EROR
EROR
enggan untuk terbuka. Padahal kokok ayam sudah nyaring dari segala arah. Memikirkan harus
menghadapi masku yang entah maunya apa terasa menyebalkan sekali. Dia pasti akan
mendiamkanku. Dan hal itu lebih menyebalkan.
Terdengar suara piring sudah beradu. Itu pasti mba Ranti atau mungkin Simbok. Aku mendesah. Mau
Bagaimana pun harus kupaksakan melek dan membantu mereka. Aku tidak ingin mereka mengecam
keberadaanku di sini.
Ku sapa Mba Ranti yang sedang mencuci piring. Aku segera mengikat rambutku. Dan menuju meja
makan. Kuambil semua perkakas kotor bekas tamu-tamu kakakku. Ku taruh di sisi meja lalu ku lap
meja tersebut. Ku raih gelas-gelas itu dalam jemariku dan kuletakkan di sisi bak yang ada di hadapan
Mba Ranti.
Aku pun mengambil dingklik dan duduk disisi lainnya untuk membantunya. Sementara Mba Ranti
menghapus kotoran iring dengan sabun tugas ku adalah membilas dengan air bersih lalu
menempatkannya di bak dan nanti akan dipindah ke rak piring.
Prosesnya hanya berlangsung sebentar karena dikerjakan bersama. Aku bertanya dengan mbak
Ranti tentang sarapan kita. Tapi Mba Ranti bilang Ia yang akan mengurusnya. Dia hanya
menyuruhku menyapu pekarangan dan menunggu tukang sayur lewat sekitar jam delapan nanti.
Aku hanya mengangguk menuruti setiap perintahnya. Mba Ranti memang tidak banyak bicara.
Namun dia orangnya tidak pernah neko-neko apalagi dalam hal hubungan dengan orang lain. Bisa
dibilang cukup menyenangkan orangnya. Namun karena sifat pendiamnya terkadang membuat
sSantokit sungkan.
Meski hari belum benar-benar terang. Karena matahari masih malu-malu untuk menampakkan diri.
Aku tetap menyapu pekarangan dari ujung ke ujung. Kalau di Jawa suara sapu di pagi hari itu sudah
biasa. Ternyata di sini beda. Belum terlihat orang lalu lalang sejak tadi. Mungkin karena tidak ada
perkebunan seperti sayur atau sawah. Mereka biasanya ke ladang karet mereka agak siang. Kalau
tidak siang sekalian atau bahkan sore.
Mas Sardi tiba-tiba saja keluar dari pintu belakang. Jalannya yang tidak seimbang karena kaki sebelah
kanan lebih panjang ketimbang kiri membuat irama sendalnya saling bersautan jelas. Ia memtapku
tadi meski aku tak menghiraaukan. Aku terus melanjutkan kegiatanku menyapu.
Biasanya jam segini Mas Sardi hanya duduk di kursi sambil menunggu kopinya habis. Dia tidak
menyapaku sama sekali. Begitu pun aku, enggan sekali rasanya untuk menyapa kakak sulung yang
menyebalkan ini.
Akhirnya daun-daun kering yang ku kumpulkan dengan sapu lidi ditanganku ini pun terkumpul. Aku
bermaksud mengambil pengeruk sampah dan tongnya di belakang. Kutoleh ke arah Mas Sardi yang
sedang sSimbokk mengurus buah sawit yang bertumpuk. Aku hanya melaluinya tanpa menyapa.
Simbok melihat tingkah kami dari dapur. Karena lurus dengan jendela sehingga gerak-gerik aku dan Mas Sardi terpampang nyata olehnya. Simbok menarikku ketika aku sudah memasuki dapur. Sebenarnya
mempunyai pintu namun tak dipasang daunnya. Aku hanya mengikutinya malas.
"Aduhhh.. apa si buk." Tuturku padanya kemudian Ia melepas lenganku.
