89
89
Santo pun mendekatiku. Ia memegang ubi-ubi berwarna ungu itu. Dan ternyata sudah siap untuk di santap. Ia lalu mengambil satu ubi. Lalu Ia membagi dua ubi yang dia ambil. Dia memberikannya padaku sebagian. Dan menelan sebagian lainnya.
Aku segera menelan ubi yang kini sudah di tanganku. Namun aku melepehkannya kembali. Dia menertawakanku. Aku mendengus kesal. Memanglah luarnya terlihat hangat suam-suam suku. Namun bagian dalamnya masih sangat panas.
Aku mendengus melihat Santo tertawa. Dia hobi sekali menertawaiku. Itu sengatlah menyebalkan.
"Lucu?" Ucapku kesal.
Dia hanya diam lalu mengangguk dan menatapku dengan tatapan mengejek.
"Panas huh!" Dengusku.
"Sudah tahu panas. Main kunyah saja. Lapar apa doyan." Lagi-lagi dia membuatku kesal.
Dia lalu sibuk memakan ubi. Aku menatapnya dalam diam dan sedekat ini. Hari pertama bersamanya cukup banyak yang sudah aku lewati bersamanya. Dan ubi ini semakin menyadarkanku. Bahwa sebenarnya meski terlihat dari luar Santo begitu dingin. Namun Perilaku dalam hatinya begitu hangat. Dan ternyata Ia juga cukup bisa diajak bercanda.
"Kamu sudah berapa tahun di sini To?" tanyaku. Niatku berbasa -basi padanya malah mendapat jawaban yang menjengkelkan.
"Sepertinya kamu sudah tanya hal itu Ti?" Dia menjawab pertanyaanku dengan mulut penuh ubi.
Dahiku mengernyit. Apa iya? Batinku.
"Lupa." Jawabku singkat.
"Sudah satu tahun." Katanya.
"Oh.." jawabku.
"Tapi itu bohong." Dia nyengir. Sementara aku melotot ke arahnya geram.
"Dari pertama kali Mas Mu ke sini." Ucapnya.
"Jadi bareng?"
"Ya tidak. Selang beberapa minggu Masmu ke sini. Kami sampai di sini." Jawabnya.
"Kami?" tanyaku.
"Iya. Aku ke sini bersama kawan-kawanku dan lainnya masih banyak lagi." Ucapnya. "Kamu sendiri?" Tanyanya lagi padaku.
"Aku kesini sebenarnya mau jemput Simbok." Ucapku. Dia terlihat mengangguk.
"Emangnya kenapa harus di jemput segala?" tanyanya.
"Ya kan aku anak perempuannya satu-satunya. Masa harus ikut mantu." Ucapku. Dia terlihat menganggukkan kepalanya lagi.
Kami pun sibuk memakan ubi yang Santo rebus tadi.
Sepertinya hari mulai sore. Senja yang sinarnya menyelusup masuk ke sela-sela papan pondok menjadi petandanya. Anehnya aku merasakan hawa yang dingin sekali. Sampai terasa hampir menggigil. Padahal siang tadi udara begitu panas. Kulihat ke sisi kakiku yang tertutup kain. Sepertinya sudah mengering. Namun kini justru semakin terasa pegalnya. Aku mendengus merutuki si Santo yang memberikan obat namun tak memberikan efek apa pun.
Mungkin memang obat yang di racik Santo tidak manjur. Atau memang luka dalam kakiku ini memang parah antahlah.
Kudengar suara kumerusuk dari luar. Santokah itu? Batinku.
Aku mendekat ke sisi dinding. Ku cari sumber suara. Mengintip keluar seperti seorang mata-mata yang mengintai musuhnya. Ternyata memang benar Santo. Kukira binatang buas. Lega. Ia sedang mengumpulkan kayu dan daun-daun kering. Pasti akan segera membakarnya. Kata orang-orang, api sedikit berguna untuk mengurangi nyamuk. Meski tidak begitu berguna menurutku.
Kulihat Santo tanpa kaosnya lagi. Ia mungkin lebih senang bertelanjang dada daripada memakai kaos. Dan lihat betapa kekarnya perawakan dia. Kalau dia berdiri di pengkolan 99 pasti sudah di caplok sama kupu-kupu malam. Tempat di mana Mas Sardi dijebak waktu itu.
