PERNIKAHAN TANPA RENCANA

99



99

0Tiga hari pun telah jatuh pada temponya. Seperti yang di janjikan Kabul kepada Pak Soleh bahwa Ia akan datang lagi guna mempertanyakan jawaban dari Darwati. Semoga saja berhasil harapan Kabuk untuk temannya itu.     

Kabul tahu hari ini adalah hari Jumat. Maka untuk waktu tidak di permasalahkan. Karena hari Jumat adalah hari libur nasional untuk para petani. Berbeda dengan orang-orang dinas. Petani memang memilih hari libur pada hari Jumat karena di nilai harinya pendek dan juga di selingi dengan Shalat Jumat.     

Kabul tidak ingin terlalu bersantai-santai. Ia justru mendahulukan amanah yang di berikan oleh temannya itu. Ia berangkat seusai urusan rumah selesai. Dengan celana jubrai dan kemeja kotak-kotak lengan pendek serta rambut yang disisir rapi dan klimis. Kabul berangkat menuju rumah Pak Soleh.     

Dia datang dengan penampilan paling sopan menurutnya.     

Sampailah Ia di depan pintu rumah Pak Soleh yang kebetulan tidak di tutup itu menandakan bahwa pemilik rumah sedang berada di rumah semua. Kabul pun mengucap salam.     

"Assalamualaikum"     

selang beberapa detik seseorang teedengar menjawab dari dalam.     

"Waalaikumsalam...eh mas kabul." Nampak Istri Pak kabul keluar dari dalam dengan wajah yang cerah ceria.     

"Anu buk saya ingin membahas yang kemarin."     

"oh.. iya-iya mas.. silakan masuk. Duduk dulu sambil ngeteh." Istri Pak Soleh ini begitu ramah dan semringah. Tidak seperti kelihatan penampakan luarnya.     

"Sebenernya Bapak sedang keluar mas, tapi beliau sudah berpesan kepada saya." Sebagai tamu Kabul tidak mau banyak tanya Ia hanya mengangguk-angguk percaya dengan semua ucapan Istri Pak Soleh ini.     

"Kita sebagai orang tua ya setuju saja ada orang baik kepada kami. Tapi saya maunya ada pendekatan dulu begitu. Jangan ujug-ujug kawin. Enggak baik di pandang orang." Kabul masih mengangguk-angguk di depannya.     

"Kira-kira pendekatannya yang seperti apa ya buk, apa harus langsung orang tua datang kesini..."     

"Oh tidak begitu mas Kabul, maksud saya pendekatan apa anak saya di ajak jalan-jalan, apa ke pasar di belanja kan.. atau gimana lah anak muda jaman sekarang." Tiba-tiba omongan Kabul di potong begitu saja. Kabul pin mengiyakan permintaan istri Pak Soleh tersebut.     

Lalu keluarlah Darwati membawa nampan yang di atasnya terdapat dua gelas berisi teh hangat. Namun tidak di sangka si Darwati ini nampaknya menaruh nampan tersebut asal-asalan. Terlihat tidak sopan dan jengkel. Sampai menimbulkan bunyi karena kedua gelas berbenturan.     

Melihatnya membuat Ibu Darwati tertawa sungkan. Kabul pun memandang Darwati yang nampak masam dan melirik ke arah Ibu Darwati lalu mengikutinya tertawa.     

"Ati-ati to nduk.." Kata Ibunya. Darwati pun menoleh ke arah kabul lalu tersenyum yang di paksakan.     

"Maaf mas. Ndak sengaja." Begitu menaruh gelas dan Ia pun pergi melenggangkan badan ke belakang lagi.     

"Grogi mungkin mas ya.." Yang di maksud Ibunya adalah kelakuan yang di buat darwati di depan kabul tadi adalah karena Ia sedang grogi. Padahal hal tersebut malah memunculkan pertanyaan baru buat kabul. Kenapa Darwati harus grogi di depan Kabul. Bukankah seharusnya grogi itu di munculkan di depan Sardi. Karena kabul tahu jelas Darwati adalah orang yang dulu teegila-gila dengan Mas Sardi.     

