54. SEBUAH TRAUMA
54. SEBUAH TRAUMA
Aku tahu sebenarnya Bapak marah atas kejadian tadi pagi. Ia pasti malu mempunyai pembantu sepertiku. Tapi karakternya yang biasa ia tunjukkan kepada orang-orang adalah lembut dan tak pernah marah-marah. Membuatnya harus mempertahankannya atau jika tidak semua orang akan mulai berubah anggapan tentang perilakunya.
Aku bahkan terkejut mendengarnya meninggikan suara di depan mas Aden kemarin. Anaknya satu-satunya itu. Sebelumnya tak pernah ada kejadian seperti itu. Ayah adalah orang yang akan membuat siapa pun merasa adem di dekatnya. Selalu ceria dan positif.
Pekerjaanku akhirnya pun selesai. Punggungku terasa pegal-pegal dengan cucian piring seabrek itu. Kulihat ke arah pintu kamarnya Mas Aden masih belum keluar dari kamarnya. Aku menghela napas. Waktunya untukku mengantar segelas susu untuknya.
Aku pun mengetuk pintu kamarnya. Ia seperti biasa. Di depan jendela menatap langit malam. Dua hari ini dia selalu seperti itu. Dia terlihat terkejut. Itu tandanya Ia sedang melamun.
"Mas..." aku menaruh susunya di atas meja sisi ranjangnya. Dia hanya menoleh. Tak berminat untuk berbicara. Aku hanya membiarkannya dan keluar setelahnya.
Keesokan harinya. Bapak pagi sekali dapat tamu. Hari ini adalah hari minggu. Hari libur untukku. Saking baiknya mereka kepadaku sampai mereka memberiku hari libur. Biasanya aku bermain bersama Mas Aden saat ia di rumah. Atau sekedar di kamar saja. Namun kali inj aku mau me refresh otak. Jadi aku akan pergi ke pasar seorang diri.
Aku berjalan keliling pasar tanpa membeli apa pun. Yang kulakukan hanyalah untuk merefresh seluruh pikiran rumit yang ada di otakku. Kekecewaan pada seseorang yang selamam ini kuanggap tulus namun ternyata hanya omong kosong. Keluarga yang selama ini ku abdi dan selalu tersenyum padaku ternyata memandang rendah pekerjaanku yang seornag pembantu.
Belum lagi perasaan kacauku yang harus mendengar tentang kenyataan bahwa Mas Aden sebenarnya menaruh perasaan padaku. Dan sikapnya yang selalu memaksa apa yang diinginkannya harus terkabulkan. Aku menggeleng kepala. Dalam benakku berteriak. Aku tidak bisa jika harus menjalani semua ini lebih lama.
Namun dilema itu tidak sampai di situ. Aku yang mengingat betapa kekeuh Mas Aden untuk mengakui perasaannya padaku malah membuat semua semakin berat.
Mas Aden bagiku adalah seorang adik. Jarak usia kita yang tak terpaut jauh membuat seluruh pembicaraan kita terasa nyambung. Belum lagi bertahun-tahun lamanya kuhabiskan waktu hampir setiap hari dalam dua puluh empat jam itu bersama.
Aku memahami Mas Aden luar dalam selain perasaannya yang berlebihan kepadaku. Karena aku lebih dewasa darinya. Aku sadar dengan jelas, Mas Aden sebenarnya salah dalam menilai perasaannya sendiri. Ia masih terlalu muda untuk tahu sebesar mana ia mencintai atau membutuhkan.
Mas Aden mungkin merasa ia mencintaiku. Padahal dalam kenyataannya, itu hanyalah perasaan kasihku yang kupupuk untuknya setiap hari dan ia salah menanggapinya. Perasaanku padanya bukan perasaan semacam cinta. Ini perasaan antara kakak dan adik. Tapi Mas Aden menganggapnya lain.
Aku berulang kali mendesah. Sesuatu yang berat seperti menyumpal di rongga pernapasanku.
"Hai. " seseorang menepuk pundakku. Aku terkejut setengah mati.
Dahiku berkerut. Aku tidak mengenalinya. Apa dia penggoda? Lelaki iseng ?
