65. Papah selamatkan Rania
65. Papah selamatkan Rania
Secarik kertas yang akhirnya di buka oleh Bang Sigit itu hanya berisikan sepenggal kamlimat yang menyebutkan permintaan tolong Rania kepada Sang ayah. Yang membuatku penasaran adalah apakah sang ayah tidamelakukan apa pun saat itu?
Aku pun menanyakan rasa penasaranku itu kepada Bang Sigit. Bang Sigit menjawab kalau saat setelah kehadiran Rania saat itu, ayahnya di pindahkan rumahnya menjadi rumah yang dulu Bang Sigit temui. Pak Karto pernah sekali hendak melaporkan perihal itu ke polisi. Namun setelah daridari kantor polisi ia malah di keroyok oelh pengawal Lukas.
Setelah kejadian itu Pak Karto tak berani lagi menginjakkan kakinya di kantor polisi. Ia sakit berbulan-bulan tanpa ada yang merawat. Hingga waktu di temui Bang Sigit. Kondisinya sangat memprihatinkan. Bang Sigit sempat menawarinya untuk tinggal bersama, namun ia menolak. Akhirnya Bang Sigit menjaganya dengan sekali seminggu menengoknya.
Sebenarnya Bang Sigit jugs terus datang ke rumah Lukas untuk menanyakan keberadaan Rania. Namun setiap kali datang ke post satpam mereka menahannya untuk tidak masuk. Kemudian mereka berbicara menggunakan interom. Dan kemudian mengatakan bahwa Rania belum pulang dari liburannya. Hingga sepeninggal ayahnya. Mereka mengatakan Rania belum juga pulang. Dan akhirnya nama dan wajah Bang SIgit di black list dari rumah itu.
Aku pun memberikan kembali secarik kertas itu kepada Bang Sigit. Bang sigit menghela napas. Tampak kesedihan di matanya. Namun ia adalah lelaki tegar yang pernah aku temui.
Tiba-tiba ku dengar deheman mas Sardi dari dalam. Sepertinya dia terbatuk-batuk. Itu adalah kebiasaan setelah ia bangun tidur. Karena banyak merokok maka itu lah akibat yang ia terima setiap pagi. Aku yakin Mba Ranti juga pasti sudah bosan menasehatinya.
"Aku selesaikan dulu tugasku ya Bang. Aku takut mas Sardi marah kalau lihat aku Cuma ngorbol-ngobrol di sini." Ucapku pada Bang Sigit. Sementara Ia mengangguk aku pun melakukan tugasku.
Mas Sardi akhirnya pun keluar juga. Ia tampak ceria menatap Bang Sigit. Tentu saja Bang Sigit memasang wajah seperti biasanya.
"WUAHAHHA…lah ini juragannya." Tawa Bang Sigit dengan semena-mena.
Mas Sardi tersenyum renyah menaggapi candaan Bang Sigit.
Selesai melakukan pencatatan aku pun pergi meninggalkan mereka.
Aku semakin merasa bebanku bertambah menjadi lebih berat. Selesai kukerjakan semua tugas rumah aku pun berencana pergi ke ladang. Entah kenapa sekaran gladang menjadi tempat favorit bagiku untuk merenung dan berpikir. Selain itu di sana pasti ada Santo yagn bisa ku ajak untuk bertukar pikiran.
Sampailah aku di ladang. Perjalanan yang duilu serasa lama kutempuh kini terasa hanya sebentar saja. Anehnya aku sama sekali tak merasa takut dengan keadaan sekitar. Terasa semuanya sudah familiar. Sudah tampak pondok di hadapanku. Ternyata belum ada seorang pun. Kupanggil-panggil Edi namun Ia tak muncul juga. Mungkin dia belum datang. Batinku.
Aku pun berinisiatif untuk merebus air dan membuat kopi. Untuk merenung teman terbaik memanglah kopi. Di suguhi dengan pemandangan hutan di depan mata dan aroma humus yang begitu kental. Cukup untuk memunculkan pikiran-pikiran logis agar masalah hidupku bisa terselesaikan satu persatu.