Lalu pertanyaan lain lagi. Kenapa Darwati memunculkan wajah yang masam dan senyum yang di paksakan. Bukan kah seharusnya Ia semringah selayaknya Ibunya semringah sekarang.     

Kabul pun membuatkan janji temu antara Mas Sardi dan Darwati. Lagi-lagi hanya melalui Ibunya. Sebenarnya kabul ingin sekali berbicara dengan Darwati. Tapi sepertinya Ibunya ini begitu mendominasi percakapan mereka sehingga Kabul tidak punya sela waktu untuk memintanya.     

Berhubung besok adalah malam minggu. Kebetulan sekali untuk kabul menjadwalkan besok untuk pertemuan Mas Sardi dan Darwati. Mas Sardi mengatakan kepada Ibu Darwati untuk mengatakan kepada anaknya bahwa Mas Sardi akan menjemputnya tepat setelah bakda asar. Ibu Darwati pun meng iyakan kemudian Kabul pun pamit kepadanya untuk pulang.     

Kabul tidak memikirkan sikap Darwati lagi. Ia merasa tugasnya hampir selesai kali ini. Ia ikut bahagia jika temannya kelak juga bahagia.     

Kabul tidak pulang menuju rumahnya. Alih-alih kembali ke rumahnya Ia malah tidak sabar untuk menyampaikan hasil kerjanya kepada Mas Sardi. Ia menuju rumah kami. Semua orang tampak di rumah rupanya. Termasuk ayah.     

Kabul pun menyalami ayah dan Simbok. Lalu Ia duduk di bangku lebar yang terbuat dari bambu itu. Lincak. Mereka menyebutnya.     

"Ealah bul-bul rajin banget kamu itu apel anak sulungku." Kata Simbok yang kemudian berlalu ke dalam untuk membuatkan minuman untuk Kabul.     

"Kalao bukan aku ya siapa lagi buk yang mau apel sama bujang lapuk ini." Sontak Kabul dapat cubitan dari Mas Sardi. Dan yang lainnya pun ikut menertawakannya.     

Tiba-tiba sang bapak mengucapkan kata-kata hang membuat semua orang terdiam.     

"Bentar lagi enggak lama kok Bul." Sontak Kabul langsung mengunci mulutnya. Memang benar jika Mas Sardi berhasil menemukan calonnya sudah pasti bentar lagi. Tapi menggaet satu wanita saja susahnya minta ampun.     

Karena seluruh keluarga berkumpul sehingga Kabul tidak punya kesempatan untuk melaporkan misinya kepada Mas Sardi. Ia takut jika misinya bocor malah akan mengacaukan segalanya.     

Akhirnya Mas Sardi pun mengurungkan niatnya itu. Ia menunggu hingga mereka semua beraktivitas masing-masing sehingga tersisa hanya Kabul dan dirinya.     

Sayangnya hingga waktu menjelang Shalat Jumat pun mereka masih tetap berkumpul. Hanya masing-masing bergantian untuk mandi. Namun tidak benar-benar meninggalkan Mas Sardi dan kabul berdua. Mas Sardi pun memutuskan untuk mandi. Kabul memberikan kode bahwa Ia harus menyampaikan misinya namun sepertinya tidak sampai kepada Mas Sardi. Mas Sardi malah berlenggang meninggalkannya.     

Sementara Mas Sardi mandi, kabul berbincang-bincang dengan ayah, Mas Kardi dan Mas Mardi. Mereka sesekali tertawa sesekali serius dan sesekali membahas masa depan.     

Kabul pun memutuskan untuk berangkat ke masjid bersama mereka. Jadi terasa kalau kabul itu salah satu di antara keluarga mereka.     

Mereka mendapat shaf di tengah. Karena belum adzan ke dua mereka pun mendengar kan khotbah terlebih dahulu. Sebenarnya Kabul punya kesempatan untuk bercerita lirih-lirih saat ini. Tapi Ia merasa kurang sreg dalam hatinya jika bercerita dalam keadaan ini. Sehingga Ia mengurungkan kembali niatnya.     

Dia hanya mengatakan singkat. Kepada Mas Sardi.     

