PERNIKAHAN TANPA RENCANA

98



98

1Percakapan dengan Kabul sore tadi membuatnya berpikir semalaman. Malam ini benar-benar menenggelamkan pikiran Mas Sardi kepada nasibnya yang selalu ketiban sial. Entah kenapa yang dia inginkan selalu saja mendapat penolakan dari orang lain.     

Di emperan rumah, Mas Sardu duduk dengan secangkir kopi juga rokok kretek yang sedari tadi Ia sesap. Sementara Mas Kardiyang sejak sore tadi keluar belum kunjung pulang. Padahal malam sudah gelap gulita. Lampu minyak hanya menyala di ruang tengah. Ayah dan Simbok masih bercengkerama di dalam.     

Mas Sardi masih memikirkan perkataan Kabul sore tadi. Khususnya apa yang Ia katakan tentang Ranti. Kenapa tidak dengan dia saja katanya. Kalimat sederhana yang sedikit menggelitik perasaannya.     

Memang akan mudah segalanya kalau Mas Sardi berniat untuk cari jalan mudah. Nikahi saja anak kuli yang bekerja di ladang bapaknya lalu hadiahi sepetak tanah. Beres masalahnya. Sayangnya tidak semudah itu karena dibalik titah untuk menikah adalah sang Ayah. Ia tidak mungkin curang atau lebih tepatnya tidak akan diizinkan.     

Sudah dijelaskan, Mas Sardi adalah anak kesayangan. Selain pintar, Mas Sardi ini cekatan dan bertanggung jawab. Ia begitu dibanggakan oleh ayahnya sekali pun Ia mempunya adik beradik. Selain itu titah Ayahnya adalah bersifat mutlak.     

Kembali kepada Ranti.     

Ranti memang terlihat lugu. Aura gadis desa hang tidak neko-neko dan tidak banyak bicara. Kalem, lembut dan penuh kasih juga sopan santun. Setahu Mas Sardu, Ranti dekat dengan adiknya mas Kardi. Mungkin karena Mas Kardi ini lebih vocal daripada Mas Sardi.     

Mba Ranti adalah anak sulung dari keluarga Pak Darman. Salah satu kuli Ayah. Selain Mba Ranti masih ada adik-adiknya yang masih kecil.     

Beberapa kali Mas Sardu dan Mba Ranti bertemu. Namun Mas Sardi tidak pernah sekalipun memperhatikan gadis tersebut. Baru siang tadi, Ia pertama kali bercakap dengannya. Dan malam ini ia memikirkan gadis itu. Gadis yang membuatnya dilema untuk dijadikan calon pengantinnya.     

Malam semakin larut. Sayup-sayup percakapan ayah dan Simbok pun sudah tidak terdengar lagi. Kopi di gelas juga sudah tinggal ampas. Suara hewan malam semakin beraneka ragam pula. Lengkap dengan udara malam yang menelisik menembus balutan sarung Ma Sardi.     

Terdengar langkah kaki mendekat. Karena terlalu gelap Mas Sardi tidak bisa melihat siapa yang datang. Dia hanya tahu paras dan juga hentakan kakinya adalah milik adiknya. Tidak salah lagi. Mas Kardi langsung saja duduk di dekatnya. Menimbulkan bunyi "kemreot" dari bangku bambu yang mereka duduki.     

Mas Sardi dan Mas Kardi tidaklah dekat. Bahkan Kabul lebih dekat hubungannya dengan Mas Sardi. Mas Sardi tidak mau capek-capek menyapa adikknya itu. Begitu pun Mas Kardi Ia enggan untuk sekedar memulai kata kepada sang kakak.     

Mas Kardi menghela napas dalam. Sepertinya Ia melepas lelah. Entah dari mana Ia pulang selarut ini. Tapi Dia memang biasa pulang larut. Tidak ada siapa pun yang tahu Ia pergi ke mana.     

Kemudian Mas Kardi menyodorkan kretek kepada Mas Sardi. Ia meminta disalurkan bara rokok. Tanpa sepatah kata pun. Sehingga rokok yang baru ia ambil dari saku itu menyala.     

