PERNIKAHAN TANPA RENCANA

95



95

2Aku terperanjat sendiri melihat apa yang ada di sekitarku. Ini masih tempat yang sama. Dan tasku masih di sini. Motor juga masih di tempat semula. Kuraih tasku. Kuraba raba sehingga aku berdiri. Kaki yang bergetar kini mulai mereda.     

Kurasakan kulitku yang amat sangan lengket karena berhari hari tidak mandi. Belum lagi tadi berkeringat karena ketakutan. Aku melihat ddi hadapanku Pak Hadi masih terduduk menatapku. Ada apa?     

Aku masih hidup didunia yang sama.     

Namun di mana begal begal itu? Kenapa tidak jadi membunuhku padahal aku sudah dicekik tadi.     

Aku mendekati Pak Hadi dan berjongkok di depannya. Pak Hadi tampak kaget dan menghindariku.     

"Pak... apa bapak sudah sadar?. Bapak tadi pingsan." Pak Hadi tidak menjawabku Dia seperti baru saja melihat yang seharusnya tidak Ia lihat. Seperti antara ketakutan atau terkejut.     

Jadi sebenarnya ada apa tadi? Se persekian detik yang lalu aku memasrahkan nyawaku pada Tuhan. Dan Pak Hadi yang telah sadar namun menatapku nanar.     

Konon setiap dari diri kita yang terlahir dibumi diberi satu malaikat pelindung oleh Tuhan. Dalam keadaan teraniaya setiap doa yang kamu panjatkan akan dikabulkan oleh Tuhan secara kontan. Di jaman ini omongan orang tua menjadi patokan tindakan kita. Dan aku selalu mengikuti apa yang Simbok dan Bapak katakan padaku.     

Pak Hadi mulai berdiri dan membenahi dirinya dari daun-daun kering yang menempel pada tubuhnya. Ia masih bungkam serta memalingkan wajah dariku. Aku tahu sesuatu telah terjadi. Tapi aku masih belum mendapat jawaban apa pun dari mulut Pak Hadi yang tampak syok.     

"Aku pasti dapat pelindungan dari malaikat Tuhan. Kukira aku mati sejak tadi.. haha.. aku bahkan berpikir sudah ada di akhirat." Tuturku pada Pak Hadi yang masih terkejut.     

Aku berhasil menarik perhatian Pak Hadi. Ia menoleh ke arahku. Setidaknya aku berusaha merubah suasana kaku ini.     

"Maafkan aku nyai.. hamba akan menjadi pengikut nyai. Hamba hanya orang kecil. Hamba siap melayani nyai dengan menyerahkan nyawa hamba." Tiba-tiba Pak Hadi menyembahku. Tangannya menangkup  memohon mohon kepadaku.     

"Pak Hadi, apa yang kamu lakukan?" Aku mengangkat bahunya dan membuatnya tegap.     

Dia terlihat ketakutan padaku.     

"Nyai, saya tidak akan mengatakannya kepada siapa pun." Katanya seraya menunduk.     

"Memangnya apa yang terjadi Pak Hadi. Apa yang terjadi tadi."     

Semua yang dikatakan Pak Hadi terasa tidak masuk akal. Padahal aku bahkan merasa keadaan masih sama seperti awal perjalanan kita. Terlebih aku senang karena komplotan begal-begal itu telah pergi.     

"Nyai.. maafkan saya.. tapi saya melihat cahaya mencuat dari sini." Dia menunjuk ke arah kalungku pemberian ayah.     

Aku nampak bingung. Bertahun tahun aku memakai ini. Tidak pernah ada kejadian aneh seperti ini. Apalagi keluar cahaya dari bagian tubuhku. Itu hal mustahil.     

"Cahayanya begitu kuat lebih terang dari matahari. Bersinar cepat menembus gelap. Dan menyilaukan mata, itulah yang menyelamatkan kita tadi nyai. Jika bukan karenanya begal-begal tadi pasti sudah menebas kepala kita." Tuturnya panjang.     