"San, habis ini bantuin mas mu itu." Perintah Simbokku. Aku memutar bola mata dan hendak
meninggalkan beliau. Tapi beliau menarik lenganku kembali.
"Ehhhh... dikasih tahu sama orang tua malah gitu." Tambah Simbok.
Aku menarik lenganku supaya terlepas dari genggamannya. Kemudian aku menoleh padanya.
"Iya iya mbokk.. bawel deh." Sontak ucapanku membuat Simbok dan Mba Ranti geleng-geleng kepala.
Aku berlalu dan menuju kearah belakang.
Setelah kuselesaikan kegiatan menyapuku. Aku pun bermaksud melanjutkan titah Simbok. Meski berat
dan malas sekali.
Kuhampiri Mas Sardi. Menyebalkannya dia hanya diam. Tidak menghiraukan kehadiranku.
"Aku harus ngapain." Tanyaku padanya. Dia menoleh ke arahku. Lalu menyesap kreteknya.
Dia meninggalkanku mengambil sebuah ceting. Sebuah wadah yang terbuat dari anyaman bambu.
Dia melemparkannya ke arahku dengan santainya.
"Itu, masukkan itu ke sini." Dia bermaksud menyuruhku untuk memasukkan biji-biji sawit yang rogol
ke dalam ceting.
Aku hanya menuruti perintahnya. Setelah ceting itu penuh Mas Sardi memberiku sebuah karung. Ia
menyuruhku memasukkan bijian sawit itu ke dalam karung.
Lagi. Aku hanya menurut saja tanpa interupsi.
Sementara kumasukkan raup demi raup biji-bijian berwarna hitam dan semu merah itu. Mas Sardi
memindahi buah sawit yang masih utuh. Dari satu tempat kesisi tempat lain. Gunanya adalah untuk
di sortir.
Buah sawit yang masih bagus itulah buah unggulan. Cirinya ditandai oleh buah yang bijiannya tidak
rogol. Artinya setiap ruas duri sawit masih penuh. Hal itu membuat timbangannya menjadi berat.
Sementara segelondong sawit yang sudah rogol akan disisihkan ke tempat lain. Nantinya akan
dicacah menjadi bijian yang lebih kecil. Keduanya memiliki harga yang berbeda. Itulah alasannya
kenapa dipisah.
Belum selesai kukumpulkan bijan-bijan itu. Sebuah truk datang. Muatannya penuh dengan bijian
yang kelak akan menjadi minyak itu. Seseorang turun dari kemudi sebelah kiri. Memberi aba-aba
kepada temannya untuk parkir dengan benar di halaman rumah kami. Aku pun beranjak dan
menepikan diri. Mas Sardi pun meletakkan alat yang dipegangnya lalu memberi aba-aba kepada juru
parkirnya dimana mereka harus parkir.
Truk pun berhenti. Mesin pun dimatikan oleh sang sopir. Dan kini Ia pun turun. Ia menyapa Mas Sardi
dengan tertawa lebar. Perawakannya besar namun tidak terlalu tinggi dan tidak kekar. Sehingga
terlihat bantat. Kulitnya coklat hampir gelap mungkin karena terik di tanah Sumatra ini.
Ia menghampiri Mas Sardi dan mulai berbincang dengan akrab. Logatnya kentara sekali bahwa Ia
adalah orang Sumatra ini. Sumatra Utara tepatnya. Ia sangat jelas bahwa dia adalah orang Batak.
Ia sempat melirik kearahku. Mungkin bertanya kepada Mas Sardi siapa aku. Namun beberapa saat
kemudian mereka khusyuk kembali kepada percakapan bisnis mereka yang saat ini sedang gencar-
gencarnya dan laris-larisnya. Aku pun meninggalkan mereka.
Kupikir akan berbahaya jika aku terlalu dekat dengan pekerja. Dua orang sedang memindahkan
gelondongan-gelondongan sawit itu ke tanah. Sehingga menjadi tumpukan yang menggunung dan
beberapa terkadang menggelinding. Akan terlalu berbahaya bagi siapapun yang terlalu dekat
melihat duri-duri sawit yang panjang dan aku yakin cukup tajam.
