Selamat Tinggal Cinta Pertamaku

Aku Merindukan Ibu (4)



Aku Merindukan Ibu (4)

0"Aku tidak menyangka aku begitu bodoh," kata Ji Jinchuan dengan wajah hangat.     

"Kamu bisa mencobanya, mungkin metode menggunakan darah tali pusat dari saudara tiri akan benar-benar berhasil," tutur Lu Jingnian.     

Mereka berdua berada di balkon untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali ke kamar pasien. Lu Jingnian baru saja duduk di sofa saat mendengar Ji Nuo bertanya, "Paman Lu, apa kamu pernah melihat ibuku sebelumnya?"     

Bukan hanya Lu Jingnian, tetapi juga Ji Jinchuan dan Chen Youran tercengang. Untungnya, ketiganya segera kembali pulih ke kesadaran masing-masing dan Ji Nuo tidak menyadari apa pun.     

"Ya." Lu Jingnian khawatir Ji Nuo akan mengajukan pertanyaan lain. Dia ingin mengatakan bahwa dia belum pernah melihatnya, tetapi melihat hubungannya dengan Ji Jinchuan, tidak meyakinkan jika dia mengatakan itu.     

"Seperti apa dia?" Ji Nuo bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.     

"Sama seperti dia," jawab Lu Jingnian sambil mengangkat dagunya ke arah Chen Youran.     

Hati Chen Youran menegang seketika. Secara refleks dia mengepalkan jarinya. Selama beberapa saat, dia bahkan tidak berani untuk menatap Ji Nuo.      

Sementara itu, Ji Jinchuan melihat ekspresi wajah Chen Youran yang tidak wajar. Dia pergi ke samping tempat tidur pasien dan meletakkan telapak tangannya yang besar di bahu Ji Nuo yang kecil, "Kenapa kamu menanyakan ini?"     

Ji Nuo menatap ayahnya itu. Kemudian, dia perlahan menundukkan kepalanya, menyatukan jari-jarinya, dan tampak ekspresi kesepian di wajah kecilnya. Dia berkata, "Aku merindukan ibuku."     

Chen Youran merasa seolah-olah hatinya telah ditusuk oleh jarum. Dia ingin sekali memberitahu Ji Nuo bahwa ibunya ada di sini. Namun, untungnya kewarasannya masih ada. Setelah bibirnya yang indah bergerak, dia seolah dipaksa untuk menutupnya lagi secara perlahan. Tangannya yang tergantung di kedua sisi tubuhnya gemetar. Dia perlahan mengencangkan kepalan tangannya.     

Hati Ji Jinchuan merasa pahit mendengar kata-kata putranya. Tangannya yang berada di bahu Ji Nuo tidak bisa untuk tidak mengencangkan. Dia duduk di tepi tempat tidur pasien dan memeluknya. Sementara itu, Lu Jingnian memandang mereka bertiga dan tetap diam.     

Ji Nuo mengangkat kepalanya dari lengan Ji Jinchuan, dia menatapnya dan bertanya, "Ayah bilang kita akan menunggu ibu kembali untuk bersama dengan kita lagi. Ini sudah lama sekali. Apa dia akan kembali?"     

Suasana di kamar pasien menjadi hening. Tanaman hijau di ambang jendela bergoyang tertiup angin, menunjukkan sesuatu yang masih hidup. Mata gelap Ji Nuo terus menatap Ji Jinchuan, menunggu jawaban darinya.     

Sudut mata Ji Jinchuan melirik wajah wanita yang tampak pucat. Dia lalu menjawab dengan suara pelan dan serak, "Aku tidak tahu…"     

Ji Nuo mengerutkan kening, "Ayah, apakah kamu memiliki foto ibu? Aku ingin melihatnya. Mungkin suatu hari aku akan bertemu dengannya di jalan."     

Chen Youran tidak bisa menahannya lagi. Dia mengambil tas di sebelahnya, menutupi bibirnya, dan bergegas keluar dari kamar pasien. Ji Nuo melihat ke pintu kamar pasien yang dibanting dengan keras dan tercengang.      

"Ayah, apa yang terjadi?" tanya Ji Nuo.     

Ji Jinchuan mengusap kepala anaknya dan menjawab, "Tidak ada apa-apa. Mungkin Ranran harus pergi dulu."     

Ji Nuo bukanlah anak yang mudah ditipu. Ketika memang harus pergi, Chen Youran akan berpamitan dan melambaikan tangan padanya. Sekarang ini, jelas ada sesuatu yang salah yang terjadi pada wanita itu. Dia memainkan imajinasinya dengan bersusah payah dan berkata, "Mungkinkah Ranran jatuh cinta padamu dan saat kita menyebut ibu di depannya, dia tidak senang dengan itu?"     

"Kamu berpikir terlalu jauh…" balas Ji Jinchuan dengan lembut     

"Pasti seperti itu," kata Ji Nuo dengan yakin. Dia merasa EQ (Emotional Quotient) ayahnya tidak setinggi dirinya. "Ayah, kamu adalah seorang bujangan tua yang masih memiliki kesempatan untuk meninggalkan masa lajang."     

Lu Jingnian yang berada di sisi lain terkikik. Sulit membayangkan bahwa putra seorang pria dingin dan acuh tak acuh akan menjadi seorang pengacau seperti ini.     

Ji Nuo memandang Lu Jingnian dan berkata, "Paman Lu, kamu tidak boleh menertawakan ayahku. Ini tidak mudah baginya."     

"Ya, itu tidak mudah." Lu Jingnian mengangguk setuju.     

Kata-kata Lu Jingnian penuh makna. Meskipun IQ Ji Nuo tinggi, dia tidak bisa memahami makna kata-katanya yang sebenarnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.