PERNIKAHAN TANPA RENCANA

90



90

2"Papah selamatkan Rania."     

Secarik kertas yang akhirnya di buka oleh Bang Sigit itu hanya berisikan sepenggal kamlimat yang menyebutkan permintaan tolong Rania kepada Sang ayah. Yang membuatku penasaran adalah apakah sang ayah tidamelakukan apa pun saat itu?     

Aku pun menanyakan rasa penasaranku itu kepada Bang Sigit. Bang Sigit menjawab kalau saat setelah kehadiran Rania saat itu, ayahnya di pindahkan rumahnya menjadi rumah yang dulu Bang Sigit temui. Pak Karto pernah sekali hendak melaporkan perihal itu ke polisi. Namun setelah daridari kantor polisi ia malah di keroyok oelh pengawal Lukas.     

Setelah kejadian itu Pak Karto tak berani lagi menginjakkan kakinya di kantor polisi. Ia sakit berbulan-bulan tanpa ada yang merawat. Hingga waktu di temui Bang Sigit. Kondisinya sangat memprihatinkan. Bang Sigit sempat menawarinya untuk tinggal bersama, namun ia menolak. Akhirnya Bang Sigit menjaganya dengan sekali seminggu menengoknya.     

Sebenarnya Bang Sigit jugs terus datang ke rumah Lukas untuk menanyakan keberadaan Rania. Namun setiap kali datang ke post satpam mereka menahannya untuk tidak masuk. Kemudian mereka berbicara menggunakan interom. Dan kemudian mengatakan bahwa Rania belum pulang dari liburannya. Hingga sepeninggal ayahnya. Mereka mengatakan Rania belum juga pulang. Dan akhirnya nama dan wajah Bang SIgit di black list dari rumah itu.     

Aku pun memberikan kembali secarik kertas itu kepada Bang Sigit. Bang sigit menghela napas. Tampak kesedihan di matanya. Namun ia adalah lelaki tegar yang pernah aku temui.     

Tiba-tiba ku dengar deheman mas Sardi dari dalam. Sepertinya dia terbatuk-batuk. Itu adalah kebiasaan setelah ia bangun tidur. Karena banyak merokok maka itu lah akibat yang ia terima setiap pagi. Aku yakin Mba Ranti juga pasti sudah bosan menasehatinya.     

"Aku selesaikan dulu tugasku ya Bang. Aku takut mas Sardi marah kalau lihat aku Cuma ngorbol-ngobrol di sini." Ucapku pada Bang Sigit. Sementara Ia mengangguk aku pun melakukan tugasku.     

Mas Sardi akhirnya pun keluar juga. Ia tampak ceria menatap Bang Sigit. Tentu saja Bang Sigit memasang wajah seperti biasanya.     

"WUAHAHHA…lah ini juragannya." Tawa Bang Sigit dengan semena-mena.     

Mas Sardi tersenyum renyah menaggapi candaan Bang Sigit.     

Selesai melakukan pencatatan aku pun pergi meninggalkan mereka.     

Aku semakin merasa bebanku bertambah menjadi lebih berat. Selesai kukerjakan semua tugas rumah aku pun berencana pergi ke ladang. Entah kenapa sekaran gladang menjadi tempat favorit bagiku untuk merenung dan berpikir. Selain itu di sana pasti ada Santo yagn bisa ku ajak untuk bertukar pikiran.     

Sampailah aku di ladang. Perjalanan yang duilu serasa lama kutempuh kini terasa hanya sebentar saja. Anehnya aku sama sekali tak merasa takut dengan keadaan sekitar. Terasa semuanya sudah familiar. Sudah tampak pondok di hadapanku. Ternyata belum ada seorang pun. Kupanggil-panggil Edi namun Ia tak muncul juga. Mungkin dia belum datang. Batinku.     

Aku pun berinisiatif untuk merebus air dan membuat kopi. Untuk merenung teman terbaik memanglah kopi. Di suguhi dengan pemandangan hutan di depan mata dan aroma humus yang begitu kental. Cukup untuk memunculkan pikiran-pikiran logis agar masalah hidupku bisa terselesaikan satu persatu.     