Setelah rokoknya berhasil di cumbui warna merah Mas Kardi pun menyesapnya sambil menempelkan tubuhnya di dinding bambu rumahnya.     

Mereka berdua saling diam. Tenggelam pada malam dan pikiran masing-masing. Tidak ada bahan yang bisa mereka bicarakan sekalipun mereka adalah saudara sekandung.     

Kemudian lagi dan lagi pikiran Mas Kardi dioenuhitentang Ranti. Dia juga ingat kalau Ranti itu dekat dengan Mas Kardi.     

"Cuk. Akhir-akhir ini kok Si Ranti datang kerumah ngapain ya." Mas Sardi membuka percakapan untuk basa basi.     

"Dia kan gantiin Ibunya. Lagi sakit." Jawab Mas Kardi.     

"Gantiin maksudnya?"     

"Nggak tahu kamu ya cuk. Kemana aja. Ibunya Ranti kan kuli di ladang kita. Jadi yang ngurus ladang kita selama ini siapa menurutmu? Simbok? ayah? Mana sanggup. Orang udah pada sepuh."     

Mas sardi berpikir kenapa selama ini tidak memperhatikan itu. Kuli ayah memang terlalu banyak membuat Mas Sardi tidak terlalu peduli mana yang kuli tetap dan pendatang.     

"Bapak sam ibunya Ranti itu memang kuli tetap. Alias kepercayaan. Kalau yang lain mah cuman ngikut kerja." Timpal Mas Kardi lagi.     

"Jadi kalau panen itu mereka yang ngurus?" Mas Sardi bertanya lagi.     

"Ya iyalah. Kalau panen jagung mereka yang mreteli. Kalau panen padi mereka yang menjemuri." Jawabnya.     

Mas Sardi kembali tenggelam pada pikirannya. Menyesap kreteknya yang saat ini setia memberi stimulus baik-baik saja salam benaknya.     

Kalau dipikir lagi dia masih belum tahu apakah rencana A yang Ia wakilkan kepada Kabul kelak akan berhasil. Mengetahui hasil pertama yang malah berujung mengerikan. Apakah ke lima orang terakhir kelak juga akan memberinya penolakan jahat juga?     

Ia tidak masalah jika nanti keluarga yang anak wanitanya Ia nikahi kelak menuntut ini dan itu. Ia tidak memikirkan tentang perasaannya saat ini. Yang Ia pikirkan adalah bagaimana Ia bisa memenuhi syarat yang Ayahandanya berikan untuk bisa kabur dari tempat laknat ini.     

Mengingat rencana A yang kemungkinan besar tidak akan mulus. Mas Sardu jadi berpikir tentang rencana B. Bagaimana kalau Ranti Ia taruh pada rencana B?     

"Apa kamu mau ikut transmigrasi Kar? Sama saya." Tanya Mas Sardi pada Mas Kardi.     

"Ndak minat saya. Lagian Simbok ndak bakalan menyetujuinya. Memangnya kamu mau ikut?"     

"Iya. Berangkatnya satu bulan lagi. Saya sudah mendaftar di balai desa. Tinggal mikir berangkat." Tutur Mas Sardi.     

"Memangnya sudah ijin sama ayah dan simbok?"     

Mas Sardi menghembuskan asap kreteknya ke udara.     

"Sudah." Kibulnya oada Adik pertamanya itu.     

Lalukeduanya hening kembali. Alih-alih menyudahi pembicaraan Sardi malah memberikan pertanyaan yang membuat kaget Kardi.     

"Ranti itu sudah ada yang minang belum ya Kar."     

Sontak Kardi menoleh pada wajah Sardi yang keseluruhan hanya terselimut gelap. Sebab tak ada satu pun cahaya di dekat mereka. Hanya cahaya rokok yang tak berati sama sekali kecuali melalap habis balutan tembakau itu.     

"Siapa yang mau minang dia. Kerjaannya cuma di rumah tidak pernah keluar sama sekali. Sukanya nge-rong." Kata Kardi.     

"Ya perempuan ngapain banyak keluar. Bagus di rumah lah." Timpal Sardi tidak setuju dengan anggapan negatif Wiro.     

"Ya tahu. Tapi gak ada pemuda desa yang kenal dia kecuali aku. Dia mana pernah di godain. Tak godain sedikit aja wajahnya sudah langsung kayak udang rebus."     

