Mengapa Ia Harus Khawatir Tidak Memiliki Kesempatan di Masa Depan
Mengapa Ia Harus Khawatir Tidak Memiliki Kesempatan di Masa Depan
"Kau tidak mengerti maksudku?" Qiao Mianmian menahan amarahnya dan berkata, "Mengapa kau bisa ada di sini dan mencari putri Bibi Bai? Kau ..."
Qiao Anxin mengangkat tangannya, menghentikan perkataan Qiao Mianmian. Sudut bibirnya naik, Qiao Anxin berkata sambil tersenyum, "Kakak, jangan cemas, aku perlahan-lahan akan menjelaskan hal ini padamu. Tapi, ceritanya sangat panjang, jadi lebih baik kalian masuk dulu saja, Paman Zhao sudah menyiapkan teh."
Qiao Mianmian menatap Qiao Anxin dengan dahi mengerut.
Qiao Anxin menatap mata Qiao Mianmian sambil tersenyum cerah.
Setelah terdiam beberapa saat, Qiao Mianmian menarik napas dalam-dalam, dan mengangguk. "Baik, bicara di dalam."
Qiao Anxin berbalik badan, dan sorot matanya segera menyapu tubuh Mo Yesi. Melihat tubuh tinggi dan lurus pria jangkung dan ramping serta wajahnya yang tak tertandingi, jantung Qiao Anxin berdegup kencang.
Mo Yesi, putra kedua dari keluarga Mo, kepala dari empat keluarga konglomerat di kota Yun, Mo Yesi.
Sejak pertama kali melihat Mo Yesi, Qiao Anxin sudah dapat menebak identitas Mo Yesi yang tidak biasa. Tapi, Qiao Anxin tidak pernah berpikir bahwa identitas asli Mo Yesi akan begitu menonjol dan terhormat. Bagaimana Mo Yesi bisa menjadi pria yang begitu sempurna di dunia ini. Pria ini tampaknya dibuat khusus untuk dirinya. Setiap aspek dalam diri Mo Yesi begitu sesuai dengan permintaannya. Hanya sayangnya ...
Pria yang begitu sempurna dan luar biasa ini ternyata sudah terpikat oleh Qiao Mianmian, wanita jalang itu. Tapi, ini juga bukan berarti apa-apa. Qiao Anxin bahkan bisa mengambil posisi sebagai putri keluarga Bai, apalagi hanya seorang pria.
Dengan status sebagai putri keluarga Bai sekarang, Qiao Anxin cukup serasi dengan pria dari keluarga Mo. Dengan status Qiao Mianmian saat ini, Qiao Mianmian pasti tidak akan bisa memasuki pintu keluar Mo. Sedangkan Qiao Anxin pasti bisa!
Hanya perlu menunggu wanita jalang itu ditentang, mengapa ia harus khawatir tidak punya kesempatan di masa depan.
*
Begitu Qiao Mianmian dan Mo Yesi masuk ke dalam ruang tamu, mereka langsung melihat Nyonya Bai berjalan keluar dari dapur.
"Mianmian, Yesi, kalian sudah datang."
Begitu melihat Qiao Mianmian, Nyonya Bai tidak tahan untuk melangkah maju sambil menggenggam satu tangan Qiao Mianmian, dan berkata dengan sangat akrab, "Mianmian, kamu lapar tidak? Tunggu dulu sebentar, bibi akan segera menyelesaikan masakannya."
Qiao Anxin melihat Nyonya Bai masih begitu akrab dengan Qiao Mianmian, rona wajahnya tenggelam. Setelah Qiao Anxin diam-diam mengutuk wanita jalang di dalam hati, Qiao Anxin pura-pura cemburu sambil berkata dengan manja, "Ibu, begitu kakak datang, di matamu hanya ada kakak. Aku cemburu."
Nyonya Bai mendengar teriakan Qiao Anxin, wajahnya membeku. Setelah berlalu beberapa saat, Nyonya Bai baru berkata sambil tersenyum cerah, "Kau adalah anggota keluarga Bai, sedangkan Mianmian dan Yesi adalah tamu. Lagi pula Mianmian adalah kakak perempuanmu. Mungkinkah kau tidak berharap aku bersikap lebih baik padanya?"
"...Tentu saja tidak." Rona wajah Qiao Anxin juga membeku, Qiao Anxin menggigit bibirnya dan memaksa senyum. "Aku tentu saja berharap Ibu bisa bersikap baik kepada kakak. Aku hanya ... bercanda saja."
Bahkan Qiao Anxin sama sekali tidak peduli bahwa keluarga Bai memperlakukannya dengan baik atau tidak. Tapi, saat melihat Nyonya Bai sangat akrab dengan Qiao Mianmian, namun selalu dingin terhadap 'putri kandungnya', hati Qiao Anxin masih merasa tidak adil.
Qiao Anxin adalah 'putri' Nyonya Bai. Sedangkan Qiao Mianmian hanya orang luar. Tetapi, Nyonya Bai memperlakukan orang luar lebih baik daripada dia.
"Bu." Qiao Anxin menolak untuk kalah dari Qiao Mianmian saat ini, Qiao Anxin berjalan mendekat, memeluk lengan Nyonya Bai dengan penuh kasih sayang, dan mengayunkan lengannya dengan genit. "Ibu jangan pergi ke dapur lagi, serahkan urusan yang belum selesai kepada para pelayan. Aku tahu Ibu ingin memasak sendiri untukku, tapi aku tidak tega melihat Ibu begitu lelah."