PERNIKAHAN TANPA RENCANA

99



99

0Kejadian selama kencan hari ini benar-benar membuat Mas Sardi kesal. Ia di pecundangi oleh wanita. Tidak, sebenarnya Ia masih belum tahu jawabannya. Apa yangvterjadi pada malam dimana Ia pingsan saat pagelaran sintren itu. Ia merasa rendah dan kehabisan kata-kata di depan wanita yang dulu tergila-gila padanya dan kini sudah memiliki laki-laki lain.     

Ia belum berdiskusi kepada Kabul soal kegagalan fatal ini. Sedangkan waktu semakin mepet hari H. Hari terakhir mendaftarkan diri sebagai calon transmigran.     

Tidak membuang-buang waktu. Siang itu pun Mas Sardi mendatangi rumah Kabul. Wajah masamnya sudah terbaca oleh Kabul bahwa kali ini tidak berjalan lancar sesuai prediksinya.     

"Asem. Diajak kencan malah kenthu sama orang lain" Ucap Mas Sardi menggebu-gebu.     

Sementara kabul hanya terkekeh sambil mengaduk kopi milik mereka.     

"Gimana Di kejadiannya sampai kamu muring-muring begitu?"     

Mas Sardi pun mulai menjelaskan kronologinya kepada Kabul.     

"Kamu tahu selama aku sama Darwati kencan diikuti laki-laki. Dan ternyata itu adalah pacarnya Darwati. Dan kamu tahu yang membuat aku jijik apa? Selama aku nonton ketoprak ternyata dia malah kenthu di semak-semak. Kurang ajar memang."     

"Lah kenapa kamu enggak nonton mereka kenthu aja Di?" Kabul terkekeh.     

"Kurang ajar kamu. Teman macam apa kamu."     

Kemudian Kabul pun mulai menatap serius. Ia memikirkan dalam-dalam apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.     

"kira-kira orang tua Darwati sudah tahu belum Di kejadiannya?"     

Mas Sardi menggeleng.     

"Belum. Karena Darwati bilang sama Aku kalau dia hanya menolak di jodohkan tapi tidak mengatakan alasannya."     

Kabul manggut-mangut.     

"Oh ya aku mau tanya sama kamu Bul. Dulu waktu aku pingsan di hajatan yang nanggap sintren itu...ingat nggak kamu?" Tanya Mas Sardi.     

Kabul mencoba mengingat-ingat.     

"Iya ingat iya... kenapa memangnya." Tanya Kabul.     

"Kamu tahu? malamnya kenapa aku bisa pingsan?"     

"Serius kamu mau tahu?" Tanya Kabul.     

"Iya." Mas Sardi mengangguk tegas.     

"Malam itu penari sintrennya adalah Darwati. Tidak ada yang tahu kalau itu Darwati dan tidak ada yang tahu bagaimana bisa Darwati bisa di sana. Pokoknya yang tahu Aku, Bapakmu dan orang tua Darwati. Sekarang Kamu." Dahi Mas Sardi mengkerut mendengar fakta yang baru saha Kabul sampaikan.     

"Kok aku tidak dikasih tahu?"     

"Karena Bapakmu tidak mengijinkan. Kamu tahu kan Bapakmu waktu itu masih sangat berkuasa. Semua orang mendengarkan ucapannya. Termasuk orang tua Darwati."     

"Memangnya apa yang terjadi Bul.?"     

"hmmhhh. Waktu itu Si Darwati yang pura-pura menjadi penari sintren . Lalu Dia membelah kerumunan dan menuju ke arahmu. Kamu kan di belakang waktu itu. Anehnya bukan Dia yang kesurupan malah kamu yang kesurupan. dan anehnya lagi kamu menyerang Darwati. Bahkan kamu memaki-maki dia. Dan yang terakhir kamu membuka kacamata Darwati lalu mengacak-acak riasannya. Kemudian kamu pingsan."     

