85
85
"Den... kamu kok pulang cepat?" Tanya Lusi kepada Mas Aden. Lusi lalu menatapku dan memberikan isyarat agar aku bisa keluar. Aku pun bergegas menggunakan kesempatan yang Lusi berikan untuk segera keluar dari kamar itu.
Kututup pintu kamar Mas Aden lalu aku berdiam sejenak untuk mengatur detak jantungku yang tak karuan. Rasa cemas yang semula menyelimutiku perlahan mulai surut. Semua berkat Lusi yang menyelamatkanku dari Mas Aden.
Aku mulai menyadari satu hal. Mas Aden begitu terobsesi denganku sampai-sampai ia mampu menggunakan hal-hal kotor untuk melukaiku. Selandainya Lusi tidak datang menyelamatkan aku. Entah apa yang akan aku alami berikutnya.
Aku bergegas menuju kamarku. Luruh air mataku menyaksikan anak yang dulu waktu pertama kali bertemu begitu menggemaskan. Ia begitu penurut dan kalem. Namun sekarang telah menjadi orang lain yang sama sekali tak kukenali bahkan telah berubah menjadi sosok yang begitu mengerikan di mataku.
Tanganku masih terasa bergetar meski kini aku telah berada di zona aman. Kamarku. Aku berharap Lusi segera mendatangiku.
Tepat sekali. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Lusi muncul dari sebaliknya. Ia bergegas mendekat ke arahku. Ia lalu mengusap-usap punggung tanganku. Kemudian beralih memelukku dan mengusap punggungku. Ia berusaha menenangkanku. Menghilangkan rasa takutku.
Aku menangis sejadinya saat itu juga. Kutumpahkan di bahu Lusi segala rasa kecewaku yang bergumul sejak pagi tadi. Aku menangis hingga terisak. Namun Lusi tak henti-hentinya menenangkanku dengan kalimat-kalimatnya.
Aku melepaskan pelukannya. Aku tetap menundukkan kepala. Ia menatapku. Layaknya seorang profesional dia menasihatiku ini dan itu. Namun aku masih terisak. Tak bisa kuhentikan isakan itu. Seolah yang harus di keluarkan sebanyak gunung yang besar.
"Kalau begitu menangislah sekarang. Aku tak akan menghentikanmu Mba. Kamu memang harus ngeluarin semua duri-duri di hatimu." Ia memberiku sebuah handuk agar suara tangisku tak sampai mengganggu orang di luar.
Pecahlah tangisku saat itu juga. Lusi dengan sabar menghapus air mataku. Aku lalu mengumpulkan tenagaku kembali masih ada segudang cerita yang harus kuperdengarkan kepadanya. Lusi meyakinkanku dengan sorot matanya. Aku pun mulai menceritakan kejadian yang ku alami hari ini.
"Kamu tahu kalau hari ini wanita bernama Kirana itu datang kepadaku Lus?" tanyaku kepadanya. Sebenarnya pertanyaan itu hannyalah sebuah ungkapan agar dia tahu.
Dia tetap di posisi siap mendengarkan seluruh ceritaku.
"Dia mengatakan banyak hal kepadaku. Dia mengatakan tentang Kristina. Dan juga fakta mengerikan yang sebenarnya tidak ingin ku dengar. Karena begitu menyakitkan." Ucapku sambil menetes air mataku teringat kalimat yang di ucapkan Kirana.
"sssttt...pelan-pelan saja ceritanya. Jangan di paksakan ya..." Ucap Lusi sambil mengusap lenganku.
Aku mengangguk.
"Dahulu waktu pertama kali aku bertemu Mas David, dia mengatakan kalau dia mengenalku melalui acara syukuran kepulangan Mas Aden. Tapi kemudian tadi pagi Kirana mengatakan kalau Mas David tak menghadiri acara tersebut.
Aku sempat tidak percaya namun setelah kulihat daftar hadir tamu undangan. Ternyata memang benar Mas David tidak menghadirinya. Aku sudah merasa tertipu di situ. Namun belum sampai di situ saja hal-hal yang membuatku kecewa.