Diam sejenak sambil menunduk. Ku pegang bandul kalung pemberian Bapakku sedsrk kecil dahulu.     

"Dan juga aku. Bagaimana mungkin...." tambahnya lagi dengan nada lirih namun ragu untuk melanjutkan kalimatnya.     

aku mulai mencerna apa yang dituturkan Pak Hadi. Jadi aku mengerti kenapa Pak Hadi merubah raut wajahnya. Itu pasti karena kejadian yang aku sendiri tidak melihatnya. Kejadian tidak masuk akal yang akan membuat orang awam bahkan sebijaksana Pak Hadi pun akan merasa ketakutan.     

Aku berusaha menenangkan Pak Hadi. Sekalipun aku sendiri tidak punya penjelasan rasional tentang peristiwa Itu. Kupegang pundak Pak Hadi. Aku juga berusaha tenang  Di depannya. Aku tidak mau memperburuk keadaan karena sekarang Pak Hadilah yang harus saya lindungi.     

"Pak... bukannya Pak Hadi mempunyai keluarga?.. punya istri tentu punya anak. Bagaimana mungkin Pak Hadi menyerahkan nyawamu untukku. Aku bukan Tuhan, bukan orang ningrat, apalagi wali. Aku tidak berhak menerima abdi." tuturku dan membuat Pak Hadi sedikit tenang dan berani menatapku.     

Pak Hadi terlihat mendengarkanku seraya menunduk. Lalu ia menimpaliku.     

"tapi nyai ini orang berilmu. Saya tidak bisa menjamin kan apa pun kecuali tubuh saya saat ini. "     

"Yang Pak Hadi lihat adalah kuasa Gusti Allah. Kalung ini hannyalah penyampai. Aku tidak pernah menyembah apa pun kecuali Gusti Allah. Tidak setan. Jin atau demit mana pun. Aku hanya menyembah Tuhan. Jadi Pak Hadi tidak perlu takut padaku. Yang perlu Pak Hadi takutkan adalah Yang Maha Kuasa. Dan kalung ini hanyalah pemberian atau kenang-kenangan dari almarhum Bapakku. Tidak ada yang lebih isyimewa dari itu."     

Pak Hadi bergeming tanpa sepatah kata pun. Hal itu membuatku bingung menghadapinya. Dia menjadi orang lain dalam sekejap. Baiklah jika sudah begini. Aku harus melakukan sesuatu.     

"Pak.. bukankah kita harus melanjutkan perjalanan?."     

Aku berusaha mendirikan motornya namun ternyata berat juga. Melihat itu Pak Hadi langsung berdiri dan membantuku.     

"Memang bukan jatahnya wanita. Hahaha..." kataku untuk mencairkan suasana.     

"Mari saya antar nyai.." saya menghembuskan nafas dengan kesal.     

Baiklah Pak Hadi memang tidak mau memperbaiki dirinya. Tapi, apa aku ini terlihat sudah tua sekali? Apa harus dengan sebutan Nyai? Apa aku terlihat seperti Nyainya?     

Kini motor telah hidup kembali. Pak Hadi mempersilahkan aku naik.     

"Silakan duduk Nyai.."     

Aku memutar bola mata kembali. Ini tidak bisa didiamkan. Akhirnya aku mengutarakan kekesalanku.     

"Pak.. pertama. Saya tidak suka Bapak bicara hormat kepada saya. Kedua. Terserah Bapak mau menuruti saya atau tidak. Ketiga. Saya tidak mau dipanggil Nyai. Karena saya ini belum menikah. Dan apakah saya terlihat setua itu?. Bapak sepertinya harus perhatikan wajah saya baik- baik. Keempat. Bapak harus ikut dengan aturan saya yang nomor tiga."     

Aku mendengus kesal namun dalam hati lega juga. Akhirnya aku bisa memecah kecanggungan ini.     

"Ehmm.." Pak Hadi terdengar berdehem.. tanda bahwa Dia tidak enak hati..     

"Baik. Non.."     

Saya memutar bola mata kembali.     

Seumur hidup baru pertama kali diperlakukan seperti ini.     