"Kalau begitu seharusnya semua orang menggetahui kejadian itu."     

"Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Ketika kamu pingsan aku memapahmu. Tiba-tiba saja Bapakmu datang. Ia berkedip kepadaku. salam sekejap keriuhan orang berpindah ke penari sintren yang lain. Dan yang lebih aneh. Keesokan harinya tidak ada seorang pun yang membicarakan kalian. hmmmm"     

Mas Sardi terlihat menganga mendengar cerita dari Kabul yang Ia tak tahu sama sekali sampai beberapa menit lalu.     

"Ah jadi ingat. Ternyata itu alasan Darwati pasang wajah kecut kemarin. Dia masih dendam sama kamu. atau mungkin masih malu." Ucap Kabul kemudian.     

Mas Sardi jadi ingat ucapan Darwati yang begitu kekeh bahwa Mas Sardi tidak akan pernah bisa menginginkannya.     

"Bagaimana rencana kita selanjutnya. Ini sudah pasti gagal Di." Ucap Kabul.     

"Sudahlah bul lanjutkan saja ke misi selanjutnya." Ucap Mas Sardi sambil menghembuskan asap dari mulutnya.     

"Tunggu dulu Di, Kamu tahu ini bisa bahaya untuk reputasi kamu. Kalau kita mau mendatangi gadis lain. Sementara kamu sudah ketahuan jalan sama Darwati kamu pikir orang tua mereka bakal mau nerima pinanganmu.?"     

Ah benar sekali. Hal itu baru terpikirkan oleh Mas Sardi. Sialan memang Darwati itu. Kenapa harus balas dendam dalam kondisk genting begini.     

"Tapi kita tidak punya waktu lama bul. Sekarang sudah Bulan purnama. Lima hari lagi pendaftaran terakhir."     

Kabul menyesap kopinya.     

"Saya besok akan selesaikan masalahmu sama Darwati. Kamu tenang saja."     

Mas Sardi pun belum sepenuhnya lega. Namun Ia cukup tenang dengan adanya kabul.     

Mereka menghabiskan malam hingga pagi menjelang. Keduanya bahkan tertidur hingga pagi di luar. Sementara terdengar kokok ayam tanda hari sudah menjelang subuh Mas Sardi pun terbangun. Ia pun menyadarkan diri lalu membangunkan kabul.     

"Bangun. Pindah masuk sana. Aku mau pulang." Ucap Mas Sardi dengan suara bindengnya.     

Kabul tidak menjawab Ia langsung bergegas ke dalam sambil memeluk sarungnya kedinginan.     

Mas Sardi pun pulang ke rumahnya.     

Keesokan harinya, Mas Sardi terbangun agak kesiangan. Ayahnya bahkan sudah meninggalkannya.     

Ia sempat protes kepada sang Simbok kenapa tidak membangunkannya. Ia tidak mau mengecewakan ayahnya. Padahal ayahnya memaklumi alasannya bangun siang.     

Mas Sardi mengambil cangkulnya lalu bergegas ke ladang. Ia bahkan melewatkan sarapannya. Ia tidak peduli yang penting Ia tidak terlalu terlambat.     

Sementara jalan sudah ramai oleh orang-orang yang hendak berangkat ke sawah mereka masing-masing.     

Sementara selama perjalanan Mas Sardi mendapati keanehan. Semua orang tersenyum kepadanya. Apa ada yang aneh dengan penampilannya kali ini? Batin Mas Sardi.     

Seseorang menepuk pundaknya.     

"Skudah dekat ya." Ternyata tetangga. Sementara Mas Sardi hanya mengangguk dan tersenyum.     

Seseorang mengiringi jalannya. Lalu Ia mengatakan sesuatu yang kemudian Mas Sardi sadari.     

"Mas Sardi, sudah mau nikah kok ngapain ke ladang. Hati-hati banyak sawan."     

