PERNIKAHAN TANPA RENCANA

78



78

0Motor Mas David berhenti di pelataran sebuah restoran padang. Lagi-lagi restoran padang. Dia ini kan orang Makassar kenapa suka banget sama makanan orang Padang sih? Batinku. Aku hang di ajaknya hanya menurutinya dan terus mengikutinya dari belakang.     

"Kenapa Mas?" Tanyaku padanya saat ia mendadak berhenti.     

"Aku mau kamu itu kalau jalan di samping aku. Bukan di belakang gitu. Kayak orang enggak kenal aja." Ucapnya. Aku pun hanya nyengir.     

Kami memilih tempat duduk. Kebetulan di sini tersedia meja untuk privat. Jadi ada sekat tersendiri untuk meja tersebut. Mas David membawaku ke meja itu. Sehingga suara riuh di luar sedikit tersamarkan.     

Mas David memandangiku. Hal itu membuatku sedikit salah tingkah. Sebenarnya kenapa om-om satu ini. Dia bertingkah aneh kali ini.     

"Mau ngomong apa sih Mas. Aku tuh ndak suka di pandangi kayak gitu." Ia tersenyum kecil. Hendak menjawab namun seorang pelayan menyela dengan membawa minuman.     

"Terima kasih." Ucapku pada pelayan itu.     

Mas David kembali intens memandangku dengan menopang dagunya di atas kedua punggung tangannya.     

"Romeo sama Juliet itu cerita yang berlebihan." Ucapku.     

"Itu bukan berlebihan. Itu namanya tragedi." Jawabnya. Sebenarnya bukan niatku untuk berkomentar tentang film itu. Karena penilaianku sudah cukup yaitu bagus untuk film itu. Tapi aku tidak punya bahan untuk mengganti topik sehingga pandangannya bisa teralihkan oleh ucapanku. Tapi gagal. Dia masih tetap dengan posisi sama. Dagu di atas tangannya.     

"Ceritakan aku tentang kamu." Ucapnya.     

Aku mengerutkan dahiku.     

"Iya tentang kamu. Aku ingin tahu semuanya." Ucapnya.     

"Semuanya?" tanyaku. Ia mengangguk.     

"Ah,,,aku tidak pandai mendeskripsikan diri." Ucapku.     

"Kalau begitu biarkan aku bertanya."     

Aku tersenyum.     

"Mau tanya apa?"     

"Tapi harus di jawab ya?"     

Aku mengedikkan alisku.     

"Kok maksa sih Mas?"     

"Harus di paksa. Biar mau."     

"Mmmm emangnya mau tanya apa?"     

Tiba-tiba pelayan pun datang membawa banyak piring di tangannya. Dengan varian luar biasa banyak lauk. Aku yang melihatnya pun ternganga. Dengan cekatan pak pelayan itu pun menaruh piring-piring kecil itu ke atas meja. Sehingga hampir satu meja penuh berisi piring lauk.     

Aku menatap Mas David. Lalu ku katakan tanpa mengeluarkan suara. Ini apa? Kataku. Ia hanya membalas dengan mengedikkan alis sambil tersenyum. Ia menaruh jarinya ke salah satu piring. Lalu mencolek ke dalam kuah makanan berwarna hitam itu. Ia lalu memasukkan jarinya ke dalam mulutnya sendiri.     

"Enak." Ucapnya tiba-tiba.     

Aku pun nyeletuk melihat kelakuannya.     

"Kalau aku pasti sudah di pukul tanganku sama simbok." Ucapku dan membuatnya kebingungan.     

"Apa aku melakukan kesalahan?" Tanyanya.     

"Tidak. Selagi di Makassar." Jawabku.     

"Aku tidak tahu kalau orang Jawa tidak boleh mencicipi masakan." Ucapnya.     

"Bukan tidak boleh. Tapi memang adat kesopanan kami melarang melakukannya di depan umum." Jawabku.     

"Kukira orang Makassar juga pasti punya adat istiadatnya sendiri." Lanjutku. Dia mengangguk.     

"Memang benar ya orang Jawa itu tata kramanya bagus. Apa sih menyebutnya? Unggah apa ..?"     

"Unggah ungguh." Jawabku melanjutkan kalimatnya.     

"Tapi kan jaman semakin berubah? Apakah tetap relevan menggunakan seperti itu?" tanyanya.     