Secangkir kopi pun terhidang. Aku membawanya ke pondok. Namun bukannya masuk aku malah hanya duduk di tangga. Tempat yang membuatku lebih tinggi itu membawa mataku menatap abu-abu hutan yang mengelilingi ladang Mas Sardi yang gundul ini. Sawit-sawit masih berukuran mini. Sehingga terlihat semua apa yang ada di pinggir-pinggir ladang. Sunngai, rerimbunan hutan, dan tunggak-tungga sisa terbakarnya hutan.
Tiba-tiba pikiranku berselancar dengan sendirinya. Bukannya memikirkan kasusku yang akan segera menyeretku ke takdir mengerikan malah aku teringat dengan mimpiku kala itu. saat aku duduk bersama Edi di sini dan aku tertidur. Mimpi ketika aku berada di Makassar.
Sebenarnya bukan mimpi. Tapi nostalgia yang terreka ulang ke dalam sebuah mimpi. Terakhir kali lelaki yang mengenaliku dan mengaku bernama David itu akhirnya memboncengkanku ke rumah Pak setyo, majikanku. Saat itu majikakanku sedang mencuci mobil di plataran rumah.
Terlihat wajahnya sedikit terkejut ketika aku turun dari motor gede David. Mungkin pikirnya aku ini gadis murahan yang bisa saja menggait laki-laki mana pun. Padahal tidak demikian ceritanya. Aku berterima kasih kepada David dan berbalik ke arah rumah. Lalu ku sapa majikanku itu dengan sungkan.
Namun anehnya, majikanku malah menyuruh David untuk masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. Ia berkata dengan semringah mengajak David untuk mampir. Langkah kakiku pun terhenti, aku juga terkejut dengan hal itu. buaknkah tatapan semulanya berarti negati? Kenapa sekarang jadi lain? Pikirku.
Aku pun berbalik dan tersenyum kepada David. Aku nyengir ke arah majikanku yang juga menatapku dengan senyumannya. Senyuman yang dahulu ku anggap begitu tulus. Namun sekarang sudah lain ceritanya.
Aku pun meringis ke arah David. Ia lalu memarkirkan motornya ke dalam plataran rumah majikanku. Tiba-tiba majikanku menyambutnya dengan merangkulnya. Mereka berubah menjadi riang penuh tawa dan keakraban. Aku bergeleng kepala bingung. Sebenarnya apa sih yang sedang terjadi. Pikirku.
Aku hanya tidak mau Pak Setyo semakin salah paham denganku. Aku sudah berusaha semampuku untuk menghindari Mas Aden. Dan hasilnya adalah, sekarang Mas Aden semakin murung. Dan kini penyembuhannya pun menjadi terhambat.
Tanpa ku sadari Mas aden duduk di lantai dua. Ia berada di sebalik jendela dan menatapa kepulanganku dengan David.
Mereka pun duduk di teras. Aku segera masuk dan membuatkan mereka kopi dan cemilan. Ibu keluar dari kamarnya. Mungkin dia mendengar suara cengkerama mereka. Ibu lalu menanyakan siapa yang ada di luar. Aku menjawab bahwa itu adalah David salah satu anggota TNI juga. Ibu hanya mengangguk dnatak bertanya lebih jauh sehingga aku pun tak memberinya jawban lebih jauh.
Ku hidangkan kopi itu kepada mereka. Tiba-tiba Bapak menguxcapkan hal yang membuatku sedikit bingung dan juga sungkan.
"Ini David ya mba namanya. Sudah kenalan belum?" kata Pak Setyo.
Aku tersenyum. Lalu kujawab pertanyaannya. "Sudah Pak." Jawabku.
Ia mengangguk.
"Lain kali kalau mau jalan-jalan ajak dia saja, dia ini asli orang sini. Ya Mas Ya…" Mas David terlihat mengangguk dan tersenyum tulus. Namun aku malah merasa malu dengan tingkah Pak Setya. Entah apa yang sebenarnya dia rencanakan.
Aku pun ijin untuk kembali masuk ke dalam. Mereka kembali berbincang. Lalu kudengar suara pecahan dari atas. Itu pasti dari kamar Mas Aden. Apa dia sedang kesusahan? Pikirku yang tiba-tiba kacau dan aku pun bergegas berlari ke arahnya.
Ternyata benar. Mas aden memecahkan gelas. Bukan karena jatuh. Tapi karena Ia membenturkannya ke dinding di dekat pintu.