77. MANUSIA YANG TAK TERTEBAK
77. MANUSIA YANG TAK TERTEBAK
Tapi aku bahkan tak mampu untuk memarahinya. Aku sendiri tak punya bukti bahwa perkataanya salah. Lebih-lebih aku tak punya hak apa pun untuk menyalahkan atau pun membenarkan. Bisa di bilang aku sendiri tak punya kepentingan di atasnya. Mereka, Lusi dan wanita yang datang kemarin kepada Lusi itu adalah orang yang salah sangka terhadap hubungan kami.
Hubungan yang sebenarnya tak lebih dari sebuah pertemanan yang saling nyaman sehingga terus intens bertemu itu tak pernah ada kemajuan dan lebih jauh dari sekedar itu. atau mungkin belum sampai saja waktunya. Dan kelak akan menjadi sama ceritanya dengan janda yang datang tiba-tiba di pertengahan asmara antara aku dan Adi. Aku tidak mau. Aku tidak mau menjadi wanita kedua. Demi apa pun.
Aku menatap Lusi. Dengan kesabaran dan kekesalan yang sama tingginya membumbung di ubun-ubunku. Kutatap dia dan ku katakan dengan penuh penekanan.
"Kamu ngarang Lus? Pintar sekali kamu? Kamu itu hlo... kok berani banget. Wong kamu itu cuman orang baru. Kok berani banget bilang seperti itu. Apa karena aku ini terlihat mudah di tipu Lus?" Ucapku dengan nada-nada penuh kekecewaan terhadap Lusi.
Tapi Lusi tetap kekeuh dengan pembelaannya.
"Mba aku ini serius. Aku khawatir denganmu Mba. Aku khawatir kalah mba malah tak bisa melepaskan Om ganteng.." Ucapnya lagi. Aku yakin Ia berpura-pura untuk peduli terhadapku.
"Ya untuk apa aku lepaskan? Orang aku tidak melakukan kesalahan apa pun kok. Kamu ini aneh ya Lus.. segitu nggak senengnya lihat ornag lain bahagia."Lusi kemudian beedecik. Seperrinya ia juga mulai kecewa denganku.
"Mba ini ya.. polos tapi ngeyel. Wanita itu menangis mba di depanku. Dia lalu mengeluarkan buku nikah. Dan dia menikah dengan Om ganteng. Tahu gak yang paling menyedihkan apa Mba.. selama menikah dengan om ganteng dan beranak pinak ia tak pernah di cintai walau sehari pun. Hanya karena om ganteng itu masih terbayang-bayang dengan istri pertamanya. Sudah! Mau percaya nggak percaya terserah Mba. Itu kan nanti resiko mba yang nanggung. Aku mau kerja dulu." Ucapnya kesal lalu pergi masuk ke dalam. Aku yang masih tern memenag begitu ngaga dengan penuturan Lusi sampai lupa kalau mesin cuci telah lama berhenti dari putarannya.
Bagai di sambar petir untuk kedua kalinya. Kalimat Lusi yang tegas itu membekas jelas di kepalaku. Dia mengatakan Mas David sudah menikah. Baik aku tidak masalah dengan itu. seandainya pun memang begitu ceritnya, baik aku akan mundur seketika itu juga. Setidaknya aku tahu aku telah mendapat perhatian lebih dari Mas David. Orang yang membuatku ternganga dengan paras manisnya.
Tapi kata selanjutnya membuat semua jadi pelik. Dia bilang aku adalah sosok yang mirip dengan istrinya yang dahulu telah meninggal. Seperti karangan saja cerita Lusi itu. adakah orang yang memanfaatkan orang lain untuk perasaannya hanya karena seseorang itu mirip dengna orang yang di cintainya? Dalam pikiranku itu adalah teori terkonyol yang pernah aku ciptakan sendiri.
Jika demikian, maka cerita antara aku dan Mas David adalah omong kosong. Tidak jauh lebih buruk dari cerita antara aku dan Adi. Aku tak akan menjadi orang kedua. Demi apa juga.
Kepergian Lusi menimbulkan ribuan pertanyaan dalam pikiranku. Memang dari awal aku juga tak pernah menaruh rasa tulus terhadap Mas David. Kulakukan semuanya hanya demi untuk menjauhinya. Tapi entah kenapa menfengar penuturan Lusi aku malah merasa terkhianati.