Sebagai orang timur yang mempunyai adat berbeda dengan orang Jawa pasti menganggap bahwa orang Jawa itu berlebihan dalam hal berperilaku. Terlalu lembutlah, terlalu kolotlah dan lain-lain. Namun hal itu tidak membuat Mas David lantas menghardik kami para orang Jawa.     

"Bukan alasan jaman berubah Mas. Yang jadi alasan orang-orang lah yang pola pikir berubah. Sebenarnya adat dan tata krama di bentuk juga karena pengalaman demi pengalaman orang terdahulu kita. Lalu di pilih mana yang baik untuk masa depan. Baik untuk mereka atau pun kelak kan? Dan tata krama itu mengatur hal-hal agar tetap sesuai jalurnya. Tentu saja jalur yang baik." jawabku panjang. Dan Mas David langsung setuju.     

"Apa ini akan habis semua?" Tanyaku dengan polosnya. Ku pikir wajar jika kemarin mereka membawa porsi besar saat aku menghadiri acara milik geng motor itu. Karena di sana juga banyak orang. Saat itu malah bekali-kali nambah. Masalahnya sekarang kami hanya berdua. Kenapa harus pesan sebanyak ini?. Ini kedua kalinya aku pergi ke restoran padang.     

Ia tertawa. Tepat sekali. Ia menertawakan aku.     

"Kalau kamu bisa habis semuanya juga nggak apa."Jawabnya.     

"Mana bisa mas? Emangnya aku kuda nil apa makan sebanyak itu."     

Ia lalu tertawa lagi dan mengambilkan aku nasi ke dalam piringku.     

"cukup?" aku mengangguk. Ia lalu menaruh secentomg nasi ke dalam piringnya sendiri.     

"Di sini kamu memang bisa seperti ini. Kamu juga bisa meminta langsung u tuk di ambilkan lauknya ke atas nasimu. Aku memilih ini karena aku tidak tshu pasti yang mana yang kamu suka. Ucapnya dengan lembut.     

Aku pun mengangguk. Aku lalu mengambil rendang dan sup. Itulah kesukaanku. Ia nampak tersenyum. Kalau kamu suka tapi gak mau bayar... ambil aja kuahnya. Bisiknya kepadaku. Aku pun tertawa mendengarnya. Baru tahu triknya mengakali isi dompetnya dan lidahnya.     

Kami pun selesai makan. Mas David pun memanggil pelayan lalu mereka pun melakukan apa yang Mas David suruh. Mereka membersihkan meja di depan kami dengan sangat cepat tanpa mengeluarkan suara yang berarti. Aku pun di buat terpukau. Kami hanya di beri dua gelas teh yang masih mengepulkan asapnya.     

"Wah enak banget aku hari ini. Nonton, makan, jalan-jalan sekarang ngeteh." Ucapku sambil menyeruput teh di hadapanku.     

"Kamu mau ke mana aja aku bisa anterin kok." Ucap Mas David.     

"Serius?"     

Dia mengangguk.     

"Kalau begitu anterin aku ke Jawa sekarang" Ucapku. Sontak membuat dia langsung mengangkat kepalanya. Ia lalu menatapku dengan serius.     

"Kamu nggak betah di sini?" Tanyanya.     

Aku tak menjawab pertanyaannya. Kukira dia pasti tahu jawabanku. Dia lalu diam.     

"Tapi kalau kamu pergi bagaimana denganku?" Ucapnya lalu menunduk. Kalimat pertanyaan yang mengandung makna kepemilikan itu membuatku sepenuhnya mengerutkan kening.     

"Memangnya kamu kenapa Mas kalau aku pergi?" tanyaku.     

"Aku?" dia terlihat terkejut dengan pertanyaanku. Tak siap untuk menjawabnya.     

"Tentu saja karena tidak ada lagi teman kencanku. " jawabnya sambil menatap ke arah pintu. Dia tidak berani menatapku.     

Kami pun sama-sama tenggelam dalam pikiran kita masing-masing. Kulihat suasana yang menjadi canggung di antara kami. Seolah Mas David memendam sesuatu yang tak bisa ia jelaskan kepadaku sekarang juga. Meski tak tahu itu apa, kupandangi ia yang sibuk menatap tehnya. Padahal 2sebenarnya aku tahuia sedang sibuk berpikir. The hanyalah sebagai pengalihan agar tak terlalu kentara saat ia sedang melamun.     

"Mas…"     

"Mas.."     