Mas Sardi ternganga. Ia menyadari bahwa mungkin ini berkat kencannya dengan Darwati yang sempat di saksikan oleh orang-orang kampung juga.     

Tapi bagaimana mungkin sebuah kencan di asumsikan sebagai datangnya sebuah akan diadakannya pernikahan. Dangkal sekali pemikiran mereka semua.     

Mas Sardi berusaha tak memperdulikan ucapan mereka. Ia bergegas untuk cepat sampai ke ladang. Dan akhirnya Ia pun sampai dan menjumpai ayah yang sudah mulai mencangkul rumput-rumput yang mulai tinggi.     

Mas Sardi pun meregangkan badannya terlebih dahulu. Kemudian Ia mulai mengikuti apa yang Ayah lakukan. Beberapa kali Mas sardi nampak menenggak minumannya. Perutnya yang mulai keroncongan diiringi dengan suhu matahari yang semakin panas juga. Sehingga Ia terpaksa minum banyak untuk mengganti asupan makanan yang sama sekali belum Ia telan selama pagi ini.     

"Sudah istirahat saja."kata ayah.     

Namun justru Ia merasa tersindir oleh kata-katanya itu. Padahal maksud ayahnya memang benar-benar Mas Sardi harus istirahat. Melihat beberapa kali Ia menenggak minuman.     

Beberapa waktu yabg lalu Ayah sudah meninggalkan Mas Sardi. Mungkin berpindah ke ladang yang lain. Pikir Mas sardi.     

Beberapa saat kmudian Ia tidak menyangka dengan kedatangan Mba Ranti. Ia membawa bakul nasi juga lauk-pauk. Seperti malaikat saja Mba Ranti ini. Datang di waktu yang tepat. Di saat perutnya benar-benar di titik terakhir meminta diisi oleh makanan.     

" mas.. istirahat dulu" Ajak Ranti yang sudah duduk di gubuk tempat istirahat.     

Kemudian Mas Sardi pun bergegas meletakkan cangkulnya. Perutnya yang meronta-ronta tidak bisa mentolelir lagi.     

Sementara ayah tiba-tiba muncul dari arah ladang seberang.     

"Enggak biasanya nduk." Kata ayah.     

"Iya pakde. Tadi Ranti ke rumah mengantar jagung. Dan simbok menyuruhku mengantar nasi ke ladang. Katanya mas Sardi belum sarapan tadi."     

Mas sardi yang sudah melahap nasinya nampak mengangguk-angguk. Sementara ayahnya hanya menyomot bakwan yang Ranti bawa.     

"Kopinya pak, mas.."     

"iya Ran. Terima kasih." Jawab Mas Sardi.     

Ayahnya meninggalkan mereka berdua setelah melahap tiga buah bakwan membawa serta gelas kopinya.     

Tinggallah Mas Sardi dan Ranti berdua. Rantu memperhatikan Mas Sardi yang begitu lahap makan. Hingga menimbulkan suara dentingan. Membuat Mba Ranti sedikit tersenyum.     

"Pelan-pelan mas Sardi."ucap Mba Ranti.     

"iya Ran. Subuh baru bisa tidur. Bangun-bangun kesiangan. Jadi enggak sempet sarapan." Jawab Mas Sardi sambil memasukkan nasi ke mulutnya.     

Mas Sardi pun telah menyelesaikan sarapannya. Ia kemudian menyalakan sebatang rokok.     

"Selamat ya mas." Ucap Ranti tiba-tiba.     

Sontak Mas Sardi langsung menoleh ke arahnya.     

"Selamat untuk apa Gir?"     

"Bukannya mas Sardi akan menjadi mantu Pak soleh?" jawab Ranti.     

"Apa?" Mas Sardi terkejut mendengar ucapan Ranti.     

Ternyata kekhawatiran kabul pun terjadi. Sebelum sampai di misi selanjutnya misi kali ini malah kacau.     

"Kamu tahu dari mana Ran."     

