PERNIKAHAN TANPA RENCANA

110



110

2Tak ada yang mengetahui keberadaan ayah saat ini. Terkecuali Duminah, istrinya. Namun kini malah ayah hampir saja celaka. Ia telah melupakan bahwa alam bisa lebih ganas dari siapapun. Terjangan badai yang mengombang-ambingkan tubuhnya tadi telah menumbangkannya dan kini ia terdampar di tempat asing.      

Entah ia masih di dunia ini ataukah ia sudah berada di dunia lain. Ia bahkan meragukan dirinya sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa ia tanyai kecuali orang yang kini merawatnya, yaitu Kakek Karsin. Satu-satunya orang yang bisa Ia tanyai saat ini.     

"Mbah, sebenarnya saya ada di mana.?" Tanya Ayah padanya menuntut jawaban pasti meski dengan suara yang begitu lemah. Ia pun membetulkan posisinya hingga mampu duduk dengan betul. Kakek Karsin pun tersenyum dan membalikkan badan kembali dan memunggungi ayah untuk menaruh gelas ke sebuah meja yang terletak agak jauh di sana.     

"Berani sekali kau datang ke gunung Le, dengan badan selemah ini." Ucap Mbah Karsin yang lalu duduk di sebelah ayah dan mengambil kain basah berkat mengompres tubuh ayah. Ayah bahkan baru menyadari bahwa Ia ternyata mengenakan kain yang begitu tebal dan berlapis-lapis. Ia tak mengenali kain ini. Mungkin milik Kakek Karsin.     

Ayah terdiam. Ia merasa sudah melakukan kesalahan kali ini. Tanpa persiapan yang matang ia berani mendatangi gunung yang sudah jelas di katakan keramatnya. Ia meremehkan alam.     

"Kau tahu kenapa gunung ini di keramatkan?" Tanya mbah karsin. Ayah hanya mampu menggelengkan kepala.     

"Karena gunung ini memang keramat. Gunung yang mampu menelan kehidupan dan mampu menampakkan yang tak seharusnya terlihat. Beruntung kau terdampar di tempatku. Bagaimana kalau kau berakhir seperti Sanem?"      

Ayah merasa bersyukur bahwa Mbah Karsin sudah menyelamatkannya. Namun Mbah Karsin yang mulai menghakimi dan tidak tahu apa-apa tentangnya mulai membuatnya kesal dan tersinggung.     

Ayah mendengus. Ia ingin marah namun tidak berdaya.     

"Sanem itu belum meninggal. Tetapi aku tak bisa menemukannya di mana pun di belahan gunung ini. Kau tahu apa yang ku lakukan untuk menemukannya?"      

Ayah menggeleng lagi.     

Ternyata cerita tentang Sanem di kalangan masyarakat itu benar adanya. Bukan omong kosong. Dan mbah Karsin inilah saksi satu-satunya yang masih hidup. Mbah Karsin pun mulai menceritakan bagaimana akhirnya hingga ia berada di gunung ini dan memutuskan untuk menetap.     

"Aku dan Sanem memiliki hubungan spesial…     

Mbah Karsin mulai bercerita dengan pikiran yang menjelajah di awang-awang.     

Dahulu ketika muda Mbah Karsin dan Sanem adalah teman. Setelah sekian lama berteman mereka akhirnya saling jatuh cinta. Cinta mereka yang tulus membuat seluruh warga kampung iri. Termasuk seorang laki-laki bernama Yoso yang juga iri dengan kisah Mbah Karsin dan Sanem.     

Sayangnya ke irian Yoso tidak cukup dalam benak saja. Perasaan Yoso berlanjut kepada rasa dengki hingga Ia berani berbuat keji terhadap Sanem.      

Yoso yang juga punya hati terhadap Sanem pun akhirnya mengungkapkan perasaannya. Meskipun ia tahu bahwa Sanem sudah milik Karsin. Dalam benak Yoso tertanam kalimat selagi jalur kuning belum melengkung. Semua kemungkinan masih bisa terjadi.     