"Mas.." untuk ketiga kalinya ku panggil namanya. Lalu akhirnya ku colek kulit tangannya sampai akhirnya menoleh ke arahku. Aku tersenyum sambil mengedikkan alis kepadanya. Kenapa? Begitulah kira-kira pertanyaan tatapanku kepadanya.     

Dia lalu tersenyum kembali, bisa ku baca itu hanyalah basa-basi semata.     

"Hujan…"Aku menunjuk ke arah jendela yang terlihat dari pintu sekat kami. Ia lalu menoleh ke arah pintu itu. dan dia menyadari perkataanku benar adanya.     

"Ah benar juga. Jadi apa kita harus menungu hujan reda?" tanyanya.     

Aku mengedikkan bahu.     

"Lebih baik tunggu sebentar saja." Ucapku padanya. Dan ia pun setuju.     

Akhirnya kami pun pulang. Mas David tak banyak bicara padaku. Aku juga terlalu enggan untuk bertanya apa pun. Kami pun sampai di depan rumah. Aku turun dari motornya. Ku berikan helmnya yang barus saja ku pakai di kepalaku. Ia menerima helm itu dengan kedua tangannya.     

"San," panggilnya. "seandainya kita bertemu lebih awal." Ucapnya lirih. Aku yang hendak melangkah ke arah rumah membalikkan lagi tubuhku." Iya Mas."Kudengar samar-samar ucapannya namun aku terlalu enggan untuk menanyakan maksudnya. Kulihat ia tampak ragu menatapku. Lau ia mengucapkan kata yang sebenarnya tak ingin ku dengar. "tidak."     

Aku pun tersenyum yang sebenarnya ku tahan kecutnya di hatiku.     

"Ya sudah Mas, aku masuk ya..terima kasih untuk seharian ini." Ucapku padanya tanpa rasa basa basi. Aku memang sangat terhibur dengan kehadirannya itu. dia lelaki yang mampu membuatku mendebarkan jantung lagi, setelah sekian lama.     

"Apa kita masih bisa jalan seperti ini lagi San?" lagi-lagi kudengar seuarnaya penuh dengna keraguan. Aku membalikkan tubuhku dan tersenyum kepadanya.     

"Tentu saja Mas, asalkan hari minggu ya. Kalau nggak hari minggu mas minta ijin sendiri sama Bapak." Jawabku.     

Ia lalu tersenyum semringah seolah memenangkan sebuah lotre. Aku pun tertawa kecil mellihat tingkahnya. Ia lalu memakai helmnya dan menyalakan mesin motornya. Lalu melaju meninggalkanku dan suara derunya yang semakin kabur.     

Aku mendekati pintu rumah. Melewati garasi. Kemudian kakiku memasuki arena teras. Ku lepas sepatu ketsku dan kutaruh di rak sepatu yang kosong. Detik kemudian aku pun memasuki rumah. Ngomong-ngomong aku memang mempunyai kunci rumah sendiri.     

Kulihat keadaan sekitar sepi. Tak ada seorang pun di ruang tamu hingga ruang tengah. Mungkin Bapak dan ibu berada di kamar. Mas Aden juga pasti di kamar. Aku melenggang saja hendak ke kamar. Tapi Lusi menarikku.     

Ia mengatakan hal yang tak ku mengerti.     

"Mba.. aku ingin mengatakan sesuatu. "ia menyeretku ke dapur.     

"Ada apa?"Ku bilang.     

Dia tak menjawab sampai aku duduk mengikuti arahannya.     

"Mba San, hari ini kamu ke mana aja?" ucapnya tiba-tiba. Aku mengerutkan dahi. Kenapa orang baru ini tiba-tiba peduli dengan apa yang aku lakukan.     

"Aku jalan-jalan."Ucapku seadanya.     

Dia lalu menenggak minuman dingin yang ia ambil di kulkas. Dan menggaknya seolah tak memiliki tenggoroka. Aku tak menyangkaa ada wanita yang bisa minum secepat itu. Terlalu tidka sopan.     

"Ada apa sebenarnya Lus?" tanyaku.     

"Tadi.. ada wanita ke sini."Ucapnya. Aku berkerut dahi.     

"Lalu kenapa?." Aku menaruh tasku di meja Pantri.     

Giliran aku yang mengambil minuman dingin dari kulkas lalu ku tuang di dalam sebuah gelas.     

