PERNIKAHAN TANPA RENCANA

68. Romeo dan Juliet



68. Romeo dan Juliet

2"Apa yng kamu lakukan?!" Ibu berteriak saat melihat aku memeluk Mas Aden. Tanpa mau mendengar aku menjelaskan sepatah kata pun Ia menarikku paksa hingga aku terlepas dari Mas Aden. Ia bahkan melempar tasnya ke lantai.     

Mas Aden yang semula sudah tenang pun kembali bangun dan tersadar. Ia lalu berdiri. Marah dengan orang yang melahirkannya itu.     

"Mama! Kenapa marah-marah sama Mba?" tukas Mas Aden kepada Mamanya. Ibu ternganga karena tidak bisa menjelaskan apa pun.     

"Ndak sayang…Mama cuman terkejut karen akamu ada di lantai seperti ini." Alasan Ibu pada Mas Aden. Sayangnya Mas Aden tak semudah itu mempercayainya. Mas Aden mengibaskan tangan ibunya dari kepalanya.     

"Jangan bohong sama Aden Ma. Aku tahu Mama tuh jahat sama Mba, sampai-sampai Mba gak mau sama Aden lagi." Aku berusaha untuk menjawab perkataan Mas Aden, tetapi Ibu sudah menyelanya terlebih dahulu.     

Giliran kesempatanku untuk bicara.     

"Ndak begitu Mas. Ibu pasti benar-benar khawatir sama Mas Aden. Lihat sampai tasnya saja ndak di pikirin." Ucapku menenangkan Mas Aden. Dan akhirnya dia pun menjadi tenang dan mau tidur.     

Selang beberapa waktu aku pun kembali beraktifitas di dapur. Ibu menghampiriku. Aku teringat suara kerasnya saat Ia begitu parno dengan caraku memeluk Mas Aden. Padahal hal itu sudah berlangsung bertahun-tahun bahkan saat anaknya masih bocah. Menurutku itu adalah kekhawatiran yang tidak berdasar.     

Namun ibu mendatangiku dengan wajah sayunya seperti biasa. Kalem, tenang dan ayu. Tak ada corak yang akan menjelaskan bahwa dia adalah wanita yang akan marah atau berteriak dalam wajahnya. Aku pun langsung mencuci membasuh tanganku dan mengusap-usapkan ke apronku. Aku menghadap kepadanya.     

"Ada apa Bu?" tanyaku dengan nada yang lembut. Inilah yang bisa ku lakukan sekali pun di penuhi rasa kecewa dan sakit hati.     

Ia tersenyum dan sebenarnya aku sangat menyukai senyum itu.     

"Mba, yuk kita bicara sebentar?" perintahnya kepadaku sambil memegang tanganku. Ia lalu pergi ke teras. Aku pun menuangkan the untuknya dan semangkuk cookis kubawa di atas nampan.     

Aku menaruh nampan di meja. Ibu mnyuruhku duduk. Aku pun mengikuti perintahnya. Dia nampak menghela napas. Tampak bingung dengan raut wajahnya. Mungkin ia bingung dengan apa yang harus ia ucapkan kepadaku.     

"Mba.." ia memnaggilku pelan.     

"Iya Bu. Tidak apa-apa katakan saja apa yang harus ibu katakan. Saya akan mendengarkan dengan baik." Ucapku kepadanya.     

"Sebenarnya aku berat sekali untuk mengatakan ini. Tapi aku sudah tidak kuasa memendam semuanya Mba." Ucapnya.     

"boleh aku tanya? Apa Mba merasakan mulai kapan kaka itu sikapnya berubah?"     

Aku mencoba berpikir. Tapi aku yakin smeua tak ada yang salah selama ini. Atau mungkin aku yang memang terlambat menyadari kondisinya.     

"Aku tidak yakin Bu. Aku menganggapnya sebagai adikku selama ini. Aku memperlakukannya sesayang aku kepada adikku. Aku tidak tahu Bu kalau mas Aden berpandangan lain terhadap perlakuanku selama ini. Kami tidak melakukan hal-hal yang aneh. Aku hanya merawatnya dan mengasihinya. Tidka lebih dari itu." Jawabku panjang dan merasa sedih.     

Ibu menghela napas.     

"Iya Mba. Aku juga mengerti.".     

Huh, munafik sekali. Batinku.     

"Tapi kalau yang aku tanyakan dengan psikiater, kaka itu terobsesi sama kamu Mba." Ucapnya. Aku merasa ibu sedang meletakkan semua kesalahan terhadapku. Namun aku masih tetap memendamnya di dalam hati.     

