93
93
Mereka berdua saling bungkam. Sementara hari sudah benar-benar gelap.
''Pulang Ran. Ayo saya antar .'' Ucap Mas Sardi memecah keheningan mereka.
''Kalau kamu tidak mau nikah dengan saya. Saya akan bilang pada ayah saya. Tapi kalau kamu bahkan ragu tentang hatinmu. Biar saya pastikan, saya bisa membuat kamu mencintai saya. Saya membutuhkan pernikahan ini. Saya butuh kamu.''
Mba Ranti tak menjawab sepatah kata pun. Ia tak tahu dengan isi kepalanya juga hatinya. Terlihat dalam wajah Mas Kardi dalam pikirannya. Namun suara Mas Sardi memenuhi juga memenuhi isi hatinya.
''Mas. Apa yang bisa kamu janjikan kepada saya jika menjadi istrimu.''
Mas Sardi terdiam mendengar pertanyaan yang seharusnya tidak pernah Mba Ranti ajukan jika dia tidak menginginkan pernikahan ini.
Mas Sardi menarik lengan Mba Ranti. Mba Ranti tersentak dan masuk dalam peluk Mas Sardi. Mba Ranti meronta namun Mas Sardi memeluknya tanpa ingin melepasnya. Lalu Mba Ranti pun tenang. Mas Sardi mulai mengusap rambutnya.
''Ran, aku tidak bisa menjajikan apapun yang besar, aku hanyalah orang yang bekerja keras setiap hari, dan juga laki-laki dengan masa lalu memilukan, namun perlu kamu tahu Ran, hatiku mulai berdesir saat aku melihatmu membawa jagung didepan rumahku. Itulah pertama aku melihatmu lebih dekat dari biasanya. Pertama kali aku memperhatikanmu.''
Mas Sardi melepas pelukanya . Ia tahu Mba Ranti menangis mendengar ucapanya.
''Tapi aku Mas. Mungkin tidak bisa mengimbangi perasaanmu.'' Jawab Mba Ranti dalam kebimbangan.
''Aku bisa merubah hatimu Ran. Seiring berjalan waktu. Kamu akan tahu, perasaanmu pada Kardi hanya kekaguman semata.'' Mas Sardi memegang pundak Mba Ranti.
Sementara Mba Ranti menunduk. Ia tak tahu bagaimana cara mengatasi dirinya sendiri.
Mas Sardi mengecup kening Mba Ranti. Lalu jemarinya meraba pipinya dan mencari bibirnya. Tepat. Mas Sardi mengecup bibir Mba Ranti dengan lembut. Sementara Mba Ranti mematung. Jantungnya memacu tidak karuan. Pengalaman yang tak pernah sekali pun Mba Ranti rasakan.
Mas Sardi tersenyum dalam gelap malam itu. Berharap tak ada yang sia-sia dalam usaha terakhir kalinya.
''Kita menikah Ran, aku janji, tidak akan menggantimu dengan siapapun.'' Ucap Mas Sardi memastikan. Sementara Mba Ranti hanya menunduk lalu ia mengangguk, ia kalah oleh dirinya sendiri. Sementar hari semakin malam. Suara binatang malam pun mulai mendominasi. Mas Sardi pun memutuskan mengajak Mba Ranti masuk ke saung milik ayah. Ia menyalakan lampu sentir. Nampak wajah Mba Ranti yang tenang dan ayu. Temaram menemani mereka berdua.
''Apa kamu mau mandi? Dibelakang ada sumur nanti saya ambilkan airnya.'' Ajak Mas Sardi
Mba Ranti masih tidak menjawab.
''Ayo.'' Mas Sardi menarik lengan Mba Ranti dengan lembut.
Mba Ranti hanya menuruti ajakan Mas Sardi. Mas Sardi menggandeng lengan Mba Ranti serta menunjukan jalan. Sementara sisi tangan lainnya memegang sentir. Satu-satunya sumber penerangan ditempat itu.