Aku yang sedang melamun di sisi meja dapur pun terkejut oleh kehadiran sosok yang sebenarnya sudah lama sekali ku rindukan kehadirannya. Mas Aden datang ke dapur. Untuk pertama kalinya setelah ia kecelakaan. Ku pandangi dia dari atas hingga bawah saat menunggu air dalam gelasnya penuh.
"Mas,,," dia menyibakkan tanganku saat aku hendak mengusap rambutnya. Dia ternyata kini sengat tinggi di bandingkan dahulu. Aku tersenyum meskipun dia pasti sangat kesal. Lusi bekerja dengan baik terhadap Mas Aden.
Mas Aden menenggak minumannya dalam sekali tenggak. Dia adalah penyuka air mineral. Ia lebih suka air putih dari pada minuman bersoda yang akhir-akhir ini sedang tren di kalangan pemuda pemudi. Ahg,,,aku sedih karena dia berubah sikap terhadapku, tapi aku bahagia untuk kesembuhannya.
"Mas kok udah pulang?" tanyaku padanya. Biasanya jam kerjanya hingga sore tapi kali ini tengah hari ia telah sampai di rumah.
"Iya mba." Jawabnya sopan kepadaku. Biasanya tidak pernah seperti ini. Jadi terdengar aneh, apa mungkin efek dari obat-obatan?
Aku berusaha tersenyum sekali pun semua tersasa kecut seharian ini.
"Mas, mau makan apa siang ini?" tawarku kepadanya. Ia berpikir sejenak.
"Ada bahan apa aja Mba di kulkas." Ia lalu menghampiri kulkas dan membukanya.
"Ada ayam ya,,," ucapnya lagi. "ya sudah ayam goreng saja mba." Perintahnya.
"Sayurnya nggak mas?" tanyaku. Ia menggeleng.
Karena ibu dan bapak siang ini tak di rumah jadi tugasku adalah memasak untuk Mas Aden saja. Aku menghela nafas dan menghembuskannya dengan keras. Entah kenapa hatiku terasa perih mendapat perlakuan dingin dari mas Aden.
Aku mendatangi kamar mas Aden. Ku lihat Lusi di sana. Ia menatapku dengan tatapan jahat. Ya, tapi aku hanya mengabaikannya. Tapi mas Aden nampak tak memperhatikanku. Dia masih sama, dingin terhadapku.
"ini Mas Nasinya sama ayamnya." Ucapku. Ia hanya melirik ke arahku lalu menyuruhku untuk menaruhnya di atas nakas.
Aku sedikit menghembuskan nafas kesalku. Lusi menyadarinya. Mas Aden menatap Lusi yang sedang menatpaku dengan tatapan sebal. Dua bocah ini sebenarnya sedang apa di depanku. Kenapa perlakuan mereka terhadapku terasa menyebalkan sekali.
"Lusi mau apa?" tanya Mas Aden pada Lusi. Apa? Mas Aden menawari Lusi? Apa setelah ini dia akan menyuruhku untuk membuatkan sesuatu untuk Lusi?
Nampak dahi Lusi berkerut. Saat menatap Mas Aden.
"Iya, kamu mau apa? Biar si Mba yang membuatkannya." Ucap Mas Aden. Tpat sekali seperti yang aku pikirkan.
"Aku mau sama kayak milik kamu dong. Oh ya kamu itu baik makan jus alpukat untuk kesembuhan kamu. Jadi tambah jus alpukat dua ya Den?" Ucapnya dengan logat kental orang Jakarta. Tapi yang membuatku semakin menggelengkan kepala adalah kenapa Ia memanggil Mas Aden dengan sebutan naman saja. Bukankah itu terdengar tidak sopan?
"Tapi alpukatnya lagi enggak ada Lus.."Ucapku.
Lusi lalu memasang wajah yang menyebalkan. Pura-pura sok imut di hadapan Mas Aden.
"Yah…gimana dong aku lagi pingin itu Den.." Ucap Lusi. Sungguh ingin ku gampar dengan penampan yang sedang aku pegang ini. Apa menurutnys lucu memperlakukan aku seperti ini?
"Ya dah Mba beli di luar gih, jangan lama-lama ya…kamu sudah haus." Ucap Masa Aden yagn tentu saja tidak mungkin untuk ku bantah. Aku melenggang keluar.
"Ehhh Mba tunggu dulu" Sergah Mas Aden. Apa lagi, batinku.