"Aku tidak tahu Bu perihal itu." Jawabku sekenanya.     

Dia menghela napas. Seperti hendak marah namun terpaksa ia tahan. Wajahnya terlihat masa. Seolah sedang berkata. Semua ini salahmu!     

"Lalu apa yang bisa ku lakukan Bu, agar Mas Dewa bisa kembali seperti semula." Tanyaku pura-pura menyenangkannya.     

"hmmm…satu-satunya cara adalah membuat Kaka berhenti mengharapkan kamu." Jawabnya. Dahiku berkerut karena tidak memahami maksud perkatannya.     

Ia menghembuskan nafas.     

"Gini Looo… cari siapa laki-laki bialng aja dia calonmu. Begitu. Cuma untuk akting kok. Biar kaka itu engga terus ngarepin kamu. Aku juga bingung ada-ada aja kejadian kaya gini." Ucapnya. Tanpa sadar ia sebenarny amerendahkanku. Aku hanya menghela nafas tnapa dia dnegar.     

"Tapi Bu, siapa? Aku kan gak kenal orang sini? Lagian aku tidak terlalu percaya diri untuk melakukan hal semacam itu." jawabku.     

"kalau begitu serahkan saja kepadaku. Kamu tenang saja ya… semua akan beres dengan sendirinya." Ucapnya. Ingin marah sebenarnya. Untuk apa ia mengatur-atur jodohku. Untuk keselamatan anaknya kah? Atau untuk ketakutannya jika memiliki mantu pembantu seperti aku.     

Hari-hari berlalu. Sepertinya akhir-akhir ini ibu dan bapak terlihat sibuk. Aku juga sibuk dengan pekerjaan rumah seperti biasa. Aku benar-benar sudah tidak mengurusi semua perihal kebutuhan Mas Aden. Tentu saja semua atas perintah ibu.     

Tiba-tiba ada perempuan datang ke rumah.ia memakai seragam berwarna putih. Membawa tas jinjing yang terlihat sedikit berat. Dia tersenyum ketika aku membuka pintu. Seharusnya dia cukup di depan gerbang dan pencet bel. Lalu tunggu pemilik rumah keluar dan membukakan pintu gerbang rumah untuknya.     

"Hai." Ucapnya dengan santainya. Dahiku berkerut. Untuk orang asing ia cukup tidak punya sopan santu. Ia tiba-tiba saja melenggang masuk dan meletakkan tasnya sembarang.     

Tampilannya modis meski ia hany amemakai seragam. Rambutnya diikat ponytile seperti remaja-remaja pada umumnya.di sisi tangannya memakai jam tangan yang aku yakin itu tidak memiliki merek terkenal. Ia memakai sepatu dengan hak kurang lebih lima senti.     

Aku berdehem. Ia sudha kelewatan. Meski aku bukan pemilik rumah ini. Aku tetap tidak menyukai tingkah laku sembrono seperti itu.     

"Mba… maaf, anda siapa?" tanyaku tanpa basa basi dan penuh penekanan. Ia lalu duduk di kursi tamu. Tanpa tahumalu ia menyilangkan kakiknya.     

"ah.. aku adalah perawat ber,isensi yang akan merawat anak satu-satunya pemilik rumah ini, Mas Dewa. Di mana kamarnya ya?"     

Oh ternyat aia adalah perawat baru yang akan merawat Mas Dewa. Aku cukup bersyukur dengan keputusan ibu. Sehingga aku tidak perlu menghawatirkan Mas Dewa lagi karena telah ada yang menjaganya kelak.     

"Perawatnya Mas Dewa? " tanyaku memastikan. Ia tampak mengangguk dengan percaya diri.     

"Kalau begitu aku akan tunjukkan kamarmu dahulu." Ucapku padanya. Ia hanya mengikuti. Ibu sempat berpesan tadi sebelum dia pergi agar jika ada yang datang ke sini segera tunjukkan dia kamar belakang yang kosong.     

Dia mengikutiku dari belakang. Aku merasa ada yang aneh denganlenggak lenggok jalannya. Ia tampak celingak-celinguk ketika kami sampai di depan pintu kamarnya. Kamar pekerjarumah ini memang di jadikansatu seperti koskosan dan terletak di belakang rumah. Tentu saja dengan kondisi yang terawat dan aman. Sayangnya hanya tersisa satu kamar saja. Dan terletak di ujung.     