"Berhasil." Kata kabul tiba-tiba. Yang sebenarnya Ia geram karwna sejak tadi Mas Sardu tidak konek juga.     

"Hah.. apanya Bul?" jawabnya masih bingung. "apanya" lirih Mas Sardi lagi karena beberapa orang terlihat menatapnya.     

Sementara kabul tidak peduli dan menghadap ke depan untuk mendengarkan khotbah. Mas Sardi memikirkan maksud Kabul, namun akhirnya dia paham juga yang di maksud kabul. Mas Sardi pun menepuk paha Kabul dan terlihat semringah.Malam itu Mas Sardi berencana ke rumah Kabul. Ia hendak menanyakan tentang progres siasat yang mereka buat kemarin sore.     

Sesampainya di rumah Kabul Ia pun mengucapkan salam. Namun Ia tidak mendapati Kabul keluar dari rumah gubuk itu.     

Yang Ia temui malah Ibunya.     

"Lho Kabul lagi pergi Di. Dari tadi sore. Bilang nya apa gitu sama kamu. Kok malah kamu ke sini."     

"Iya Bu... tidak apa apa saya tunggu di depan. Paling juga bentar lagi pulang." Jawab Mas Sardi sambil menuju arah bangku dari bambu itu.     

"Tak kira in perginya sama kamu lho malahan. Yaudah tak buatin teh ya? Teh apa kopi?"     

"Hehehe kopi aja buk. Matur suwun."     

"Iyo. Di tunggu yo."     

Ibunya Kabul pun berlalu. Belum sampai sepuluh menit Ibunya Kabul masuk rumah, Kabul pun muncul dari arah bersebrangan.     

"Loh cuk. Udah nyampe sini aja kamu. Nggak sabar ya."     

Asem memang teman Mas Sardi satu ini. Kalau ada orang lain pasti sudah mikir yang enggak-enggak sama ucapannya itu.     

"Prungsang lah aku. Entar kamu maki-maki orang lagi kayak kemarin." Jawab Mas Sardi tidak mau kalah.     

"Meragukan kemampuanku kamu.?"     

Kabul pun mendekati Mas Sardi lalu duduk di sampingnya. Sementara Mas Sardi menyodorkan bungkusan kretek lengkap dengan korek nya.     

"Gimana?" Sodor Mas Sardi dengan pertanyaan pada Kabul.     

"Sabar Di kamu itu. Mau nyulut rokok dulu ini. Napas dulu."     

Kabul berkelakar.     

Mas Sardi mencebik.     

Kabul membuang kepulan di udara. Ibunya pun muncul dari dalam rumah dengan secangkir kopi diatas nampan. Sontak kabul menoleh ke arahnya.     

"Buk.. aku nggak di buatin kopi? Anakmu ini lho yang paling ganteng sendiri." Kelakar Kabul.     

Mas Sardi merasa geli mendengar Teman somplaknya itu memuji dirinya sendiri. Apa enggak punya cermin di rumah ya.     

"Lho ini anak manang ibu mau di buatin. Lengkap sama cinta nya dari Ibu." Seloroh ibunya kabul menimpali gombalan kabul yang menggelikan. Ternyata Ibunya juga sama. Yang berbau menggelikan dari Kabul itu memang turun dari gen ibunya sepertinya.     

Ibunya pun meninggalkan kami. Tinggaal aku dan kabul yang sama-sama di bius kenikmatan rokok.     

"Tuh suaramu itu. Di kendorin dikit."     

"Apa sih Di...kamu itu sirikkkk aja sama aku kerjaannya"     

"Ibumu yang di belakang aja bisa tahu kamu sudah pulang. Artinya suaramu itu kedengeran dari sana."     

"Enggak enggak.. cuman telepati." Kilah Kabul.     

"Telepati telepati dari hongkong?" jawab Mas Sardi     

"Mau di ceritain apa enggak?" Ancam Kabul.     

"Iya tapi jangan keras-keras ngomongnya. Entar seantero bumi jadi tahu."     

Kabul hanya menanggapi dengan deheman.     