"Ini sekalian bawa, entar keburu dingin kalau sudah dingin buatkanlagi ya, aku mau yang hangat," ucap Mas aden yang sebenarnya membuatku ingin menghela nafas dengan keras di hadapannya. Namun aku tak kuasa karena posisiku yang hanya pembantu ini. Di tambah Lusi yang manggut-manggut ingin sekali ku lempar dia sekarang juga.
"Hahhh hahhh haahh!" aku membuang nafas berulang kali. Sambil ku lempar nampan di meja. Di tingkat ini memang sikapku keterlaluan, tapi ini kan lagi ndak ada bos jadi kurasa aman-aman saja. Kekesalanku benar-benar di ubun-ubun siang ini. Ku lihat ke arah jendela dan panas begitu terik. Mereka malah menyuruhku berbelanja. Aku akan ikhlas-ikhlas saja jika ini untuk Mas Aden saja, tapi kenapa si nenek sihir Lusi itu juga memperlakukan aku seolah aku ini haru smelayaninya?
Aku pun berjalan tertatih ke pasar. Swalayan yang dingin ini terasa menjadi panas karena suasana hatiku yang sebenarnya kacau. Di kacaukan oelh dua idiot di rumah. Dengan bersungut-sungut aku menghampiri deretan buah di sebelah barat. Mana buah-buahan itu ada di ruangan pasar paling belakang. Harus berjalan lagi sesampainya di mall.
Aku mengambil plastik, lalu menuju ke arah buah dengan bentuk aneh berwarna hijau itu. tanpa memilih aku megambil sekenanya. Bodo amat, batinku. Sepertinya lima kilo cukup untuk mereka minum jus alpuukat ini selama lima bulan ke depan. Ucapku dengan keras sambil memasukkan buah demi buah ke dalam plastik. Seseorang yang di smapingku sampai menoleh ke arahku dan mereka kemudian menatapku dengan aneh. Aku tak peduli.
Aku lalu menuju ke tempat penimbangan, mereka pun menimbangnya sesuai dengan permintaanku. Lalu memberiku struk belanja dan aku pun melenggang menuju kasir. Hanya ini yang ku beli ke tempat yang jauh begini? Rasanya ingin marah sekarang juga Tuhan,,,,.
Sesampainya di rumah aku pun membuatkan mereka berdua jus alpukat. Tentu saja dengan alpukat yang ku beli di pasar tadi. Waktu berlalu sudah tiga puluh menit. Apa mereka masih menginginkannya. Ah bodo amat, pikirku. Yang penting ku buatkan dan tugasku selesai sampai di sini.
Ku taruh alpukat cair itu ke dalam gelas berukuran besar dan ku letakkan di atas nampan. Sekarang tinggal.
Aku mengambil dua piring nasi panas dan du ayam goreng hangat. Aku bermaksud memanaskan ayam ke dalam mikrowave. Ku tunggu hingga lima belas menit, dan cukup hangat untuk di hidangkan kepada mereka.
Kubuka pintu kamar Mas Aden. Ku lihat Mas Aden tertidur. Dan si Lusi duduk menghadap ke luar jendela. Aku pun berjalan mendekat ke nakan di dekat ranjang mas Aden. Lusi mendengar suara derap langkahku, ia pun menoleh ke arahku. Ia lalu mendekatiku. Lau tersenyum.
Dahiku berkerut melihat tingkahnya kali ini. Yang dia lakukan sekarang bertolak belakang dengan yang dia lakukan terhadapku sekitar tiga puluh menit yang lalu. Dasar munafik. Sungutku dalam batin.
"Apa!" bentakku tanpa suara terhadapnya. Aku pun memelototinya.
Ia lalu menarikku keluar. Dan itu menyebalkan karena dia memperlakukanku seenaknya. Padahal dia tahu aku ini lebih tua dari pada usianya.
"Kenapa? Jengkel?" ucapnya tiba-tiba." Kukira selain Lusi ini berkepribadian ganda dia juga sebenarnya sakit sarap. Sudah jelas-jelas aku ini jengkel kepadanya.
Aku melengos. Tak menjawab pertanyaannya. Ia lalu menggiringku lagi ke tempat yang tadi pagi aku membawanya. Di teras belakang. Sepertinya tempat ini adalah tempat ternyaman untuk menceritakan semua hal.
Dia mendudukkan tubuhku seenak jidatnya saja. Dan tentu saja aku memberontak. "APAAN SIH!"sungutku.