"Ini." Ucapku sambil menunjukkan kepadanya. Ia lalu menoleh ke arah pintu kamarnya itu.     

"Ini?" tanyanya dengan penuh penekanan.     

"Iya, kenapa?" Ucapku. Dia manyun dan tampak terlihat semakin menjengkelkan.     

"Aku takut kalau tidur sendirian di pojokkan." Ucapnya sok manja.     

"Ya kalau begitu ngapain kamu kerja." Jawabku.     

"Aku mau yang kamar itu." Ia menunjukkan ke arah kamar yang pertama. Kamarku.     

"Itu tidak bisa." Ucapku.     

"Kenapa??" tanyanya. "Karena itu milikku. Jawabku kesal lalu ku berikan secara paksa kunci kamarnya dan aku meninggalkannya pergi.     

Hari ini hari sabtu. Ibu dan bapak mungkinakanpulang dengan cepat. Sehingga aku memasak awal dan cukup banyak karena kita ketambahan satu anggota lagi kini. Kulihat perawat itu belum juga keluar dari kamarnya. Padahal jam-jam ini adalah jam makan siang. Bukankah dia harus menyiapkan makan siang untuk Mas Aden. Aku menoleh ka arah kamarnya. Dan pintunya masih tertutup rapat.     

Tiba-tiba ia keluar dengan sangat cepat. Rusuh dan tak beraturan Ia memakai sendal sampai terbalik. Handuk masih menempel di kepalanya. Ia lalu menyerahkan secarik kertas kepadaku untuk menyiapkan menu makanan apa saja yang harus ku siapkan untuk Mas Aden.     

"Mba buruan ya di siapkan. Aku tadi ketiduran soalnya." Dia lalu kabur kembali masuk kedalam kamarnya. Aku yang kesal melemparkan kertasnya. Namun dengan terpaksa ku buat juga apa yang ia perintahkan. Karena ini demi Mas Aden bukan demi perawat ceroboh itu.     

Ia akhirnya datang. Dengan make up yang menor dan rambut yang sudah tertata rapi.     

"Mana Mba?" tanyanya dengan membenarkan tatanan rambutnya.     

"tuh." Aku mengacungkan jempolku.     

"Oh ya Bapak sama Ibu pulang jam berapa ya?" dahiku berkerut. Kenapa juga di amau tahu.     

"Bentar lagi juga pulang. " jawabku dengan malas.     

Dia hanya mengedikkan alisnya lalu pergi ke arah kamar Mas Aden.     

Tidak selang beberapa waktu tiba-tiba ku dengar pecahan demi pecahan. Terdengar begitu nyaring dan berulang terus menerus hingga suara itu menghilang. Aku terkejut dan aku sadar itu pasti dari arah kamar Mas aden. Aku langsung berlari menuju lantai dua. Dimana kamar Mas Aden berada.     

Perawat itu terdengar berteriak. Aku lalu membuka pintu kamar Mas Aden. Ku lihat perawat itu jongkok dan mememgangi telinganya. Ia ketakutan dengan tingkah Mas Aden. Mendengar kedatanganku perawat itu lalu bersembunyi di balik tubuhku.     

Aku berusaha mendekati Mas Aden. Ia tampak marah.     

"Ngapain kamu ke sini!" bentaknya kepadaku.     

Aku lalu duduk di di sisi ranjang kamarnya. Lalu ku pegang lutut kakinya dengan lembut. Aku memijitnya dengan pelan. Ia tetap diam saja meski wajahnya begitu marah.     

"Mas..mas kenapa? Kenapa marah-marah dan bersikap ndak sopan seperti itu?"     

Tanyaku."     

"Suruh siapa mengirim orang asing ke sini! Siapa! Mamah? Papah? Katakan Siapa?" ucap Mas Aden sambil berteriak.     

"sssssttt… ndak boleh berteriak-teriak seperti itu." ucapku padanya dengan lembut. Ia lalu menunduk lemah.     

Aku tersenyum. Ia benar-benar seperti kembali menjadi bocah umur sepuluh tahun bagiku.     

"Tapi Aden ndak suka Mba.." ucapnya polos.     

"Iya kalau mas ndak suka. Tinggal bilang ke Mamah sama Papah ndak suka. Jangan marah-marah apa lagi mecahin gelas kayak gitu. Kan kasihan mbaknya jadi ketakutan." Ucapku. Ia menunduk danmerasa bersalah.     