"Loh semua orang sudah tahu mas. Istrinya pak soleh kan biasah ke pasar. Tadi pagi aku dengar waktu ke pasar."     

Memang sudah Mas Sardi duga sumbernya dari ibu Darwati. Dan Darwati pasti tidak meluruskan masalah ini. Atau mungkin belum. Semoga Kabul segera mendatangi rumah mereka. Batin Mas Sardi.     

"Aku memang hendak meminangnya. Tapi aku di tolak oleh Darwati. Sepertinya ibunya tidak tahu."     

"Oh.." Mba Ranti hanya menanggapi lebih jauh.     

"Kamu sendiri bagaimana Ran."     

"Bagaimana apanya mas?"     

"Ya hubunganmu sama orang itu"     

Ranti terlihat bingung.     

"Orang yang kamu sukai."     

Ranti terlihat malu-malu.     

"Ya masih saya pendam mas."     

"Kenapa enggak diutarakan saja Ran."     

"Saya minder mas. Malu juga."     

"Memangnya siapa to? Sampai segitunya."     

Mba Ranti nampak berpikir. Mungkin antara menyampaikannya atau tidak. Namun ia kemudian menatap Mas Sardi dengan serius.     

"Adikmu mas." Lalu Ia menunduk kembali. Sementara Mas Sardi ternganga mendengar laki-laki yang baru saja Mba Ranti sebutkan.Darwati. Wanita yang tak pernah berperilaku anggun itu menyukai Mas Sardi sejak Ia remaja. Diantara semua wanita yang mendambakan balasan cinta dari Mas Sardi, Darwati lah yang paling kentara. Ia selalu jujur dengan ucapannya. Begitu juga dengan perasaannya. Ia tak pernah menutupinya dari siapapun. Bahkan bisa dikatakan semua orang desa mengetahui perihal asmara sebelah tangan itu.     

Namun Mas Sardi tidak pernah menanggapi perasaan Darwati. Ia hanya menganggap Darwati wanita biasa yang harus diperlakukan sopan. Hal itu tidak hanya berlaku untuk Darwati, namun juga berlaku untuk semua wanita yang mengantri di belakangnya.     

Bisa dikatakan Mas Sardi lebih populer baik secara kharisma maupun secara nama ketimbang Mas Kardi. Mas Kardi mungkin memiliki sifat sosialis pada lingkungan namun tidak digandrungi oleh wanita. sementara Mas Sardi selalu menjadi incaran wanita dan saingan para pemuda-pemuda sebayanya.     

Pembawaannya yang pendiam, dingin dan tenang membuat kharismanya selalu dipuji-puji oleh gadis-gadis desa. Belum lagi tubuhnya yang jenjang dan sorot matanya yang tajam yang terpenting adalah hidungnya yang mancung. Semuanya Ia dapatkan sebagai keturunan ayah. Sementara Aku, tubuhku cenderung pendek seperti simbok. Dan hidungku juga pesek.     

Padahal kala itu Mas Sardi tidak punya waktu untuk meladeni asmaranya. di sepanjang hidupnya hanya berisikan tentang belajar dan membantu ayahnya di ladang. Ia tak pernah yerpikir untuk bergaul dengan siapapun. Mas Sardi memang tidak terlalu pandai bercengkerama jauh berbeda dengan Mas Kardi.     

Sosok Darwati selalu tampil ceria dengan balutan kebaya berwarna cerah. Kulitnya putih cerah seperti bule. Selain itu Dia adalah gadis rumahan yang tak pernah seharipun menyentuh lahan sawah.     

Sekalipun demikian, Ia tak pernah gengsi untuk menutuli perasaannya terhadap Mas Sardi. Menurutnya Mas sardi adalah cinta pertamanya. Dia selalu mengatakan didepan semua orang bahwa dia sangat mencintai Mas Sardi dan akan menjadi istrinya suatu saat nanti.     

