pernah percaya lagi kepadamu, dan sampai waktu yang sangat lama ia akan terus bertahan dan berjuang untuk hidup demi melihat agar kau bahagia."
Marie tertegun mendengar penjelasan Nicolae.
"Aku.. aku tidak ingin merepotkanmu lebih jauh..." katanya penuh penyesalan.
"Nasi sudah menjadi bubur, aku sudah terlibat," Nicolae hanya bisa mengangkat bahu. "Aku mengerti apa yang kau rasakan. Aku tahu betapa kau sangat ingin melihat ibumu merelakanmu dan pergi dengan tenang. Karena itulah, untuk sekali ini aku melanggar prinsipku dan aku mau berbohong serta bersandiwara untukmu. Menurutku apa yang sekarang dialami ibumu adalah nyala api terakhir. Ia kelihatan seperti membaik, wajahnya berseri-seri karena ia bahagia... tetapi itu semua hanyalah tanda bahwa kekuatannya sudah sangat lemah.. dan ia akan segera meninggal."
Marie kini tidak malu lagi meneteskan air matanya dengan deras di hadapan Nicoale. "Jadi apa yang harus kita lakukan? Kau sudah terlanjur bilang bahwa kita akan menikah di depan ibuku. Apakah kita menyewa pendeta palsu untuk pernikahan kita?"
Nicolae menggeleng. "Tidak bisa. Menurutku ini bukan hal besar. Kita menikah saja di kapel rumah sakit saja. Kita bisa memanggil petugas pernikahan untuk mengadakan prosesinya. Setelah semua ini berlalu, kau tinggal mengajukan pembatalan. Maksimal tiga bulan setelah menikah, kau tinggal mendaftarkan pembatalan. Dengan demikian semuanya akan beres..."
Di setiap rumah sakit besar, biasanya memang ada kapel rumah sakit, tempat keluarga pasien yang ingin berdoa bagi kesembuhan ataupun keselamatan anggota keluarganya yang sedang sakit dapat datang dan memanjatkan doa kepada Tuhan yang mereka percayai.
Di kapel-kapel ini, tidak jarang terjadi pernikahan antara pasien penyakit terminal atau yang kondisi penyakitnya sudah sangat parah dan tinggal menunggu kematian, untuk meresmikan cinta mereka dalam ikatan pernikahan.
Mereka akan mengadakan upacara pernikahan di kapel rumah sakit dengan mengundang hanya keluarga dekat, dan mungkin beberapa petugas medis yang selama ini membantu perawatan mereka, dan petugas pencatat pernikahan akan dipanggil untuk datang. Ini adalah praktik yang umum terjadi saat ini.
Marie mengangguk setuju. Sorot matanya dipenuhi rasa terima kasih.
"Kau benar juga. Tetapi aku tidak enak kepadamu karena sekarang kau terlibat lebih jauh. Kalau kau menikah denganku kau akan memiliki catatan menikah untuk kedua kalinya. Nanti juga akan memiliki catatan bercerai untuk kedua kalinya." Gadis itu tampak tidak enak hati merepotkan Nicolae sedemikian rupa.
Pemuda itu memandang Marie dengan pandangan rumit. Akhirnya ia hanya bisa berkata, "Aku belum pernah menikah. Dan tadi aku tidak memintamu mengurus perceraian setelah ibumu meninggal. Aku minta kau nanti mengurus pembatalan."
"Oh.. benarkah? Maafkan aku yang lagi-lagi berasumsi. Aku pikir kau sudah menikah dengan ibunya anak-anakmu dan kemudian bercerai," kata Marie dengan nada penuh penyesalan.
"Tidak aku tidak menikah dengannya," jawab Nicolae tegas.
Ia ingin sekali menikahi Aleksis... tetapi takdir tidak berpihak kepadanya.
Marie tampak terkejut mendengar jawaban Nicolae. "Berarti kalian memiliki anak di luar pernikahan?"
Nicolae memijat keningnya. Tiba-tiba ia merasa sangat lelah.
"Aku sudah bilang kepadamu, kan, aku mohon agar kau tidak terlalu banyak bertanya dan mencampuri urusan pribadiku. Aku bersedia untuk menikah denganmu hanya untuk bersandiwara kepada ibumu karena aku tidak tega melihatnya menderita, tetapi selain dari pernikahan pura-pura yang akan kita lakukan besok... kau dan aku tidak punya hubungan apa pun." Ia menatap Marie dengan pandangan tajam yang membuat gadis itu tertegun. "Tolong jangan mencampuri urusan pribadiku dan jangan mencampuri urusan anak-anakku."
"Baiklah. Maafkan aku. Aku Hanya penasaran. Aku berjanji tidak akan bertanya apa-apa lagi," kata Marie buru-buru. Bagaimanapun ia berutang budi kepada Nicolae dan ia tidak ingin membuat pria itu merasa kesal.
"Baiklah kalau begitu. Siapa yang akan mengurusi pernikahan besok? Kau atau aku?" tanya Nicolae kemudian.
"Biar aku saja. Aku tidak mau merepotkanmu lebih jauh. Aku akan mengurus pernikahan kita ke kapel rumah sakit dan juga mencarikan pencatat pernikahan. Aku juga akan membawakan semua perlengkapan yang dibutuhkan." Marie segera menawarkan diri.
"Baiklah. Ini nomor teleponku. Kau bisa menghubungiku untuk mengabari persiapannya," Nicolae memberikan nomor telepon cadangannya yang disiapkannya untuk orang-orang asing. Bagaimanapun Marie bukan siapa-siapanya, ia tidak boleh memberikan kontak pribadinya kepada gadis itu.
"Aku akan mengabarimu," kata Marie sambil menyimpan kartu dari Nicolae ke dalam sakunya.
"Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu. Anak-anak sudah menungguku," kata Nicolae. Ia berbalik dan berjalan keluar gedung sanatorium itu dengan langkah-langkah panjang. Pikirannya merasa agak tertekan, dan ia berusaha memijat keningnya yang terasa sakit.
Seharusnya pagi hari ini berlalu dengan ringan. Siapa nyana, sandiwara kecil itu kini sudah berubah menjadi sesuatu yang sangat serius. Tanpa diduga ia malah menawarkan diri untuk menikahi Marie di depan ibunya hanya demi memberikan ketenangan kepada wanita itu sebelum ia meninggal.
Saat Nicolae berjalan pergi, Marie hanya berdiri terpaku di tempatnya.
Ketika pemuda itu hampir sampai di ujung lorong, gadis itu seolah tersadar dari lamunannya. Ia berlari mengejar Nicolae dan memeluk pinggang pemuda itu dari belakang.