Untung aku bukanlah gadis rakus. Meski umurku menginjak kepala tiga. Aku punya cara pandang yang buruk terhadap laki-laki. Kecuali ayahku. Berkelana ke sana ke mari membuat aku menemukan betapa kucing garong itu sangat banyak di sekeliling kita. Dan mereka itu punya jurus tipu daya yang bisa menyerang wanita mana pun.
Suara api menyulut daun-daun kering terdengar begitu ranyah. Kurasakan udara memanas di sekitar. Cahaya api pun nampak menari-nari pada bayangannya. Santo nampak setia menjaga api agar tidak menjalar ke mana-mana. Mengingat sekitar adalah tanah gambut. Bisa berbahaya jika terbakar. Bisa terjadi kebakaran hutan. Maka dari itu Santo membakar di area tanah kapur. Di area pondok lebih tepatnya.
Tapi sepertinya kondisiku tidak baik-baik saja. Keringat dingin mengucur di sisi pelipisku. Meski begitu aku hanya menahannya. Sesekali aku juga merasakan menggigil. Aku memutuskan berbaring dan meringkuk. Posisi inilah yang sedikit menghangatkan badanku. Meski mata terasa panas, aku berusaha untuk memejam.
Terdengar suara sentakan demi sentakan dari arah luar. Mungkin itu derap kaki Santo yang menghampiriku. Langkahnya semakin cepat. Namun aku enggan untuk membuka mata.
"Ckk."Dia berdesik. Lalu menempelkan punggung tangannya ke dahiku. Ia juga memeriksa kakiku. Membuka kain yang membungkusnya. Ia kemudian meninggalkanku. Lalu kembali lagi dan menempelkan kain yang terasa hangat di kakiku. Lagi? Batinku. Jelas-jelas tak memberi efek apa pun. Malah sekarang kakiku terasa kaku. Tapi aku hanya menahan unek-unek itu di hatiku. Aku takut hatinya tersakiti jika ku ucapkan. Seharusnya aku berterima kasih sudah di rawat sejauh ini malah mengomel. Kan ndak etis.
"Nti.. bangun." Ucap Santo berusaha membangunkanku. Mungkin Ia khawatir aku pingsan. Aku pun membuka mata.
"Aku sepertinya meriang To. Kayak masuk angin gitu. Kau tahu? Aku baru sampai tadi malam. Mungkin kecapean." Ucapku padanya.
"Pantas saja." Ucap Santo.
"Masmu itu benar-benar!" Tambahnya lagi. Aku hanya tersenyum lemah menimpali perkataannya.
Dia terus mengecek suhu tubuhku. Ya. Memang aku merasakan mulai demam. Sesekali Ia menyuruhku minum air hangat dan memakan ubi. Supaya terhindar dari dehidrasi. Meski pahit aku berusaha menelannya. Aku tidak selemah ini kan? Batinku.
"Jangan tidur. Magrib." Aku mengangguk mendengar perintahnya. Kulihat dia bersiap untuk sembahyang.
Sementara hari mulai gelap. Suara binatang-binatang malam pun mulai saling bersautan. Santo menutup pintu. Ia masih terus mengecek kondisiku. Ia berniat mengompres dahiku juga. Sekarang sudah lengkap selain kaki dahiku juga ditimpanya dengan kain basah. Ia memakaikanku jaket dan juga selimut entah milik siapa. Aku hanya diam menerima perlakuannya. Tubuhku terasa semakin lemah dan kepalaku begitu berat.
Hari semakin malam. Aku tahu keadaanku tidak semakin baik. Di barengi dengan udara malam yang semakin dingin dan angin yang menderu menelusup melalui sela-sela dinding. Membuatku menggigil berkali-kali lipat.
Aku tahu Santo berusaha menahan kebingungannya. Ia pasti bingung harus berbuat apa. Sementara hari sudah malam. Santo mondar-mandir untuk mengganti air panas kompresku. Ia terlihat menahan kepanikannya.
"To. duduk saja. Kamu bikin aku semakin pusing." Ucapku lemah.
"Aku bingung nti...aku takut kamu kenapa-napa." Ucapnya.
Dia memijat telapak kakiku agar merasa hangat.
"Ambil sedikit minyak tanah To." Ucapku.
"Apa?" Tanyanya.
"Minyak tanah. Itu dalam botol lampu minyak."
"Oh ini..." katanya seraya mengangkat botol itu.
Dia menuangkan sedikit ke sebuah piring.
"Kamu bisa ngerok kan?" Tanyaku.
"Iya tentu saja" Jawabnya.
Aku pun kemudian melepas pakaianku. Kulihat Santo memalingkan wajahnya meski tak ku suruh.