Kabul pun mulai menceritakan kronologi perjalanannya sore tadi ke rumah Darwati.     

Kabul sengaja memilih waktu sore hari. Karena Ia tahu pagi dan siang adalah jam nya orang kerja. Kabul juga harus kerja dulu tadi. Sehingga ia hanya punya waktu sore ini.     

Sama seperti Mas Sardi Kabul pun penasaran dengan rencana mereka. Apakah akan berhasil atau gagal. Maka dari itu Kabul tidak menunda-nunda sehari pun untuk menjalankan misinya.     

Sesampainya Kabul di rumah Darwati, Ia di sambut Ibunya. Sebenarnya agak merinding melihat penampilan Ibunya itu. Selain badannya besar suaranya juga tidak kalah besar. Akan tetapi pada dasarnya orangnya baik. Emas singapur pun tentrem di pergelangannya.     

Orang-orang biasa menyebut emas singapur yang artinya emas dari luar negeri. Yang tidak bakal laku jika dijual di pasaran lokal.     

Kabul menyampaikan maksudnya untuk bertemu dengan ayah Darwati. Namun Kabul tidak memberitahu tentang tujuan sebenarnya sampai Ia di persilahkan masuk rumah. Duduklah kabul di ruang tamu mereka.     

Pak Soleh namanya. Duduk hanya dengan mengenakan sarung. Ia meracau gerah sejak dari dalam tadi. Ia di temani istrinya yang Kabul yakin sangat penasaran dengan kedatangannya.     

"Ada apa mas kabul... tumben-tumbenan datang ke rumah kami." Tanya Pak soleh selepas mereka berjabat tangan.     

Kabul tersenyum terlebih dahulu. Untuk memberikan kesan positif.     

"Anu pak Soleh. Sebelumnya mohon maaf karena saya lancang datang ke sini. Sebagai utusan teman saya. Namun sebelumnya izin kan saya bertanya dahulu."     

"Apa mas, monggo." Jawab Pak Soleh ramah.     

"Begini, apakah anak perempuan panjenengan yang bernama dek Darwati sudah ada yang meminang.? Jika sudah ada maka saya selaku utusan tidak perlu melanjutkan tujuan dari saya diutus ke sini."     

Wajah ramah Pak soleh dan istrinya sontak berubah. Tidak menjadi masam namun terkejut pastinya.     

Namun sang istri buru-buru bertanya.     

"Siapa mas Kabul.?"     

Istri Pak Soleh ini orangnya terlalu mudah penasaran rupanya.     

"Apanya bu?"     

"Ya yang mau ngelamar to mas. Gimana kamu itu."     

Kabul belum menjawab pertanyaannya namun buru-buru menatap pak soleh supaya terlebih dahulu mendapat jawaban darinya.     

"Anak saya belum ada yang minang mas kabul. Namun siapa gerangan yang mengutus mas kabul ke sini." Jawab Pak soleh tenang.     

"Anak sulung dari Pak Timbul dan Bu duminah Pak Bu, beliau mengutus saya untuk menanyakan tentang setatus anak pak soleh yang bernama Darwati. Apakah diperkenankan untuk beliau persunting jika insyaAllah jodoh."     

Mendengar penuturan inti dari Kabul intri Pak soleh langsung sempringah. Ia langsung mengatakan Iya. Tanpa menanyakan dahulu kepada putrinya.     

Namun berbeda dengan raut muka Pak Soleh yang masih serius dan penuh pertimbangan. Ia memegang tangan istrinya supaya menjaga lisannya.     

"Mengenai itu, apakah bisa di beri waktu dulu mas. Supaya saya tanyakan dulu pada darwati." Ujar pak soleh.     

"Tentu saja pak, dengan senang hati. Maka saya akan ke sini lagi tiga hari ke depan. Untuk itu saya terima kasih telah di jamu dan mohon maaf telah merepotkan bapak dan ibu. Saya undur diri pulang dahulu."     

"nggeh mas. Sama-sama"     

Begitulah kronologi misi pertama yang di jalankan oleh Kabul ke rumah Darwati. Sejauh ini masih aman tutur kabul pada Mas Sardi. Mas Sardi pun nampak tersenyum. Akhirnya dilancarkan juga siasat yang sudah mereka rancang.     