Kirana mengatakan kalau Bapak datang ke rumahnya sehari setelah acara itu. Dengan membawa Tas koper berisi uang. Ia bilang Bapak memohon-mohon kepada Mas David untuk menyelamatkan anaknya." Air mataku tak bisa terbendung lagi. Terus mengalir tanpa ada jeda.
"Ia mengatakan kalau aku lah penghalang masa depan Mas Aden. Sehingga Ia meminta Mas David untuk mendekatiku agar Mas Aden menyerah atas aku." Ucapku.
Suasana hening sejenak. Hanya tersisa suara dari sesenggukan tangisku. Lusi lalu menghela nafas.
"Lalu apa rencanamu berikutnya Mba...?" Tanyanya kepadaku. Aku menggeleng. Karena saat inj kepalaku benar-benar kosong. "Aku tidak tahu Lus." Jawabku.
"Apa kamu mau mendengar saran dariku Mba?" dia menatapku begitu juga denganku.
Aku mengangguk.
"Aku tahu hatimu sakit atas penilaian Bapak terhadapmu. Karena kamu sudah menaruh percaya pada keluarga ini bertahun-tahun. Sehingga sangat menyakitkan ketika mendengar respon kejam bapak terhadapmu yang dicintai anaknya. Itu sepenuhnya bukan salahmu. Jadi jangan merendahkan diri. Kamu harus tegap di hadapan Bapak. Ambillah keputusan secepat yang kamu bisa." Aku menatap Lusi dengan saksama. Yang dia katakan masuk akal di kepalaku.
"Aku tahu hatimu sudah di miliki mas ganteng mba. Begitu pun mas ganteng. Aku bisa melihat dari sorot mata kalian berdua. Namun cinta kalian yang terlihat sedang mekar itu, akan menyakiti seorang wanita yang telah memiliki seorang anak. Kau, maupun mas ganteng. Saat ini mungkin sedang bahagia-bahagianya. Namun saat cinta kalian menemui titik bosannya. Kalian akan penuh penyesalan atas wanita yang kalian ingkari.
Cintamu berlabuh di waktu yang tidak tepat mba. Kau mungkin kecewa berat terhadap Mas ganteng yang memperlakukanmu dengan baik hanya karena perintah jahat dari Bapak. Namun aku ingin memberitahumu satu hal. Mas Ganteng juga mencintaimu saat ini. Kau punya banyak pilihan untuk menyenangkan hatimu. Namun kau juga punya banyak pilihan untuk tetap bijaksana.
Sakit hatimu mungkin akan terasa sebentar. Tapi lama-lama akan hilang. Namun sebuah penyesalan akan melekat di hatimu selamanya. Jadi bijaksanalah saat mengambil keputusan." Ucap Lusi lalu memelukku kembali.
Aku telah mendengar saran dari Lusi. Dan aku memikirkan untuk membuat keputusan yang terbaik untuk semua pihak.
Keesokan harinya. Tepat di hari minggu. Hari liburku. Aku sengaja tidak pergi kemana-mana. Aku menunggu kedatangan Mas David. Yang kutunggu akhirnya datang juga. Bapak yang sedang mencuci mobil di plataran depan pun menyambut Mas David dengan semringah.
Begitu juga ibu yang menghampiriku. Ia menggodaku. Aku pura-pura mengikuti alur mereka.
"Itu mba... pujaannya...." ucap ibu. Aku tersenyum. Mereka mengira aku tidak tahu agenda yang mereka rencanakan. Dan mereka kira aku tidak tahu kalau mas david itu sudah beristri. Dan juga memiliki seorang anak.
Aku membenahi tali sepatuku. Mas David menghampiriku yang sedang duduk di teras. Ia lalu duduk di kursi sebelah. Aku yang sedang menghadap bawah karena tali sepatuku hanya meliriknya.
"Haii tuan putri." Aku sengaja tak menanggapinya. Aku hanya diam dan terus membenahi tali sepatuku sampai selesai. Dan akhirnya pun selesai juga.
"Kita mau ke mana?" tanyaku malas. Dia tidak menjawab. Namun tersenyum seperti biasa. Dia pasti menyadari sesuatu. Ekspresi wajahku yang mudah sekali terbaca.