Berbekal keberanian dan tekad dalam hati niat tulusnya Ia sampaikan kepada Sanem malam itu di pasar malam. Karsin yang datang terlambat pun tak sempat menyaksikan adegan di mana Yoso salah satu pemuda kampung yang jatuh cinta pada kekasihnya itu mengutarakan perasaannya.     

Yoso sakit hati. Ia tak terima dengan keputusan Sanem yang tak mau menerima cinta Yoso dan malah memilih setia kepada Karsin.     

Yoso pun kalap. Ia kemudian merencanakan sebuah balas dendam jahat terhadap Sanem pujaan hatinya.     

Malam itu hujan mengguyur kampung. Namun perjalanan Sanem masih harus dilanjutkan agar cepat sampai rumah. Dengan jalan yang tergesa Sanem menuntun kakinya menuju jalan pulang ke rumah.     

Padahal Sanem dan Karsin sudah janjian agar besok pagi bisa berangkat bersama ke sawah.      

Beberapa kali sendalnya tenggelam dalam balutan tanah basah dan juga genangan air. Namun Ia tak berhenti barang selangkah pun.      

Tiba-tiba saja seseorang menariknya di jalan gelap. Sanem tak sempat melihat wajahnya. Namun Ia jelas tahu suara siapa itu.     

Iya. Dialah Yoso yang beberapa hari yang lalu mengutarakan perasaannya kepada Sanem. Namun di tolak olehnya.     

"Apa yang coba kamu lakukan." Teriak Sanem di antara hujan deras. Payungnya yang sudah terbang entah ke mana tak ia hiraukan. Air hujan mulai merembes bahkan ke dalam baju Sanem.     

"Aku tahu itu kamu Yoso. Kau tahu aku.." Yoso embekap mulut sanem agar diam.     

"DIAM!" Bentak Yoso.     

Tiba-tiba guntur menggelegar menyambar di langit.     

"Kau tahu aku menginginkanmu tapi kau malah memilih si Karsin Sialan itu. Kau pikir kau berhak menolakku HAH!" Sombong Yoso penuh kemarahan di bawah lebatnya hujan.     

Sanem yang di pepet di tepi pohon pun memberontak. Ia mencoba mengerti perasaan Yoso. Namun Sanem tidak bisa memaksakan perasaannya untuk Yosi. Dan ini sudah keterlaluan baginya.     

Sanem lalu menghalau bekapan tangan kekar Yoso.     

"Sudahlah Yoso... Kita tidak bisa memulai apa pun. Aku memang sudah akan menjadi milik Karsin. Dan itu tidak bisa berubah."Ucap sanem pada Yoso sampai hampir berteriak karena beradu dengan deru hujan.     

"APA! Tidak bisa kamu bilang! Kalau begitu akan aku buat agar semuanya menjadi bisa!" Ucap Yoso dengan mata berapi-api     

Tiba-tiba Yoso menyergap Sanem dalam dekapannya yang erat. Sanem yang meronta-ronta namun kalah dengan tenaga perkasa Yoso. Sanem mencoba berteriak namun apalah daya suara hujan mengalahkan suara parau nya.     

Di guyur lebatnya hujan dan petir yang menyambar-nyambar. Yoso kesetanan mencumbui Sanem yang sudah tergeletak lemas oleh belaian kasar Yoso. Yoso tak memberikan sedikit pun jeda untuk Sanem meronta. Ia telah mengalahkan wanita yang mencintai lelaki lain itu sepenuhnya.     

Hujan pun reda. Yoso terengah-engah. Ia baru saja menyadari perbuatan kejinya kepada wanita yang Ia cintai itu. Dan wanitanya kini tergeletak lemas di sampingnya. Berbantal akar pohon di belakangnya.     

Yoso menatap Sanem dengan wajah khawatit juga ketakutan. Ia lalu menagis. Apa yang sudah Ia perbuat. Sampai Sanem tewas di hadapannya.     