Akhirnya kami menyusuri jalan-jalan gelap kembali. Sepeda motor butut yang kukira akan rusak ini ternyata benar-benar tahan banting.     

Kita tidak memulai percakapan apa pun. Deru motor yang meraba jalanan tanah basah menjadi pengiring perjalanan kami. Menjadi suara satu-satunya dsri keheningan yang yercipta oleh pekatnya malam.     

Akhirnya tempat yang disebut Pak Hadi pun terlihat. Cahaya remang dari sebuah petromaks nampak berkedip kedip.  Seolah menyambut kedatangan kami.     

Aku tersenyum senang. Padahal baru beberapa waktu lalu penuh tangis. Pak Hadi juga mengendarai si butut dengan santai.     

Kita terus melaju hingga gardu. Di sana terlihat bapak bapak sedang berkumpul. Aku yakin mereka adalah penjaga desa. Mereka terus memandangi kami. Aku mengangguk dan tersenyum tanda permisi. Mereka juga membalas senyumku.     

Kukira Pak Hadi akan berhenti sejenak. Namun ternyata Dia malah terus melaju. Apakah sopan jika seperti ini?. Ah sudahlah aku tidak mau terlalu memikirkan itu. Mungkin karena Pak Hadi sudah terbiasa lewat jalan ini.     

"Ini kampung masnya non.. saya akan tanya orang sekitar alamat yang pasti  rumah masnya non.."     

"Kenapa tidak tanya Bapak-bapak yang tadi di gardu pak?"     

Pak Hadi hanya diam membisu. Tak menjawab sepatah kata pun.Kecewa? Iya. Apakah harapan bisa membawa manusia untuk berhalusinasi?. Lalu meyakini kenyataan-kenyataan palsu yang Ia anggap benar. Dan Lisa terbawa oleh skenario yang Ia ciptakan sendiri.     

Lisa sulit mengerti dirinya sendiri. Kenapa Ia menunggu sesuatu yang tak pasti. Kenapa Ia biarkan dirinya terkungkung untuk waktu yang begitu lama.     

Rendi kemudian berdiri dan duduk di tempat semula Lisa duduk. Sementara Ardi masih sibuk mengeringkan rambutnya. Jaketnya sedang ada di jemuran belakang. Lisa yang telah membawanya tadi. Hanya tersisa sedikit basah ditubuh Rendi. Paling parah memang sekitar kepala.     

"Jadi nama Lo Ardi. Gapapa dong gue casual gini ke Lo..? Kayaknya umur kita juga enggak jauh beda." Rendi menopang dagu di atas meja.     

"Gue 25."     

"Hah!"     

Rendi hampir berdiri karena kaget. Dia tahun ini saja baru akan 23. Kuliahnya saja baru semester pertama. Bagi laki-laki usia lebih dewasa adalah kebanggaan. Karena jiwa mereka adalah senioritas. Meskipun sebaliknya bagi perempuan.     

"Lo?." Tanya Ardi.     

"Apa?." Jawab Rendi.     

"Ya umur lah." Timpal Ardi lalu berdiri dan mengibaskan handuk yang total basah.     

"23. Satu bulan lagi." Jawab Rendi kesal dan sambil ekspresi sedih juga malu.     

"Oh..." hanya itu jawaban Ardi. Lalu ia berjalan menuju ruangan Lisa.     

Rendi mengekor dan merajuk.     

"Gue enggak mau panggil Lo kak, bang atau apalah. Gue tetep panggil nama Lo. Lagian muka Lo tuh enggak cocok sama umur Lo itu. Menyebalkan. Bikin orang salah paham aja." racau Rendi pada Ardi.     

Ardi menghentikan langkahnya sebelum sampai di depan pintu.     

Dia berbisik pada Rendi. "Panggil Gue Lufi aja."     

Lalu pintu terbuka. Ternyata Lisa hendak keluar.     

"saya mau ambil jaket." Kata Ardi.     

"ah jaketmu.. sebentar lagi pasti kering." Kata Lisa.     