Aku tak bisa membendung kegelisahanku di depan Mas David. Cepat atau lambat dia akan menanyakannya juga. Kali ini dia membawaku dengan sebuah mobil. Aku tidak begitu tahu otomotif. Jadi tak bisa ku deskripsikan detailnya. Sehingga yang kulihat hanyalah mobil berwarna merah cerah dan berbody pendek.
Dia mempersilahkan aku masuk setelah membukakan pintu. Kami melambaikan tangan kepada Bapak kemudian Mas David pun memasuki mobil. Duduk pada kursi kemudi. Tak sepatah kata pun mampu kuucapkan. Aku hanya menjawab pertanyaan dari Mas David sekenanya. Dan akhirnya mas david pun menyadari bahwa ada sesuatu yang mengganggu perasaanku. Sehingga kami pun saling diam. Suasana canggung tercipta di sepanjang perjalanan.
Kali ini dia mengajakku ke area persawahan. Ku kira hanya di Jawa yang banyak sawah. Ternyata di sini juga banyak. Untung aku ndak hobi memakai sandal tinggi. Jadi sangat mudah berjalan di area galeng dengan sepatu ketsku.
Di depan sana terdapat pondokan yang berdiri di tengah sawah. Ternyata pondokan besar itu di dalamnya terdapat bilik-bilik yang masing-masing itu nantinya menjadi tempat duduk pengunjung atau pembeli.
Saat datang aku pun di sambut oleh seorang wanita cantik berbaju kebaya klasik. Seperti orang jawa tulen. Lengkap dengan sanggul dan bunga kantil di selipan rambutnya. Aroma kantil pun menguar di seluruh indra penciumanku.
"Silakan... apa sudah reservasi?" aku menoleh ke arah Mas David. Karena aku tidak mengerti yang di katakan wanita itu.
Mas David maju selangkah. Ia lalu berkata kepada wanita itu.
"Iya sudah mba." Ucap Mas David.
"Atas nama?" Tanya mba itu lagi.
"David Mallombassi." Jawab Mas David.
Mba itu pun terlihat mencari nama mas David dan akhirnya ketemu juga.
"Oh.. baik.. atas nama David silakan ikuti saya."
Aku dan Mas David pun mengikuti mba pelayan. Ia lalu berhenti di depan sebuah bilik. Aku mengerutkan dahi. Kenapa aku di bawa ke bilik? Ku pikir ada ruangan terbuka selain bilik seperri di depanku ini.
"Maaf. Kenapa di bilik ya?"Tanyaku.
Mba itu pun tersenyum. Sementara Mas David terlihat merasa bersalah.
"Maaf Mba... kami hanya menyediakan tempat berupa bilik. Di tempat kami memang khusus untum privat atau pribadi sehingga kenyamanan pelanggan tidak terganggu oleh hal-hal tak terduga di luar. " ucap mba itu dengan sopan. Aku hanya ber oh saja. Lalu mengikuti sarannya.
Sehingga aku masuk ke bilik itu di susul Mas David di belakangku. Meski ada di dalam bilik ternyata tidak ada tempat duduk melainkan hanya meja tinggi kurang lebih setengah meter saja yang kami lihat. Sehingga aku langsung duduk dengan bebas di sisi meja. Lalu ku letakkan tasku sembarangan.
Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang yang sejak tadi kutunggu akhirnya memunculkan diri. Mas Aden tiba-tiba mendorongku ke samping. Aku terkejut dengan gelagat Mas Aden yang tiba-tiba berubah saat Lusi datang. Aku yang terkejut langsung menyadarkan diri. Dan kulihat Lusi mendekat ke arah kami dengan wajah yang semringah seperti biasa.
"Den... kamu kok pulang cepat?" Tanya Lusi kepada Mas Aden. Lusi lalu menatapku dan memberikan isyarat agar aku bisa keluar. Aku pun bergegas menggunakan kesempatan yang Lusi berikan untuk segera keluar dari kamar itu.
Kututup pintu kamar Mas Aden lalu aku berdiam sejenak untuk mengatur detak jantungku yang tak karuan. Rasa cemas yang semula menyelimutiku perlahan mulai surut. Semua berkat Lusi yang menyelamatkanku dari Mas Aden.