"Itu yang buat Mba Lhooo semua makanannya. Kan sayang jadi harus di buang." Lanjutku. Dengan polos ia lalu beranjak untuk turun. Mungkin untuk membersihkan pecahan beling-beling itu. aku memegangi tangannya.     

"Ndak perlu Mas, biar Mba aja. Mas aden tiduran aja ya.. habis in mba gantiu makanannya dengan yang baru, tapi mas aden harus habisin dan minum obatnya." Ucapku lagi. Ia lalu mengagguk. Menuruti semua perkataanku.     

Mas Aden yang sebenarnya sudah bisa berjalan terlihat malas berjalan. Sehingga proses penyembuhannya semakin berjalan lama. Karena semangtnya yang menghilang akhir-akhir ini. Aku yang berusaha membangkitkan semangatnya malah di pisahkan oleh ibunya darinya. Aku sangat kasihan dengan kondisinya. Meskipun begitu aku tidak berani melawan titah bapak dan ibu.     

Aku kembali ke belakang. Mba perawat yng berada di depan pintu pun mengikutiku. Wajahnya tampak berantakan. Aku tertawa dalam batin. Nah, kan. Tadi aja sok-sok an parlente. Lihat sekarang? Bargitu aja sudah berantakan.     

"Oh ya…. Namamu siapa Mbak?" tanyaku kepadanya sambil jalan.     

"Lusi Mba," jawabnya.     

"Oh… Lusi. Kalau begitu Mba Lusi nggak boleh takut menghadapi Mas Aden. Kalau mba lusi ketakutan mas aden malah akan semakin marah . jadi pelan-pealn saja, hadapi dan nikmati. Sepertinya kamu baru di dunia keperawatan ya…"     

Ia mengagguk. Luntur sudah semua keangkuhannya yang sebelumnya ia tunjukkan kepadaku.     

Mas David menjemputku. Sperti janjinya akan mengajakku ke tempat-tempat baru yang ada di kota Makassar ini. Dia yang sangat tampan sudah brada di teras. Sementara aku masih di kamar berdandan seadanya. Seseorang mengetuk pintu. Dia adalahLusi.     

"Mba..mba san…" panggilnya.     

"Iya Lus.. ada apa..ini hari liburku ya.. kamu nggak bisa menyuruhku membuatkan menu untuk Mas Aden." Teriakku kepadanya.     

"enggakkk… buka dulu ih pintunya. Cepetannn" ucapnya memaksa. Aku pun membuka pintu kamarku.     

"Apaan sih Lusss.. aku kan udah bilang aku gak bisaa…"     

"bukan ituu.."     

"terus?" aku mengerutkan dahi.     

"Itu di depan ada om-om ganteng banget. Keren lagi. Tapi kok nyari mba sih?" ucapnya meremehkan aku.     

Aku hanya tersenyum.     

Dia lalu memandangiku dari ujung kepala hingga kaki. Lalu dia menyadari satu hal.     

"Apa? Kalian?" dia mengacungkan telunjuknya ke arahku sambil mulutnya menganga.     

Aku hanya menatapnya dengan senyuman. Iya, aku akan pergi dengannya. Kenapa? jawab dalam batinku,     

"Aaaaa aku iri banget… bagi tips dong biar aku bisa seperti itu."     

Aku menegrutkan dahi.     

"Maksud kamu?" tanyaku polos.     

"Maksud aku biar bisa di gandeng acowok ganteng." Ucapnya.     

"syaratnya gampang kok, natural aja kalau jadi cewek." Ucapku lalu berdiri hendak keluar.     

Kupandangi dia.     

"Nggak mau keluar,?" ia lalu bergegas berdiri dan merenges. Lalu keluar berjalan beriringan dengnaku.     

Aku keluar dan menyapa Mas David. Ia menengok ke arah jam tangannya.     

"wah.. sepertinya aku terlalalu cepat ya San.." ucapnya smbil merenges.     

"ah ndak Mas. Aku nya aja yang udah siap-siap dari pagi. Kita mau ke mana?" seolah kalimat tanyaku begitu akrab dengannya dan akan berlanjut sampai lama hubungan yang belum jelas ini.     

"E ciyee pasti nungguin aku ya…" ucapnya meledekku.     

"Enggak. " aku pun geleng kepala dengan wajah yang datar.     

"lalu?" dia tampak kecewa.     

"Nungguin Pak sopir." Aku pun langsung ketawa dan dia mengikuti.     