Mendengar ucapan Darwati tadi bahwa Mas Sardi takkan pernah menjadi milik Darwati embuat Mas Sardi teringat dengan kejadian beberapa tahun silam. Sebelum peristiwa naas menimpa Mas Sardi. Yaitu peristiwa tiga hari tiga malam hingga pelengserannya dari calon sekretaris desa.     

Kala itu salah satu warga desa menggelar hajatan dan mengadakan pergelaran sintren. Tentu saja warga berduyun-duyun datang untuk menyaksikan hiburan gratis tersebut. Tidak terkecuali Mas Sardi. seluruh warga desa beekumpul di depan rumah pemilik acara. Mereka begitu antusias menunggu kehadiran artis cantik berkacamata itu.     

Sardi berdiri diantara kerumunan. Ia menonton di barisan belakang karena Ia merasa tidak perlu terlalu dekat dengan hal-hal berbau magis itu. Apalagi tokohnya adalah seorang wanita. Mas Sardi sebenarnya risih dengan tarian yang satu ini. Mempertontonkan wanita kesurupan dan menjadikannya hiburan. Menurut Mas sardi itu sangat tidak etis.     

Tapi sore hari sepulang dari ladang. Kabul sudah setia duduk di serambi. Lengkap dengan blankon dan beskapnya. Wajahnya berseri-seri dan antusias. Katanya hari itu akan ada sintren dengan artis tak terduga. Mau tidak mau Mas Sardi harus mengikuti kemauan karibnya itu.     

Kabul terus merangsek ke depan diantara kerumunan. Sementara Mas Sardi masih diposisi semula. berada di baris belakang. Ia hanya terus menyaksikan tingkah Kabul yang seperti bocah.     

Dengan perawakan yang tinggi Mas Sardi tentu sangat gamblang memperhatikan sekeliling. Termasuk pegelaran sintren tersebut. Entah kenapa, hati Mas Sardi tidak pernah tenang jika menyangkut hal-hal magis seperti ini.     

Kebetulan ayah tidak ikut saat itu. Kata ayah, weton Mas Sardi itu kecil. Sehingga mudah terpengaruh dengan hal ghaib sementara untuk melindunginya harus jarak dekat. Berbeda dengan yang lainnya. Termasuk aku, Ayah memberiku sebuah kalung pelindung.     

Saat itu musik gending sudah riuh ramai mendominasi seluruh suara yang ada. Penonton seolah terbius dengan aksi sang penari dan pawang. Suara enam jenis gending yang saling bersautan itu seolah memberi nyawa magis pada seni tari yang berasal dari tanah cirebon itu.     

Konon Sintren adalah tarian dari seorang putri. Sejarahnya diceritakan di tanah Jawa. Anak dari Ki Bahurekso bersama Nyi Rantamsari atau dewi lanjar yang bernama Sulandono jatuh cinta dengan gadis dari Desa Kalisalak bernama Sulasih. Namun tidak mendapat restu dari Ki Bahurekso.     

Akhirnya Sulandono pergi bertapa. Sementara sulasih menjadi seorang penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam ghaib.     

Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono.     

Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Gadis tersebut dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang berselebung kain. Pawang/dalang kemudian berjalan memutari kurungan ayam itu sembari merapalkan mantra memanggil ruh Dewi Lanjar. Jika pemanggilan ruh Dewi Lanjar berhasil, maka ketika kurungan dibuka, sang gadis tersebut sudah terlepas dari ikatan dan berdandan cantik, lalu menari diiringi gending.     

Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan).     

Sang penari melenggak lenggok lentur layaknya boneka. Matanya tertutup kacamata hitam. Sementara sang pawang sudah siap dengan kurungannya. Lalu penari itu masuk kedalam kurungan. Sang pawang memutarinya. Tidak lama kemudian penari itu keluar dengan wajah yang sudah bersolek cantik.     