Misi pertama belum bisa di katakan berhasil sampai tiga hari ke depan. Dan Mas Sardi mendapatkan jawaban pasti untuk menikahi Darwati. Semoga kali ini akan berakhir baik. Jika pinangan pada Darwati berakhir sukses maka selanjutnya adalah membawa orang tua Mas Sardi kepada orang tua Darwati. Maka tidak akan ada misi-misi yang lain lagi untuk Kabul.     

Selanjutnya tinggal menjalankan sesuai yang sudah di persiapkan oleh Mas Sardi sendiri. Maka Ia akan mendaftarkan Darwati sebagai calon transmigran ke tanah Sumatera bersamanya.     

"Menurut aku cuk, ini pasti berhasil. Kalau inget dulu gimana si Darwati ngejar kamu. Selain itu si Ibunya itu tadi pas aku temuin. Semringah sekali. Waktu aku bilang namamu aja dia langsung tersenyum lebar. Belum pas aku bilang kamu mau minang anaknya. Dia langsung bilang iya. Enggak tahu aja calonnya ini modelan kayak apa." Ledek kabul pada Mas Sardi.     

"ah lu bul enggak suportif. Yang suportif dong. Kalo mau dukung ya dukung kalo selek ya selek aja." Bela Mas Sardi pada dirinya sendiri.     

"Emang segitu antusiasnya ya si ibunya Darwati Bul." Mas Sardi berusaha meyakinkan dirinya sendiri.     

"Ya Allah Dii... gak percaya kamu sama aku temen satu-satunya yang paling setia ini." Jawab Kabul tidak terima.     

"Ya percaya Bul. Cuman kan enggak nyangka aja rasanya."     

"Enggak nyangka kenapa? Enggak nyangka karena ada yang mau diajak nikah sama kamu?"     

"Enggak gitu Bul, enggak nyangka akhirnya aku bakalan nikah." Mas Sardi nanmpak neyungging kan giginya.     

"Ah lu nikah dikira enak. Kenthu aja pikiranmu itu. Tahu saya."     

"Hahaha.. sialan kamu Bul. Itu kan pikiranmu. Kenapa jadi saya." Sanggah Mas Sardi sambil memukul bahunya. Mereka pun tertawa malam itu."Di, kamu ngapain bawa cangkul." Pagi itu Mas Sardi di kejutkan suara Ayah. Seketika membuatnya menoleh dan meletakkan kembali cangkul yang hendak Ia panggul.     

Aku, Mas Kardi san Mas Mardi pun nampak menoleh kepada mereka berdua.     

"Loh yah. Kan memang biasa aku bawa cangkul. Memang harus bawa apa? Sabit? Kan itu ayah udah bawa." Jawab Mas Sardi kapadanya.     

"Hla ya ngapain wong kita ini mau lihat hasil panen." Jawab Ayah.     

"Oh Tumben Pak..." Mas Sardi lalu membiarkan cangkulnya setelah mendengar jawaban ayah.     

Ternyata hari ini adalah waktunya panen padi. Beberapa hari yang lalu memang Ayah sempat bilang kalau padinya sudah waktunya di panen.     

Mereka pun berjalan menuju sawah. Sawah yang hendak mereka panen kali ini berada di pinggiran desa. Tepatnya di wetan atau timur desa. Ada dua kotak. Dengan ukuran persegi yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil.     

Sesampainya di sawah, Ayah meletakkan plastik yang berisi ketupat dan lepat. Jumlah masing-masing lima ketupat dan 7 lepat. Ia menaruhnya di pinggiran galeng sawah di atas daun pisang dan ia beri bunga serta sebuah rokok.     

Ketupat berarti kekuatan, lepat berarti keselamatan. begitulah filosofi orang jawa yang digunakan turun temurun oleb nenek moyang kami.     

Kali ini Mas Sardi hanya membawa tangan kosong. Mungkin yang di butuhkan hanya lah tenaganya. Atau tidak perlu sama sekali karena ayahnya sudah menyewa tukang peret atau tukang panen. Peret adalah alat yang di gunakan untuk menggiling padi secara manual.     