Yoso berteriak. Ia lalu berlari meninggalkan Sanem. Ia ketakutan setengah mati. Tengah malam itu hanya jangkriklah yang berderik. Tubuh Sanem yang mendingin dan mulai membiru di kegelapan dan hanya sendirian.     

Namun Yoso pun kembali lagi. Ia membawa sebuah cangkul. Bermaksud menguburkan jasad Sanem. Sebelum ada seorang datang dan mengetahui perbuatannya.     

Sayangnya saat Yoso kembali ke pohon asem dimana mayat Sanem tergeletak. Tak ada seorang pun di sana. Kecuali kain yang Sanem kenakan tadi.Yoso pun semakin panik dan ketakutan.     

Ia sangat yakin bahwa Sanem sudah tidak bernafas. Lalu siapa yang mengambil jasadnya? Apakah orang itu melihat apa yang sudah Yoso perbuat kepada mendiang Sanem beberapa saat lalu? Pikiran Yoso di penuhi oleh bayang-bayang wajah lemah Sanem saat terakhir kali Ia tinggalkan sendiri di bawah pohon asem itu.Yoso berlari secepat yang Ia bisa. Dalam pikirannya hanya di selimuti kekalutan dan ketakutan. Ia tak menyangka pada apa yang ada di hadapannya tadi. Sebuah tubuh molek gadis yang sangat Ia cintai.     

Tubuh yang lemas dan membiru. Tergeletak di atas rumput bersandarkan akar dari pohon asem. Sementara pikiran Yoso buyar, tak satu pun kejadian sebelumnya Ia ingat.     

Yoso kocar kacir ingin menyembunyikan diri. Rasa bersalahnya menggunung sehingga tak mampu di sembunyikan di mana pun. Dalam malam yang gelap sehabis hujan reda pun, tak mampu membuatnya lebih tenang.     

Larinya pun terhenti oleh rasa lelah kakinya yang hampir lemas. Nafas ngos-ngosan memburu dalam rongga dadanya.     

Tiba-tiba Ia terpikirkan sesuatu. Pikiran liciknya mulai berjalan untuk menyelamatkan dirinya sendiri.     

Keringat mengucur dari seluruh celah pori-pori kulitnya. Ia mengambil nafas panjang. Udara dingin dini hari itu, tak mampu mengalahkan panas hatinya karena gelisah ketakutan. Meski demikian Ia sudah sampai tahap mengalahkannya.     

Ia mulai berjalan perlahan ke arah rumahnya. Bukan. Bukan ke arah pintu depan. Namun ke arah pintu belakang.      

Suasana dini hari yang sepi dan gelap. Tak membawanya kepada rasa takut. Tubuhnya menggigil dan sesekali mencuat melalui getaran bibirnya.      

Derit pintu menyadarkan Ibunya dari tidurnya. Ibunya yang tersadar itu langsung menuju ke sumber suara. Belakang. Ia terkejut mendapati anaknya, Yoso basah kuyup.     

Namun ketika ibunya ingin mendekati Yoso. Yoso malah berteriak marah. Ia lalu pergi berlari menjauh membawa cangkul bahunya.     

Ibunya kebingungan. Ada apa dengan anaknya sebenarnya. Pikirannya di penuhi rasa khawatir. Ia pun menunggu kepulangan Yoso hingga pagi menjelang. Ia masih tertidur di ruang tamu.     

Yoso telah kembali dengan wajah yang segar. Ia juga sudah mandi. Lalu menyapa ibunya.      

Ibunya terkejut. Semalam anaknya berada di belakang rumah dengan tubuh yang menggigil. Semua menjadi serasa mimpi. Apakah sebenarnya memang mimpi? Pikirnya ragu.     

"Kamu yang semalam di belakang itu Le?"     

Dahi Yoso nampak berkerut. Kebingungan.     

"Ngapain buk aku di belakang? Justru aku mau tanya kenapa ibu berada di ruang tamu pagi ini." Tanya Yoso pada Ibunya.     

Ibunya pun semakin bingung tak tahu harus menjawab apa. Sementara dalam benaknya masih percaya bahwa yang Ia lihat semalam itu antara nyata dan tidak.     