Beberapa orang terpukau. Beberapa orang tertegun. Dan sebagian besar riuh ramai bertepuk tangan. Sementara Mas Sardi berdiri di belakang merasa gusar. Entah apa yang terasa menggerayangi tubuhnya. Keringat menetes dari pelipisnya dan jantungnya berdegub lebih cepat dari biasanya.     

Suara memanggil-manggil namanya terus terulang. Ia tersadar dari tidurnya yang terasa lama. Ia berada di atas tikar. Ternyata tempat salah seorang warga yang hajatan semalam. Benar, semalam pagelaran sintren diadakan didepan rumah ini. Kabul menatapnya dengan tatapan khawatir. begitupun ayah disampingnya.     

Ternyata malam itu Mas Sardi pingsan seketika saat kurungan itu di buka. Lalu dia sedikit ingat dengan salah seorang gadis penari sintren itu terus mendekatinya. Dan entah apalagi tak tersisa sedikitpun memori tentang malam itu.     

Kalau diingat lagi sejak kejadian itulah Darwati tak pernah lagi ada di sekitarnya. Iya, sama sekali tak memunculkan dirinya yang ceria dan ceplas ceplos itu.     

Tiba-tiba pikirannya di penuhi pertanyaan tentang sikap Darwati itu. Selama perjalanan pulang pikiran Mas Sardi di penuhi oleh nama Darwati.     

Satu-satunya orang yang bisa menjawab seluruh pertanyaan dalam hatinya adalah Kabul. Temannya yang kala itu juga ada di sana bersamanya.Sesuai dengan perjanjian yang telah di atur oleh Kabul dan Ibunya Darwati. Bakda ashar pun Mas Sardi memenuhi janjinya. Ia datang di gardu yang dekat dengan rumah Darwati. Sesampainya di sana Darwati belum menampakkan dirinya. Mas Sardi setia menunggu sambil menyesapi rokoknya.     

Beberapa menit berselang nampak Darwati muncul dengan kebaya pink dan jarik luriknya. Ia begitu cantik hari ini. Nampak lipstik menempel di bibirnya dan bunga diujung sanggulnya. Mas Sardi pun segera memperbaiki posisinya dan kemejanya.     

Mas Sardi sebenarnya tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dia hanya akan berjalan sesuai arus permainan hang Darwati inginkan. Keduanya mulai berjalan, Mas Sardi mengimbangi jalan Darwati. Sementara Darwati masih hanya diam. Tak sepatah kata pun Ia katakan.     

Arah perjalanan mereka menuju pasar wage. Mas Sardi berusaha memahami mungkin Darwati ingin membeli sesuatu. Sebagai seorang lelaki yang mengajak calonnya tentu saja Ia sudah menyiapkan sejumlah uang untuk mereka berdua.     

Sebenarnya selama perjalanan Ia merasa canggung. Padahal, Darwati ini bukanlah tipe pendiam. Apalagi dengan orang yang Ia sukai. Dia tidak akan se kalem ini. Atau memang inilah Darwati yang tidak pernah Ia sangka dan ketahui sifat aslinya.     

Sampailah mereka berdua di Pasar Wage. Pasar malam yang hanya akan ada setiap hari wage dari bakda ashar hingga tengah malam. Dipenuhi pemuda pemudi yang saling menjalin cinta atau pemuda pemudi yang memang sekedar cuci mata.     

Pasar yang di penuhi penjual dari dalam maupun lokal ini memiliki beraneka ragam barang yang di tawarkan. Termasuk pernak pernik, jajan pasar bahkan di ujung pasar ada tempat rolet tersembunyi yang padahal sudah sangat umum masyarakat ketahui.     

Mas Sardi setia mengikuti Darwati dari belakang. Sesekali Ia menjaganya dari jalannya ketika terhuyung oleh keramaian. Sampai detik ini Darwati masih belum berucap apa pun. Ia diam seribu bahasa yang membuat Mas Sardi begitu gusar.     