Saat aku hendak masuk Simbok keluar dengan nampan berisi gelas-gelas yang terdegradasi warna hitam
pekat dari kopi. Kukira beliau yang akan menghidangkan kepada tamu Mas Sardi itu. Gernyata Simbok
malah menyerahkannya kepadaku. Tanpa mampu menolak, aku hanya menerima nampannya dan
menatap Simbok. Sebenarnya ingin mengutarakan kata-kata yang bernada sebal namun hanya
kupendam saja. Akan kurang ajar jika aku mengumpat Simbokku sendiri.
Aku tersenyum terpaksa dan berbalik lalu berjalan ke arah Mas Sardi dan rekannya itu.
Sesampai di belakangnya aku pun bermaksud memberikan kopi-kopi ini.
"Ini kopinya mas."
Keduanya pun menoleh. Mas Sardi menghampiriku.
"Taruh situ." Ia menunjuk sebuah bangku permanen yang terbuat dari semen.
Santo membuang puntung rokoknya setelah Ia mematikan baranya. Ia membuangnya bebas ke arah bawah. Ia bergegas berdiri. Lalu Ia pun kembali masuk ke dalam pondok. Aku yang sedang memperhatikannya pun lalu membuang muka. Masih ku kipasi ubi ini supaya mendingin.
Santo pun mendekatiku. Ia memegang ubi-ubi berwarna ungu itu. Dan ternyata sudah siap untuk di santap. Ia lalu mengambil satu ubi. Lalu Ia membagi dua ubi yang dia ambil. Dia memberikannya padaku sebagian. Dan menelan sebagian lainnya.
Aku segera menelan ubi yang kini sudah di tanganku. Namun aku melepehkannya kembali. Dia menertawakanku. Aku mendengus kesal. Memanglah luarnya terlihat hangat suam-suam suku. Namun bagian dalamnya masih sangat panas.
Aku mendengus melihat Santo tertawa. Dia hobi sekali menertawaiku. Itu sengatlah menyebalkan.
"Lucu?" Ucapku kesal.
Dia hanya diam lalu mengangguk dan menatapku dengan tatapan mengejek.
"Panas huh!" Dengusku.
"Sudah tahu panas. Main kunyah saja. Lapar apa doyan." Lagi-lagi dia membuatku kesal.
Dia lalu sibuk memakan ubi. Aku menatapnya dalam diam dan sedekat ini. Hari pertama bersamanya cukup banyak yang sudah aku lewati bersamanya. Dan ubi ini semakin menyadarkanku. Bahwa sebenarnya meski terlihat dari luar Santo begitu dingin. Namun Perilaku dalam hatinya begitu hangat. Dan ternyata Ia juga cukup bisa diajak bercanda.
"Kamu sudah berapa tahun di sini To?" tanyaku. Niatku berbasa -basi padanya malah mendapat jawaban yang menjengkelkan.
"Sepertinya kamu sudah tanya hal itu Ti?" Dia menjawab pertanyaanku dengan mulut penuh ubi.
Dahiku mengernyit. Apa iya? Batinku.
"Lupa." Jawabku singkat.
"Sudah satu tahun." Katanya.
"Oh.." jawabku.
"Tapi itu bohong." Dia nyengir. Sementara aku melotot ke arahnya geram.
"Dari pertama kali Mas Mu ke sini." Ucapnya.
"Jadi bareng?"
"Ya tidak. Selang beberapa minggu Masmu ke sini. Kami sampai di sini." Jawabnya.
"Kami?" tanyaku.
"Iya. Aku ke sini bersama kawan-kawanku dan lainnya masih banyak lagi." Ucapnya. "Kamu sendiri?" Tanyanya lagi padaku.