"Tunggu dulu. Kamu mau apa Nti?" Tanya Santo.
"Katanya kamu bisa ngerokin." Ucapku.
"Ya tapi.." Ia mungkin merasa canggung. Namun dalam kondisi ini. Hanya itu obat ampuh yang kupikirkan.
"Hanya itu obatnya sekarang. Udah anggap saja aku ini laki-laki." Ucapku. Kemudian berbaring telungkup dan hanya menutupi bagian depan badanku dengan baju yang ku lepas. Kubiarkan Santo berselancar di punggungku dengan sebuah koin dan minyak tanah.
Hari sudah pagi. Sayup-sayup kicau burung terdengar dari sudut penjuru. Aku mulai membuka mataku. Terasa gerah sekali pagi ini. Aku pun bangun dari tidurku. Lalu kulihat kondisiku. Terlintas semalam yang terjadi. Bodoh!. Ucapku dalam hati. Seharusnya aku tidak tidur.
Kulucuti jaket-jaket yang menempel di tubuhku. Kulihat kakiku membaik. Aku bahkan sudah bisa berdiri. Kuikat rambutku asal. Sepertinya aku benar-benar sudah sembuh. Aroma minyak tanah menguar di seluruh tubuhku. Tapi kuabaikan karena ada yang lebih penting dari itu.
Aku keluar pondok. Kucari Santo di sekeliling. Tapi tidak kutemukan batang hidungnya di mana pun. Jangan-jangan dia berusaha kabur setelah melakukan hal buruk kepadaku. Aku mulai berpikiran negatif tentangnya.
"To... Santoo! Di mana kamu? To...!"Aku berteriak namun masih tak kudengar jawaban. Pikiranku mulai panas.
"To! Di mana kamu!" Aku berteriak sambil terus mencarinya. "Jangan ... !" Namun ucapanku terpotong oleh Sanyo yang muncul dari belakang pohon sawit.
"Jangan Apa!" Dia tampak ngos-ngosan. Lalu Ia membungkukkan badannya karena kelelahan. Dia tampak kesal. Namun sedikit kesulitan bernapas. Mungkin baru berlari dengan kencang. Aku sedikit tertawa dalam batinku.
"Apa! Sudah sembuh?" dia menyadari bahwa aku memperhatikannya yang kini di hadapannya.
Aku mengangkat bahu. Lalu berbalik dan berjalan ke arah pondok. Dengan kaki yang sedikit pincang.
Terdengar langkah kakinya mengikutiku.
"Kukira kamu pulang dan meninggalkan aku." Ucapku sambil berjalan.
"Kamu berpikir aku sebajingan itu?" Tanyanya retoris. Aku terdiam. Dia berlari dan kami berjalan bersisian.
Aku diam dengan pertanyaannya.
"Apa jangan-jangan kamu berpikir lebih dari itu?" Tanyanya lagi. Aku mengatupkan bibirku karena jawaban dari pertanyaannya adalah iya.
"Ya Tuhan Santi. Aku mengobatimu agar kamu sembuh bukan yang lain-lain. Dasar. Pikiran kotor!" Kalimatnya membuat aku mengerucutkan bibir. Hmm memalukan. Batinku.
Tiba-tiba aku terhuyung. Dan hampir terjatuh lagi. Santo dengan cepat menangkap lenganku. Ya Tuhan. Jantungku mencelos.
"Sudah sembuh mau keseleo lagi?" Santo maju selangkah dan kini ada di hadapanku. Wajahku memerah. Aneh. Aku ini kenapa?. Bukankah demamku sudah turun?.
Santo tiba-tiba memegang dahiku dengan telapak tangannya.
"Kalau mau mandi langsung ke sungai. Ini hanya untuk darurat dan minum saja." Ucap Santo
Aku masih menunggu momen yang tepat untuk mengucapkan isi pikiranku. Ku rasa dia menyadari tatapan menyelidikku. Tatapannya tiba-tiba turun ke arah payudaraku. Aku segera menutupi dengan kedua tanganku. Ia berpaling.
"Itu? Besar juga enggak. Apanya yang mau di banggakan?." Ucap Santo mengejek.
Dahiku mengkerut tidak terima bersama dengan mulutku yang mengerucut sebal.
"Kecil-kecil begini juga aku kan wanita."
"Wanita dari hongkong. Semalam bilangnya laki-laki" jawabnya semakin membuatku kesal.