Kemudian pembicaraan pun berakhir dengan tanda tanya dalam benak ibunya.     

Sanem yang semalam tak kembali ke rumah membuat keluarganya mencarinya. Terutama Karsin.      

Karsin terpuruk. Ia mencari ke mana-mana namun tak menemukan kekasih hatinya. Banyak yang bilang bahwa Sanem dibawa oleh lelembut. Sehingga jasadnya tak terlihat di mana pun. Namun hingga berbulan-bulan Karsin tak pernah berhenti mencarinya. Meski hanya mendapat nihil.     

Seseorang tak di kenal dengan blangkon di kepala dan berbaju lurik datang ke rumah Karsin. Ketika di tanyak nama Ia tak menjawab. Namun kemudian Ia memberikan informasi yang sedikit membuat tanda tanya untuk benak Karsin.     

"Datang ke gunung Peteng. Buat gubug di sana. Nanti kamu bisa bertemu dengannya." Ucap seseorang itu.     

Karsin yang mendengar ucapan itu pun langsung berdebar kencang. Ia tak sempat menjawab ucapan laki-laki berblangkon itu. Seribu pertanyaan berkumpul dalam benaknya. Dan setelah sadar ternyata laki-laki itu telah pergi entah kemana.     

Akhirnya Karsin pun memutuskan untuk mendatangi Gunung Peteng di pagi buta. Ia berjalan menebas semak demi semak untuk membuat jalan agar mudah ketika nanti pulang.      

Hingga tengah hari datang. Ia tak menemukan apapun. Kecuali pepohonan dan suara binatang-binatang yang saling bersautan.     

Di tengah hutan itu perasaan menyesal pun muncul. Seharusnya tak usah Ia percayai ucapan seseorang yang tidak ia kenal itu. Sehingga Ia tak perlu lelah-lelah datang jauh sampai ke sini.     

Ia merebahkan tubuhnya di rerumputan. Dahan-dahan membuatnya tertutupi dari panasnya sinar matahari. Rindang dan sejuk sekali. Angin silir berhembus sepoi-sepoi akhirnya membuatnya terlelap.     

"Mas.... Mas...Mas...!" Ucap suara gadis yang sangat Ia kenal membangunkannya.     

Karsin pun perlahan membuka matanya. Benarkah Sanem sudah kembali? Benarkah ini bukan mimpi?     

Karsin terperanjat. Tubuh Sanem benar-benar nyata berada di hadapannya sekarang. Sekejap langsung Ia memeluknya. Air matanya berlinang. Tak kuasa menahan rindu dan gelisah yang selama ini menyelimutinya.     

"Kamu dari mana saja sayang?" Tanya Karsin pada sosok Sanem yang kini Ia peluk.     

Karsin pun melepas pelukannya. Ia mengusap wajah cantik bidadari hatinya itu. Kerinduannya seketika tumpah ruah di hadapannya.     

Namun Sanem hanya terus tersenyum. Wajahnya sayu tak seperti biasanya yang ceria san tegas.     

"Kenapa San... apa kamu tidak merindukanku?" Tanya Karsin.     

Sanem menggeleng. Ia menunduk. Seolah ada ribuan kata yang tertahan dalam mulutnya. Air matanya mulai berlinang dari pipinya.     

"Ada apa sayang? Kamu sudah kembali. Aku akan melindungimu mulai sekarang.apa yang membuatmu takut?" Cerca Karsim sambil mengusap air mata di pipi Sanem.     

Sanem memalingkan muka.     

"Kita tidak bisa bersama Mas." Ucap Sanem tiba-tiba.     

"Maksud kamu? Maksud kamu apa?" Karsin tak mengerti dengan yang di maksudkan oleh Sanem.     

Sanem hanya terdiam.     

"Apa ada yang datang meminangmu? Sehingga kamu memilih dia daripada aku?" Tanya Karsin pada Sanem.      

Namun Sanem tak memberinya jawaban. Sehingga Karsin pun berimajinasi sendiri.     