"tapi saya harus pergi. Karena ada janji 30 menit lagi."     

"kalau begitu apa kamu akan memakai jaket basah saat ketemuan?".     

"Ah iya benar." Jawab Ardi membenarkan ucapan Lisa.     

"Kalau begitu lebih baik aku beli jaket diluar. Sepertinya hujan juga sudah reda. Terima kasih atas tehnya." Ardi bergegas setelah menyerahkan handuk basah itu pada Lisa.     

Lisa menatap punggung lelaki itu yang ternyata bernama Ardi. Lisa sedikit menyungging senyum sekalipun matanya sembab. Dia menatap handuk yang telah basah bekas Ardan lalu masuk ke ruangannya.     

Mencebik, merasa kesal dengan dirinya sendiri. Berharap hal-hal mustahil datang kepada dirinya. Termasuk, si pembaca halaman 25 itu. Orang yang tidak bertanggung jawab dan pergi meninggalkan halaman bukunya hingga usang tak terbaca.     

Rendi mencium bau-bau mencurigakan dari sikap Lisa. Aneh sekali Lisa menahan barang milik orang lain di sini. Atau lebih tepatnya Lisa ingin Ardi datang kembali ke sini. Apa Lisa pikir Ardi adalah Lufi? Itu jelas tidak mungkin. Ardi dan Lufi adalah dua orang yang berbeda. Karakter mereka aja berbeda. Lufi tidak menyebalkan seperti Ardi.     

Batin Rendi meracau lalu Ia masuk ke ruangan Lisa.     

Terlihat di sana Lisa sedang menjemur handuk basah bekas Ardi.     

"Lis.. Gue enggak salah kan?.." Lisa bergeming dengan ucapan Rendi.     

"Maksud Lo?" Lisa tampak bingung dengan ucapan Rendi.     

"Ya mungkin aja Lo pikir dia adalah Lufi beneran jadi Lo kaya ngelewatin prinsip Lo?" Jawab Rendi memastikan.     

Lisa berbalik menghadap Rendi.     

"Lo pikir Gue bego?" Jawab Lisa lalu pergi menuju perpustakaan.     

"ya terus kenapa Lo melanggar prinsip Lo?" Tanya Rendi kekeuh.     

"prinsip yang mana sih..." Jawab Lisa sebal.     

"Ya Lo itu ya Lis.. pertama sosiopat sejak Lufi pergi. Kedua Lo anti buat ngebantuin orang karena itu bukan urusan Lo. Ketiga Lo enggak bakal menahan orang asing atau tepatnya Lo suruh dia dateng lagi kesini... kenapa.?" tanya Rendi panjang lebar.     

"Lo tahu apa sih Ren.. tentang prinsip hidup Gue." jawab Lisa sambil membolak-balikkan halaman buku yang tadi Ia baca.     

"Ya tapi kan...."     

"Lo bikin halaman baca buku gue hilang." Lisa memotong pembicaraan Rendi.     

Membuat Rendi sebal saja. Tapi tidak ada yang bisa Rendi lakukan karena ini adalah waktunya Lisa membaca. Kalau diganggu bisa-bisa perang dunia lagi.     

Akhirnya Lisa menemukan halaman bacanya. Ia mulai menjadi Ratu lagi bagi Rendi. Ia tidak tersentuh, anggun dan dalam. Yang Rendi lakukan hanya menatapnya dan mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Membuat Lisa sesekali memelototinya.     

Tiba-tiba sebuah gawai terdengar berdering. Sebelum itu hampir saja Lisa mengenai kulit mulus Rendi sebagai sasaran cubitan jari-jarinya. Sudah ribuan kali Lisa mengingatkan Rendi untuk men-silent mode kan gawainya saat di dalam toko bukunya. Tapi selalu dilanggar.     

Rendi memang manusia dengan tipe degil mode akut.     

Dia tidak bisa disetir oleh siapa pun. Itulah yang membuat Ia bertahan di samping Lisa bertahun tahun setelah kepergian Lufi.     