Mendengar penuturan Kardi, Sardi jadi sedikit tahu tentang kedekatan Kardu dan Ranti. Ternyata selain kalem Ranti itu benar-benar gadis lugu dan polos yang tidak pernah bercengkrama dengan pria mana pun.     

Lalu Sardi pun berpikir untuk mengalihkan topik pembicaraan sebelum Kardi mulai curiga.     

"Kamu itu selalu pulang selarut ini dari mana? Jangan-jangan kenthu ya kamu?" tanya wito menyelidik.     

"Kenthu apanya. Mau digantung aku sama ayah? " jawab Kardi.     

"Hla terus? Ngobor? Tapi enggak bawa obor. Engga dapet belutjuga. Lagian masih tanggal muda gelap juga."     

"Kamu itu peduli amat sama urusan saya. Sar."     

Kardi memang tidak pernah memanggil kakaknya itu dengan sebutan kak, atau mas. Ia selalu memanggil dengan namanya.     

"Alah... menghindari pertanyaanku kamu. Tinggal bilang iya kenthu. Gitu aja kok repot."     

"Gila kamu ya Sar pikirannya. Enggak sejauh itu." Kardi mulai kesal dengan Sardi.     

Mendengar sang adik yang mulai kesal Sardi pun menghentikan percakapan mereka.     

Kepala Sardi berdenyut. Setumpuk pikiran membuatnya merenung setiap malam. Belum lagi udara malam beserta kopi yang biasanya berujung kembung dan masuk angin. Tapi tanpa ini, Mungkin Sardi tidak akan benar-benar terlelap setiap harinya.Mendengar ucapan Mas Sardi, Suyudi pun langsung merah padam kembali. Ia merasa tersinggung dengan maksud kedatangan Mas Sardi.     

"Apa Di? Kamu mau melamar adikku? Kamu anggap apa adekku sampai berani-berani datang ke sini dan melamarnya. Kamu kira adekku itu sama dengan wanita yang kamu cumbui tiga hari di tempat haram itu? Mau sampai mati pun gak bakalan saya restui. Adekku terlalu baik buat orang seperti kamu."     

Suyudi mencak-mencak. Ia melepaskan emosinya yang sejak tadi tertahan.     

Mendengar kalimat panjang lebar yang diucapkan Suyudi, Mas Sardi pun menjadi merah padam. Jika bukan karena Ia sudah membawa niat baik pasti sudah melayangkan tinju ke arah suyudi. Namun ada Kabul disitu yang sedikit menenangkannya.     

"Mas Suyudi. Sampean harus jaga kata-kata sampean. Jangan sampai kata-kata mas ini malah menjadi bumerang untuk sampean sendiri. Sampean kan tidak tahu berita itu benar atau salah. Lagian kami ini datang baik-baik. Kok malah di kira merendahkan. Kalau tidak menerima lamaran Sardi ya sampean tinggal bilang tidak bisa. Jangan ngomong yang macem-macem. Sudah. Ayo pulang Di. Nggak usah ke sini lagi. Entar di kira ngerendahin." Kabul yang semula tenang kini malah tersulut emosi. Ia Pergi begitu saja tanpa salam dari rumah Suyudi. Wito yang masih terkejut pun kemudian mengikuti Kabul.     

"Permisi Di." Mas Sardi masih sempat pamit meskipun tidak mendapat respons dari Suyudi.     

Mas Sardi mengejar Kabul yang berjalan cepat karena tersulut emosi. Lalu ia menepuk bahunya.     

"Hahahha..." Mas Sardi terbahak. Ia tidak menyangka mempunyai teman seloyal Kabul. Padahal ia sendiri menahan diri untuk tahan cacian Suyudi. Tapi malah Kabul yang ambrol pertahanannya.     

"Emosi aku Di. Arogan sekali orang itu. Wong adeknya juga bukan bidadari kok."     

"Sudah sudah... wajar wong adiknya satu-satunya kok.. wajar."     

"Wajar wajar apanya. Enggak memperbolehkan adiknya menikah dengan sembarang orang itu wajar. Tapi kalau maki-maki orang yang datang dengan baik-baik itu kurang ajar." Tukas Kabul menggebu-gebu.     