"Aku kesini sebenarnya mau jemput Simbok." Ucapku. Dia terlihat mengangguk.
"Emangnya kenapa harus di jemput segala?" tanyanya.
"Ya kan aku anak perempuannya satu-satunya. Masa harus ikut mantu." Ucapku. Dia terlihat menganggukkan kepalanya lagi.
Kami pun sibuk memakan ubi yang Santo rebus tadi.
Sepertinya hari mulai sore. Senja yang sinarnya menyelusup masuk ke sela-sela papan pondok menjadi petandanya. Anehnya aku merasakan hawa yang dingin sekali. Sampai terasa hampir menggigil. Padahal siang tadi udara begitu panas. Kulihat ke sisi kakiku yang tertutup kain. Sepertinya sudah mengering. Namun kini justru semakin terasa pegalnya. Aku mendengus merutuki si Santo yang memberikan obat namun tak memberikan efek apa pun.
Mungkin memang obat yang di racik Santo tidak manjur. Atau memang luka dalam kakiku ini memang parah antahlah.
Kudengar suara kumerusuk dari luar. Santokah itu? Batinku.
Aku mendekat ke sisi dinding. Ku cari sumber suara. Mengintip keluar seperti seorang mata-mata yang mengintai musuhnya. Ternyata memang benar Santo. Kukira binatang buas. Lega. Ia sedang mengumpulkan kayu dan daun-daun kering. Pasti akan segera membakarnya. Kata orang-orang, api sedikit berguna untuk mengurangi nyamuk. Meski tidak begitu berguna menurutku.
Kulihat Santo tanpa kaosnya lagi. Ia mungkin lebih senang bertelanjang dada daripada memakai kaos. Dan lihat betapa kekarnya perawakan dia. Kalau dia berdiri di pengkolan 99 pasti sudah di caplok sama kupu-kupu malam. Tempat di mana Mas Sardi dijebak waktu itu.
Untung aku bukanlah gadis rakus. Meski umurku menginjak kepala tiga. Aku punya cara pandang yang buruk terhadap laki-laki. Kecuali ayahku. Berkelana ke sana ke mari membuat aku menemukan betapa kucing garong itu sangat banyak di sekeliling kita. Dan mereka itu punya jurus tipu daya yang bisa menyerang wanita mana pun.
Suara api menyulut daun-daun kering terdengar begitu ranyah. Kurasakan udara memanas di sekitar. Cahaya api pun nampak menari-nari pada bayangannya. Santo nampak setia menjaga api agar tidak menjalar ke mana-mana. Mengingat sekitar adalah tanah gambut. Bisa berbahaya jika terbakar. Bisa terjadi kebakaran hutan. Maka dari itu Santo membakar di area tanah kapur. Di area pondok lebih tepatnya.
Tapi sepertinya kondisiku tidak baik-baik saja. Keringat dingin mengucur di sisi pelipisku. Meski begitu aku hanya menahannya. Sesekali aku juga merasakan menggigil. Aku memutuskan berbaring dan meringkuk. Posisi inilah yang sedikit menghangatkan badanku. Meski mata terasa panas, aku berusaha untuk memejam.
Terdengar suara sentakan demi sentakan dari arah luar. Mungkin itu derap kaki Santo yang menghampiriku. Langkahnya semakin cepat. Namun aku enggan untuk membuka mata.
"Ckk."Dia berdesik. Lalu menempelkan punggung tangannya ke dahiku. Ia juga memeriksa kakiku. Membuka kain yang membungkusnya. Ia kemudian meninggalkanku. Lalu kembali lagi dan menempelkan kain yang terasa hangat di kakiku. Lagi? Batinku. Jelas-jelas tak memberi efek apa pun. Malah sekarang kakiku terasa kaku. Tapi aku hanya menahan unek-unek itu di hatiku. Aku takut hatinya tersakiti jika ku ucapkan. Seharusnya aku berterima kasih sudah di rawat sejauh ini malah mengomel. Kan ndak etis.