Sesekali mereka juga bertemu dengan tetangga yang mereka kenal. Mungkin mereka juga bisik-bisik di belakang tentang kencan antara Mas Sardi dan Darwati. Namun baik Darwati ataupun Mas Sardi sama sama tidak menggubrisnya.     

Darwati berhenti di sebuah toko aksesoris wanita. Seorang bapak tua menjual aksesoris-aksesoris wanita yang unik dan lucu. Darwati mulai memilih-milih. Tangannya menuju ke arah bros bermanik-manik cantik. Pilihannya jatuh kepada bros bercorak dua bunga melati berwarna putih bening mengkilau.     

Mas Sardi pun merogoh koceknya. Mengeluarkan koin lima rupiah. Lalau keduanya berjalan kembali. Kali ini Ia memimpin perjalanan menuju opera wayang orang atau di sebut ketoprak.     

Pagelaran rutin yang sebenarnya menjadi daya tarik ini begitu di gandrungi. Tidak hanya muda mudi namun juga orang tua. Tawa gelegar para penonton menyeruak ketika para wayang mendagel. Memainkan perannya masing-masing. Kemudian semua orang nampak serius saat wayang-wayang itu berperang. Dan acara pun ditutup dengan tepuk tangan meriah serta para penonton yang mulai berhamburan meninggalkan area.     

Tiba-tiba Darwati tergesa-gesa berlari dari arah belakang. Dia mengatakan bahwa baru saja buang air kecil. Mas Sardi hanya mengangguk-angguk saja menunjukkan bahwa dia percaya. Sementara Ia tahu sebenarnya Ia menemui laki-laki lain di belakangnya.     

Mas Sardi sudah menahannya sejak tadi, padahal Ia tahu bahwa mereka sedang diikuti oleh beberapa pemuda. Namun karena Ia sendiri dan tidak ingin membuat keributan Ia pun hanya diam dan terus berjalan mengikuti Darwati.     

"Ayo kita makan lalu pulang Dar, karena hari sudah malam." Ajak Mas Sardi lalu menuju ke arah warung pecel.     

Darwati hanya mengangguk mengikuti Mas Sardi berjalan.     

Mereka pun masuk ke dalam warung. Disambut oleh wanita paruh baya yang langsung mempersilakan mereka berdua duduk di bangku kayu dan meja yang diisi dengan sebuah kendi.     

Mas Sardi sengaja masuk ke warung untuk memancing pemuda yang mengikutinya itu masuk. Namun ternyata dia tak kunjung masuk.     

Darwati dan Mas Sardi duduk saling berhadapan. Namun tak sekalipun Darwati memperhatikan wajah Mas Sardi. Kini Mas Sardi menyadari bahwa yang duduk di depannya kini bukanlah Darwati yang dulu tergila-gila padanya. Matanya sama sekali tidak menyiratkan bahwa Ia sedang menikmati perjalanan dengannya.     

Terlebih, Mas Sardi sudah memergoki Darwati bercumbu dengan pemuda lain yang tak sempat Ia kenali wajahnya marena gelapnya malam.     

"Dar,." Mas Sardi memulai pembicaraan yang sejak tadi Ia pendam.     

"Iya mas." Lama Darwati tak menjawab namun akhirnya hanya menjawabnya singkat.     

"Kenapa kamu mau saya pinang kalau kamu tidak menyukai saya." Tanya Mas Sardi tanpa basa basi.     

"Saya sudah menolaknya mas. Tapi ibu saya memaksa." Jawab darwati jujur.     

Mas Sardi manggu-manggut.     

"Kalau memang Ibumu yang menyukai saya kenapa hari ini kamu datang. Harusnya tidak perlu dengan begitu akan saya anggap sebagai penolakan."     

Darwati bergeming.     

Kemudian keluar pemilik warung dengan dua pecel dan mendoan dalam tempayan kecil. Dan pelayan lain membawa sebuah gelas berisi wedang kopi dan teh untuk Darwati.     