Kami mengendarai motor berperawakan besar itu menjelajahi jalanan Makassar. Entah ke mana lagi Mas david akan membawaku, namun aku hanya mengikutinya saja tanpa menyela.     

Dia lalu berhenti di sebuah bioskop. Ia lalu turun dan aku mengikutinya. Ini adalah kali pertamaku pergi ke tempat bernama bioskop itu. Tempat di mana berisikan layar lebar dan akan diputar sebuah film di sana. Pertunjukan seni yang sangat canggih menurutku dan aku smaa sekali belum pernah menikmatinya.     

"Kamu sudah pernah ke bioskop San?" Tanyanya.     

Aku menggeleng. Memang belum sama sekali. Pernah pergi juga ke acara opera ketoprak. Sintren. Hanya seperti itulah yang ada di kampung. Tidak ada hiburan semacam bioskop seperti ini.     

"Kalau begitu ini pertama kalinya ya...?"Aku mengangguk. Ia lalu mengambil dua tiket dari petugas penjaga loket. Ia laku memberikannya kepadaku.     

Aku mengerutkan dahi. Tertulis di sana romeo dan juliet. Sebenarnya masih ada waktu setengah jam lagi. Tapi selertinya Mas David ingin segera menunjukkan sepertri apa biodkop itu kepadaku.     

"Ini namanya tiket. Nanti kalau mau masuk kita harus menberikannya kepada petugas baru kita boleh masuk sesuai judul fil dan ruangannya.     

Aku mengangguk mengerti.     

Judul filmnya romeo dan juliet. Aku sama sekali tak peenah mendengar nama saneh iu.     

"Pernah nonton roneo dan juliet?" Tanyanya lagi. Tapi lagi-lagi aku hanya menggeleng.     

"Kalau Roma aku hapal Mas.." ucapku. Ia lalu menberikan toketnya kepada petugss dan kami pun langsing masuk ruangan bioskop.     

Aku terkejut karena bioskop begitu luas namun gelap. Sumber pencahayaan hanyalah dari sinar yang menempel di layar. Mas David memanduku untuk duduk di sisi mana. Akhirnya Akhirnya kami pun duduk. Kami sama-sama hany amenatap layar putih hingga menunggu jam yang sudah tertera di jadwal dan film pun akan segera di putar.     

Banyak yang sudah hadir di sini, meski banyak sekali kursi yang terliha tkosong.     

"romeo sama juliet itu punya kisah tragis, aku gak mau cerita biar kamu penasaran." Ucapnya. Padahal sebenarnya aku sama sekali tak penasaran. Daripada genre romans aseperti itu akan sangat menegangkan kalau di tempat seperti ini kita menonton film perang saja. Pikirku.     

"Ini sebenarnya karya buku novel yang di filmkan. Nama pengarangnya adalah shakespear. Keren kan?" sepertinya mas David ini begitu tergila-gila dengan film ini. Kau tidak mau membuatnya kecewa sehingga aku manggut-manggut berusaha terlihat seantusias dia.     

Akhirnya sebuah alarm pengingat film akan di putar pun berbunyi. Kursi satu-persatu pun penuh dan tinggal beberapa saja yang kosong.     

Cerita, yang bersetting di Verona, dimulai dengan terjadinya pertempuran di jalan antara keluarga Montague, dan Capulet. Pangeran Verona melerai, dan menyatakan jika terjadi kekerasan, akan dilaksanakan hukuman mati. Selanjutnya, Count Paris berbicara dengan Lord Capulet mengenai rencana menikahi putrinya, tetapi Capulet waspada karena usia Julia masih 13 tahun. Capulet meminta Paris untuk menunggu dua atau tiga tahun lagi, dan mengundangnya hadir pada pesta dansa Capulet. Lady Capulet, dan The Nurse mencoba memaksa Julia untuk menerima lamaran Paris.     

Sementara, pada keluarga Montague, Benvolio berbicara dengan sepupunya Romeo, putra Lord Montague, mengenai kemurungan Romeo. Benvolio lalu mengetahui bahwa penyebabnya adalah karena Romeo tergila-gila dengan Rosaline, salah satu keponakan Lord Capulet. Dipaksa oleh Benvolio, dan Mercutio, Romeo hadir pada pesta dansa Capulet dengan harapan bertemu Rosaline. Namun, Romeo justru jatuh cinta kepada Julia setelah menemuinya. Pada bagian yang sering disebut "balcony scene", Romeo mengendap-endap ke halaman Capulet, dan tidak sengaja mendengar ucapan Julia di balkonnya yang menyatakan cintanya kepada Romeo meskipun keluarganya benci dengan Montague. Romeo lalu muncul di depan Julia, dan mereka setuju untuk menikah. Atas bantuan Frater Lawrence, yang ingin kedua keluarga melakukan rekonsiliasi melalui bersatunya anak-anak mereka, Romeo, dan Julia menikah secara rahasia pada hari selanjutnya.     