"Apa kamu merasa bersalah padaku? San. Aku akan melepaskanmu jika memang kamu memilih dia. Aku tidak ingin kamu seperti ini. Pergi dari rumah dan membiat semua orang khawatir. Aku tidak ingin kamu terbebani oleh perasaa ku. Pilihlah siapa yang orang tuamu pilihkan. Aku tahu banyak sekali yang lebih baik daripada aku yang biasa saja ini. Namun San, aku yang biasa saja ini begitu mencintaimu sampai tak ingin kamu merasa terbebani oleh besarnya cintaku padamu. Aku akan membiarkan mu bahagia dengan siapa pun. Asalkan dia bisa membahagiakanmu." Tutur Karsin panjang lebar berusaha membuat hati Sanem tenang.     

Namun Sanem malah tertawa terkikik.     

Membuat dahi Karsin pun berkerut. Apanya yang lucu?     

"Apanya yang lucu?" Ucap Karsin. Suara kikikan yang tak pernah Ia dengar sekalipun dari suara Sanem yang selama ini Ia kenal.     

"Bukan itu Mas. Seseorang telah memperkosaku malam itu." Sanem lalu terdiam. Sementara Karsin membelalakkan mata menunggu Sanem melanjutkan kata-katanya.     

"Dia adalah Yoso. Aku tidak bisa bersamamu karena aku telah berada di dunia lain. Kalian tak akan bisa menemukanku di dunia ini. Jadi hiduplah damai. Jangan mencariku lagi. Semua sudah berakhir. Aku tidak bisa membalasmu. Aku hanya bisa memandangmu dari tempat yang tak terlihat olehmu. Selamat tinggal Mas. Semoga kamu cepat mendapatkan gantiku." Ucap Sanem yang membuat Karsin ternganga tak mampu membalas ucapannya walau sekata. Tangannya mengepal. Ia inginmarah semarah-marahnya.     

Kemudian Sanem pun perlahan menghilang menjadi udara. Ia tak terlihat di mana pun. Karsin mulai panik. Ia mulai memanggil-manggil nama Sanem. Ia berteriak sekaras mungkin agar Sanem kembali. Ia menangis. Ia meronta. Ia merengek.Ia menginginkan kekasihnya kembali. Ia masih tak bisa mengerti dengan kejadian yang menimpanya saat ini.     

"SANEM! SANEM! SAN...! SAN! KAMU DIMANA? JANGAN PERGI! JANGAN PERGI SEPERTI INI! JELASKAN PADAKU. SAYANG KEMBALI! KUMOHON! SANEM!"     

Namun tak ada yang berubah kecuali akhirnya matanya terbuka. Dan seluruh pandangannya hampir berwarna hijau.Yoso kembali ke dekat pohon asem dini hari itu. Seekor ayam telah berkokok padahal masih terlalu dini. Kakinya melangkah dengan pasti di tanah basah berkat hujan deras yang baru saja mengguyur.     

Tangannya memegangi cangkul yang terslampir di pundaknya. Dalam benaknya, Ia akan menyelesaikan kekacauan ini dengan diam.     

Tanpa suara agar siapa pun tak mengetahui kejadian ini. Ia akan memendam peristiwa kelam ini sendirian. Sehingga Ia dapat terus melanjutkan kehidupannya.     

Namun, Ia tak menemukan apapun di sini. Di bawah pohon asem beberapa waktu lalu tergeletak tubuh Sanem. Dan sekarang tak ada seorang pun kecuali pakaian yang di kenakan sanem.     

Tubuh Yoso terduduk ke tanah. Ia terkejut stengah mati. Sebagian perasaan takutnya mulai menggerayanginya.      

Ia kemudian meraih pakaian Sanem. Dengan celingukan Ia memasukkan baju itu kedalam bajunya. Sehingga tak ada seorang pun yang melihatnya.      

Ia tak berniat pulang. Lebih tepatnya Ia tak mampu menghadapi kegusarannya sendiri. Siapakah yang sudah mengambil jasad Sanem. Apakah ada yang mengetahui perlakuannya terhadap Sanem?.     

