PERNIKAHAN TANPA RENCANA

56. RENCANA



56. RENCANA

2Akhir-akhir ini rumah Mas Sardi terasa ramai dari biasanya. Aku bahkan sudah mengenal beberapa     

pelanggan-pelanggan Mas Sardi. Beberapa hal tidak menyenangkan mulai ku alami. Aku memang     

sudah terbiasa dengan dunia kerja. Tapi tetap saja dilecehkan saangatlah tidak menyenangkan.     

Memang tidak sampai jauh hingga tindakan senonoh namun berupa ucapan-ucapan yang terkadang     

terlewat nakal dan merendahkan.     

Hal-hal seperti ajakan jalan-jalan dalam tanda kutip tentu saja makna jalan-jalan di sini bukan     

sekedar jalan-jalan. Aku sudah hafal akan hal itu. Dulu aku pernah bekerja di sebuah restoran di     

Jogjakarta. Aku bahkan mengalami hal yang lebih parah dari sekedar kata-kata. Terkadang sopir-     

sopir yang mampir untuk makan itu pura-pura menabrak pelayan wanita hanya untuk menyentuh     

bagian tertentu dari tubuh pelayan. Dan saat ini tidak ada hukum yang menyalahkannya.     

Dari pengalaman-pengalaman mengerikan itu sekarang aku jadi muak dengan para hidung belang     

itu. Sehingga sebelum aku menjadi santapan mereka lebih baik aku di cap sebagai gadis galak atau     

judes saja.     

Hari ini aku bertugas menimbang sawit yang baru datang. Aku mulai mengerti tugas Mas Sardi satu     

persatu. Kadang Mas Sardi duduk mengawasiku. Namun kali ini Ia tidak terlihat. Mungkin ada di     

belakang rumah karena Mba Ranti bilang buah sukun di belakang rumah sudah saatnya panen.     

Oh ya, Santo ternyata hari ini melSimbokrkan diri. Aku sempat melihat dia minta ijin pada Mas Sardi tadi.     

Anehnya sejak meminta ijin itu Santo malah menemani aku yang sedang bekerja. Terkadang dia     

membantu karyawan memindahkan sawit. Bukankah percuma dia minta libur? Tapi kebetulan sekali     

jadi aku bisa punya teman bicara.     

Santo duduk di bangku semen sambil sesekali menyesap kopinya. Aku tahu Ia satu-satunya yang     

melihat kejadian demi kejadian yang membuatku risih sejak pagi. Ada saja tingkah laku supir-supir     

itu meski aku yakin sebagian pasti sudah beristri.     

Kali ini supir truknya bernama Sigit. Atau biasa di panggil bang sigit. Ia sudah beristri dan punya dua     

anak. Disini Ia merantau tanpa istrinya. Istrinya berada di Medan. Ia pernah bilang sesekali     

membawa istrinya ke sini. Namun istrinya tidak pernah betah tinggal di sini. Sehingga mereka     

terpaksa berpisah.     

Bang sigit ini hampir tiap hari ke sini. Karena lahan sawit majikannya cukup luas. Ia beberapa kali     

mengajakku keluar. Tapi aku menolaknya. Waktu pertama kali datang dia juga terus mencuri     

pandang kepadaku. Dan itu berlanjut dengan rayuan-rayuan dan ajakan-ajakan. Meski ku tolak     

berulang kali namun Ia tetap gigih. Yang lebih menyebalkan lagi adalah Ia tidak pernah     

melakukannya di depan Mas Sardi.     

Aku mengepalkan tanganku karena Bang sigit terus saja merengek. Ia benar-benar tidak     

menghiraukan kerisihanku. Ketika aku menoleh kepadanya lalu melotot dan hendak marah padanya,     

Santo menenggor tubuhnya. Sampai Bang sigit hampir terhuyung.     

Bang Sigit sudah merah mukanya. Ia sudah bersiap mengumpat namun melihat Santo yang membawa     

ganco Ia tidak jadi marah. Sementara Santo berhenti di depan kami. Dengan ganconya yang Ia     

senderkan di bahu Ia lalu menoleh ke arah bang sigit dengan tatapan sini.     

"Oi bang, minggirlah sikit. Kau bisa kena sawit kalau terlalu dekat." Ujar Santo dengan logat     

menyerupai orang batak. Sontak membuat karyawan yang lain menoleh ke arah bosnya.     

Bang sigit pun mengacungkan jempol kepada Santo dan mundur. Ia lalu duduk di bangku dan     

menyesap kopinya.     

Aku tersenyum ke arah Santo. Lalu memberinya jempol. Santo melanjutkan jalannya dan membantu     

karyawan untuk memindahkan sawit. Sementara aku tetap di posisiku dengan membawa buku     

catatan timbangan.     