Lalu Kabul pun berhenti dan menoleh pada Sardi.     

"Kamu emang udah capek melajang Di? Kok tiba-tiba mau menikah? Berani sekali kamu. Aku aja belum berani."     

Mas Sardi tak menjawab pertanyaan Kabul. Ia terus berjalan mendahului Kabul yang kesal karena tidak mendapat jawaban.     

Sepulang dari rumah Suyudi, Sardi sebenarnya kecewa dengan hasilnya. Namun Ia cukup terhibur dengan adegan Kabul yang tersulut emosi. Selain lucu, itu adalah aksi heroik seorang Kabul yang selama ini terkenal pendiam.     

Mereka berdua pun duduk di teras depan rumah.     

Karena cuaca bagus dan masih belum terlalu sore. Kabul memutuskan untuk mampir sebentar. Sambil mendengarkan penjelasan Mas Sardi. Sejak tadi Ia sebenarnya sudah sangat penasaran.     

Belum sempat Kabul menanyakan rasa penasarannya kepada Sardi, Ibu pun sudah keburu keluar.     

"Bul, di sini kamu? Sudah lama?" Ibu tersenyum ramah pada Kabul.     

"Ndakk Bu, baru saja. Baru nganterin Sardi dari...." belum sempat kabul menyelesakkan kalimatnya Sardi sudah memukul pahanya.     

"Aduhh..." Kabul pun mengusap-usap pahanya yang terasa panas. Sementara Sardi menatap kabul dengan tatapan penuh arti.     

Ibu yang menunggu jawaban Kabul pun menatap tingkah aneh mereka berdua.     

"Dari nengok kebun jagung bu... ternyata panennya bagus ya.." Kabul tertawa canggung karena telah membohongi orang tua.     

Setelah mendapat jawaban Kabul, Ibu pun berlalu dan masuk rumah.     

"Kamu tuh memang ember bocor enggak bisa jaga rahasia. Dasar.!" Sardi pun langsung mengomeli Kabul yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.     

"Loh.. kamu yang aneh Sar.. mana aku tahu kalau itu rahasia. Wong kamu dari tadi ditanyain mlintir-mlintir kayak bambu kena angin." Kabul tertawa dengan peribahasa yang Ia buat sendiri.     

"Heh. Aku ini baru mau cerita. Kamu nya aja yang enggak sabaran." Tukas Mas Sardi membela dirinya sendiri.     

"Jadi gimana ceritanya." Lanjut Kabul yang tidak sabar.     

"Sabar to kamu tuh Bul."     

Lagi-lagi kabul di semprot oleh Mas Sardi.     

Mereka pun merubah posisi duduk. Sehingga saling berhadapan. Sementara Kabul memperhatikan setiap detil yang di ucapkan Wito.     

"Begini. Aku mau ikut transmigrasi."     

"HAH!" Kabul yang terkejut sontak mendapat sebuah tampol kecil dari jemari Sardi.     

"Diem. Jangan keras-keras"     

"Iya iya.. memangnya kenapa kamu mau ke sana? Kenapa?" Tiba-tiba kabul dan bersifat kooperatif.     

"Ya mau pindah saja. Cari hidup baru. Aku rasa disini sudah enggak ada yang tersisa buat aku."     

"Ya tapi kenapa harus transmigrasi jonnn jon... kamu kira gampang itu mulai hidup baru. Di Sumatera lagi. Masih hutan di sana itu. Enggak dipikirin ke situ apa." Kabul ngomel-ngomel lagi.     

"Diem dulu kamu." Timpal Mas Sardi.     

Tiba-tiba Ibu keluar dari dalam membawa dua gelas kopi dan singkong rebus dalam satu nampan.     

"Wah... ini dia yang bikin melek." Seloroh Kabul membuat Ibu tersenyum dan Mas Sardi sedikit geli melihat tingkah temannya ini.     

"Dimakan ya Bul, jangan disisain. Kalau kurang masih banyak di dalem." Timpal Ibu.     

"Siap buk.." jawab Kabul sambil mengunyah singkongnya.     