Dia kemudian duduk di kursi yang ada di hadapanku.
Di amengehla nafas lelah.
"Duh capek deh." Ucapnya. "Yang ada juga aku yang capek. Dodol." Jawabku tanpa menatapnya.
"Gimana Mba? Udah cari tahu belum kebenarannya?" tanyanya.
Aku menatapnya sinis. Untuk apa ku beri tahu padamu tentang masalahku. Jawabku dalam hati.
Dia tersenyum.
"Mba ini nganggap aku saingan apa?" ucapnya lalu tertawa.
Aku masih sinis.
"Aku ini sebel sama kamu dari pertama kali. Sekarang makin sebel." Ucapku jujur.
"Iya Mba banyak kok yang bilang begitu." Ucapnya lalu berdiri dan meninggalkanku. Aku menatapnya tanpa henti hingga ia masuk. Ingin ku hentikan dia dan minta maaf. Tiba-tiba saja rasa bersalah menyeruak dalam batinku.
Namun ternyata tidak lama dia muncul kembali. Padahal aku sudah siap berdiri. Tentu saja banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan. Dia memberi aba-aba kepadaku untuk tetap berdiri. Dia membawa sebotol air mineral dan dua gelas. Gayanya memang selalu parlente padahal nihil. Sok keren dengan sebotol air putih. Tidak keren sama sekali.
Ia lalu duduk kembali. Kami berhadapan kembali. Aku ini sebenarnya malas tapi entah kenapa sepertinya kata-katanya layak untuk ku tunggu. Dia menuangkan air putih itu ke dalam gelas di tangannya. Menawarkannya kepadaku. Aku tanpa segan menolak pemberiannya.
"Aku ngambil sendiri aja bisa. Ngapain sok-sok an begitu." Ucapku sarkas.
Lagi-lagi dia tertawa. Dan itu malah membuatku semakin sebal saja.
"Kamu ini kenapa sih setiap ngomong sama aku selalu ketawa dulu. Kamu ngeremehin aku apa gimana?" lama-lama capek juga ya mendam rasa kesal. Jadi akhirnya ku ungkapkan saja langsung di hadapannya. Masalah dia marah pikir nanti.
Dia tersenyum lagi. Lalu menatap serius ke arah air mineral dalam gelasnya.
"Semua orang sama saja Mba, menatap sesuatu dalam satu tatapan lalu menjustifikasi, menilai dan lancang berkomenta sesuka dia. Semua orang sama. Padahal untuk menilai seseorang harus membutuhkan waktu demi waktu. Tatap demi tatap agar mereka bisa paham satu sama lain." Ucap Lusi kepadaku.
Bocah yang hanya berumur kurang lebih dua puluhan tahun itu mampu menamparku dengan kata-katanya yang sangat dewasa. Aku benar-benar di buat malu oleh kata-katanya. Benar sekali dan mampu menampar aku yang lebih tua darinya. Ah iya, itu pasti karena dia seorang psikiater jadidia mampu menilai sifat seseorang dan juga pandai berkata-kata.
"Jadi karena itu kamu memang pantas menjadi seorang psikiater?" tanyaku sengan sarkastik.
"ahahhah…" dia tertawa lagi. Belum ada satu jam aku bersamanya dan dia sudah tertawa berkali-kali di hadapanku.
"Kamu memang oran gpaling bahagia yang pernah ku temui Lus…" ucapku.
"Habisnya…apa menjadi psikiater harus di hina melulu?" tanyanya. Dahiku berkerut.
"Maksud kamu? Aku tidak menghinamu dari kalimat mana pun." Ucapku.
"Iya, mungkin aku yang merasa terhina dengan kata sebal yang Mba sebutkan." Ucapnya dengan datar.
"Jadi kamu merasa terhina dengan kalimat sebal yang ku katakan tadi?" tanyaku heran. Dia mengangguk.
"Ck" aku berdecik. "Ku kira hatimu sekokoh batu cadas. Ternyata hanyalah serapuh kayu yang di makan rayap." Ucapku sontak membuat dia tertawa terbahak-bahak.
"Apa yang lucu? Bukankah lebih pantas kalau aku yang tersinggung dengan tingkahmu? Menertawakanku sepanjang kau duduk di sini. Aku ini lebih tua darimu. Ndak ada sopan-sopannya sedikit pun." Kesalku kepadanya.