"Nti.. bangun." Ucap Santo berusaha membangunkanku. Mungkin Ia khawatir aku pingsan. Aku pun membuka mata.
"Aku sepertinya meriang To. Kayak masuk angin gitu. Kau tahu? Aku baru sampai tadi malam. Mungkin kecapean." Ucapku padanya.
"Pantas saja." Ucap Santo.
"Masmu itu benar-benar!" Tambahnya lagi. Aku hanya tersenyum lemah menimpali perkataannya.
Dia terus mengecek suhu tubuhku. Ya. Memang aku merasakan mulai demam. Sesekali Ia menyuruhku minum air hangat dan memakan ubi. Supaya terhindar dari dehidrasi. Meski pahit aku berusaha menelannya. Aku tidak selemah ini kan? Batinku.
"Jangan tidur. Magrib." Aku mengangguk mendengar perintahnya. Kulihat dia bersiap untuk sembahyang.
Sementara hari mulai gelap. Suara binatang-binatang malam pun mulai saling bersautan. Santo menutup pintu. Ia masih terus mengecek kondisiku. Ia berniat mengompres dahiku juga. Sekarang sudah lengkap selain kaki dahiku juga ditimpanya dengan kain basah. Ia memakaikanku jaket dan juga selimut entah milik siapa. Aku hanya diam menerima perlakuannya. Tubuhku terasa semakin lemah dan kepalaku begitu berat.
Hari semakin malam. Aku tahu keadaanku tidak semakin baik. Di barengi dengan udara malam yang semakin dingin dan angin yang menderu menelusup melalui sela-sela dinding. Membuatku menggigil berkali-kali lipat.
Aku tahu Santo berusaha menahan kebingungannya. Ia pasti bingung harus berbuat apa. Sementara hari sudah malam. Santo mondar-mandir untuk mengganti air panas kompresku. Ia terlihat menahan kepanikannya.
"To. duduk saja. Kamu bikin aku semakin pusing." Ucapku lemah.
"Aku bingung nti...aku takut kamu kenapa-napa." Ucapnya.
Dia memijat telapak kakiku agar merasa hangat.
"Ambil sedikit minyak tanah To." Ucapku.
"Apa?" Tanyanya.
"Minyak tanah. Itu dalam botol lampu minyak."
"Oh ini..." katanya seraya mengangkat botol itu.
Dia menuangkan sedikit ke sebuah piring.
"Kamu bisa ngerok kan?" Tanyaku.
"Iya tentu saja" Jawabnya.
Aku pun kemudian melepas pakaianku. Kulihat Santo memalingkan wajahnya meski tak ku suruh.
"Tunggu dulu. Kamu mau apa Nti?" Tanya Santo.
"Katanya kamu bisa ngerokin." Ucapku.
"Ya tapi.." Ia mungkin merasa canggung. Namun dalam kondisi ini. Hanya itu obat ampuh yang kupikirkan.
"Hanya itu obatnya sekarang. Udah anggap saja aku ini laki-laki." Ucapku. Kemudian berbaring telungkup dan hanya menutupi bagian depan badanku dengan baju yang ku lepas. Kubiarkan Santo berselancar di punggungku dengan sebuah koin dan minyak tanah.
Hari sudah pagi. Sayup-sayup kicau burung terdengar dari sudut penjuru. Aku mulai membuka mataku. Terasa gerah sekali pagi ini. Aku pun bangun dari tidurku. Lalu kulihat kondisiku. Terlintas semalam yang terjadi. Bodoh!. Ucapku dalam hati. Seharusnya aku tidak tidur.
Kulucuti jaket-jaket yang menempel di tubuhku. Kulihat kakiku membaik. Aku bahkan sudah bisa berdiri. Kuikat rambutku asal. Sepertinya aku benar-benar sudah sembuh. Aroma minyak tanah menguar di seluruh tubuhku. Tapi kuabaikan karena ada yang lebih penting dari itu.