Ibu pun kembali ke dalam. Sementara Mas Sardi celingak-celinguk memastikan Ibu sudah masuk ke dalam dan tidak akan mendengar percakapan mereka berdua.     

"Kanapa? " melihat gelagat Mas Sardi ,Kabul pun menjadi curiga.     

Namun Mas Sardi masih belum menjawab.     

"Enggak di izinin ya.?" Ucap Kabul sekali lagi.     

Mendengar pertanyaan Kabul, Mas Sardi langsung menatapnnya.     

"Kok bisa tahu?" Mas Sardi menatap Kabul intens. Sementara Kabul sibuk mengunyah singkong rebusnya.     

"Kamu ini aneh. Orang dulu kamu mau jadi polisi tinggal berangkat saja enggak boleh. Apalagi ini enggak ada tujuannya. Selain melarikan diri kayak pengecut."     

Kabul nyerocos sekenanya namun memang benar-benar mengenai hati Mas Sardi     

Apa yang di katakan Kabul benar. Simbok pasti berat melepaskan Mas Sardi anak sulungnya untuk merantau ke tanah antah berantah. Karena itu Ia membutuhkan dukungan ayahnya untuk membujuk Simboknya. Sedangkan untuk mendapat dukungan ayahnya. Ia harus menikah terlebih dahulu.     

"Masalah Simbok memang rumit Bul. Tapi bapak sudah setuju. Hanya saja aku harus memenuhi syarat. Itu yang susah."     

Mata Kabul membelalak. Menyadari ternyata tujuan Mas Sardi mengajaknya untuk ke rumah Asri demi melamarnya adalah untuk memenuhi syarat dari ayahnya. Kejam sekali temannya satu ini. Dia akan menikahi wanita bukan karena mencintainya namun karena ia membutuhkan persetujuan ayahnya untuk berangkat transmigrasi.     

"Gila kamu. Jadi kamu mau menikah hanya untuk memenuhi syarat bapakmu itu?"     

Mas Sardi mengangguk dan menyesap kopinya pelan.     

"EDAN! Enggak punya hati." Ucap Kabul lagi.     

"Yang menyukai kamu kan banyak pilih saja salah satu." Usul Kabul memberikan solusi sekalipun Ia geleng kepala dengan tujuan temannya itu.     

"Kamu benar yang menyukai saya banyak. Tapi karena masalah kemarin itu, ku kira pamor saya sudah luntur." Jawab Mas Sardi.     

"Ya sudah pasang susuk saja." Mas Sardi yang menyesap kopinya hampir saja tersedak oleh ucapan sembarang temannya itu.     

"Kamu yang gila Bul. Bukan aku. Dasar semprul kamu memang."     

"Lah terus bagaimana. Kamu lihat Si Suyudi tadi? Kamu pikir semuanya enggak bakal sama?"     

Mendengar penuturan Kabul membuat Mas Sardi menyadari. Bahwa dirinya sekarang memanglah sudah di cap buruk di mata orang desa. Dia yang tidak punya kesempatan untuk membersihkan namanya telanjur buruk di mata semua orang kecuali keluarganya dan temannya ini. Kabul.     

"Permisi mas..." Masih asik bercengkrama dengan kabul tiba-tiba suara seorang gadis datang dari arah belakang Mas Sardi. Tepatnya di depan pintu masuk rumah.     

Kabul sudah tersenyum sejak tadi. Sepertinya Ia terpana dengan gadis ini.     

"Eh dek Ranti" Ranti hanya tersenyum menimpali sapaan Kabul.     

Mas Sardi pun membalikkan badan. Ia melihat Rantimembawa sebuah ceting berisi jagung. Mas Sardk tahu, karena ini bukan pertama kalinya. Kalau diingat-ingat, akhir-akhir ini Ranti memang sering sekali datang ke rumah.     

"Dek Ranti. Bawa jagung ya.." Mas Sardi pun beranjak dan mengambil ceting yanh Ranti bawa.     

"Iya mas, ini hasil panen pagi ini, sudah di preteli." Jawab Ranti dengan sopan.     

"Yasudah ini saya bawa masuk ya. Mau ketemu Simbok dulu?     

Ranti menggeleng.     