Namun Lisa juga sama, adalah manusia degil. Ia menunggu meski tahu Ia tak akan kembali. Bagaimana caranya Lisa bertahan selama ini, memupuk pikirannya dengan harapan-harapan kosong. Mengunci dirinya dari dunia luar. Membiarkan Ia berada pada keterpurukan yang abadi.     

Tawa-tawa di antara tumpukan buku yang tersusun rapi dalam rak. Akan selalu ingat dia.. Bagaimana mungkin Lisa manusia yang punya ingatan ini bisa melupakan yang mustahil dilupakan. Bahkan jika harus menunggu tahun ke 20 ia mungkin akan tetap menunggu. Untuk mendengar jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengikatnya untuk menjadi zombi. Manusia setengah hidup.     

Kenapa Ia tiba-tiba pergi, kenapa nomornya tak bisa dihubungi, kenapa dengan wanita yang mengaku adiknya itu mendatanginya dan marah-marah, kenapa ia tak pernah datang lagi di musim hujan. Semua pertanyaan mengungkung Lisa hingga kini.     

Bahkan Rendi yang setia menemaninya pun tak mampu membuka gembok yang Ia simpan entah di mana kuncinya. Seharusnya Lisa tahu rumah yang ditinggal terlalu lama akan usang dan enggan untuk ditempati.     

Maka Lisalah rumah itu. Rumah yang usang sekali. Bertahun tahun pemiliknya tak memberi kejelasan apakah pergi atau akan kembali. Ia membawa serta seisi rumah dan kuncinya. Tanpa pernah peduli bahwa rumah yang semula kokoh pada akhirnya akan roboh.     

Namun rumah itu kini kedatangan seorang pengunjung yang tak sengaja bernaung di teras halaman rumah. Sang pengunjung tertarik untuk masuk ke dalam karena Ia tahu akan sangat dingin jika terlalu lama di luar. Anehnya , rumah yang semula terkunci kini mampu terbuka kembali tanpa sang kunci.     

Sang tamu pun mengucapkan salam, dia mengira di dalam terdapat penghuninya. Nyatanya kosong. Tak ada seorang pun menjawab setiap pertanyaan yang Ia lontarkan. Ia bermaksud tinggal hingga hujan reda, Ia membersihkan debu-debu lalu berbaring pada sebuah kursi dalam rumah tersebut. Yang mengagumkan adalah, sang tamu ini sama sekali tidak risi dengan kondisi rumah tersebut.     

JP, 10 mei 2020.     

Aku terperanjat sendiri melihat apa yang ada di sekitarku. Ini masih tempat yang sama. Dan tasku masih di sini. Motor juga masih di tempat semula. Kuraih tasku. Kuraba raba sehingga aku berdiri. Kaki yang bergetar kini mulai mereda.     

Kurasakan kulitku yang amat sangan lengket karena berhari hari tidak mandi. Belum lagi tadi berkeringat karena ketakutan. Aku melihat ddi hadapanku Pak Hadi masih terduduk menatapku. Ada apa?     

Aku masih hidup didunia yang sama.     

Namun di mana begal begal itu? Kenapa tidak jadi membunuhku padahal aku sudah dicekik tadi.     

Aku mendekati Pak Hadi dan berjongkok di depannya. Pak Hadi tampak kaget dan menghindariku.     

"Pak... apa bapak sudah sadar?. Bapak tadi pingsan." Pak Hadi tidak menjawabku Dia seperti baru saja melihat yang seharusnya tidak Ia lihat. Seperti antara ketakutan atau terkejut.     

Jadi sebenarnya ada apa tadi? Se persekian detik yang lalu aku memasrahkan nyawaku pada Tuhan. Dan Pak Hadi yang telah sadar namun menatapku nanar.     

Konon setiap dari diri kita yang terlahir dibumi diberi satu malaikat pelindung oleh Tuhan. Dalam keadaan teraniaya setiap doa yang kamu panjatkan akan dikabulkan oleh Tuhan secara kontan. Di jaman ini omongan orang tua menjadi patokan tindakan kita. Dan aku selalu mengikuti apa yang Simbok dan Bapak katakan padaku.     