Secangkir kopi pun terhidang. Aku membawanya ke pondok. Namun bukannya masuk aku malah hanya duduk di tangga. Tempat yang membuatku lebih tinggi itu membawa mataku menatap abu-abu hutan yang mengelilingi ladang Mas Sardi yang gundul ini. Sawit-sawit masih berukuran mini. Sehingga terlihat semua apa yang ada di pinggir-pinggir ladang. Sunngai, rerimbunan hutan, dan tunggak-tungga sisa terbakarnya hutan.     

Tiba-tiba pikiranku berselancar dengan sendirinya. Bukannya memikirkan kasusku yang akan segera menyeretku ke takdir mengerikan malah aku teringat dengan mimpiku kala itu. saat aku duduk bersama Edi di sini dan aku tertidur. Mimpi ketika aku berada di Makassar.     

Sebenarnya bukan mimpi. Tapi nostalgia yang terreka ulang ke dalam sebuah mimpi. Terakhir kali lelaki yang mengenaliku dan mengaku bernama David itu akhirnya memboncengkanku ke rumah Pak setyo, majikanku. Saat itu majikakanku sedang mencuci mobil di plataran rumah.     

Terlihat wajahnya sedikit terkejut ketika aku turun dari motor gede David. Mungkin pikirnya aku ini gadis murahan yang bisa saja menggait laki-laki mana pun. Padahal tidak demikian ceritanya. Aku berterima kasih kepada David dan berbalik ke arah rumah. Lalu ku sapa majikanku itu dengan sungkan.     

Namun anehnya, majikanku malah menyuruh David untuk masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. Ia berkata dengan semringah mengajak David untuk mampir. Langkah kakiku pun terhenti, aku juga terkejut dengan hal itu. buaknkah tatapan semulanya berarti negati? Kenapa sekarang jadi lain? Pikirku.     

Aku pun berbalik dan tersenyum kepada David. Aku nyengir ke arah majikanku yang juga menatapku dengan senyumannya. Senyuman yang dahulu ku anggap begitu tulus. Namun sekarang sudah lain ceritanya.     

Aku pun meringis ke arah David. Ia lalu memarkirkan motornya ke dalam plataran rumah majikanku. Tiba-tiba majikanku menyambutnya dengan merangkulnya. Mereka berubah menjadi riang penuh tawa dan keakraban. Aku bergeleng kepala bingung. Sebenarnya apa sih yang sedang terjadi. Pikirku.     

Aku hanya tidak mau Pak Setyo semakin salah paham denganku. Aku sudah berusaha semampuku untuk menghindari Mas Aden. Dan hasilnya adalah, sekarang Mas Aden semakin murung. Dan kini penyembuhannya pun menjadi terhambat.     

Tanpa ku sadari Mas aden duduk di lantai dua. Ia berada di sebalik jendela dan menatapa kepulanganku dengan David.     

Mereka pun duduk di teras. Aku segera masuk dan membuatkan mereka kopi dan cemilan. Ibu keluar dari kamarnya. Mungkin dia mendengar suara cengkerama mereka. Ibu lalu menanyakan siapa yang ada di luar. Aku menjawab bahwa itu adalah David salah satu anggota TNI juga. Ibu hanya mengangguk dnatak bertanya lebih jauh sehingga aku pun tak memberinya jawban lebih jauh.     

Ku hidangkan kopi itu kepada mereka. Tiba-tiba Bapak menguxcapkan hal yang membuatku sedikit bingung dan juga sungkan.     

"Ini David ya mba namanya. Sudah kenalan belum?" kata Pak Setyo.     

Aku tersenyum. Lalu kujawab pertanyaannya. "Sudah Pak." Jawabku.     

Ia mengangguk.     

"Lain kali kalau mau jalan-jalan ajak dia saja, dia ini asli orang sini. Ya Mas Ya…" Mas David terlihat mengangguk dan tersenyum tulus. Namun aku malah merasa malu dengan tingkah Pak Setya. Entah apa yang sebenarnya dia rencanakan.     

Aku pun ijin untuk kembali masuk ke dalam. Mereka kembali berbincang. Lalu kudengar suara pecahan dari atas. Itu pasti dari kamar Mas Aden. Apa dia sedang kesusahan? Pikirku yang tiba-tiba kacau dan aku pun bergegas berlari ke arahnya.     

Ternyata benar. Mas aden memecahkan gelas. Bukan karena jatuh. Tapi karena Ia membenturkannya ke dinding di dekat pintu. Bang Sigit terlihat menerawang jauh ke awang-awang. Ia mengingat kenangan manis bersama Pak Lukas.     