Mas Sardi pun memposisikan diri untuk menimba air. Ia membelakangi Mba Ranti. Sementara Mba Ranti melucuti kain satu persatu di badanya. Ia terlihat kebingungan. Kalau ia membasahi jariknya ia akan berpakaian apa nanti.
Mas Sardi pun menoleh ke arah Mba Ranti . yang ternyata hanya memakai kemben dari jariknya.
''Kenapa Ran?'' Mba Ranti tidak menjawab. Sementara Mas Sardi memahami kebingungan Mba Ranti. ''Tidak apa-apa lepas saja semuanya. Aku juga akan mandi membelakang imu. Sehingga tidak melihatmu.'' Ucap Mas Sardi
Mba Ranti hanya menunduk. Sementara Mas Sardi terus menimba untuk memenuhi tandan air agar cukup untuk mereka berdua mandi. Mba Ranti hanya diam menunggu Mas Sardi memenuhi air. Ia duduk di sebuah kotak kecil terbuat dari kayu. Setelah Mas Sardi selesai ia pun membuka celananya. Seketika membuat Mba Ranti memalingkan muka karena malu. Mas Sardi tersenyum. Padahal tersisa celana pendek menempel kulitnya.
"Sudah ayo mandi, aku menghadap kesini, kamu menghadap kesana. Sabun ada di tengah-tengah ini ya… gayung ada dua gausah kawatir.'' Ucap Mas Sardi.
Mba Ranti dan Mas Sardi pun saling membelakangi. Mereka saling mengguyur diri dengan air yang begitu dingin dan segar. Bagian intim mereka saling menegang karena dingin. Berbeda dengan Mas Sardi yang punya metode mandi cepat. Mba Ranti mandi dengan metode pelan dan halus, ia mengguyur tubuhnya sedikit demi sedikit.
Tibalah waktunya mereka mengambil sabun. Namun mereka saling lupa bahwa sabun hanya satu disana. Tangan mereka bertumpuk. Sontak membuat keduanya saling menoleh. Berdesirlah hati keduanya. Merinding menjalar di sekujur tubuh keduanya. Airnya mungkin benar-benar dingin atau perasaan mereka yang sedang memicunya.
Mba Ranti hendak menarik tanganya namun Mas Sardi dengan sigap menggenggamnya. Dalam remang Mba Ranti menatap mata Mas Sardi. Mereka saling menginginkan. Itulah kalimat yang cocok untuk mereka berdua saat ini. Mas Sardi pun membalikkan badannya. Sementara Mba Ranti memalingkan muka dari Mas Sardi.
''Sini aku gosok punggungmu.'' Ucap Mas Sardi keberaniannya meningkat bersama dengan waktu yang terus bergulir diantara mereka berdua.
Mba Ranti hanya diam.
Dengan pelan Mas Sardi mengambil air lalu mengguyur punggung Mba Ranti.
Mas Sardi mengelusnya pelan lalu ia mengoleskan sabun dan menggosoknya dengan batu alam yang biasa ia gunakan. Mba Ranti merinding di sekujur tubuh. Ia tahu ini salah. Namun sama halnya Mas Sardi ia juga menginginkannya. Mas Sardi terus menggosok pelan di punggung Mba Ranti. Sementara tangan Mba Ranti menggerayangi dirinya di bagian depan.
Mas Sardi menggosok dibagian pinggang dan sontak membuat Mba Ranti menggeliat geli. Hal itu malah memncing Mas Sardi untuk melakukan sekali lagi. Sampai akhirnya Mba Ranti tidak kuat menahann entah apa disalam dirinya yang sedang bergejolak saat ini dan ia pun kini memegan tangan Mas Sardi.
''Mas aku..'' Mba Ranti yang belum menyelesaikan kalimatnya sontak terkejut dengan Mas Sardi yang mulai mencumbui lehernya. Hal itu membuat Mba Ranti menggelinjang geli.