Alat tersebut masih membutuhkan kinerja manusia. Terbuat dari kayu yang di dua sisinya terdapat pedal. Sehingga ketika pedal itu di putar maka berputarlah bagian tengah mesin itu. Fungsinya adalah sebagai filter padi antara biji dengan batangnya. Terdiri dari paku-paku yang runcing yang menancap di kayu tersebut. Lalu seorang lagi akan menepuk-nepuk batang padi yang masih menempel biji padinya ke paku-paku tadi dan terus diputar sehingga batang padi menjadi bersih dari bijinya.     

Sangat tidak efektif memang. Akan tetapi saat ini mesin inilah yang Indonesia punyai. Berharap suatu saat Indonesia punya mesin yang lebih canggih dan memudahkan segala urusan pertanian.     

Selain tukang panen. Biasanya akan berbondong-bondong warga yang hendak mengais tumpahan-tumpahan padi dari mesin penggiling padi manual. Atau biasa disebut tukang ngasyig. Tukang ngasyig ini akan memunguti padi yang kemungkinan berceceran di kanan kiri mesin.     

Ayah pun kemudian memimpin doa. Diikuti oleh para petani yang ayah pilih untuk menjadi pengeksekusi panen kali ini. Setelah doa selesai mereka pun sigap dengan posisi masing-masing. Dengan peralatan yang mereka bawa mereka sigap memotong padi yang sudah merunduk itu. Mereka jadikan satu ikat gulungan besar lalu mereka panggul ke tempat penggiling.     

Mas Sardi hanya santai menyaksikan dari pinggir sawah. Ini bukan tugasnya dan bukan wewenangnya, pikirnya. Di bawah pohon kluwih, Kebetulan hari ini sedang tidak berbuah jadi Ia tidak perlu khawatir akan buahnya jatuh mengenai kepalanya. Ayah nampak berjalan-jalan di pinggiran galeng dan bercengkerama dengan para petani.     

Mas Sardi pun mengeluarkan sebatang rokok yang hendak Ia sesap. Untuk menemaninya menjadi asisten mandor dadakan. Namun Ia di kagetkan oleh suara wanita yang semalam menjadi topik perbincangannya dengan Kabul. Yang masih ada dalam pikirannya hingga kini.     

Ia mendengar langkah kaki dari belakang. Di sana nampak Mba Ranti membawa sebuah bakul dipunggungnya dan juga menenteng tempat air minum beserta isinya yaitu es teh manis di sebelah tangan kanannya dan menjinjing sebuah termos.     

Mas sardi yang melihatnya kesusahan pun langsung membantunya. Padahal tidak di bantu pun Mba Ranti mampu mengatasinya.     

Mas Sardi berdiri, mengambil bakul di punggung Mba Ranti. Ternyata cukup berat juga. Bagaimana wanita ini bisa membawa semua nini dengan tubuh yang sekecil ini, pikir Mas Sardi.     

Mas Sardi meletakkan bakul itu di bawah yang sudah terpasang alas dari karung goni yang di jahit seadanya. Mba Ranti pun duduk di sampingnya. Lalu Ia mulai mengeluarkan isi dalam bakulnya.     

Pertama-tama Ia melihat daun pisang sebagai tutup. Di buka lah daun pisang itu. Lalu tampak di dalam isinya. Mas Sardi melihat ada setengah lusin gelas, gorengan tahu, wajik dan ketan serta dua toples kecil gula dan kopi.     

Mas Sardi yang masih setia di sampingnya pun mulai menyulut rokoknya.     

Lalu Ia bertanya pada Mba Ranti.     

"Kok tidak ada rokok Ran"     

"Ada mas... ini"     

Nampak Mba Ranti mengeluarkan dua bungkus rokok beserta korek apinya dari plastik hitam.     

Setelah Ia susun semuanya. Ia pun menawari Mas Sardi sebuah kopi.     

"Mau kopi mas?"     

Mas Sardu pun menghembuskan kepulan asap rokoknya lalu mengangguk.     

