PERNIKAHAN TANPA RENCANA

55.HARI YANG BERAT



55.HARI YANG BERAT

1Hari ini serasa berat sekali badanku untuk beranjak dari ranjang. Mataku tertutup rapat sekali dan     

enggan untuk terbuka. Padahal kokok ayam sudah nyaring dari segala arah. Memikirkan harus     

menghadapi masku yang entah maunya apa terasa menyebalkan sekali. Dia pasti akan     

mendiamkanku. Dan hal itu lebih menyebalkan.     

Terdengar suara piring sudah beradu. Itu pasti mba Ranti atau mungkin Simbok. Aku mendesah. Mau     

Bagaimana pun harus kupaksakan melek dan membantu mereka. Aku tidak ingin mereka mengecam     

keberadaanku di sini.     

Ku sapa Mba Ranti yang sedang mencuci piring. Aku segera mengikat rambutku. Dan menuju meja     

makan. Kuambil semua perkakas kotor bekas tamu-tamu kakakku. Ku taruh di sisi meja lalu ku lap     

meja tersebut. Ku raih gelas-gelas itu dalam jemariku dan kuletakkan di sisi bak yang ada di hadapan     

Mba Ranti.     

Aku pun mengambil dingklik dan duduk disisi lainnya untuk membantunya. Sementara Mba Ranti     

menghapus kotoran iring dengan sabun tugas ku adalah membilas dengan air bersih lalu     

menempatkannya di bak dan nanti akan dipindah ke rak piring.     

Prosesnya hanya berlangsung sebentar karena dikerjakan bersama. Aku bertanya dengan mbak     

Ranti tentang sarapan kita. Tapi Mba Ranti bilang Ia yang akan mengurusnya. Dia hanya     

menyuruhku menyapu pekarangan dan menunggu tukang sayur lewat sekitar jam delapan nanti.     

Aku hanya mengangguk menuruti setiap perintahnya. Mba Ranti memang tidak banyak bicara.     

Namun dia orangnya tidak pernah neko-neko apalagi dalam hal hubungan dengan orang lain. Bisa     

dibilang cukup menyenangkan orangnya. Namun karena sifat pendiamnya terkadang membuat     

sSantokit sungkan.     

Meski hari belum benar-benar terang. Karena matahari masih malu-malu untuk menampakkan diri.     

Aku tetap menyapu pekarangan dari ujung ke ujung. Kalau di Jawa suara sapu di pagi hari itu sudah     

biasa. Ternyata di sini beda. Belum terlihat orang lalu lalang sejak tadi. Mungkin karena tidak ada     

perkebunan seperti sayur atau sawah. Mereka biasanya ke ladang karet mereka agak siang. Kalau     

tidak siang sekalian atau bahkan sore.     

Mas Sardi tiba-tiba saja keluar dari pintu belakang. Jalannya yang tidak seimbang karena kaki sebelah     

kanan lebih panjang ketimbang kiri membuat irama sendalnya saling bersautan jelas. Ia memtapku     

tadi meski aku tak menghiraaukan. Aku terus melanjutkan kegiatanku menyapu.     

Biasanya jam segini Mas Sardi hanya duduk di kursi sambil menunggu kopinya habis. Dia tidak     

menyapaku sama sekali. Begitu pun aku, enggan sekali rasanya untuk menyapa kakak sulung yang     

menyebalkan ini.     

Akhirnya daun-daun kering yang ku kumpulkan dengan sapu lidi ditanganku ini pun terkumpul. Aku     

bermaksud mengambil pengeruk sampah dan tongnya di belakang. Kutoleh ke arah Mas Sardi yang     

sedang sSimbokk mengurus buah sawit yang bertumpuk. Aku hanya melaluinya tanpa menyapa.     

Simbok melihat tingkah kami dari dapur. Karena lurus dengan jendela sehingga gerak-gerik aku dan Mas Sardi terpampang nyata olehnya. Simbok menarikku ketika aku sudah memasuki dapur. Sebenarnya     

mempunyai pintu namun tak dipasang daunnya. Aku hanya mengikutinya malas.     

"Aduhhh.. apa si buk." Tuturku padanya kemudian Ia melepas lenganku.     

"San, habis ini bantuin mas mu itu." Perintah Simbokku. Aku memutar bola mata dan hendak     

meninggalkan beliau. Tapi beliau menarik lenganku kembali.     

"Ehhhh... dikasih tahu sama orang tua malah gitu." Tambah Simbok.     

Aku menarik lenganku supaya terlepas dari genggamannya. Kemudian aku menoleh padanya.     

"Iya iya mbokk.. bawel deh." Sontak ucapanku membuat Simbok dan Mba Ranti geleng-geleng kepala.     