"Tadi malam kamu ngapain aja." Tanyaku. "Setelah ngerokin aku." Lanjutku
"Memang pikirmu aku bisa apa sama tubuhmu yang kayak triplek itu." Jawabnya semakin membuat wajahku merah.
"Gara-gara kamu aku tidak tidur semalaman karna rintihanmu kayak bayi baru lahir." Ucapnya.
Jantungku berdesir. Untunglah Edi bukan hidung belang yang memanfaatkan kondisiku malam itu.
"Jadi tidak terjadi apa-apa kan?" tanyaku memastikan.
Santo mengerutkan dahinya. Seperti sedang betanya" Maksudmu?"
"Maunya ada kejadian apa?" Tanyanya retoris.
Aku menggelengkan kepala dengan ceria.
"Kalau begitu aku akan beres-beres pondok." Aku berlalu meninggalkan Santo dengan ceria. Akhirnya kekhawatiran bodohku tidak terbukti. Lebih baik dianggap tidak menarik daripada menjadi korban nafsu laki-laki tidak bertanggung jawab.
"KATANYA MAU MANDIII!" Teriak Santo namun hanya ku abaikan.
Saanto memapahku ke pondok. Meski ia sedikit meringis saat harus menaiki tangga. Namun akhirnya aku sampai juga di pondok itu. Keringat menetes di pelipisnya. Ingin ku seka. Tapi ku urungkan. Aku jelas tahu itu pasti karena berat badanku. Tapi harga diriku sulit menerima fakta itu. Tetap saja dia itu tipe orang menyebalkan bagiku. Di depan wanita, seharusnya berpura-pura saja Ia menganggap tubuhku seringan kapas. Itu adalah etika bukan?
"Sebaiknya biarkan aku berjalan sendiri. Ndak usah sok kuat begitu. Entar tulang punggungmu rontok baru tahu rasa." Ucapku. Dia menoleh kepadaku dengan tatapan dingin.
"Memang sudah rontok." Ucapnya. Ya ampun laki-laki ini benar-benar berdarah dingin. Bagaimana mungkin dia memperlakukan wanita dengan sikap seperti itu. Pantas saja masih bujang. Eh.. apa dia masih bujang ya? Atau sudah punya istri?
"Kalau tidak mau di papah memangnya siapa yang mau mapah kamu?" Tanyanya. Aku hanya manyun menanggapinya. "Nunggu pangeran datang? Ya ndak bakalan ada? Yang ada pangeran king kong entar." Ucapnya semakin mengejek.
"Ya biarin aku jalan sendiri. Kelihatan gitu enggak ikhlas." Aku mendengus.
"Kalau kakimu di bawa jalan, entar kakimu makin bengkak. Mau? Aku yang ndak mau kamu semakin menyusahkan aku" Aku melengos mendengar kalimat terakhirnya itu. Benar-benar tidak punya hati.
Lantai yang tersusun dari papan kayu itu kini menopangku. Tidak lagi tangan menyebalkan dsri orang yang bermulut pedas itu. Si Santo. Fyuhh... laki-laki menyebalkan yang baru pertama kali ku temukan di dunia ini. Tapi tetap saja untungnya dia mau repot untukku. Aku harus berterima kasih setelah ini selesai.
Dia kemudian keluar untuk mengambil ranselnya. Kemudian Ia kembali dan kini duduk di hadapanku. Ia melihat-lihat bagian kakiku. Ternyata semakin bengkak. Padahal aku sejak tadi hanya diam menuruti perintahnya.
Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari ranselnya itu. Sebuah bungkusan yang terbuat dari daun pisang. Ia lalu membukanya. Ternyata berisi tumbukan rempah. Dengan pelan Ia bertingkah seperti seorang tukang pijat sungguhan. Tanpa rasa sakit ia memijat bagian kakiku yang terkilir. Setelahnya Ia baru membubuhinya dengan rempah yang Ia bawa itu.
Terasa dingin saat rempah itu di tempelkan. Belum terasa efeknya namun aku tidak membantah sama sekali apa pun yang dilakukannya kali ini. Dengan telaten Ia mengusap setiap bagian kakiku yang memar.
Kemudian Ia berdiri. Sepertinya sudah selesai proses pengobatannya. Ia lalu mengambil ransel yang Ia bawa tadi. Lalu berjalan dan menimbulkan bunyi pada setiap langkah kakinya yang beradu pada papan kayu itu. Ia menuju sisi dinding sebelah kiri. Bermaksud mencantelkan tas ranselnya itu.