"Jangan manis-manis ya Ran. Kamu saja sudah manis."     

Sontak Mba Ranti salah tingkah mendengar gombalan Mas Sardi. Membuat Mas Sardi menyunggingkan senyumannya. Benar kata Kardi, gadis ini memang benar-benar lugu. Batin Mas Sardi.     

Mba Ranti tidak menimpali gombalan dari Mas Sardi. Ia hanya terus menuang air panas ke kopi Mas Sardi. Asap mengepul dari cairan hitam itu. Lalu bunyi dari peraduan sendok dan kaca pun mendominasi.     

"Mas Kardi kok nggak ikut mas.?"     

Mendengar pertanyaan Ranti membuat Mas Sardi menoleh padanya. Sekejap mereka pun beradu pandang. Lalu Mba Ranti langsung memalingkan muka berpura-pura merapikan hidangan di depannya. Mas Sardi masih menatapnya.     

"Ada aku kok nanyanya Kardi yang nggak ada Ran."     

Sontak Mba Ranti melirik ke arah Mas Sardi yang masih menatapnya dan langsung memasang wajah bersalahnya.     

"Ndak begitu mas.. anu... ya mungkin saja gitu mas Sardi sama Mas Kardi datang bareng."     

Jawaban mba Ranti semakin membuat hati Mas Sardi terasa sedikit tersaingi oleh adiknya sendiri.     

Mas Sardi tersenyum kecil.     

"Nggak papa Ran. Jangan merasa bersalah gitu. Kardi enggak suka ke ladang atau sawah Ran. Dia bantu-bantu ibu di rumah. Ya kaalau enggak di paksa ke ladang enggak bakal mau. Bukan bakat dia di sini."     

Mba Ranti hanya mengangguk mengerti.     

"Kamu sendiri suka ke sawah Ran?" Tak ingin kehilangan topik pembicaraan Mas sardi memulai lagi pertanyaan kepada mba Ranti.     

"Suka mas. Adem rasanya. Plong. Di rumah terus itu sumpek." Jawabnya.     

"Iya benar kamu. Aku juga sama merasa seperti itu. Kamu di sini sampai selesai to Ran?" tanya Mas Sardi lagi.     

"Enggak mas. Nanti. Nunggu Bapak istirahat baru pulang. Kan harus bikin kopi untuk mereka juga."     

Mas Sardi mengangguk saja. Ternyata di antara petani-petani itu ada Pak Darman juga.     

Sinar matahari mulai meninggi. Rokok yang sedari tadi Mas Sardi sesap juga sudah sampai pangkal. Ia membuangnya sembarang setelah mematikan baranya. Ia pun berdiri dan meregangkan badannya.     

"Ayo. Kamu mau ikut? Kita jalan-jalan ke tengah sawah." Tanya Mas Sardi. Dan disambut senyuman oleh Mba Ranti.     

"Tapi ini gimana mas?"     

"Enggak apa-apa. Tinggal saja."     

Mereka pun berjalan turun ke galeng menuju tengah-tengah. Disana terdapat ayahku, pak Darman dan kuli-kulinnya. Sesekali Mas Sardi menoleh ke belakang, menatap wajah serius Mba Ranti berjalan di atas galeng sempit.     

Sesampainya di tengah Mas Sardi menyapa ayah. Ia juga melihat Mba Ranti di belakang Mas Sardi dengan tatapan aneh. Kemudian Pak Darman melihat ke arah putrinya. Menanyakan ada keperluan apa.     

"Ada apa ndok. Kamu kok jalan sampai ke sini." Tanya Darman.     

"Ndak apa pak. Cuman mau lihat." Jawab Mba Ranti.     

"Owalah calon e to?" Timpal salah satu petani.     

Sontak wajah Mba Ranti merah dan Mas Sardi pun salah tingkah. Sementara ayah dan pak Darman memberikan tatapan yang tak bisa di mengerti.     

"Calon mandor maksud e"     

Lalu semua pun ikut tertawa. Begitu pun Mas sardi, Mba Ranti,Ayah dan Pak Darman.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.