Mas Sardi meletakkan batunya ia lalu mengambil air dan menyiram punggung Mba Ranti. Mba Ranti tak menolak. Ia terus menikmati sengatan-sengatan Mas Sardi yang tak pernah sekalipun ia rasakan. Sesekali Mba Ranti melenguh. Ia tak tahu sensasi apa yang sedang ia rasakan. Ia hanyalah menikmati setiap hal yang kini sedang Mas Sardi ajarkan.
Mas Sardi pun memeluk Mba Ranti. Sehingga kulit punggung Mba Ranti menempel pada dada Mas Sardi. Mereka sama-sama tak kuasa menahannya. Mas Sardi pun semakin tak sanggup lagi. Dan mereka saling bercumbu mengisi ruang ragu-ragu diantara masing-masing.
Mba Ranti menengadah,terpejam. Kepalanya bersandar pada bahu Mas Sardi. Napas mereka saling memburu. Antara lelah dan nikmat. Mba Ranti yang tak pernah merasakan kenikmatan semacam ini pun menunduk.
Lalu Mas Sardi mengarahkan tubuh Mba Ranti ke arahnya. Mba Ranti masih menunduk. Mungkin ia malu. Batin Mas Sardi.
''Nanti setrelah menikah, kita akan melakukan hal seperti ini.''
Sontak Mba Ranti menatap Mas Sardi yang sedang membersihkan tubuh Mba Ranti.
Mba Ranti hanya diam dan menatapnya. Pada titik ini, Mba Ranti menyadari ia kini telah dewasa.
Pada akhirnya Mas Sardi mengantar Mba Ranti untuk pulang.mereka berjalan beriringan. Meraba-raba jalanan gelap, meski Mas Sardi sempat berpikir untuk menhan Mba Ranti lebih lama, namun ia mengurungkannya. Ia tak mau memaksa gadis polos seperti Mba Ranti. Ia tak mau Mba Ranti salah sangka dan malah berbalik membencinya. Ia hanya berharap setelah ini, semoga besok ia dapat kabar baik darinya.Darwati. Wanita yang tak pernah berperilaku anggun itu menyukai Mas Sardi sejak Ia remaja. Diantara semua wanita yang mendambakan balasan cinta dari Mas Sardi, Darwati lah yang paling kentara. Ia selalu jujur dengan ucapannya. Begitu juga dengan perasaannya. Ia tak pernah menutupinya dari siapapun. Bahkan bisa dikatakan semua orang desa mengetahui perihal asmara sebelah tangan itu.
Namun Mas Sardi tidak pernah menanggapi perasaan Darwati. Ia hanya menganggap Darwati wanita biasa yang harus diperlakukan sopan. Hal itu tidak hanya berlaku untuk Darwati, namun juga berlaku untuk semua wanita yang mengantri di belakangnya.
Bisa dikatakan Mas Sardi lebih populer baik secara kharisma maupun secara nama ketimbang Mas Kardi. Mas Kardi mungkin memiliki sifat sosialis pada lingkungan namun tidak digandrungi oleh wanita. sementara Mas Sardi selalu menjadi incaran wanita dan saingan para pemuda-pemuda sebayanya.
Pembawaannya yang pendiam, dingin dan tenang membuat kharismanya selalu dipuji-puji oleh gadis-gadis desa. Belum lagi tubuhnya yang jenjang dan sorot matanya yang tajam yang terpenting adalah hidungnya yang mancung. Semuanya Ia dapatkan sebagai keturunan ayah. Sementara Aku, tubuhku cenderung pendek seperti simbok. Dan hidungku juga pesek.
Padahal kala itu Mas Sardi tidak punya waktu untuk meladeni asmaranya. di sepanjang hidupnya hanya berisikan tentang belajar dan membantu ayahnya di ladang. Ia tak pernah yerpikir untuk bergaul dengan siapapun. Mas Sardi memang tidak terlalu pandai bercengkerama jauh berbeda dengan Mas Kardi.