Aroma kencur menguar. Ternyata ramuan yang di buat oleh Santo adalah kencur. Aku mengernyitkan dahi. Baru tahu kalau kencur bisa jadi obat. Yang aku tahu kencur itu bahan untuk membuat bumbu saat memasak.
Kulihat kakiku ternyata cukup bengkak. Selain itu kini semakin mati rasa. Apa separah itu ya? Kukira hanya terkilir kecil. Tadi pas terkilirnya tidak berasa apa pun. Baru terasa saat sudah lama. Kakiku benar-benar tidak bisa digunakan untuk berjalan. Dan semakin lama pun terlihat semakin bengkak.
"Sudah bengkak. Dan akan terus bengkak." Ucapnya. Mungkin dia melihat aku yang memandangi kakiku.
"Terus fungsinya rempah yang kamu olesin apa?" Tanyaku polos.
"Itu hanya memperlambat pembengkakan."
"Terus?" Tanyaku lagi.
"Ya terus kamu ndak bisa jalan." Jawabnya.
Aku menghela nafas. Lalu bagaimana nanti aku pulang? Batinku. Aku yakin ini tidak seserius itu.
"Kalau dipaksakan akan makin parah. Aku bukan tukang urut. Ndak tahu bagian mana uratmu yang terkilir." Ucapnya dengan serius.
"Terus maksudmu aku harus nunggu tukang urut baru bisa pulang gitu?" Tanyaku dengan kesal padanya. Meski ini bukan kesalahannya.
"Hmmm... ya enggak tahu" Jawabnya dengan santai mengangkat bahunya.
Hmhh ya Tuhan... aku benar-benar menahan nafas menghadapi ciptaan Tuhan yang satu ini. Kenapa setiap ucapannya tadi seolah menunjukkan dia yang begitu tidak bertanggung jawab?
"Untuk sementara kamu di sini dulu. Kencur ini bisa meredakan memar setidaknya walau sedikit. Kalau bisa reda berarti bisa sembuh dengan cepat. Kalau ndak ya aku ndak tahu." Ucapnya lagi-lagi seperti membawakan kabar buruk.
Tiba-tiba dia beranjak. Dan langkah kakinya pun membawanya ke arah luar.
"Mau ke mana?" tanyaku tiba-tiba. Ia lalu menoleh.
"Ya Kerja." Jawabnya santai. Benar juga dia masih harus kerja. Sebenarnya apa yang ku khawatirkan?.
"Aku akan berpesan sama pemilik ladang sebelah. Rumahnya kan sebelah rumahmu. Jadi nanti biar di sampaikan kepada keluargamu tentang kondisimu. Biar enggak khawatir." Aku pun hanya diam tanpa sepatah kata pun
Dia pun keluar dari pondok ini. Dan kemudian menghilang dari pandanganku.
Alhasil aku duduk sendirian di dalam pondok ini sekarang. Seandainya aku kebelet kencing pun harus ku tahan hingga si Santo kembali ke sini. Aku tidak punya pilihan lain selain bercengkerama dengan diri sendiri seperti orang gila. Terkadang bernyanyi, terkadang mengetuk-ketuk lantai dan sesekali menghidup matikan radio.
Kuperhatikan sekeliling ruangan petak yang tak terlalu luas itu. Seluruh material yang hampir tujuh puluh persen menggunakan kayu lempengan. Tangga pun terbuat dari kayu lempengan. Beberapa baju sepertinya milik banyak orang terslampir sembarang di sebuah tancapan paku yang di huat seadanya. Perkakas seperti piring dan gelas semua terbuat dari bahan plastik sama sekali tak tersusun rapi. Ia berserakan di pojok kiri setelah pintu masuk.
Aku menemukan sebuah radio tape. Sudah terlihat usang. Sepertinya sudah usang. Terlihat beberapa sawang nampak m3nempel di bagian-bagian tertentu badan radio itu. Aku lalu berusaha mengambilnya. Satu-satunya yang bisa ku lakukan adalah ngesot. Maka aku pun ngesot ke arah pojok pondok ini untuk mendapatkan radio tersebut.
Berhasil. Akhirnya radio tape itu berada di tanganku. Sekarang tinggal ku bersihkan dan kunyalakan. Ternyata setelah selesai ku bersihkan. Radio itu membutuhkan antena. Kuperhatikan sekeliling. Ada sebuah kabel memanjang ke atas. Ku pikir itulah antena yang cocok dengan radio ini. Benar saja. Kabel itu ku kaitkan dengan antena sebenarnya dsri radio. Dan akhirnya benda kotak itu pun bersuara.