"Ndak mas, saya pamit dulu. Soalnya sudah sore."     

Mendengar penuturan Ranti, Mas Sardi pun mempersilakan.     

"Oh yasudah kalau begitu. Terima kasih ya. Akan saya sampaikan kepada Simbok"     

"Iya mas. Sama-sama." Jawab Ranti sambil lalu.     

Rantibp pun berlalu pergi.     

"Sering ke sini ya?" kabul menimpali setelah kepergian Ranti.     

"Iya akhir-akhir ini. Mungkin karena musimnya panen. Bapaknya dia kan kerja sama bapakku." Kabul hanya mengangguk-angguk.     

"Kenapa enggak sama dia saja." Seloroh Kabul asal bicara sambil memisahkan singkong dari serat tengahnya.     

Sardi hanya diam. Dari semua wanita, Sardi memang tidak pernah menuliskan nama Ranti. Selain karena Mas Sardi tahu Ranti tidak punya perasaan padanya. Sardi tahu bahwa Ranti itu gadis baik-baik yang akan terlalu kasihan menerima niat Sardi untuk mempersuntingnya.     

"Ah.. tidak lah Bul. Saya sudah mempersiapkan enam nama. Si Asri sudah gugur. Berati tinggal lima lagi. Saya cuma punya waktu sampai akhir bulan ini. Karena minggu depannya sudah pemberangkatan. Masalahnya lima orang ini saya tidak tahu akan responsnya bagaimana. Saya hanya yakin sama perasan mereka kepada saya. Mereka yang saya nilai paling tulus sama saya. Tidak tahu kalau orang tua mereka modelnya seperti Suyudi"     

Tutur Sardi pada Kabul yang memperhatikannya sejak tadi.     

"Lalu rencana kamu apa?"     

"Ya kamu." Mendengar dirinya ditunjuk membuat kabul memundurkan badannya. Dan memasang wajah pura-pura polosnya.     

"Kenapa saya? Mau nikah sama saya?" Sardi terbahak-bahak mendengar temannya ini salah tangkap maksud dari rencananya.     

"Edan po!. Tobat.. tobat... punya teman model kamu." Kabul semakin bingung dan wajahnya semakin kocak saja.     

"Ya kamu bukan untuk saya nikahi. Untuk saya jadikan perantara. Antara aku dan orang tua mereka."     

"Oh..." Kabul pun ber-oh ria mengetahui tugasnya kali ini.     

Namun satu nama yang kini terpikirkan oleh Sardi. Yaitu Ranti. Apakah mungkin Ia bisa dijadikan salah satu kandidat calon istrinya?seandainya mungkin. Apakah Dia mau menerimanya?"Di, kamu ngapain bawa cangkul." Pagi itu Mas Sardi di kejutkan suara Ayah. Seketika membuatnya menoleh dan meletakkan kembali cangkul yang hendak Ia panggul.     

Aku, Mas Kardi san Mas Mardi pun nampak menoleh kepada mereka berdua.     

"Loh yah. Kan memang biasa aku bawa cangkul. Memang harus bawa apa? Sabit? Kan itu ayah udah bawa." Jawab Mas Sardi kapadanya.     

"Hla ya ngapain wong kita ini mau lihat hasil panen." Jawab Ayah.     

"Oh Tumben Pak..." Mas Sardi lalu membiarkan cangkulnya setelah mendengar jawaban ayah.     

Ternyata hari ini adalah waktunya panen padi. Beberapa hari yang lalu memang Ayah sempat bilang kalau padinya sudah waktunya di panen.     

Mereka pun berjalan menuju sawah. Sawah yang hendak mereka panen kali ini berada di pinggiran desa. Tepatnya di wetan atau timur desa. Ada dua kotak. Dengan ukuran persegi yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil.     

Sesampainya di sawah, Ayah meletakkan plastik yang berisi ketupat dan lepat. Jumlah masing-masing lima ketupat dan 7 lepat. Ia menaruhnya di pinggiran galeng sawah di atas daun pisang dan ia beri bunga serta sebuah rokok.     

Ketupat berarti kekuatan, lepat berarti keselamatan. begitulah filosofi orang jawa yang digunakan turun temurun oleb nenek moyang kami.     