Dia lalu memperbaiki ekspresinya. Dan menarik nafas.
"Mba nemu peribahasa dari mana? Kok aku baru dengar?"Tanyanya dengan wajah mengejek.
"Ahhh bodo amat dari mana itu peribahasa yang penting intinya nyampe." Ucapku.
"Semua orang sellau mengatakan kesal ketika bersamaku. Sehingga aku terbiasa dengan hal itu." Ucapnya serius. Tiba-tiba saja aku merasa iba. Ya karena tidak sepenuhnya benar. Beberapa saat yang lalu aku bahkan mendapat petuah penting dari ucapannya.
"Kalau begitu kenapa tidak mencoba untuk memperbaiki semuanya?" tanyaku.
"Kenapa?"
"Kenapa?" aku malah di buat bingung oleh pertanyaannya. Apa dia ini tidak tahu cara menyenangkan orang lain?
"iya kenapa. Kenapa aku harus merubah diriku demi orang lain?" aku terdiam lagi.
"Ya itu karena…" kalimatku takbisa berlanjut lebih jauh. Entah kenapa dalam kepalaku kosong kosa kata.
"Karena kita harus menghargai orang lain kan? Tapi mba, bukankah saling menghargaiadalah ketika seseorang tak mengusik zona kenyamanan orang lain dan tetap mendukung satu sama lain? Bukan memaksakan orang lain untuk menjadi seperti apa yang membuat kita nyaman?"
Lagi dan lagi. Aku di buat ternganga oleh wawasannya yang jauh sekali dariku yang kolot masih penuh dengan pengaruh oran gjaman dahulu. Ini pasti karena pendidikan kami yang tidak setingkat. Jangankan untuk di bandingkan. Di sebutkan saja sudah cukup membuatku malu.
"Sebenarnya kamu menyuruhku ke sini hanya untuk mengguruiku kan? Dan kamu berhasil membuat aku terdiam sejak tadi. Puas? Sekarang aku haurs kembali bekrja. Jadi cukup ngobrolnya." Ucapku hendak meninggalkannya namun ia malah menarik tanganku kembali dan membuat aku terduduk kembali ke kursi.
"Aduhhh apa sihhh…" Ucapku.
"Mba nggak penasaran sama Mas David?" tanyanya. Danaku hanya terdiam. Mungkin jawaban terjelasku adalah iya, namun aku tidak ingin melepasnya sejujurnya.
"Kalau Mas Aden?" tanyanya kemudian. Aku merengut menatapnya. Memangnya mas Aden kenapa?
"Memangnya ada apa dengan Mas Aden? Apa ada yang salah?" tanyaku.
"Huuffttt.." dia membuang nafas kesal. Dia pasti melakukan penilaian lagi setelah ini.
"Memangnya ndak terasa apa kalu Mas Aden itu bersikap dingin sama kamu Mba?"
"Ya terasalah! Sampai-sampai aku ingin menggamparmu dengan ini!" ucapku dengan tersungut-sungut.
Dia spontan menghindari pukulan palsuku.
"Mba tahu kenapa Mas Aden tiba-tiba bersikap seperti itu?"
"Di pengaruhi kamu kan?" tanyaku ya sebenarnya menuduhnya. Tuduhan yang tak pernah berdasar.
"hiiisss fitnah. Aku ini psikiater mba.. tugasku merawat, mendiagnosis, meneliti dan meresepkan obat untuk mereka yang mempunya permasalahan dengan mentalnya." Ucapnya
"Ya udah benar itu."
"Iya tapi nggak ada kata mempengaruhi di situ." Ucapnya tidka terima.
"Ya terus apa..?" tanyaku tak sabar.
"Semua itu hanya skenario yang sengaja di buat oleh Mas Aden. Tanpa campur tanganku. Sementara aku hanya mengikuti skenarionya setelah membaca situasi." Dahiku berkerut mendengar penuturan Lusi.
"Maksudmu?"
"Iya, aku sedang mengamatinya. Kemarin tiba-tiba dia bangun dan memperlaukan aku dengan baik. Tahu kan sebelumnya dia bahkan melempar aku dnegna piring. Dia lalu mengatakan kalau dia akan menjadi anak baik dan mengikuti segala aturanku. Selain itu ia juga akan meminum obat secara rutin. Aneh bukan?"
Aku berusaha mencerna perkataan Lusi. Jadi apa maksud dari inti pembicaraan ini sebenarnya.