Aku mulai menyadari satu hal. Mas Aden begitu terobsesi denganku sampai-sampai ia mampu menggunakan hal-hal kotor untuk melukaiku. Selandainya Lusi tidak datang menyelamatkan aku. Entah apa yang akan aku alami berikutnya.
Aku bergegas menuju kamarku. Luruh air mataku menyaksikan anak yang dulu waktu pertama kali bertemu begitu menggemaskan. Ia begitu penurut dan kalem. Namun sekarang telah menjadi orang lain yang sama sekali tak kukenali bahkan telah berubah menjadi sosok yang begitu mengerikan di mataku.
Tanganku masih terasa bergetar meski kini aku telah berada di zona aman. Kamarku. Aku berharap Lusi segera mendatangiku.
Tepat sekali. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Lusi muncul dari sebaliknya. Ia bergegas mendekat ke arahku. Ia lalu mengusap-usap punggung tanganku. Kemudian beralih memelukku dan mengusap punggungku. Ia berusaha menenangkanku. Menghilangkan rasa takutku.
Aku menangis sejadinya saat itu juga. Kutumpahkan di bahu Lusi segala rasa kecewaku yang bergumul sejak pagi tadi. Aku menangis hingga terisak. Namun Lusi tak henti-hentinya menenangkanku dengan kalimat-kalimatnya.
Aku melepaskan pelukannya. Aku tetap menundukkan kepala. Ia menatapku. Layaknya seorang profesional dia menasihatiku ini dan itu. Namun aku masih terisak. Tak bisa kuhentikan isakan itu. Seolah yang harus di keluarkan sebanyak gunung yang besar.
"Kalau begitu menangislah sekarang. Aku tak akan menghentikanmu Mba. Kamu memang harus ngeluarin semua duri-duri di hatimu." Ia memberiku sebuah handuk agar suara tangisku tak sampai mengganggu orang di luar.
Pecahlah tangisku saat itu juga. Lusi dengan sabar menghapus air mataku. Aku lalu mengumpulkan tenagaku kembali masih ada segudang cerita yang harus kuperdengarkan kepadanya. Lusi meyakinkanku dengan sorot matanya. Aku pun mulai menceritakan kejadian yang ku alami hari ini.
"Kamu tahu kalau hari ini wanita bernama Kirana itu datang kepadaku Lus?" tanyaku kepadanya. Sebenarnya pertanyaan itu hannyalah sebuah ungkapan agar dia tahu.
Dia tetap di posisi siap mendengarkan seluruh ceritaku.
"Dia mengatakan banyak hal kepadaku. Dia mengatakan tentang Kristina. Dan juga fakta mengerikan yang sebenarnya tidak ingin ku dengar. Karena begitu menyakitkan." Ucapku sambil menetes air mataku teringat kalimat yang di ucapkan Kirana.
"sssttt...pelan-pelan saja ceritanya. Jangan di paksakan ya..." Ucap Lusi sambil mengusap lenganku.
Aku mengangguk.
"Dahulu waktu pertama kali aku bertemu Mas David, dia mengatakan kalau dia mengenalku melalui acara syukuran kepulangan Mas Aden. Tapi kemudian tadi pagi Kirana mengatakan kalau Mas David tak menghadiri acara tersebut.
Aku sempat tidak percaya namun setelah kulihat daftar hadir tamu undangan. Ternyata memang benar Mas David tidak menghadirinya. Aku sudah merasa tertipu di situ. Namun belum sampai di situ saja hal-hal yang membuatku kecewa.
Kirana mengatakan kalau Bapak datang ke rumahnya sehari setelah acara itu. Dengan membawa Tas koper berisi uang. Ia bilang Bapak memohon-mohon kepada Mas David untuk menyelamatkan anaknya." Air mataku tak bisa terbendung lagi. Terus mengalir tanpa ada jeda.
"Ia mengatakan kalau aku lah penghalang masa depan Mas Aden. Sehingga Ia meminta Mas David untuk mendekatiku agar Mas Aden menyerah atas aku." Ucapku.
Suasana hening sejenak. Hanya tersisa suara dari sesenggukan tangisku. Lusi lalu menghela nafas.