Sosok Darwati selalu tampil ceria dengan balutan kebaya berwarna cerah. Kulitnya putih cerah seperti bule. Selain itu Dia adalah gadis rumahan yang tak pernah seharipun menyentuh lahan sawah.
Sekalipun demikian, Ia tak pernah gengsi untuk menutuli perasaannya terhadap Mas Sardi. Menurutnya Mas sardi adalah cinta pertamanya. Dia selalu mengatakan didepan semua orang bahwa dia sangat mencintai Mas Sardi dan akan menjadi istrinya suatu saat nanti.
Mendengar ucapan Darwati tadi bahwa Mas Sardi takkan pernah menjadi milik Darwati embuat Mas Sardi teringat dengan kejadian beberapa tahun silam. Sebelum peristiwa naas menimpa Mas Sardi. Yaitu peristiwa tiga hari tiga malam hingga pelengserannya dari calon sekretaris desa.
Kala itu salah satu warga desa menggelar hajatan dan mengadakan pergelaran sintren. Tentu saja warga berduyun-duyun datang untuk menyaksikan hiburan gratis tersebut. Tidak terkecuali Mas Sardi. seluruh warga desa beekumpul di depan rumah pemilik acara. Mereka begitu antusias menunggu kehadiran artis cantik berkacamata itu.
Sardi berdiri diantara kerumunan. Ia menonton di barisan belakang karena Ia merasa tidak perlu terlalu dekat dengan hal-hal berbau magis itu. Apalagi tokohnya adalah seorang wanita. Mas Sardi sebenarnya risih dengan tarian yang satu ini. Mempertontonkan wanita kesurupan dan menjadikannya hiburan. Menurut Mas sardi itu sangat tidak etis.
Tapi sore hari sepulang dari ladang. Kabul sudah setia duduk di serambi. Lengkap dengan blankon dan beskapnya. Wajahnya berseri-seri dan antusias. Katanya hari itu akan ada sintren dengan artis tak terduga. Mau tidak mau Mas Sardi harus mengikuti kemauan karibnya itu.
Kabul terus merangsek ke depan diantara kerumunan. Sementara Mas Sardi masih diposisi semula. berada di baris belakang. Ia hanya terus menyaksikan tingkah Kabul yang seperti bocah.
Dengan perawakan yang tinggi Mas Sardi tentu sangat gamblang memperhatikan sekeliling. Termasuk pegelaran sintren tersebut. Entah kenapa, hati Mas Sardi tidak pernah tenang jika menyangkut hal-hal magis seperti ini.
Kebetulan ayah tidak ikut saat itu. Kata ayah, weton Mas Sardi itu kecil. Sehingga mudah terpengaruh dengan hal ghaib sementara untuk melindunginya harus jarak dekat. Berbeda dengan yang lainnya. Termasuk aku, Ayah memberiku sebuah kalung pelindung.
Saat itu musik gending sudah riuh ramai mendominasi seluruh suara yang ada. Penonton seolah terbius dengan aksi sang penari dan pawang. Suara enam jenis gending yang saling bersautan itu seolah memberi nyawa magis pada seni tari yang berasal dari tanah cirebon itu.
Konon Sintren adalah tarian dari seorang putri. Sejarahnya diceritakan di tanah Jawa. Anak dari Ki Bahurekso bersama Nyi Rantamsari atau dewi lanjar yang bernama Sulandono jatuh cinta dengan gadis dari Desa Kalisalak bernama Sulasih. Namun tidak mendapat restu dari Ki Bahurekso.
Akhirnya Sulandono pergi bertapa. Sementara sulasih menjadi seorang penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam ghaib.
Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono.
Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Gadis tersebut dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang berselebung kain. Pawang/dalang kemudian berjalan memutari kurungan ayam itu sembari merapalkan mantra memanggil ruh Dewi Lanjar. Jika pemanggilan ruh Dewi Lanjar berhasil, maka ketika kurungan dibuka, sang gadis tersebut sudah terlepas dari ikatan dan berdandan cantik, lalu menari diiringi gending.
Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan).
Sang penari melenggak lenggok lentur layaknya boneka. Matanya tertutup kacamata hitam. Sementara sang pawang sudah siap dengan kurungannya. Lalu penari itu masuk kedalam kurungan. Sang pawang memutarinya. Tidak lama kemudian penari itu keluar dengan wajah yang sudah bersolek cantik.
Beberapa orang terpukau. Beberapa orang tertegun. Dan sebagian besar riuh ramai bertepuk tangan. Sementara Mas Sardi berdiri di belakang merasa gusar. Entah apa yang terasa menggerayangi tubuhnya. Keringat menetes dari pelipisnya dan jantungnya berdegub lebih cepat dari biasanya.
Suara memanggil-manggil namanya terus terulang. Ia tersadar dari tidurnya yang terasa lama. Ia berada di atas tikar. Ternyata tempat salah seorang warga yang hajatan semalam. Benar, semalam pagelaran sintren diadakan didepan rumah ini. Kabul menatapnya dengan tatapan khawatir. begitupun ayah disampingnya.
Ternyata malam itu Mas Sardi pingsan seketika saat kurungan itu di buka. Lalu dia sedikit ingat dengan salah seorang gadis penari sintren itu terus mendekatinya. Dan entah apalagi tak tersisa sedikitpun memori tentang malam itu.
Kalau diingat lagi sejak kejadian itulah Darwati tak pernah lagi ada di sekitarnya. Iya, sama sekali tak memunculkan dirinya yang ceria dan ceplas ceplos itu.
Tiba-tiba pikirannya di penuhi pertanyaan tentang sikap Darwati itu. Selama perjalanan pulang pikiran Mas Sardi di penuhi oleh nama Darwati.
Satu-satunya orang yang bisa menjawab seluruh pertanyaan dalam hatinya adalah Kabul. Temannya yang kala itu juga ada di sana bersamanya.Mendengar ucapan Mas Sardi, Suyudi pun langsung merah padam kembali. Ia merasa tersinggung dengan maksud kedatangan Mas Sardi.
"Apa Di? Kamu mau melamar adikku? Kamu anggap apa adekku sampai berani-berani datang ke sini dan melamarnya. Kamu kira adekku itu sama dengan wanita yang kamu cumbui tiga hari di tempat haram itu? Mau sampai mati pun gak bakalan saya restui. Adekku terlalu baik buat orang seperti kamu."
Suyudi mencak-mencak. Ia melepaskan emosinya yang sejak tadi tertahan.
Mendengar kalimat panjang lebar yang diucapkan Suyudi, Mas Sardi pun menjadi merah padam. Jika bukan karena Ia sudah membawa niat baik pasti sudah melayangkan tinju ke arah suyudi. Namun ada Kabul disitu yang sedikit menenangkannya.
"Mas Suyudi. Sampean harus jaga kata-kata sampean. Jangan sampai kata-kata mas ini malah menjadi bumerang untuk sampean sendiri. Sampean kan tidak tahu berita itu benar atau salah. Lagian kami ini datang baik-baik. Kok malah di kira merendahkan. Kalau tidak menerima lamaran Sardi ya sampean tinggal bilang tidak bisa. Jangan ngomong yang macem-macem. Sudah. Ayo pulang Di. Nggak usah ke sini lagi. Entar di kira ngerendahin." Kabul yang semula tenang kini malah tersulut emosi. Ia Pergi begitu saja tanpa salam dari rumah Suyudi. Wito yang masih terkejut pun kemudian mengikuti Kabul.