"Lalu aku bertemu dengannya untuk untuk sekian lamanya. Ia tampak lain. Tatapannya lain, auranya lain dan penampilanya juga terlihat lebih glamour dari sebelumnya. Ya, seperti yang kamu lihat sekarang. Kalau dahulu, jangan harap kamu Lihat lukas pakai jam tangan. Sendal saja sudah bolong ujungnya masih di pakai.     

Tiba-tiba kudengar dia menikah. Aku berpikir untuk mengucapkan selamat atas pernikahnanya. Jadi aku mencari tahu alamat rumahnya yang baru. Ternyata rumahnya yang baru ada di kawasan elit. Karena truk tidak bisa masuk ke perumahan itu maka aku parkirkan saja di luar. Aku memasuki kawasan perumahan dengan dengan berjalan kaki. Tentu saja dengan ijin pak penjaga pos satpam.     

Kucari nomor rumahnya. Aku tercengan setelah menemukan rumahnya. Rumahnya itu, benar-bena r besar seperti istana. Wah, aku tidak menyangka Lukas bisa ketiban rejeki begitu besar setelah istrinya meninggal.     

Saat aku memencet bel melaluui gerbang rumahnya. Sebuah mobil membunyikan klaksonnya. Aku pun minggir. Lalu saat sampai di teras rumah mobil itu pun berhenti. Dan seorang wanita keluar dari dalamnya. Wanita yang sangat aku kenal. Aku mengerjapkan mataku, ku kira aku salah lihat. Namun tidak. Itu benar-benar Rania. Calon istriku.     

Sebenarnya kami mengalami konflik beberapa bulan ini. Namun tidak ada keputusan yang finish. Aku tidak pernah membiarkan dia lepas dariku. Karena aku sangat mencintainya. Kupikir dia sedang membutuhkan waktu. Sehingga ku biarkan hubungan kami menjadi renggang untuk akhir-akhir itu.     

Aku segera mengejarnya. Aku berteriak sekuat tenaga dengan meneriakkan namanya. Ia menoleh ke arahku yang berlari mendekatinya. Dia seperti sangat terkejut. Kulihat dia membawa banyak barang belanjaan dari pasar.     

Aku memegang tangannya saat itu juga. Ku pikir dia menjadi pembantu di sini. Tapi bukankah ayahnya cukup kaya? Rania tidak mungkin smapai harus bekerja sebagai pembantu untuk seorang Lukas.     

"Lepaskan aku Mas." Ucap Rania saat itu padaku.     

"Ran. Apa yang kamu lakukan di sini sebenarnya?" Aku menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kuliha tas yang ia bawa penuh dengan sayuran. Ku pikir aku harus menanyakan tentang kecurigaanku.     

"Apa kamu menjadi pembantu di sini?" Tanyaku lagi dengan ragu.     

"Lepas Mas!" dia mengibaskan lengannya dariku. "Jadi kamu mengikutiku hanya karena aku tidak mengangkat telfonmu?" tanyanya dengan nada penuh penekanan.     

Aku menggelengkan kepala. Karena bukan itu alasan keberadaanku di sana.     

"Tidak Ran, kamu salah paham sebenarnya aku…" belum smapai selesai ucapanku Kiran sudah memotongnya.     

"Sudahlah Mas! Sekarang pergi dari sini sebelum Pak Lukas kembali. Aku tidak mau dia memarahiku." Dengan perkataan Rania itu pun akhirnya aku terpaksa pulang. Aku akan menanyakan ini kepada ayahnya. Kenapa Rania bisa berada di sana dan apa alasannya.     

Aku pun di selimuti rasa bimbang tak karuan semalaman itu. Keesokan harinya aku bergegas cepat menuju rumah Rania. Namun kulihat Rumahnya di bongkar. Aku pun bertanya kepada tukang bangunan di sana. Mereka bilang Pak Karto sudah pindah. Dan dia menjual rumah itu kepada Lukas. Aku menganga mendengar kenyataan itu.     

Hubunganku dengan Rania yang renggang ternyata di picu oloeh konflik dalam rumahnya yang sedang Ia alami. Itukah kenapa akhirnya Rania bekerja di rumah Lukas? Namun aku belum puas dengan jawabanku sendiri. Akumembutuhkan Pak Karto untuk menjelaskan semuanya kepadaku.     