Dia tersenyum padaku. Senyumnya begitu manis dan berkharisma. Jantungku bergetar lebih keras berkat seorang laki-laki untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Aku lalu membenarkan posisiku.
"Maaf siapa?" tanyaku berusaha sopan.
"Mba Santi kan?" tanyanya sambil mengacungkan jempolnya ke arahku.
Dahiku berkerut. Tentu saja, bagaimana mungkin ada orang mengenaliku di tempat yang jauh ini.
"Ah…aku koleganya Pak Setya." Ucapnya memperkenalkan diri. Namun itu tidak cukup memberiku kepercayaan untk menerima perkenalan ini. Dia menyadari bahwa aku tidak cukup percaya dengannya. Namun ia tidak marah. Ia tersenyum kembali.
"Aku melihatmu juga saat menjatuhkan gelas-gelas dalam nampan yang ada di tanganmu saat itu." Ucapnya kemudian yang berhasil membuat wajahku memerah karena malu.
"Sudah percaya sekarang?" Tanyanya lagi. Aku pun mengangguk. Sudah cukup percaya bahwa lelaki ini memang berada di sana saat itu.
"Kenalkan. Saya David." Dia mengulurkan tangannya dengan sopan. Aku pun tersenyum menyambutnya.
"Santi." Ucapku.
Tangan David begitu kekar. Tentu saja proporsional dengan tubuhnya yang didominasi oleh otot. Kulitnya memang hitam namun tidaklah legam. Ia masih cukup untuk di sebut manis. Senyumnya memang manis sekali. Aku yakin ditambah dengan tubuh tinggi dan hidung mancungnya ia pasti menjadi idaman wanita.
"Seharusnya yang di depanmu saat itu aku. Bukan pak Barno. Kamu pasti jadi semangat kerja bukan malah gemetaran dan hampir pingsan seperti saat itu." Ucapnya sambil tersenyum-senyum. Bahkan suaranya terdengar merdu.
Wajahku memerah. Namun meski demikian aku tetap menanyakan tentang Pak Barno. Untuk memastikan dia tak marah denganku.
"Namanya Pak Barno ya..?" Tanyaku. Ia kemudian menagngguk.
"Memangnya Pak Setya tidak memberitahumu?" aku menggeleng. Kami bahkan tidak saling bicara beberapa hari ini. Ucapku dalam hati.
"Untung pak Barno itu orangnya kocak. Enggak pernah marah dan sangat pengertian. Jadi dia malah ngelawak saat itu juga." Ucapnya. Aku hanya mengangguk menanggapinya. Terasa lega dalam hatiku.
"Kamu sudah selesai belanja?" tanyanya. Aku enggan menjawab sebenanrya. Tapi harus ku jawab demi sopan santun.
"Tidak mas. Ini hari liburku." Jawabku.
Ia menatap kedua tanganku yang kosong. Sepertinya dia mulai paham kalau tujuanku ke sini bukanlah untuk berbelanja.
"Aku antar kamu pulang sampai rumah. Pak Setya tidak akan marah padamu. Apalagi padaku." Ucapannya terdengar masuk akal di telingaku.
Aku pun mengikutinya ke arah parkiran. Wah di aternyata mengendarai sebuah motor gede. Aku tidak tahu apa namanya, tapi terasa nyaman di naiki. Ia memeberiku sebuah helm dan memberikan perintah untuk aku duduk di brlakangnya. Aku hanya mengikutinya. Ini adalah pertama kalinya perjalananku dengan motor di kota Makassar.
Mas David terlihat santai mengendarainya. Ia pasti tahu kalau aku sedikit takut. Sebenarnya aku sendiri tidak tahu akan di bawa ke mana. Namun aku hanya main percaya saja dengan perintahnay yang selalu menggiurkanuntuk diikuti.
Tubuh kekar mas David menutupiku dari terpaan udara yang berasal dari depan. Aku hanya gadis mungil yang tak akan terlihat jika ada dalam dekapannya. Huh… berpikir terlalu jauh. Tapi jujur saja, ini perjalanan paling menyenangkan yang pernah aku lalui.