"Namanya Kirani. Begitu dia ngakunya. Orangnya cantikkkk banget." Ucapnya. Aku semakin tidak mengerti arah pembicaraannya. Apa hubungannya wanita bernama Kirani itu denganku?     

"Di memberiku sebuah foto."Ucapny berbelit-belit. Aku menjadi tidak tertarik dengan percakapamnya. Akan ku habiskan minumku lalu bergegas pergi ke kamar meninggalkannya.     

"Ndak tahu kamu mau ngomong apa." Ucapku setelah masuk sebuah cairan ke dalam tubuhku.     

Dia menghela napas. Lalu dia meletakkan botol minuman di tangannya dan menatapku intens. Memegang lenganku.     

"Mba ini benar-benar polos." Ucapnya.     

Aku semakin mengerutkam dahi. Apa-apaan dia ini kenapa semakin menjengkelkan.     

"Om ganteng itu? Udah janjiin apa aja ke Mba?"Tanyanya semakin memuakkan saja di telingaku. Aku lalu menghentakkan gelas ke meja dan ingin bergegas melenggang dari hadapannya.     

"Mba... tunggu. Ini demi kebaikanmu. Aku kira kamu itu dekatnya sama mas majikan. Mendingan sama dia loh dari pada sama om-om yang udah punya istri." Ucapnya. Lalu sekian detik aku pun menoleh ke arahnya dengan menatapnya nanar dan malu.     

"Kamu ini sok tahu banget! Lagian ngapain sih ngurusin urusan orang? Kerja aja kamu belum becus!" Ucapku marah-marah kepadanya. Sebenarnya karena malu dan merasa tersinggung.     

Dia menghela nafas lagi.     

Aku berjalan meninggallkannya dengan rasa kesal yang menggunung.     

"Mba... aku ini belum selesai ngomong." Teriaknya. "kamu akan menyesal ndak dengar aku omonganku sampai selesai. " Ucapnya lagi. Aku melenggang tanpa mau menoleh ke arahnya. Lalu ku buka pintu kamar. Dan ku rebahkan tubuhku yang ternyata lelah juga ya motoran ke sana-sini seharian. Atau aku ini memang kategori sudah tua sehingga mudah lelah.     

Keesokan paginya. Lusi menatapku intens yang sedang memasak untuk membuatkan sarapan pagiku. Aku yang sudah lupa kejadian semalam pun tak menggubris kelakuannya. Ia pasti sedang mengingatkanku dengan kejadian semalam.     

"Mba...biar aku lanjutin ya..."Ucapnya.     

"Apa Sih Lus... aku masih sibuk."Tukasku sambil.mondar mandir menyiapkan bumbu masakan.     

"Iya... dengerin aja." Aku menatapnya. Menghentikan semua kegiatan mengirisku. Lalu ku hentakkan pisauku. Ia terkejut.     

"Kan aku bilang aku sedang masak." Ucapku kesal. Ini masih pagi dan aku tidak mau moodku hilang. Tapi gadis satu ini malah memulainya dengan cara yang menyebalkan. Ia lalu hanya diam di tepi kulkas dengan menempelkan tubuhnya seperti bocah. Aku sedikit meringis melihat kelakuannya. Tentu tanpa ia lihat.     

"Ya udah deh. Nanti kalau habis masak deh.. ya..." Pintanya lagi.     

"Emangnya kamu tuh mau ngomong apa sih Lus... serius amat. Emangnya aku pernah punya hutang sama kamu?" tanyaku padanya.     

"Ndak Mba... bukan itu. Ini tentang Om ganteng. Mba nggak percaya sama omonganku?" Tanyanya polos.     

Aku menggeleng." Ndak..." Dia menghela nafas. " Tapi ini demi kebaikan mba..." Ucapnya.     

"Tapi aku nggam tahu tujuan kamu ngomong gitu tuh apa? Kamu iri sama aku?" tanyaku pelan agar dia tidak terainggung.     

Namun bukannya tersinggung Ia malah semakin yakin untum mengatakan hal entah apa yang tak ku ketahui itu kepadaku.     

"Ck. Untuk.apa sih aku iri. Hehe memang iri sih awalnya. Kan pengen juga jalan-jalan terus sama orang ganteng lagi. Hehehe..." aku mengerutkan dahiku dan menatapnya. Dia ink benar-benar seperti bocah pembawaannya.     