Radio tape berwarna merah yang berada di pojokan itu ternyata masih berfungsi dengan sangat normal. Ku ambil dengan susah payah berjalan dengan cara ngesot seperti suster ngesot saja. Dan akhirnya radio itu berada pada genggamanku. Dan kini menemaniku dengan suaranya yang terkadang jelas dan terkadang rusak.
Tidak kusangka pada akhirnya aku pun tertidur lelap. Namun aku di sadarkan oleh derap kaki yang membuat lantai menimbulkan bunyi. Itu pasti Santo. Siapa lagi kalu bukan dia. Sementara radi pun masih setia berbunyi dengan lagu-lagunya. Santo mendekat ke arahku. Ia lalu memegang kakiku untuk melihat bagaimana kondisinya. Sepertinya tak ada kemajuan. Aku pun membuka mataku. Wajahnya hanya datar menatapku. Tiba-tiba perutku berbunyi di hadapannya. Aku malu bukan main. Wajahku memerah bak udang rebus.
Santo berbalik dengan tatapan yang masih datar. Seolah tak ada kata apa pun yang bisa dia ucapkan padaku. Ku dengar Santo mulai turun dari tangga. Aku pun berinisiatif untuk mengintipnya. Ternyata dia sedang merebus ubi. Ubi berwarna ungu yang terlihat besar-besar. Aku tersenyum memperhatikannya. Sekalipun sikapnya dingin, tetapi sebenarnya perilakunya begitu hangat. Sehingga aku tidak perlu khawatir akan kelaparan hingga esok hari.
Dia berbalik arah. Sepertinya akan kembali ke atas. Aku pun memposisikan diri seperti semula. Sampai akhirnya Santo memasuki pondok dan menghampiriku. Aku mengerutkan dahi karena Ia membawa sebuah wadah berisi cairan panas yang mengepulkan asap.
Dia duduk di hadapanku. Ia lalu membuang rempah kencur yang menempel di kakiku. Bermaksud menggantikan dengan yang ia bawa saat ini. Wadah itu berisi daun-daunan yang direbus. Aku tahu daun apa yang ia rebus. Tapi kemudian ia memasukkan daun-daun itu ke dalam kain dan memerasnya. Keluarlah cairan warna hijau itu dari pori-pori kain. Kemudian ia pun menempelkan kain itu ke kakiku. Terasa hangat menjalar. Meski terasa ngilu namun akhirnya terasa enteng juga di kaki yang lebam itu.
"Kalau sakit bilang saja sakit." Ucapnya. Memang aku ini sedang merasa sakit dodol. Ingin kusembur dia dengan kata-kata itu namun mulutku tak sampai untuk mengucapkannya.
Tiba-tiba perutku berbunyi lagi. Dia tertawa mendengarnya. Aku lagi-lagi malu di hadapannya. Dia menatapku dengan tatapan yang mengejek. Aku melengos malu. Dia lalu bergegas turun dan kembali dengan se nampan ubi rebus yang masih panas.
Aku pun tersenyum semringah. Ia lalu menaruhnya tepat di hadapanku. Aku mengerucutkan mulutku karena tahu dia sedang mengejekku.
Tapi sepertinya pikiranku salah. Ia lalu memberiku sebuah kipas tangan dan menyarankanku untuk mengipasinya lebih dulu sebelum memakannya agar panasnya berkurang. Santo lalu beranjak. Ia pergi menuju teras. Ia lalu membuka bajunya. Duduk dengan menggantungkan kakinya ke bawah. Kemudian menyalakan sebatang rokok. Menghisapnya dan membuang kepulan asapnya ke udara.
Aku memperhatikannya dari dalam. Melihat hanya punggungnya yang penuh keringat dan kekar. Mungkin dia merasa lelah. Sehingga dia mengistirahatkan diri sejenak.
Tapi sepertinya pikiranku salah. Ia lalu memberiku sebuah kipas tangan dan menyarankanku untuk mengipasinya lebih dulu sebelum memakannya agar panasnya berkurang. Santo lalu beranjak. Ia pergi menuju teras. Ia lalu membuka bajunya. Duduk dengan menggantungkan kakinya ke bawah. Kemudian menyalakan sebatang rokok. Menghisapnya dan membuang kepulan asapnya ke udara.
Aku memperhatikannya dari dalam. Melihat hanya punggungnya yang penuh keringat dan kekar. Mungkin dia merasa lelah. Sehingga dia mengistirahatkan diri sejenak.