Aku keluar pondok. Kucari Santo di sekeliling. Tapi tidak kutemukan batang hidungnya di mana pun. Jangan-jangan dia berusaha kabur setelah melakukan hal buruk kepadaku. Aku mulai berpikiran negatif tentangnya.
"To... Santoo! Di mana kamu? To...!"Aku berteriak namun masih tak kudengar jawaban. Pikiranku mulai panas.
"To! Di mana kamu!" Aku berteriak sambil terus mencarinya. "Jangan ... !" Namun ucapanku terpotong oleh Sanyo yang muncul dari belakang pohon sawit.
"Jangan Apa!" Dia tampak ngos-ngosan. Lalu Ia membungkukkan badannya karena kelelahan. Dia tampak kesal. Namun sedikit kesulitan bernapas. Mungkin baru berlari dengan kencang. Aku sedikit tertawa dalam batinku.
"Apa! Sudah sembuh?" dia menyadari bahwa aku memperhatikannya yang kini di hadapannya.
Aku mengangkat bahu. Lalu berbalik dan berjalan ke arah pondok. Dengan kaki yang sedikit pincang.
Terdengar langkah kakinya mengikutiku.
"Kukira kamu pulang dan meninggalkan aku." Ucapku sambil berjalan.
"Kamu berpikir aku sebajingan itu?" Tanyanya retoris. Aku terdiam. Dia berlari dan kami berjalan bersisian.
Aku diam dengan pertanyaannya.
"Apa jangan-jangan kamu berpikir lebih dari itu?" Tanyanya lagi. Aku mengatupkan bibirku karena jawaban dari pertanyaannya adalah iya.
"Ya Tuhan Santi. Aku mengobatimu agar kamu sembuh bukan yang lain-lain. Dasar. Pikiran kotor!" Kalimatnya membuat aku mengerucutkan bibir. Hmm memalukan. Batinku.
Tiba-tiba aku terhuyung. Dan hampir terjatuh lagi. Santo dengan cepat menangkap lenganku. Ya Tuhan. Jantungku mencelos.
"Sudah sembuh mau keseleo lagi?" Santo maju selangkah dan kini ada di hadapanku. Wajahku memerah. Aneh. Aku ini kenapa?. Bukankah demamku sudah turun?.
Santo tiba-tiba memegang dahiku dengan telapak tangannya.
"Kalau mau mandi langsung ke sungai. Ini hanya untuk darurat dan minum saja." Ucap Santo
Aku masih menunggu momen yang tepat untuk mengucapkan isi pikiranku. Ku rasa dia menyadari tatapan menyelidikku. Tatapannya tiba-tiba turun ke arah payudaraku. Aku segera menutupi dengan kedua tanganku. Ia berpaling.
"Itu? Besar juga enggak. Apanya yang mau di banggakan?." Ucap Santo mengejek.
Dahiku mengkerut tidak terima bersama dengan mulutku yang mengerucut sebal.
"Kecil-kecil begini juga aku kan wanita."
"Wanita dari hongkong. Semalam bilangnya laki-laki" jawabnya semakin membuatku kesal.
"Tadi malam kamu ngapain aja." Tanyaku. "Setelah ngerokin aku." Lanjutku
"Memang pikirmu aku bisa apa sama tubuhmu yang kayak triplek itu." Jawabnya semakin membuat wajahku merah.
"Gara-gara kamu aku tidak tidur semalaman karna rintihanmu kayak bayi baru lahir." Ucapnya.
Jantungku berdesir. Untunglah Edi bukan hidung belang yang memanfaatkan kondisiku malam itu.
"Jadi tidak terjadi apa-apa kan?" tanyaku memastikan.
Santo mengerutkan dahinya. Seperti sedang betanya" Maksudmu?"
"Maunya ada kejadian apa?" Tanyanya retoris.
Aku menggelengkan kepala dengan ceria.