"Kalau begitu apa? Cerita aja. Tapi maaf kalau aku ndak bisa serius. Lagi masak ini.. nanti kalau ketuker gula sama garam gimana?" Ucapku.     

Ia lalu menghela nafas.     

"Ya udah deh nanti aja. Tapi janji ya mau dengerin." Pintanya.     

"Hmmm jawabku sekenanya."     

Sebenarnya aku juga tidak sepenuhnya percaya dengan Mas David. Dahulu, aku juga di bohongi oleh Mas Adi. Lelaki sekampungku yang berjanji akan menikahiku namun malah menikahi janda kaya tanpa sepengetahuanku. Aku dan Mas David haanya dua orang yang saling melepas jenuh. Tanpa tahu akan ke mana arah perjalanan kami.     

Belum ada pembahasan sejauh perasaan atau semacamnya sejauh ini. Selain aku enggan. Sepertinya Mas David juga berat untuk mengatakannya. Meski sorot matanya penuh kekaguman dan rasa ingin memiliki yang besar terhadapku. Aku hanya tidak ingin terlalu percaya diri. Dan kelak akan terluka lagi.     

Dulu Mas Adi juga begitu. Ia sangat baik kepadaku. Memperlakikanku seperti layaknya seorang tuan putri. Ia membelikanku ini dan itu. Memperlakukanku hal-hal mengesankan terhadapku seolah orang lain tak akan melakukannya.     

Namun detik ketika aku mendengar pernikahannya dari orang lain membuat aku hancir berkeping-keping karena harapanku yang terlalu tinggi terhadapnya. Seperti kepercayaan yang selama ink ku bangun untuknya seolah sia-sia dan kebodohanku belaka.     

Selain rasa percaya diriku hancur seketika. Harapanku menjadi lebur tak tersisa satu lagi yang harus ku hadapi dengan dunia. Rasa malu yang menggunung tak ada habisnya. Seolah mulai hari itu setiap hari adalah mendung yang akan menghantarkan hujan dan petir.     

Detik itu juga aku kehilangan kepercayaan terhadap sosok seorang lelaki. Ku pikir lelaki terbaim adalah ayahku. Tidak ada yang lain. Bahkan kakak-kakakku tak mampu menyamainya. Dan mulai hari itu juga aku memutuskan untuk meninggalkan kampung halamanku. Hinggi kini akhirnya aku terdampar di Makassar.     

Sekembalinya pulang aku pergi ke Sumatera. Meski pada akhirnya aku harus pulang juga. Tapi aku hanya butuh menetralkan sedikit rasa maluku karena di khianati oleh orang yang tak merasa berdosa itu. Ku sumpahi dia mendapat karmanya. Kala itu. Saat sedang sakit-sakitnya. Tapi kini semua membaik sepertinya aku sudah tak merasakan apa pun lagi tentang laki-laki bernama Edi itu. Ku pikir keluarganya juga tak cukup bahagia. Pukulan telak untuknya. Lihat karma yang harus di hadapinya. Sekas kabar yang kudengar dari tetangga sebelah.     

Waktu ku periksa hatiku. Ternyata tak memberikan respon apa pun. Itu artinya segalamya telah membaik. Lelaki bernama Edi itu sama sekali tak ada artinya kini. Kecuali sampah yang haru ku buang pada tempatnya.     

Tepat beberapa tahun setelah hari itu. Yaitu kini. Tiba-tiba aku mendengar hal bodoh dari mulut seorang anak kecil. Dan entah kenapa rasa malunya sama seperti waktu aku mendengar bahwa aku telah di tinggalkan Mas Edi menikah dengan janda kaya. Merasa bodoh dan tertipu. Meski kali ini aku berusaha tenang untuk tahu kebenarannya.     

Aku dan Mas David mungkin tak berbicara seserius orang lain tentang perasaan. Tapi aku yakin baik aku atau pun Mas David memiliki perasaan nyaman terhadap satu sama lain. Kitaa sama-sama tak ingin melepaskan walau sebentar.     

Kemarin hari, ku katakan akan peegi ke Jawa. Dan dia nampak sangat menyesal mendengarnya. Padahal mudah saja jika dia ingin ikut denganku. Hahha aku berharap terlalu tinghi terhadapnya. Namun mendengar ekspresinya saja sudah cukup melegakan perasaanku. Seolah merasa bahwa aku diinginkan untuk tetap tinggal. Dan itu rasa yang luar biasa yang belum pernah aku rasakan.     