Kali ini Mas Sardi hanya membawa tangan kosong. Mungkin yang di butuhkan hanya lah tenaganya. Atau tidak perlu sama sekali karena ayahnya sudah menyewa tukang peret atau tukang panen. Peret adalah alat yang di gunakan untuk menggiling padi secara manual.     

Alat tersebut masih membutuhkan kinerja manusia. Terbuat dari kayu yang di dua sisinya terdapat pedal. Sehingga ketika pedal itu di putar maka berputarlah bagian tengah mesin itu. Fungsinya adalah sebagai filter padi antara biji dengan batangnya. Terdiri dari paku-paku yang runcing yang menancap di kayu tersebut. Lalu seorang lagi akan menepuk-nepuk batang padi yang masih menempel biji padinya ke paku-paku tadi dan terus diputar sehingga batang padi menjadi bersih dari bijinya.     

Sangat tidak efektif memang. Akan tetapi saat ini mesin inilah yang Indonesia punyai. Berharap suatu saat Indonesia punya mesin yang lebih canggih dan memudahkan segala urusan pertanian.     

Selain tukang panen. Biasanya akan berbondong-bondong warga yang hendak mengais tumpahan-tumpahan padi dari mesin penggiling padi manual. Atau biasa disebut tukang ngasyig. Tukang ngasyig ini akan memunguti padi yang kemungkinan berceceran di kanan kiri mesin.     

Ayah pun kemudian memimpin doa. Diikuti oleh para petani yang ayah pilih untuk menjadi pengeksekusi panen kali ini. Setelah doa selesai mereka pun sigap dengan posisi masing-masing. Dengan peralatan yang mereka bawa mereka sigap memotong padi yang sudah merunduk itu. Mereka jadikan satu ikat gulungan besar lalu mereka panggul ke tempat penggiling.     

Mas Sardi hanya santai menyaksikan dari pinggir sawah. Ini bukan tugasnya dan bukan wewenangnya, pikirnya. Di bawah pohon kluwih, Kebetulan hari ini sedang tidak berbuah jadi Ia tidak perlu khawatir akan buahnya jatuh mengenai kepalanya. Ayah nampak berjalan-jalan di pinggiran galeng dan bercengkerama dengan para petani.     

Mas Sardi pun mengeluarkan sebatang rokok yang hendak Ia sesap. Untuk menemaninya menjadi asisten mandor dadakan. Namun Ia di kagetkan oleh suara wanita yang semalam menjadi topik perbincangannya dengan Kabul. Yang masih ada dalam pikirannya hingga kini.     

Ia mendengar langkah kaki dari belakang. Di sana nampak Mba Ranti membawa sebuah bakul dipunggungnya dan juga menenteng tempat air minum beserta isinya yaitu es teh manis di sebelah tangan kanannya dan menjinjing sebuah termos.     

Mas sardi yang melihatnya kesusahan pun langsung membantunya. Padahal tidak di bantu pun Mba Ranti mampu mengatasinya.     

Mas Sardi berdiri, mengambil bakul di punggung Mba Ranti. Ternyata cukup berat juga. Bagaimana wanita ini bisa membawa semua nini dengan tubuh yang sekecil ini, pikir Mas Sardi.     

Mas Sardi meletakkan bakul itu di bawah yang sudah terpasang alas dari karung goni yang di jahit seadanya. Mba Ranti pun duduk di sampingnya. Lalu Ia mulai mengeluarkan isi dalam bakulnya.     

Pertama-tama Ia melihat daun pisang sebagai tutup. Di buka lah daun pisang itu. Lalu tampak di dalam isinya. Mas Sardi melihat ada setengah lusin gelas, gorengan tahu, wajik dan ketan serta dua toples kecil gula dan kopi.     

Mas Sardi yang masih setia di sampingnya pun mulai menyulut rokoknya.     

Lalu Ia bertanya pada Mba Ranti.     

"Kok tidak ada rokok Ran"     

"Ada mas... ini"     

Nampak Mba Ranti mengeluarkan dua bungkus rokok beserta korek apinya dari plastik hitam.     

Setelah Ia susun semuanya. Ia pun menawari Mas Sardi sebuah kopi.     