"Ibu ku itu mata duitan mas. Dia sangat senang ketika sampean meminang aku. Sementara aku sudah bilang tidak mungkin bersama kamu.     

"Kenapa Dar? Aku tidak masalah dengan watak Ibumu. Aku hanya membutuhkan pernikahan kita." Jawab Mas Sardi.     

"Karena aku tahu mas Sardi tidak tulus. Aku tahu Mas Sardi tidak menyayangi aku."     

Mas Sardi benar-benar kalah telak dengan kalimat erakhir yang keluar dari mulut Darwati. Memang benar Wito sama sekali tidak mencintai Darwati. Tapi Ia tidak pernah merasa sebajingan ini. Ia merasa dipercundangi oleh perbuatannya sendiri.     

Mas Sardi terbungkam. Masih tak tahu kalimat mana yang harus Ia ucapkan untuk menenangkan wanita di hadapannya ini.     

"Makan dulu pecelmu. Nanti enggak enak." Pada akhirnya kalimat itulah yang keluar dari mulut Mas Sardi.     

Ia berusaha mengalihkan topik pembicaraan sambil berpikir apa lagi yang bisa dia lakukan untuk membujuk Darwati. Bagaimana agar semuanya berjalan sesuai dengan yang di rencanakan.     

Darwati pun menyantap pecelnya dalam diam. Sementara Mas Sardi cepat sekali menyelesaikan makannya. Kemudian Ia menunggu Darwati untuk menghabiskan pecelnya. Mas sardi pun memantik korek dan membakar tembakaunya. Ia menyesapnya lalu membuang asapnya ke udara.     

"Baagaimana kalau aku bisa menyayangi kamu Dar." Kata Mas Sardi.     

"Mas Sardi lupa, bagaimana dulu mas mas menolak aku. Aku baru sadar ternyata mas Sardi tidak menyayangi aku bagaimanapun caranya."     

"Kamu tahu dari mana Dar. Memangnya kamu Tuhan bisa menebak hati orang lain." Kata Mas Sardi yang mulai terpancing.     

"Dari mata mas Sardi. Aku bisa melihat semuanya. Matamu mas yang sama sekali tidak menginginkan aku." Jawab Darwati juga mulai kesal.     

"Aku akan berusaha Dar." Bujuk Mas Sardi.     

"Tidak bisa mas."     

"Kenapa?" Mas Sardi menatap Darwati berharap Ia luluh.     

"Karena ada yang lebih menginginkan aku dari pada kamu mas" jawab Darwati.     

Mas Sardi menarik napas. Ia tidak akan terpancing dengannya karena Darwati adalah wanita bagaimanapun juga. Namun ini benar-benar menguras kesabarannya.     

"Jadi pemuda tadi lah yang kamu maksud Dar."     

"Kamu pikir aku tidak tahu selama kita nonton ketoprak kamu pergi dari sampingku. Kamu pikir aku tidak tahu kalau kita diikuti laki-laki yang sebenarnya adalah kekasihmu. Apa jaminan kamu kalau lelaki itu bisa lebih membahagiakan kamu dari pada aku." Tantang Mas Sardi     

"Setidaknya lelaki itu menyayangiku mas. Menginginkanku. Sudah jelas kita tidak mungkin bersama mas. Pahami itu." Jawab Darwati lalu berdiri dan meninggalkan meja.     

"Kalau kamu begitu menginginkan aku mas, seharusnya kamu marah ketia aku bercumbu dengannya." Darwati meneteskan air matanya lalu meninggalkan Mas Sardi yang terkejut dengan ucapannya. Ia terbungkam untuk yang ketiga kalinya oleh ucapan Darwati.     

"Aku tetap mengantarmu meskipun kau menolakku dengan cara seperti ini. Seharusnya jangan rendahkan dirimu untuk laki-laki manapun. Aku tidak akan memaksa jika kamu tidak mau." Kata Mas Sardu mendahului Darwati.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.