"Lalu apa rencanamu berikutnya Mba...?" Tanyanya kepadaku. Aku menggeleng. Karena saat inj kepalaku benar-benar kosong. "Aku tidak tahu Lus." Jawabku.
"Apa kamu mau mendengar saran dariku Mba?" dia menatapku begitu juga denganku.
Aku mengangguk.
"Aku tahu hatimu sakit atas penilaian Bapak terhadapmu. Karena kamu sudah menaruh percaya pada keluarga ini bertahun-tahun. Sehingga sangat menyakitkan ketika mendengar respon kejam bapak terhadapmu yang dicintai anaknya. Itu sepenuhnya bukan salahmu. Jadi jangan merendahkan diri. Kamu harus tegap di hadapan Bapak. Ambillah keputusan secepat yang kamu bisa." Aku menatap Lusi dengan saksama. Yang dia katakan masuk akal di kepalaku.
"Aku tahu hatimu sudah di miliki mas ganteng mba. Begitu pun mas ganteng. Aku bisa melihat dari sorot mata kalian berdua. Namun cinta kalian yang terlihat sedang mekar itu, akan menyakiti seorang wanita yang telah memiliki seorang anak. Kau, maupun mas ganteng. Saat ini mungkin sedang bahagia-bahagianya. Namun saat cinta kalian menemui titik bosannya. Kalian akan penuh penyesalan atas wanita yang kalian ingkari.
Cintamu berlabuh di waktu yang tidak tepat mba. Kau mungkin kecewa berat terhadap Mas ganteng yang memperlakukanmu dengan baik hanya karena perintah jahat dari Bapak. Namun aku ingin memberitahumu satu hal. Mas Ganteng juga mencintaimu saat ini. Kau punya banyak pilihan untuk menyenangkan hatimu. Namun kau juga punya banyak pilihan untuk tetap bijaksana.
Sakit hatimu mungkin akan terasa sebentar. Tapi lama-lama akan hilang. Namun sebuah penyesalan akan melekat di hatimu selamanya. Jadi bijaksanalah saat mengambil keputusan." Ucap Lusi lalu memelukku kembali.
Aku telah mendengar saran dari Lusi. Dan aku memikirkan untuk membuat keputusan yang terbaik untuk semua pihak.
Keesokan harinya. Tepat di hari minggu. Hari liburku. Aku sengaja tidak pergi kemana-mana. Aku menunggu kedatangan Mas David. Yang kutunggu akhirnya datang juga. Bapak yang sedang mencuci mobil di plataran depan pun menyambut Mas David dengan semringah.
Begitu juga ibu yang menghampiriku. Ia menggodaku. Aku pura-pura mengikuti alur mereka.
"Itu mba... pujaannya...." ucap ibu. Aku tersenyum. Mereka mengira aku tidak tahu agenda yang mereka rencanakan. Dan mereka kira aku tidak tahu kalau mas david itu sudah beristri. Dan juga memiliki seorang anak.
Aku membenahi tali sepatuku. Mas David menghampiriku yang sedang duduk di teras. Ia lalu duduk di kursi sebelah. Aku yang sedang menghadap bawah karena tali sepatuku hanya meliriknya.
"Haii tuan putri." Aku sengaja tak menanggapinya. Aku hanya diam dan terus membenahi tali sepatuku sampai selesai. Dan akhirnya pun selesai juga.
"Kita mau ke mana?" tanyaku malas. Dia tidak menjawab. Namun tersenyum seperti biasa. Dia pasti menyadari sesuatu. Ekspresi wajahku yang mudah sekali terbaca.
Aku tak bisa membendung kegelisahanku di depan Mas David. Cepat atau lambat dia akan menanyakannya juga. Kali ini dia membawaku dengan sebuah mobil. Aku tidak begitu tahu otomotif. Jadi tak bisa ku deskripsikan detailnya. Sehingga yang kulihat hanyalah mobil berwarna merah cerah dan berbody pendek.