"Mau kopi mas?"     

Mas Sardu pun menghembuskan kepulan asap rokoknya lalu mengangguk.     

"Jangan manis-manis ya Ran. Kamu saja sudah manis."     

Sontak Mba Ranti salah tingkah mendengar gombalan Mas Sardi. Membuat Mas Sardi menyunggingkan senyumannya. Benar kata Kardi, gadis ini memang benar-benar lugu. Batin Mas Sardi.     

Mba Ranti tidak menimpali gombalan dari Mas Sardi. Ia hanya terus menuang air panas ke kopi Mas Sardi. Asap mengepul dari cairan hitam itu. Lalu bunyi dari peraduan sendok dan kaca pun mendominasi.     

"Mas Kardi kok nggak ikut mas.?"     

Mendengar pertanyaan Ranti membuat Mas Sardi menoleh padanya. Sekejap mereka pun beradu pandang. Lalu Mba Ranti langsung memalingkan muka berpura-pura merapikan hidangan di depannya. Mas Sardi masih menatapnya.     

"Ada aku kok nanyanya Kardi yang nggak ada Ran."     

Sontak Mba Ranti melirik ke arah Mas Sardi yang masih menatapnya dan langsung memasang wajah bersalahnya.     

"Ndak begitu mas.. anu... ya mungkin saja gitu mas Sardi sama Mas Kardi datang bareng."     

Jawaban mba Ranti semakin membuat hati Mas Sardi terasa sedikit tersaingi oleh adiknya sendiri.     

Mas Sardi tersenyum kecil.     

"Nggak papa Ran. Jangan merasa bersalah gitu. Kardi enggak suka ke ladang atau sawah Ran. Dia bantu-bantu ibu di rumah. Ya kaalau enggak di paksa ke ladang enggak bakal mau. Bukan bakat dia di sini."     

Mba Ranti hanya mengangguk mengerti.     

"Kamu sendiri suka ke sawah Ran?" Tak ingin kehilangan topik pembicaraan Mas sardi memulai lagi pertanyaan kepada mba Ranti.     

"Suka mas. Adem rasanya. Plong. Di rumah terus itu sumpek." Jawabnya.     

"Iya benar kamu. Aku juga sama merasa seperti itu. Kamu di sini sampai selesai to Ran?" tanya Mas Sardi lagi.     

"Enggak mas. Nanti. Nunggu Bapak istirahat baru pulang. Kan harus bikin kopi untuk mereka juga."     

Mas Sardi mengangguk saja. Ternyata di antara petani-petani itu ada Pak Darman juga.     

Sinar matahari mulai meninggi. Rokok yang sedari tadi Mas Sardi sesap juga sudah sampai pangkal. Ia membuangnya sembarang setelah mematikan baranya. Ia pun berdiri dan meregangkan badannya.     

"Ayo. Kamu mau ikut? Kita jalan-jalan ke tengah sawah." Tanya Mas Sardi. Dan disambut senyuman oleh Mba Ranti.     

"Tapi ini gimana mas?"     

"Enggak apa-apa. Tinggal saja."     

Mereka pun berjalan turun ke galeng menuju tengah-tengah. Disana terdapat ayahku, pak Darman dan kuli-kulinnya. Sesekali Mas Sardi menoleh ke belakang, menatap wajah serius Mba Ranti berjalan di atas galeng sempit.     

Sesampainya di tengah Mas Sardi menyapa ayah. Ia juga melihat Mba Ranti di belakang Mas Sardi dengan tatapan aneh. Kemudian Pak Darman melihat ke arah putrinya. Menanyakan ada keperluan apa.     

"Ada apa ndok. Kamu kok jalan sampai ke sini." Tanya Darman.     

"Ndak apa pak. Cuman mau lihat." Jawab Mba Ranti.     

"Owalah calon e to?" Timpal salah satu petani.     

Sontak wajah Mba Ranti merah dan Mas Sardi pun salah tingkah. Sementara ayah dan pak Darman memberikan tatapan yang tak bisa di mengerti.     

"Calon mandor maksud e"     

Lalu semua pun ikut tertawa. Begitu pun Mas sardi, Mba Ranti,Ayah dan Pak Darman.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.