"Permisi Di." Mas Sardi masih sempat pamit meskipun tidak mendapat respons dari Suyudi.
Mas Sardi mengejar Kabul yang berjalan cepat karena tersulut emosi. Lalu ia menepuk bahunya.
"Hahahha..." Mas Sardi terbahak. Ia tidak menyangka mempunyai teman seloyal Kabul. Padahal ia sendiri menahan diri untuk tahan cacian Suyudi. Tapi malah Kabul yang ambrol pertahanannya.
"Emosi aku Di. Arogan sekali orang itu. Wong adeknya juga bukan bidadari kok."
"Sudah sudah... wajar wong adiknya satu-satunya kok.. wajar."
"Wajar wajar apanya. Enggak memperbolehkan adiknya menikah dengan sembarang orang itu wajar. Tapi kalau maki-maki orang yang datang dengan baik-baik itu kurang ajar." Tukas Kabul menggebu-gebu.
Lalu Kabul pun berhenti dan menoleh pada Sardi.
"Kamu emang udah capek melajang Di? Kok tiba-tiba mau menikah? Berani sekali kamu. Aku aja belum berani."
Mas Sardi tak menjawab pertanyaan Kabul. Ia terus berjalan mendahului Kabul yang kesal karena tidak mendapat jawaban.
Sepulang dari rumah Suyudi, Sardi sebenarnya kecewa dengan hasilnya. Namun Ia cukup terhibur dengan adegan Kabul yang tersulut emosi. Selain lucu, itu adalah aksi heroik seorang Kabul yang selama ini terkenal pendiam.
Mereka berdua pun duduk di teras depan rumah.
Karena cuaca bagus dan masih belum terlalu sore. Kabul memutuskan untuk mampir sebentar. Sambil mendengarkan penjelasan Mas Sardi. Sejak tadi Ia sebenarnya sudah sangat penasaran.
Belum sempat Kabul menanyakan rasa penasarannya kepada Sardi, Ibu pun sudah keburu keluar.
"Bul, di sini kamu? Sudah lama?" Ibu tersenyum ramah pada Kabul.
"Ndakk Bu, baru saja. Baru nganterin Sardi dari...." belum sempat kabul menyelesakkan kalimatnya Sardi sudah memukul pahanya.
"Aduhh..." Kabul pun mengusap-usap pahanya yang terasa panas. Sementara Sardi menatap kabul dengan tatapan penuh arti.
Ibu yang menunggu jawaban Kabul pun menatap tingkah aneh mereka berdua.
"Dari nengok kebun jagung bu... ternyata panennya bagus ya.." Kabul tertawa canggung karena telah membohongi orang tua.
Setelah mendapat jawaban Kabul, Ibu pun berlalu dan masuk rumah.
"Kamu tuh memang ember bocor enggak bisa jaga rahasia. Dasar.!" Sardi pun langsung mengomeli Kabul yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
"Loh.. kamu yang aneh Sar.. mana aku tahu kalau itu rahasia. Wong kamu dari tadi ditanyain mlintir-mlintir kayak bambu kena angin." Kabul tertawa dengan peribahasa yang Ia buat sendiri.
"Heh. Aku ini baru mau cerita. Kamu nya aja yang enggak sabaran." Tukas Mas Sardi membela dirinya sendiri.
"Jadi gimana ceritanya." Lanjut Kabul yang tidak sabar.
"Sabar to kamu tuh Bul."
Lagi-lagi kabul di semprot oleh Mas Sardi.
Mereka pun merubah posisi duduk. Sehingga saling berhadapan. Sementara Kabul memperhatikan setiap detil yang di ucapkan Wito.
"Begini. Aku mau ikut transmigrasi."
"HAH!" Kabul yang terkejut sontak mendapat sebuah tampol kecil dari jemari Sardi.