Akhirnya aku pun pergi ke daerah yang di sebutkan oleh tukang bangunan itu. Kebetulan sebelum Pak Karto pindahan mereka sempat bertemu. Dan tukang bangunan itu sempat bertanya ke mana Pak Karto akan pindah. Namun tepatnya ia tak sempat menanyakannya.     

Denganmu dengan informasi yang minim itu pun aku mencari keberadaan Pak Karto. Ibarat berlayar tanpa peta. Aku seperti terombang ambing di tengha lautan dalam pencarian pak Karto. Sampai akhirnya aku bertanya dengan tukang sayur keliling. Ia menjawab dengan tidak pasti. Namun dengan jawabannya aku tetap harus memastikan apakah benar orang yang di maksudkannya itu Pak Karto atau bukan.     

Aku pun menuju rumah yang di tunjukkan oleh tukang sayur itu. Orang yang beberapa hari ini baru pindahan. Ternyata informasi meragukan itu mempertemukan aku dengan Pak Karto. Beberapa bulan tak melihatnya ia terlihat begitu kurus. Ia menyambut kedatanganku. Aku bersyukur, karena sikapnya masih tak berubah bahkan ketika aku tidak memperhatikannya akhir-akhir ini. Terakhir kali aku bertemu dengannya masih segar bugar bahkan masih rajin menilik lahan sawitnya.     

Dia mempersilahkan aku duduk. Lalu hendak memberiku minum. Namun aku menolaknya. Aku tidak tega melihat kondisinya saat itu. Pak Karto pun mulai menceritakan masalah yang di alaminya kala itu. Di mulai dari hutang yang gagal terbayar. Terkahir kali untuk pengadaan bibit sawit Pak Karto mengatakan kalau Ia meminjam uang rentenir. Ia tak tahu kalau lintah darat bisa sebegitu mengerikan seperti yang orang katakan.     

Saat jatuh tempo pembayaran yang pertama Pak Karto mengatakan kalau ia gagal panen. Sehingga Ia tidak mebayar mereka sepeser pun. Ia tidak menyangka jika lintah darat mengambil bunga yang begitu tinggi untuk hutang yang ia ambil. Namun sejak saat itu sepertinya memang bibitnya lah yang bermasalah. Pak Karto gagal panen lagi. Ia kemudian tidak bis amembayar untuk yang ke dua kalinya. Untuk tahun ketiga pembayarannya, Pak karto bersembunyi karena takut.     

Lintah darat yang semula sabar pun hilang kesabaran dan mulai sadar bahwa mereka sebenarnya telah di tipu oleh Pak Karto. Meski bukan itu alasan Pak Karto. Lintah darat itu mengirimkan anak buahnya dalam jumlah besar. Mereka bermaksud mengintimidasi agar Pak Karto segera membayar hutangnya.     

Sayangnya saat itu Pak Karto masih tak berada di rumah. Rania yang saat itu ada di rumah sendirian pun di seret paksa oleh kawanan geng suruhan lintah darat itu. Rania di paksa untuk mebayar uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Bahkan sangat banyak. Rania yang masih kuliah tak punya uang sebanyak itu. Namun lintah darat itu tak cukup puas dengan alasan Rania.     

Rania di kepung. Beruntung mereka tak melakukankekerasan kepadanya. Rania yagn duduk di antara sekumpulan lelaki pun akhirnya di tawari solusi. Bagaimana kalau Ia jual saja tanahnya ke orang lalu uang itu untuk membayar hutangnya. Rania kebingungan saat itu juga. Ia tak mungkin menual tanah ayahnya tanpa meminta ijin kepadanya terlebih dahulu.     

Namun melihat jumlah hutna gyan gbegitu besar. Tidak ada pilihan lain. Akhirnya rania pun menyetujui saran dari lintah darat itu. namun detik berikutnya ia bingung harus menjual kepada siapa. Akhirnya ia pun bertanya kapada mereka. Dan mereka pun menjawab, orang kaya yang punya uang sebanyak itu saat itu adalah Lukas.     

Hari ini kuputuskan untuk menghindar dari Mas Sardi. Aku bahkan tidak berpamitan dengan Simbok saat     

keluar rumah. Aku yakin mereka tidak akan terlalu khawatir seperti biasanya. Tukuanku kali ini tidak     

ada. Sama sekali tidak tahu harus kemana. Pembicaraanku dengan Mas Sardi semalam berhasil     

menyita seluruh otakku.     