Sepupu Julia, Tybalt, yang tahu bahwa Romeo telah menyusup ke pesta dansa Capulet, menantangnya. Romeo, yang menganggap Tybalt sebagai saudaranya, menolak bertempur. Mercutio yang tersinggung dengan ketidaksopanan Tybalt lalu bertarung dengan Tybalt atas nama Romeo. Mercutio terluka parah ketika Romeo mencoba menghentikan pertempuran. Karena merasa bersalah, Romeo lalu membunuh Tybalt.     

Montague setuju bahwa tindakan Romeo mengeksekusi Tybalt adalah tindakan yang adil. Pangeran Verona lalu membuang Romeo dari Verona. Romeo lalu diam-diam menghabiskan malam di kamar Julia, dimana mereka menyelesaikan pernikahannya. Lord Capulet, yang menyalahartikan kesedihan Julia, setuju untuk menikahkannya dengan Paris, dan mengancam untuk tidak mengakuinya sebagai anak jika Julia menolak menikahi Paris. Julia meminta pernikahan ditunda, tetapi ibunya menolak.     

Julia lalu mengunjungi Frater Lawrence untuk meminta bantuan, dan ia menawarkannya obat yang akan membuatnya seperti orang yang meninggal (tubuh dingin, tidak ada detak jantung, pucat) selama 42 jam. Frater Lawrence berjanji untuk mengirim pesan mengenai rencana tersebut kepada Romeo, sehingga ia dapat bertemu dengan Julia ketika ia sudah terbangun. Pada malam sebelum pernikahan, Julia meminum obat, dan lalu dibaringkan di pemakaman keluarga setelah keluarganya menemukan Julia "tewas".     

Namun, sang pembawa pesan tidak berhasil mencapai Romeo, dan ia mendapat informasi dari pelayannya Balthasar bahwa Julia meninggal. Patah hati, Romeo membeli racun dari seorang Apoteker, lalu pergi ke tempat Julia. Ia bertemu dengan Paris yang sedang melayat Julia. Mengira Romeo sebagai vandal, Paris menyerangnya, lalu Romeo berhasil membunuh Paris. Masih mengira bahwa Julia telah meninggal, ia meminum racun. Julia lalu terbangun, dan melihat Romeo tewas, sehingga ia bunuh diri dengan pisau. Kedua keluarga, dan Pangeran melihat Paris, Romeo, dan Julia tewas. Frater Lawrence lalu menceritakan kembali kisah Romeo, dan Julia. Keluarga Capulet, dan Montague lalu setuju mengakhiri permusuhan di antara mereka.     

Sinopsis yang kubaca sebenarnya tidak cukup untuk membuat aku pesanaarn. Namun dengan melihat pemutaran filmnya aku menjadi berubah pikiran. Terlebih lagi dengan akting aktornya yang begitu memulau. Mereka tak terlihat seperti mereka sedang memerankan orang lain, seolah mereka memang yang mengalami hal itu sendiri.     

Aku bahkan menangis saat menonton ketika romeo dna juliet salah informasi satu sama lain tentang kematian keduanya. Sehingga pada akhirnya mereka bunuh diri untuk menghapus penyesalan mereka sendiri. Menurutku itu adalah cerita yang cukup tragis dan sekaligus pengecut.     

Mas David tersenyum melihat mata sembabku.     

"kenapa Mas?" tanyaku kepadanya. Kita usdah berada di luar bioskop. Entah ke mana lagi tujuan kita.     

"Ku pikir kamu tadi ndak suka. Ternyata kamu akhirnya terbawa juga sama ceritanya kan?"     

Hah? Bagaimana bisa di amembaca perasaanku? Kan aku ndak bilang apa-apa soal film itu.     

"iya Mas aku memang suka genre fil perang. Tapi ini bagus kok." Ucapku.     

"Habis ini kita makan ya... aku bakal ngajak kamu ke resgoran paling enak. Tenang aja...ndak peelu bayar..." aku pun tertawa mendengar kalimat terakhirnya. Tahu saja aku ini ndak punya banyam uang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.