Dia mempersilahkan aku masuk setelah membukakan pintu. Kami melambaikan tangan kepada Bapak kemudian Mas David pun memasuki mobil. Duduk pada kursi kemudi. Tak sepatah kata pun mampu kuucapkan. Aku hanya menjawab pertanyaan dari Mas David sekenanya. Dan akhirnya mas david pun menyadari bahwa ada sesuatu yang mengganggu perasaanku. Sehingga kami pun saling diam. Suasana canggung tercipta di sepanjang perjalanan.
Kali ini dia mengajakku ke area persawahan. Ku kira hanya di Jawa yang banyak sawah. Ternyata di sini juga banyak. Untung aku ndak hobi memakai sandal tinggi. Jadi sangat mudah berjalan di area galeng dengan sepatu ketsku.
Di depan sana terdapat pondokan yang berdiri di tengah sawah. Ternyata pondokan besar itu di dalamnya terdapat bilik-bilik yang masing-masing itu nantinya menjadi tempat duduk pengunjung atau pembeli.
Saat datang aku pun di sambut oleh seorang wanita cantik berbaju kebaya klasik. Seperti orang jawa tulen. Lengkap dengan sanggul dan bunga kantil di selipan rambutnya. Aroma kantil pun menguar di seluruh indra penciumanku.
"Silakan... apa sudah reservasi?" aku menoleh ke arah Mas David. Karena aku tidak mengerti yang di katakan wanita itu.
Mas David maju selangkah. Ia lalu berkata kepada wanita itu.
"Iya sudah mba." Ucap Mas David.
"Atas nama?" Tanya mba itu lagi.
"David Mallombassi." Jawab Mas David.
Mba itu pun terlihat mencari nama mas David dan akhirnya ketemu juga.
"Oh.. baik.. atas nama David silakan ikuti saya."
Aku dan Mas David pun mengikuti mba pelayan. Ia lalu berhenti di depan sebuah bilik. Aku mengerutkan dahi. Kenapa aku di bawa ke bilik? Ku pikir ada ruangan terbuka selain bilik seperri di depanku ini.
"Maaf. Kenapa di bilik ya?"Tanyaku.
Mba itu pun tersenyum. Sementara Mas David terlihat merasa bersalah.
"Maaf Mba... kami hanya menyediakan tempat berupa bilik. Di tempat kami memang khusus untum privat atau pribadi sehingga kenyamanan pelanggan tidak terganggu oleh hal-hal tak terduga di luar. " ucap mba itu dengan sopan. Aku hanya ber oh saja. Lalu mengikuti sarannya.
Sehingga aku masuk ke bilik itu di susul Mas David di belakangku. Meski ada di dalam bilik ternyata tidak ada tempat duduk melainkan hanya meja tinggi kurang lebih setengah meter saja yang kami lihat. Sehingga aku langsung duduk dengan bebas di sisi meja. Lalu ku letakkan tasku sembarangan.
Mas David maju selangkah. Ia lalu berkata kepada wanita itu.
"Iya sudah mba." Ucap Mas David.
"Atas nama?" Tanya mba itu lagi.
"David Mallombassi." Jawab Mas David.
Mba itu pun terlihat mencari nama mas David dan akhirnya ketemu juga.
"Oh.. baik.. atas nama David silakan ikuti saya."
Aku dan Mas David pun mengikuti mba pelayan. Ia lalu berhenti di depan sebuah bilik. Aku mengerutkan dahi. Kenapa aku di bawa ke bilik? Ku pikir ada ruangan terbuka selain bilik seperri di depanku ini.
"Maaf. Kenapa di bilik ya?"Tanyaku.
Mba itu pun tersenyum. Sementara Mas David terlihat merasa bersalah.
"Maaf Mba... kami hanya menyediakan tempat berupa bilik. Di tempat kami memang khusus untum privat atau pribadi sehingga kenyamanan pelanggan tidak terganggu oleh hal-hal tak terduga di luar. " ucap mba itu dengan sopan. Aku hanya ber oh saja. Lalu mengikuti sarannya.
Sehingga aku masuk ke bilik itu di susul Mas David di belakangku. Meski ada di dalam bilik ternyata tidak ada tempat duduk melainkan hanya meja tinggi kurang lebih setengah meter saja yang kami lihat. Sehingga aku langsung duduk dengan bebas di sisi meja. Lalu ku letakkan tasku sembarangan.