"Diem. Jangan keras-keras"
"Iya iya.. memangnya kenapa kamu mau ke sana? Kenapa?" Tiba-tiba kabul dan bersifat kooperatif.
"Ya mau pindah saja. Cari hidup baru. Aku rasa disini sudah enggak ada yang tersisa buat aku."
"Ya tapi kenapa harus transmigrasi jonnn jon... kamu kira gampang itu mulai hidup baru. Di Sumatera lagi. Masih hutan di sana itu. Enggak dipikirin ke situ apa." Kabul ngomel-ngomel lagi.
"Diem dulu kamu." Timpal Mas Sardi.
Tiba-tiba Ibu keluar dari dalam membawa dua gelas kopi dan singkong rebus dalam satu nampan.
"Wah... ini dia yang bikin melek." Seloroh Kabul membuat Ibu tersenyum dan Mas Sardi sedikit geli melihat tingkah temannya ini.
"Dimakan ya Bul, jangan disisain. Kalau kurang masih banyak di dalem." Timpal Ibu.
"Siap buk.." jawab Kabul sambil mengunyah singkongnya.
Ibu pun kembali ke dalam. Sementara Mas Sardi celingak-celinguk memastikan Ibu sudah masuk ke dalam dan tidak akan mendengar percakapan mereka berdua.
"Kanapa? " melihat gelagat Mas Sardi ,Kabul pun menjadi curiga.
Namun Mas Sardi masih belum menjawab.
"Enggak di izinin ya.?" Ucap Kabul sekali lagi.
Mendengar pertanyaan Kabul, Mas Sardi langsung menatapnnya.
"Kok bisa tahu?" Mas Sardi menatap Kabul intens. Sementara Kabul sibuk mengunyah singkong rebusnya.
"Kamu ini aneh. Orang dulu kamu mau jadi polisi tinggal berangkat saja enggak boleh. Apalagi ini enggak ada tujuannya. Selain melarikan diri kayak pengecut."
Kabul nyerocos sekenanya namun memang benar-benar mengenai hati Mas Sardi
Apa yang di katakan Kabul benar. Simbok pasti berat melepaskan Mas Sardi anak sulungnya untuk merantau ke tanah antah berantah. Karena itu Ia membutuhkan dukungan ayahnya untuk membujuk Simboknya. Sedangkan untuk mendapat dukungan ayahnya. Ia harus menikah terlebih dahulu.
"Masalah Simbok memang rumit Bul. Tapi bapak sudah setuju. Hanya saja aku harus memenuhi syarat. Itu yang susah."
Mata Kabul membelalak. Menyadari ternyata tujuan Mas Sardi mengajaknya untuk ke rumah Asri demi melamarnya adalah untuk memenuhi syarat dari ayahnya. Kejam sekali temannya satu ini. Dia akan menikahi wanita bukan karena mencintainya namun karena ia membutuhkan persetujuan ayahnya untuk berangkat transmigrasi.
"Gila kamu. Jadi kamu mau menikah hanya untuk memenuhi syarat bapakmu itu?"
Mas Sardi mengangguk dan menyesap kopinya pelan.
"EDAN! Enggak punya hati." Ucap Kabul lagi.
"Yang menyukai kamu kan banyak pilih saja salah satu." Usul Kabul memberikan solusi sekalipun Ia geleng kepala dengan tujuan temannya itu.
"Kamu benar yang menyukai saya banyak. Tapi karena masalah kemarin itu, ku kira pamor saya sudah luntur." Jawab Mas Sardi.
"Ya sudah pasang susuk saja." Mas Sardi yang menyesap kopinya hampir saja tersedak oleh ucapan sembarang temannya itu.
"Kamu yang gila Bul. Bukan aku. Dasar semprul kamu memang."
"Lah terus bagaimana. Kamu lihat Si Suyudi tadi? Kamu pikir semuanya enggak bakal sama?"