Aku berpikir keras tentang rencana apa ysng haris kubuat selanjutnya. Disatu sisi aku tidak     

benar-benar ingin di jodohkan. Namun disisi lain aku harus membantu sepupuku membayar biaya     

kuliahnya. Sementara aku tidak punya uang sebanyak itu.     

Kakiku terus melangkah meskin hati dan pikiranku berkecamuk tal tahu harus apa. Namun langkah     

demi langkah sepertinya menuntunku ketempat satu-satunya yang ku hafal. Ladang.     

Perjalanan tak berlangsung lama. Mungkin karena aku sudah sangat hafal medan yang aku lewati.     

Tanpa berbekal apa pun aku haanya menelusuri jalan setapak beralas gambut ini. Beberapa kali aku     

bertemu dengan kawanan monyet yang riuh sedang mencari makan.     

Sejauh ini segalanya masih aman. Perihal hewan tidak akan menakutiku sama sekali. Aku lebih takut     

manusia yang berotak jahat daripada hewan yang hanya bergerak berdasarkan insting.     

Akhirnya aku sampai di pondok. Hal pertama yang ku hampiri adalah dapur. Aku membutuhkan     

sesuatu untuk ku telan pagi ini. Tapi tidak ada sesuatu apapun yang bisa ku masak atau pun ku     

makan di sini.     

Akhirnya ku putuskan untuk naik ke atas. Siapa tahu bisa menemukan sesuatu. Keputusanku tepat     

sekali. Aku menemukan sebungkus roti dan beberapa bungkus mi instan juga kopi instan. Wajahku     

langsung semringah mendapati keberadaan mereka.     

Tanpa basa basi langsung ku raih dan ku eksekusi ke dapur. Tidak seperti yqng ku perkirakan.     

Meskipun aku tidak cukup kaya dan hidup serba kecukupan. Aku tetap membenci hal ini.membiat     

api. Benar-benar melelahkan. Aku tidak bisa dengan mudah membuat api menyala di atas tumpukan     

kayu-kayu itu. Sementara aku selalu melihat siapapun di dalam anggota sekeluargaku melakukannya     

dengan mudah. Kecuali adik bungsu ku.     

Api tak mau menyala meski ku beri letupan dari korek terus menerus. Yang mereka hasilkan hanya     

asap yang membuat mataku kian perih. Ia hanya menyala sebentar lalu mati. Sampai membuatku     

muak. Kalau Simbokku di sini beliau pati sudah cerewet mengejekku. Karena apapun tak bisa ku lakukan.     

Aku melempar korek api di tanganku. Air mataku berhasil mengucur membasahi pipi. Aku yakin sekLi     

mataku kali ini juga memerah. Hal sekecil ini saja bisa membuatku begitu kesal. Lalu tanpa di     

duga-duga seseorang datang. Ia halnya seperti malaikat yang bersinar karena kedatangannya     

memberi harapan terang untukku bisa menyalakan api ini.     

Dia mendekat ke arahku. Lalu meletakkan beberapa alat dan ranselnya. Belum berkata apa-apa dia     

sudah geleng kepala lebih dulu. Jadi rasanya ingin kutarik anggapanku bahwa dia sebagai malaikatku.     

Mungkin sebaliknya musuh dari malaikat.     

"Kamu ngapain sepagi ini nangis di depan tungku. Di hutan lagi." Ucap laki-laki yang tidak bukan dan     

tidak lain adalah Santo.     

Aku hanya menggeleng. Dan menunjukkan kegagalan di hadapanku. Ia lalu berjongkok dan     

menggeser posisiku.     

Dengan sigap Ia membakar sebuah daun kering. Lalu daun-daun kering itu mulia membakar     

kayu-kayu seiring berubah menjadi abu. Api yang semula dari dan kering pun merembet ke     

kayu-kayu yang di pilih oleh Santo.     

Santo nampak serius. Padahal masih terlalu pagi. Apakah karena aku menyusahkannya? Biasanya dia     

tak seperti ini. Dia tidak pernah memasang wajah malas kepadaku. Aku yakin Santo menyembunyikan     

sesuatu. Bahkan aku ingat, biasanya dia selalu memberiku senyum pertama. Tapi saat datang tadi     

wajahnya hanya datar.     