Pak Hadi mulai berdiri dan membenahi dirinya dari daun-daun kering yang menempel pada tubuhnya. Ia masih bungkam serta memalingkan wajah dariku. Aku tahu sesuatu telah terjadi. Tapi aku masih belum mendapat jawaban apa pun dari mulut Pak Hadi yang tampak syok.     

"Aku pasti dapat pelindungan dari malaikat Tuhan. Kukira aku mati sejak tadi.. haha.. aku bahkan berpikir sudah ada di akhirat." Tuturku pada Pak Hadi yang masih terkejut.     

Aku berhasil menarik perhatian Pak Hadi. Ia menoleh ke arahku. Setidaknya aku berusaha merubah suasana kaku ini.     

"Maafkan aku nyai.. hamba akan menjadi pengikut nyai. Hamba hanya orang kecil. Hamba siap melayani nyai dengan menyerahkan nyawa hamba." Tiba-tiba Pak Hadi menyembahku. Tangannya menangkup  memohon mohon kepadaku.     

"Pak Hadi, apa yang kamu lakukan?" Aku mengangkat bahunya dan membuatnya tegap.     

Dia terlihat ketakutan padaku.     

"Nyai, saya tidak akan mengatakannya kepada siapa pun." Katanya seraya menunduk.     

"Memangnya apa yang terjadi Pak Hadi. Apa yang terjadi tadi."     

Semua yang dikatakan Pak Hadi terasa tidak masuk akal. Padahal aku bahkan merasa keadaan masih sama seperti awal perjalanan kita. Terlebih aku senang karena komplotan begal-begal itu telah pergi.     

"Nyai.. maafkan saya.. tapi saya melihat cahaya mencuat dari sini." Dia menunjuk ke arah kalungku pemberian ayah.     

Aku nampak bingung. Bertahun tahun aku memakai ini. Tidak pernah ada kejadian aneh seperti ini. Apalagi keluar cahaya dari bagian tubuhku. Itu hal mustahil.     

"Cahayanya begitu kuat lebih terang dari matahari. Bersinar cepat menembus gelap. Dan menyilaukan mata, itulah yang menyelamatkan kita tadi nyai. Jika bukan karenanya begal-begal tadi pasti sudah menebas kepala kita." Tuturnya panjang.     

Diam sejenak sambil menunduk. Ku pegang bandul kalung pemberian Bapakku sedsrk kecil dahulu.     

"Dan juga aku. Bagaimana mungkin...." tambahnya lagi dengan nada lirih namun ragu untuk melanjutkan kalimatnya.     

aku mulai mencerna apa yang dituturkan Pak Hadi. Jadi aku mengerti kenapa Pak Hadi merubah raut wajahnya. Itu pasti karena kejadian yang aku sendiri tidak melihatnya. Kejadian tidak masuk akal yang akan membuat orang awam bahkan sebijaksana Pak Hadi pun akan merasa ketakutan.     

Aku berusaha menenangkan Pak Hadi. Sekalipun aku sendiri tidak punya penjelasan rasional tentang peristiwa Itu. Kupegang pundak Pak Hadi. Aku juga berusaha tenang  Di depannya. Aku tidak mau memperburuk keadaan karena sekarang Pak Hadilah yang harus saya lindungi.     

"Pak... bukannya Pak Hadi mempunyai keluarga?.. punya istri tentu punya anak. Bagaimana mungkin Pak Hadi menyerahkan nyawamu untukku. Aku bukan Tuhan, bukan orang ningrat, apalagi wali. Aku tidak berhak menerima abdi." tuturku dan membuat Pak Hadi sedikit tenang dan berani menatapku.     

Pak Hadi terlihat mendengarkanku seraya menunduk. Lalu ia menimpaliku.     