Ia terus melangkah. Sampai akhirnya Ia berada di depan Hutan Peteng. Namun Ia terus melangkah, menerobos semak demi semak. Tak peduli apa yang Ia tabrak di hadapannya.     

Sampailah Ia jauh ke tengah hutan. Ia lalu membuang baju milik Sanem sembarang. Tak ada cahaya yang meneranginya kecuali rembulan yang redup.     

Sehingga berkali-kali Ia terjatuh. Lalu berjalan dengan terseok-seok.     

Sampailah Yoso di rumahnya saat subuh tiba. Ia segera membersihkan tubuhnya dsri tanah dan dedaunan yang menempel di tubuhnya.     

Pakaian yang Ia kenakan lalu Ia buang ke dalam sumur. Sehingga tak akan ada seorang pun yang tahu. Bahwa semalam Ia berada di lura rumah.     

Ia akan berpura-pura bahkan kepada ibunya kelak jika ibunya sudah bangun. Bahwa semalam tak pernah terjadi apa pun.      

Ternyata ibunya masih tertidur di ruang tamu. Ia pasti menunggu kepulangannya. Mulailah saat itu Ia melancarkan aksinya. Meski terlihat sedikit tidak percaya. Namun Ibunya terlihat seperti tidak terlalu mempermasalahkan soal semalam.     

Namun, mimpi buruk Yoso pun sedang di mulai dari hari itu juga.     

Karsin terbangun, Ia masih terkapar do atas rerumputan beratap rerimbunan dahan Pohon akasia yang menjulang tinggi dan besar. Cahaya matahari bersilauan di matanya yang menghadap lurus ke langit namun tertutup dahan.     

Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Mencoba menyadarkan dirinya. Hatinya masih bergemuruh diantara kesadaran yang masih belum penuh.      

Sanem. Kekasihnya yang selalu ayu di matanya itu baru saja di sisinya. Membicarakan hal aneh yang sama sekali tak ia mengerti. Tapi kini sosoknya tak ada lagi di sini.      

Kecuali sebuah kain yang Ia tinggalkan di pelukannya. Sebuah kebaya berwarna biru dan jarik lurik yang Ia kenakan terakhir kali.      

Karsin menangis sejadi-jadinya. Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh Sanem terasa berputar-putar di kepalanya. Ia tak bisa trrima ini. Ia tak bisa jika harus berpisah dengan cara seperti ini.     

Karsin berjingkat bangin dari rebahnya. Amarahnya membumbung tinggi hingga ke ubun-ubunnya. Laki-laki itu, laki-laki biadab yang sudah melakukannya kepada Sanem hingga semuanya menjadi seperti ini. Dia harus mendapat balasannya. Harus.     

Waktu itu seseorang memberitahukan kepadanya. Bahwa ada seorang laki-laki yang mengutarakan perasaannua kepada kekasihnya. Laki-laki itu adalah Yoso. Namun Karsin hanya bergeming.  Tak memanggainya. Ia tahu, Sanem memang gadis yang banyak di cintai laki-laki. Karena itu, Ia tidaklah kaget mendengar kabar itu. Ia juga tidak pernah mempermasalahkannya. Semua bukan salah Sanem yang cantik, dan semua bukan salah mereka yang jatuh cinta padanya.     

Setahu Karsin, tak ada yang berani menyentuh wanitanya barang sehelai rambit pun. Sanem iu gadis yang sangat tegas. Ia punya pendirian. Ia akan menolak jika tak menginginkannya. Ia akan menerima jika menginginkannya.     

Sanem tidak pernah mengecewakan Karsin dalam hal apa pun. Ia selalu membuat Karsin kagum dengan pesonanya. Ia tidak tahu bahwa Sanem akan dikalahkan oleh manusia biadab seperti Yoso.     

Tidak. Sanem kekasihnya itu tidak pernah kalah. Ia hanya tidak dikaruniai oleh tenaga sebeanyak lelaki seperti Yoso. Sehingga Ia gagal melindungi dirinya sendiri.     