"Kalau begitu aku akan beres-beres pondok." Aku berlalu meninggalkan Santo dengan ceria. Akhirnya kekhawatiran bodohku tidak terbukti. Lebih baik dianggap tidak menarik daripada menjadi korban nafsu laki-laki tidak bertanggung jawab.
"KATANYA MAU MANDIII!" Teriak Santo namun hanya ku abaikan.
Hari ini serasa berat sekali badanku untuk beranjak dari ranjang. Mataku tertutup rapat sekali dan
enggan untuk terbuka. Padahal kokok ayam sudah nyaring dari segala arah. Memikirkan harus
menghadapi masku yang entah maunya apa terasa menyebalkan sekali. Dia pasti akan
mendiamkanku. Dan hal itu lebih menyebalkan.
Terdengar suara piring sudah beradu. Itu pasti mba Ranti atau mungkin Simbok. Aku mendesah. Mau
Bagaimana pun harus kupaksakan melek dan membantu mereka. Aku tidak ingin mereka mengecam
keberadaanku di sini.
Ku sapa Mba Ranti yang sedang mencuci piring. Aku segera mengikat rambutku. Dan menuju meja
makan. Kuambil semua perkakas kotor bekas tamu-tamu kakakku. Ku taruh di sisi meja lalu ku lap
meja tersebut. Ku raih gelas-gelas itu dalam jemariku dan kuletakkan di sisi bak yang ada di hadapan
Mba Ranti.
Aku pun mengambil dingklik dan duduk disisi lainnya untuk membantunya. Sementara Mba Ranti
menghapus kotoran iring dengan sabun tugas ku adalah membilas dengan air bersih lalu
menempatkannya di bak dan nanti akan dipindah ke rak piring.
Prosesnya hanya berlangsung sebentar karena dikerjakan bersama. Aku bertanya dengan mbak
Ranti tentang sarapan kita. Tapi Mba Ranti bilang Ia yang akan mengurusnya. Dia hanya
menyuruhku menyapu pekarangan dan menunggu tukang sayur lewat sekitar jam delapan nanti.
Aku hanya mengangguk menuruti setiap perintahnya. Mba Ranti memang tidak banyak bicara.
Namun dia orangnya tidak pernah neko-neko apalagi dalam hal hubungan dengan orang lain. Bisa
dibilang cukup menyenangkan orangnya. Namun karena sifat pendiamnya terkadang membuat
sSantokit sungkan.
Meski hari belum benar-benar terang. Karena matahari masih malu-malu untuk menampakkan diri.
Aku tetap menyapu pekarangan dari ujung ke ujung. Kalau di Jawa suara sapu di pagi hari itu sudah
biasa. Ternyata di sini beda. Belum terlihat orang lalu lalang sejak tadi. Mungkin karena tidak ada
perkebunan seperti sayur atau sawah. Mereka biasanya ke ladang karet mereka agak siang. Kalau
tidak siang sekalian atau bahkan sore.
Mas Sardi tiba-tiba saja keluar dari pintu belakang. Jalannya yang tidak seimbang karena kaki sebelah
kanan lebih panjang ketimbang kiri membuat irama sendalnya saling bersautan jelas. Ia memtapku
tadi meski aku tak menghiraaukan. Aku terus melanjutkan kegiatanku menyapu.
Biasanya jam segini Mas Sardi hanya duduk di kursi sambil menunggu kopinya habis. Dia tidak
menyapaku sama sekali. Begitu pun aku, enggan sekali rasanya untuk menyapa kakak sulung yang
menyebalkan ini.
Akhirnya daun-daun kering yang ku kumpulkan dengan sapu lidi ditanganku ini pun terkumpul. Aku
bermaksud mengambil pengeruk sampah dan tongnya di belakang. Kutoleh ke arah Mas Sardi yang
sedang sSimbokk mengurus buah sawit yang bertumpuk. Aku hanya melaluinya tanpa menyapa.