"tapi nyai ini orang berilmu. Saya tidak bisa menjamin kan apa pun kecuali tubuh saya saat ini. "     

"Yang Pak Hadi lihat adalah kuasa Gusti Allah. Kalung ini hannyalah penyampai. Aku tidak pernah menyembah apa pun kecuali Gusti Allah. Tidak setan. Jin atau demit mana pun. Aku hanya menyembah Tuhan. Jadi Pak Hadi tidak perlu takut padaku. Yang perlu Pak Hadi takutkan adalah Yang Maha Kuasa. Dan kalung ini hanyalah pemberian atau kenang-kenangan dari almarhum Bapakku. Tidak ada yang lebih isyimewa dari itu."     

Pak Hadi bergeming tanpa sepatah kata pun. Hal itu membuatku bingung menghadapinya. Dia menjadi orang lain dalam sekejap. Baiklah jika sudah begini. Aku harus melakukan sesuatu.     

"Pak.. bukankah kita harus melanjutkan perjalanan?."     

Aku berusaha mendirikan motornya namun ternyata berat juga. Melihat itu Pak Hadi langsung berdiri dan membantuku.     

"Memang bukan jatahnya wanita. Hahaha..." kataku untuk mencairkan suasana.     

"Mari saya antar nyai.." saya menghembuskan nafas dengan kesal.     

Baiklah Pak Hadi memang tidak mau memperbaiki dirinya. Tapi, apa aku ini terlihat sudah tua sekali? Apa harus dengan sebutan Nyai? Apa aku terlihat seperti Nyainya?     

Kini motor telah hidup kembali. Pak Hadi mempersilahkan aku naik.     

"Silakan duduk Nyai.."     

Aku memutar bola mata kembali. Ini tidak bisa didiamkan. Akhirnya aku mengutarakan kekesalanku.     

"Pak.. pertama. Saya tidak suka Bapak bicara hormat kepada saya. Kedua. Terserah Bapak mau menuruti saya atau tidak. Ketiga. Saya tidak mau dipanggil Nyai. Karena saya ini belum menikah. Dan apakah saya terlihat setua itu?. Bapak sepertinya harus perhatikan wajah saya baik- baik. Keempat. Bapak harus ikut dengan aturan saya yang nomor tiga."     

Aku mendengus kesal namun dalam hati lega juga. Akhirnya aku bisa memecah kecanggungan ini.     

"Ehmm.." Pak Hadi terdengar berdehem.. tanda bahwa Dia tidak enak hati..     

"Baik. Non.."     

Saya memutar bola mata kembali.     

Seumur hidup baru pertama kali diperlakukan seperti ini.     

Akhirnya kami menyusuri jalan-jalan gelap kembali. Sepeda motor butut yang kukira akan rusak ini ternyata benar-benar tahan banting.     

Kita tidak memulai percakapan apa pun. Deru motor yang meraba jalanan tanah basah menjadi pengiring perjalanan kami. Menjadi suara satu-satunya dsri keheningan yang yercipta oleh pekatnya malam.     

Akhirnya tempat yang disebut Pak Hadi pun terlihat. Cahaya remang dari sebuah petromaks nampak berkedip kedip.  Seolah menyambut kedatangan kami.     

Aku tersenyum senang. Padahal baru beberapa waktu lalu penuh tangis. Pak Hadi juga mengendarai si butut dengan santai.     

Kita terus melaju hingga gardu. Di sana terlihat bapak bapak sedang berkumpul. Aku yakin mereka adalah penjaga desa. Mereka terus memandangi kami. Aku mengangguk dan tersenyum tanda permisi. Mereka juga membalas senyumku.     

Kukira Pak Hadi akan berhenti sejenak. Namun ternyata Dia malah terus melaju. Apakah sopan jika seperti ini?. Ah sudahlah aku tidak mau terlalu memikirkan itu. Mungkin karena Pak Hadi sudah terbiasa lewat jalan ini.     

"Ini kampung masnya non.. saya akan tanya orang sekitar alamat yang pasti  rumah masnya non.."     

"Kenapa tidak tanya Bapak-bapak yang tadi di gardu pak?"     

Pak Hadi hanya diam membisu. Tak menjawab sepatah kata pun.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.