Mendengar penuturan Kabul membuat Mas Sardi menyadari. Bahwa dirinya sekarang memanglah sudah di cap buruk di mata orang desa. Dia yang tidak punya kesempatan untuk membersihkan namanya telanjur buruk di mata semua orang kecuali keluarganya dan temannya ini. Kabul.
"Permisi mas..." Masih asik bercengkrama dengan kabul tiba-tiba suara seorang gadis datang dari arah belakang Mas Sardi. Tepatnya di depan pintu masuk rumah.
Kabul sudah tersenyum sejak tadi. Sepertinya Ia terpana dengan gadis ini.
"Eh dek Ranti" Ranti hanya tersenyum menimpali sapaan Kabul.
Mas Sardi pun membalikkan badan. Ia melihat Rantimembawa sebuah ceting berisi jagung. Mas Sardk tahu, karena ini bukan pertama kalinya. Kalau diingat-ingat, akhir-akhir ini Ranti memang sering sekali datang ke rumah.
"Dek Ranti. Bawa jagung ya.." Mas Sardi pun beranjak dan mengambil ceting yanh Ranti bawa.
"Iya mas, ini hasil panen pagi ini, sudah di preteli." Jawab Ranti dengan sopan.
"Yasudah ini saya bawa masuk ya. Mau ketemu Simbok dulu?
Ranti menggeleng.
"Ndak mas, saya pamit dulu. Soalnya sudah sore."
Mendengar penuturan Ranti, Mas Sardi pun mempersilakan.
"Oh yasudah kalau begitu. Terima kasih ya. Akan saya sampaikan kepada Simbok"
"Iya mas. Sama-sama." Jawab Ranti sambil lalu.
Rantibp pun berlalu pergi.
"Sering ke sini ya?" kabul menimpali setelah kepergian Ranti.
"Iya akhir-akhir ini. Mungkin karena musimnya panen. Bapaknya dia kan kerja sama bapakku." Kabul hanya mengangguk-angguk.
"Kenapa enggak sama dia saja." Seloroh Kabul asal bicara sambil memisahkan singkong dari serat tengahnya.
Sardi hanya diam. Dari semua wanita, Sardi memang tidak pernah menuliskan nama Ranti. Selain karena Mas Sardi tahu Ranti tidak punya perasaan padanya. Sardi tahu bahwa Ranti itu gadis baik-baik yang akan terlalu kasihan menerima niat Sardi untuk mempersuntingnya.
"Ah.. tidak lah Bul. Saya sudah mempersiapkan enam nama. Si Asri sudah gugur. Berati tinggal lima lagi. Saya cuma punya waktu sampai akhir bulan ini. Karena minggu depannya sudah pemberangkatan. Masalahnya lima orang ini saya tidak tahu akan responsnya bagaimana. Saya hanya yakin sama perasan mereka kepada saya. Mereka yang saya nilai paling tulus sama saya. Tidak tahu kalau orang tua mereka modelnya seperti Suyudi"
Tutur Sardi pada Kabul yang memperhatikannya sejak tadi.
"Lalu rencana kamu apa?"
"Ya kamu." Mendengar dirinya ditunjuk membuat kabul memundurkan badannya. Dan memasang wajah pura-pura polosnya.
"Kenapa saya? Mau nikah sama saya?" Sardi terbahak-bahak mendengar temannya ini salah tangkap maksud dari rencananya.
"Edan po!. Tobat.. tobat... punya teman model kamu." Kabul semakin bingung dan wajahnya semakin kocak saja.
"Ya kamu bukan untuk saya nikahi. Untuk saya jadikan perantara. Antara aku dan orang tua mereka."
"Oh..." Kabul pun ber-oh ria mengetahui tugasnya kali ini.
Namun satu nama yang kini terpikirkan oleh Sardi. Yaitu Ranti. Apakah mungkin Ia bisa dijadikan salah satu kandidat calon istrinya?seandainya mungkin. Apakah Dia mau menerimanya?