Namun lebih dari rasa itu. Sebenarnya sistem pertahanan perasaanku lebih tebal dan ketat untuk beberapa tahun ini. Tentu saja sejak kejadian di tinggal nikah itu. Itulah mengapa aku dan Mas David tal pernah ada kemajuan. Tapi meski demikian aku tetap menikmati waktu yang ku habiskan dengannya.     

Aku pun mengajak Lusi duduk di belakang. Di teras sebalah dapur. Di sinilah bertahun tahun aku menyembunyikan lelahku dari semua orang. Akan memalukan jika aku terlihat kelelahan di depan orang lain. Meski pekerjaan sebagai asisten rumah tangva itu benar-benar melelahkan.     

Hari ini aku sudah selesai masak. Masih ada segudang tugas untukku. Tapi karena sedang mencuci di mesin cuci jadi kuluangkan waktu untuk Lusi walau sebentar saj sampai cucian habis.     

Lusi hanya mengikutiku. Kulihat juga sepertinya tugasnya melayani Mas Aden sudah selesai. Mas Aden sekarang sudah mulai berangkat kerja. Aku tidak berusaha mengusiknya akhir-akhir ini. Aku ingjn benar-benar menjauhinya. Dengan begitu aku akan mudah lepas dari keluarga ini. Pikirku. Aku benar-benar ingin serius keluar dari rumah ini. Yang sudah semakin lama terasa semakin sumpek.     

Aku melongok ke dalam. Ibu dan bapak sudah berangkat kerja. Mas Aden mungkin sebentar lagi muncul. Tapi ia takkan menghiraukan aku mulai sekarang. Meski sebenarnya aku tidak baik-baik saja dengan itu. Jika harus di pisahkan dengan ibu dan bapak aku lebih berharap jangan di pisahkan dengan Mas Aden. Karena aku telah menganggapnya sebagai adikku. Aku selalu menatap malang dia yang tak begitu di urusi ibu dan bapaknya. Begitu lah orang kaya. Membayar mahal untuk mengasuh anaknya sehingga mereka kehilangan kasih dan sayangnya.     

"Mau ngomong ala Lus." Kusuruh dia duduk di kursi yang ada di depanku.     

Ia lalu menatapku dengan serius. Kali ini aku menyadari.Lusi benar-benar mempunyai sesuatu yang serius untuk di ceritakan kepadaku.     

"Mba.. aku ndak bohong. Om itu sudah menikah." Ucapnya kepadaku. "Aku hanya kasian denganmu jika kamu terlanjur terlalu jauh dengannya. Mba menyukai om ganteng kan?" Tanyanya.     

Tentu saja aku tidak bisa menutupi fakta itu. Jelas dari pertama kali pertemuan kami waktu di pasar. Aku sudah di buat berdebar-debar oleh Mas David. Semakin hari semakin mengenalnya aku semakin jatuh cinta dengan perilakunya terhadapku. Apa itu mudah di tebak?     

Aku menghindari pertanyaan Lusi.     

"Mba... kemarin wanita bernama Kirana itu datang ke sini. Awalnya mencari Pak setyo. Ku kira ada urusan apa. Aku tidak mempersilahkan Ia duduk saat itu. Ya karena aku tahu bapak kan nggak di rumah. Ku suruh dia kembali. Tapi wanita itu malah duduk di kursi teras. Lalu dengan berkaca-kaca dia menyodorkan sebuah foto kepadaku." Ceritanya panjang namun tak sampai kepada intinya. Aku menghela napas. Kesabaranku hendak habis mendengar gaya ceritanya yang tidak langsung ke intinya itu.     

Ia lalu melanjutkan ceritanya.     

"Di dalam foto itu ada seorang wanita memakai kemeja dan celana jins cutbray seperti yang biasah mba kenakan. Ku pikir iur Mba awalnya. Tapi setelah ku lihat-lihat ternyata itu orang lain. Dan wanita di dalam foto itu menggandeng om ganteng."     

Dahiku berkerut mendengar kata demi kata yang di paparkan Lusi. Meski sudah sejelas itu aku sampai sini belum paham di mana poinnya."Mba... Mas David itu mendekati Mba bukan karena Ia mencintai Mba. Tapi karena Ia teringat akan istri pertamanya saat bersama dengan Mba." Ucapnya. Sontak membuat api membakar hingga ke ubun-ubunku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.