Akhirnya sore pun tiba. Aku duduk di bangku. Santo duduk disisiku. Ia nyemil sisa makanan yang     

menjadi suguhan. Aku memutar punggungku ke kanan dan kiri. Terdengar bunyi khas grmertak     

tulang-tulang.     

"Pegel Nti?." Tanya Santo padahal jawabannya sudah pasti iya.     

"Enggak." Ucapku yang sudah pasti bohong.     

"Hmmm bohong."     

"Kamu ini aneh Di. Sudah tahu pegel. Pake nanya. Kayak mau mijitin aja."     

"Lah emang boleh?"     

"Nih...boleh.." Aku memberikan kepal.ke wajah Santo yang mulutnya sedang penuh dengan singkong     

goreng.     

"Orang ngerokin aja pernah. Kalau cuma mijitin mah enteng..." Bisik Santo ke telingaku.     

"Santo!." Akhirnya sebuah cubitan berhasil mendarat di paha Santo yang kekar. Dia mengaduh kesakitan     

dan mengusapnya berkali-kali.     

"Sakit Nti....kamu pikir ini gedebog apa." Ujar Santo sambil meringis.     

"Bodo amat. Rasain tuh." Ucapku santai.     

"Hobi kok nyubit."     

Aku menjulurkan lidahku padanya. Lalu memasukkan sepotong singkong ke mulutku.     

"Kamu betah di sini Nti?" Tanya Santo tiba-tiba. Membuatku berhenti mengunyah.     

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Santo adalah orang pertama yang sadar kondisiku saat ini.     

"Kamu pasti risih sama supir-supir tadi. Sudah ngomong sama kakakmu? Atau simbokmu?" tanya Santo     

lagi.     

Aku hanya menggeleng. Lalu kutelan singkongku dan meminum air digelas yang tadi ku tuang.     

"Kakakku hanya menganggap itu guyon. Santokku menganggap aku berlebihan dan anti laki-laki.     

Mereka tidak menganggap ini serius." Jelasku pada Santo.     

Santo hanya mengangguk-angguk menandakan paham dengan situasiku.     

"Mungkin karena selama ini anaknya laki-laki jadi kurang paham bagaimana harus bersikap untuk     

anak perempuan" Ujar Santo berusaha bijak.     

"Ah tidak juga. Satu-satunya yang menganggapku emas adalah almarhum bapakku."     

"Lalu apa rencanamu selanjutnya.?" Tanya Santo.     

"Aku tidak berencana lama di sini Di. Mas ku itu tidak akan membiarkanku hidup bebas. Terlalu     

banyak aturan." Jawabku. Santo hanya mantuk-mantuk mendengarnya.     

"Kalau kamu San?." Tanyaku padanya.     

"Aku? Kenapa?"     

"Ya rencanamu gimana?" Tanyaku.     

"Mmmm.." Santo tampak berpikir dengan jawabannya. Matanya jauh memandang awang-awang.     

"Aku tidak punya rencana spesifik Nti." Jawabnya membuat alisku bertaut.     

Aku hanya mantuk-mantuk. Tidak mau terlalu dalam bertanya.     

"Kok gak tanya kenapa Nti?" Tanyanya lagi.     

Aku menggeleng.     

"Aku enggak mau sok tahu Di. Apalagi menasehati takutnya malah menggurui." Jawabku.     

"Menurutku hidup paling baik itu mengikuti alur Nti. Yang Maha Kuasa pasti sudah menyiapkan     

takdir kita masing-masing. Kita tinggal menjalankan saja. Kamu itu kelahiran berapa Nti." Tanyanya.     

"58. Kamu?" Tanyaku balik.     

"52." Jawabnya.     

"wah... enggak jauh beda ternyata." Jawabku.     

"Apanya? Banyak itu jaraknya."     

"masih tahun 50. Kita seangkatan ya."     

"iya juga Nti."     

Hari sudah semakin larut. Percakapan pun sepakat kami sudahi. Santo kembali ke rumahnya sementara     

aku bergegas masuk untuk melanjutkan kegiatanku.     

Tiba saatnya kurebahkan badanku yang sehari ini lelah oleh tugas-tugas dari Mas Sardi. Aku teringat     

kata Santo tentang hidup yang dia jalani. Alangkah enaknya jika aku bisa seperti Santo. Hidup mengalir     

saja tanpa tekanan. Sementara aku terus di bayangi tanggung jawab yang tak pernah cukup     

memuaskan orang-orang di sekitarku. Hidup yang berubah drastis semenjak ayahku meninggal, kak     

Mas Sardi mulai berubah, kak Mas Kardi menjadi hoby main kartu, dan Mas Mardi merantau ke Jakarta,     

sementara adikku masih kecil.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.