Aku berlalu dan menuju kearah belakang.     

Setelah kuselesaikan kegiatan menyapuku. Aku pun bermaksud melanjutkan titah Simbok. Meski berat     

dan malas sekali.     

Kuhampiri Mas Sardi. Menyebalkannya dia hanya diam. Tidak menghiraukan kehadiranku.     

"Aku harus ngapain." Tanyaku padanya. Dia menoleh ke arahku. Lalu menyesap kreteknya.     

Dia meninggalkanku mengambil sebuah ceting. Sebuah wadah yang terbuat dari anyaman bambu.     

Dia melemparkannya ke arahku dengan santainya.     

"Itu, masukkan itu ke sini." Dia bermaksud menyuruhku untuk memasukkan biji-biji sawit yang rogol     

ke dalam ceting.     

Aku hanya menuruti perintahnya. Setelah ceting itu penuh Mas Sardi memberiku sebuah karung. Ia     

menyuruhku memasukkan bijian sawit itu ke dalam karung.     

Lagi. Aku hanya menurut saja tanpa interupsi.     

Sementara kumasukkan raup demi raup biji-bijian berwarna hitam dan semu merah itu. Mas Sardi     

memindahi buah sawit yang masih utuh. Dari satu tempat kesisi tempat lain. Gunanya adalah untuk     

di sortir.     

Buah sawit yang masih bagus itulah buah unggulan. Cirinya ditandai oleh buah yang bijiannya tidak     

rogol. Artinya setiap ruas duri sawit masih penuh. Hal itu membuat timbangannya menjadi berat.     

Sementara segelondong sawit yang sudah rogol akan disisihkan ke tempat lain. Nantinya akan     

dicacah menjadi bijian yang lebih kecil. Keduanya memiliki harga yang berbeda. Itulah alasannya     

kenapa dipisah.     

Belum selesai kukumpulkan bijan-bijan itu. Sebuah truk datang. Muatannya penuh dengan bijian     

yang kelak akan menjadi minyak itu. Seseorang turun dari kemudi sebelah kiri. Memberi aba-aba     

kepada temannya untuk parkir dengan benar di halaman rumah kami. Aku pun beranjak dan     

menepikan diri. Mas Sardi pun meletakkan alat yang dipegangnya lalu memberi aba-aba kepada juru     

parkirnya dimana mereka harus parkir.     

Truk pun berhenti. Mesin pun dimatikan oleh sang sopir. Dan kini Ia pun turun. Ia menyapa Mas Sardi     

dengan tertawa lebar. Perawakannya besar namun tidak terlalu tinggi dan tidak kekar. Sehingga     

terlihat bantat. Kulitnya coklat hampir gelap mungkin karena terik di tanah Sumatra ini.     

Ia menghampiri Mas Sardi dan mulai berbincang dengan akrab. Logatnya kentara sekali bahwa Ia     

adalah orang Sumatra ini. Sumatra Utara tepatnya. Ia sangat jelas bahwa dia adalah orang Batak.     

Ia sempat melirik kearahku. Mungkin bertanya kepada Mas Sardi siapa aku. Namun beberapa saat     

kemudian mereka khusyuk kembali kepada percakapan bisnis mereka yang saat ini sedang gencar-     

gencarnya dan laris-larisnya. Aku pun meninggalkan mereka.     

Kupikir akan berbahaya jika aku terlalu dekat dengan pekerja. Dua orang sedang memindahkan     

gelondongan-gelondongan sawit itu ke tanah. Sehingga menjadi tumpukan yang menggunung dan     

beberapa terkadang menggelinding. Akan terlalu berbahaya bagi siapapun yang terlalu dekat     

melihat duri-duri sawit yang panjang dan aku yakin cukup tajam.     

Saat aku hendak masuk Simbok keluar dengan nampan berisi gelas-gelas yang terdegradasi warna hitam     

pekat dari kopi. Kukira beliau yang akan menghidangkan kepada tamu Mas Sardi itu. Gernyata Simbok     

malah menyerahkannya kepadaku. Tanpa mampu menolak, aku hanya menerima nampannya dan     

menatap Simbok. Sebenarnya ingin mengutarakan kata-kata yang bernada sebal namun hanya     

kupendam saja. Akan kurang ajar jika aku mengumpat Simbokku sendiri.     

Aku tersenyum terpaksa dan berbalik lalu berjalan ke arah Mas Sardi dan rekannya itu.     

Sesampai di belakangnya aku pun bermaksud memberikan kopi-kopi ini.     

"Ini kopinya mas."     

Keduanya pun menoleh. Mas Sardi menghampiriku.     

"Taruh situ." Ia menunjuk sebuah bangku permanen yang terbuat dari semen.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.