"Lalu apa intinya..?" aku tidak sabar dengan penjelasan dari Lusi.
Ia menghembuskan nafas dengan keras. Lalu meantapku dengan tatapan serius.
"Itu pasti sindrom penyemu atau bisa jadi bipolar."
"HAH!" aku terkejut dengan ucapan Lusi bukan karena tahu yang dia ucapkan namun karena yang dia ucapkan terdengar mengerikan di telingaku. Apakah itu berarti penyakit yang parah danmengerikan seperti psikopat misalnya?
Dia terkejut dengan keterkejutanku.
"Maaf" ucapku."Tapi aku tidak paham dengan perkataanmu, tapi entah kenapa itu terdengar mengerikan bagiku. Apa memang begitu?" tanyaku.
Dia malah mulai menertawaiku. Apanya yang lucu sih!. Sekarang wajahku bahkan sangat serius di banding wajah siapa pun.
"Mba tahu sindrom kan?" Tanyanya.
"Iya,,, penyakit kan?"
"mmm iya begitulah ya…pahamnya mba."
"lalu kenapa? Jangan berbelit-belit deh Lus." Ucapku kesal.
"Tunggu dulu." Ia lalu berlari masuk.
"Lus! Apaan sih! Malah kabur! Kamu ngerjain aku ya!!!" ucap seru ku kepadanya.
Dia kemudian kembali dengan buku yang begitu tebal. Ya Tuhan, di tunggu penjelasannya malah ngajak belajar nih bocah.
"Gimana sih Lus!"
"Bentar dulu Mba…sabar.." Lusi terlihat serius membolak-balikkan halaman buku yang ada dalam pangkuannya itu. sementara aku yang menunggunya hampir kehilangan kesabaran.
"Nah ini dia." Ucapnya tiba-tiba.
Ia lalumembacakan sebuah naskah panjang yang setiap kata dari buku Lusi itu aku berusaha untuk mencernanya.
"Sindrom penyemu (impostor syndrome) dikenal juga sebagai fenomena penyemu (impostor phenomenon), sindrom penipuan (fraud syndrome), atau pengalaman penyemu (impostor experience) adalah sebuah konsep yang menjelaskan keadaan individu yang ditandai oleh ketidakmampuan untuk menginternalisasi pencapaian/prestasi mereka dan terus menerus merasa takut dianggap sebagai "penipu". Istilah ini diciptakan pada tahun 1978 oleh psikolog klinis Pauline R. Clance dan Suzanne A. Imes. Terlepas dari bukti eksternal kompetensi mereka, orang dengan sindrom penyemu akan tetap yakin bahwa mereka adalah penipu dan tidak pantas atas kesuksesan yang mereka capai. Bukti kesuksesan mereka tersebut diatributkan pada keberuntungan, waktu yang tepat, atau sebagai hasil menipu orang lain, hingga berpikir bahwa orang lain lebih cerdas dan kompeten dibandingkan dirinya. Sementara penelitian awal fokus pada kelaziman sindrom penyemu di kalangan wanita berprestasi, sindrom ini ditemukan dapat mempengaruhi baik pria maupun wanita, dalam jumlah yang kurang lebih sama.
Nahh.. kalau yang satu, bentar dulu ya,,, aku cari..
Nah ketemu.
Bipolar adalah suatu gangguan yang berhubungan dengan perubahan suasana hati mulai dari posisi terendah depresif/tertekan ke tertinggi/manik.
Penyebab pasti gangguan bipolar tidak diketahui, namun kombinasi genetika, lingkungan, serta struktur dan senyawa kimia pada otak yang berubah mungkin berperan atas terjadinya gangguan.
Episode manik dapat mencakup gejala seperti energi tinggi, jam tidur yang kurang, dan sering berkhayal. Episode depresi dapat meliputi gejala seperti energi rendah, motivasi rendah, dan kehilangan minat dalam aktivitas sehari-hari. Episode mood terjadi selama beberapa hari hingga berbulan-bulan sekaligus dan mungkin juga terkait dengan pikiran untuk bunuh diri.
Penanganan biasanya seumur hidup dan sering melibatkan kombinasi obat serta psikoterapis.
Dan sindrom yang satu ini tidak bisa di sembuhkan hanya bisa di bantu dengna obat." Ucapnya terakhir kali dan berhasil membuatku menganga.