Karsin berjalan dengan tergesa-gesa. Dalam benaknya Ia ingin ceat sampai. Amarahnya, rasa kesalnya, rasa putus asanya menyatu dalam kepalan tangannya yang kelak akan Ia hantamkan di wajah Yoso samai hancur seisinya. Ia tak punya kesabaran untuk manusia biadab seperti Yoso.     

Di tengah jalan menuju arah  rumah Yoso. Anak-anak kecil berlarian riang.      

"ORANG GILA. ORANG GILA. ORANG GILA."      

Mereka serentak berteriak mengejek seseorang dengan sebutan orang gila. Ah, Karsin tak punya waktu untuk memperhatikan hal semacam itu. Ya memang orang yang terlihat tidak waras berjalan di belakang mereka.      

Karsin berlalu melewati mereka. Aroma tak seda menguar saat melewati orang gila tersebut. Mungkin dia tidak pernah mandi semenjak gila. Karsin segera menjauhkan diri dan fokus pada tujuannya.     

Sampailah Karsin di rumah Yoso. Tanpa salam. Ia menggedor-gedor pintu rumahnya. Dengan suara yang keras dan nada yang penuh kemarahan.     

"YOSO! KELUAR KAMU! YOSO BAJINGAN. KELUAR KAMU! HADAPI SAYA!"     

Seseorang tampak berjalan  keluar dengan langkah yang lemah. Rambutnya tergerai kusam, panjang dan bergelombang. Matanya sedikit cekung dan memggelambir di bagian bawahnya. Nampak uban di sela-sela belahan rambutnya.     

Tatapannya tampak lemah. Sepsrti manusia tanpa harapan dan kemauan. Ia terlihat menua sebelum umurnya.     

Karsin yang semula menggebu-gebu menjadi Iba. Ia memelankan suaranya dan menurunkan emosinya.     

"Saya ada urusan dengan Yoso. Di mana dia?" Ucap Karsin tanpa basa-basi dengan suara yang lemah dari sebelumnya.     

"Duduk dulu... silahkan."     

Wanita tua itu uang diketahui adalah ibunya Yoso sudah menjatuhkan pantatnya di kursi yang terbuat dari rotan itu.     

Akhirnya Karsin pun mengikutinya. Mereka berhadap-hadapan. Wanita itu menatap Karsin dengan lemah. Sementara Karsin masih memendam amarahnya.     

"Ada apa nak... ada urusan apa dengan Yoso." Tanyanya.     

"Sudah! Aku tidak bisa basa-basi di sini. Aku butuh Yoso sekarang." Ucap Karsin mulai marah.     

"Iya. Karena itu saya di sini. Karena saya yakin kamu tidak akan bisa berbicara dengannya." Ucap Ibunya Yoso. Terlihat matanya mulai berkaca-kaca.     

"APA MAKSUDNYA! APA DIA KABUR? BERANI-BERANINYA DIA SETELAH MENJADI PEMBUNUH! SETAN ALAS!" Sumpah serapah Karsin membuat ayah Yoso juga keluar. Baik ibu dan ayahnya Yoso pun terlihat terkejut. Mereka menatap Karsin nanar dengan tatapan penuh pertanyaan.      

Air mata wanita itu pun keluar. Ia teringat kembali malam hari dua bulan yang lalu. Ketika itu ia terbangun dari tidurnya karena terdengar derit suara dari pintu belakang. Ia kira seorang maling memasuki rumahnya. Namun itu ternyata adalah Yoso.     

Dalam keadaan belum sepenuhnya sadar Ia yakin itu adalah anaknya, meski kemudia Ia berlari dan membawa sebuah cangkul.     

Iya malam itu Ia mengira mimpi. Namun kenyataannya, itu mungkin berkaitan dengan kedatangan pemuda yang penuh amarah ini.     

"Maksud mu dengan kata membunuh apa nak?" Tanya ayah Yoso pada Karsin.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.