"To..." aku berusaha menepis kecanggungan.     

"Ambil air." Titah Santo padaku. Ia memberiku sebuah panci.     

"Iya." Jawabku. Aku pun langsung bergegas mengambil air di sungai. Dengan pikiran yang berkecamuk     

tentu saja.     

Akhirnya aku sampai.     

"Ini." Kuberikan air itu kepadanya. Ia lalu menumpangnya di atas tungku. Aku pun ikut berjongkok di     

sampingnya. Namun Ia malah berdiri. Kini aku pun mengikutinya berdiri.     

"To.." Panggilku lagi.     

Dia tak bergeming. Hanya menoleh ke arahku tanpa suara dan ekspresi. Hal itu membuatku semakin     

sadar bahwa Santo sedang marah atau menyembunyikan sesuatu dari ku.     

Aku hanya berani menatap Santo. Jika suasana hatinya sedang buruk aku tidak cukup berani untuk     

semakin memperburuknya.     

Ia membuka bajunya lalu mengganti dengan baju kotor atau baju kerjanya. Ia lalu memakai sepatu     

boot, masker dan juga topinya. Kemudian Ia mengambil sebuah tanki berisi air atau obat dan     

menaruhnya di punggungnya. Tangannya dengan lihai memegang alat semprotannya.     

Ia pun pergi meninggalkan aku tanpa sepatah kata. Santo yang ku kenal tak pernah bersikap seperti ini.     

Namun sepertinya bukan hari yang tepat untukku menegurnya kali ini. Sehingga aku hanya     

membiarkannya saja.     

Air di panci telah mendidih. Aku menuangkannya ke gelas yang ku isikan kopi instan. Kemudian     

sisanya kugunakan untuk merebus mi instan.     

Setelah selesai aku pun menyantap masakanku di tangga pondok. Semburat kuning mulai menyala di     

ufuk timur. Tepat di mana aku menghadap sekarang. Suara binatang pagi semakin riuh dan beragam.     

Beberapa kali aku juga mendapati burung-burung beterbangan di langit yang tinggi.     

Mereka juga mencari makan sepagi ini.     

Kulihat di hadapanku sawit-sawit yang masih bayi. Posisiku gang lebih tinggi membuat aku bisa     

melihat sekeliling hingga jauh. Sisa-sisa kayu dan tunggak -tunggak terbakar masih menjadi saksi     

bahwa pembukaan ladang di sini dilakukan dengan ugal-ugalan.     

Beberapa kali perjalanan ke sini. Aku pun beberapa kali menemui hutan yang sengaja di bakar tanpa     

seorang pun yang menjaga. Padahal mereka pasti tahu. Tanah gambut riskan akan api. Setetes api     

menjalar mungkin butuh waktu berminggu-minggu untuk memadamkannya.     

Namun mereka tidak punya pilihan hidup di tempat seperti ini. Mereka tidak terlalu memikirkan     

aparat toh disinipun tak ada seorang pun aparat yang mengawasi. Bahkan aku pun ragu kalau     

kakakku punya izin untuk menanam sawit di kebunnya.     

Hari pun berada pada pertengahannya. Aku pun telah menghabiskan sebungkus roti kukis yang ku temukan di dalam pondok. Di depanku sudah terhidang dua piring mi rebus dan segelas kppi juga air     

putih dalam teko.     

Aku tidak tahu harus bagaimana menghSimbokr Santo. Tapi aku akan perlakukan dia sangat baik kali ini.     

Bukan karena dia marah. Bukan. Tapi lebih karena dia sering membantuku jadi hari ini aku ingin     

berusaha menghiburnya.     

Tibalah Santo di pondok. Aku menyapanya dengan senyum. Lalu kusuruh di bersih-bersih. Adzan     

terdengar dari radio yang sejak tadi menemaniku. Santo selesai dengan bersih-bersihnya. Ia     

mengenakan sarung dan singlet. Apa ia mandi? Batinku. Rambutnya nampak basah juga wajahnya.     

Ternyata Ia menunaikan sholat. Aku menunggunya di teras pondok. Sementara Ia sholat di dalam     

pondok. Ekspresi wajahnya masih sama. Ekspresi wajah enggan meski aku tak tahu salahku apa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.