PERNIKAHAN TANPA RENCANA

62. CERITA DI MULAI



62. CERITA DI MULAI

2Orang Batak itu bernama Bang Sigit. Ia memperkenalkan diri sesaat dia melahap ubinya yang pertama. Tampak begitu menikmati. Aku sih tetap pasang wajah senang meskipun perasaan memberontak tidak karuan.     

"Wah gawat ini, kernetku bisa tak kebagian kalau aku nurutin jabang bayi di perutku ini."     

Ia lalu mengusap perut buncitnya seperti orang hamil. Padahal seluruh isisnya hanyalah lemak yang menggumpal. Ternyata di balik tampilannya yang perlente dia kocak juga. Aku sedikit tertawa padahal dia tertawa terbahak-bahak.     

"Simbok memang selalu the best lah…" ucapnya. Aku mengerutkan dahi. The best? Apa itu?kata yang tak pernah ku dengar.     

"The best? Apa itu bang?" tanyaku polos.     

"The best? Itu artinya terbaik. Bahasa inggris…" jawabnya, aku hanya mengangguk-angguk saja tak ingin tahu lebih jauh.     

"Walaupun aku ni tak pernah pergi ke sana. Aku ni taulah sedikit-sedikit." Ucapnya lagi dengan logat Bataknya yang begitu kental.     

"hahaha…." Aku tertawa menanggapinya.     

Pintar sekali ektingku ini. Sudah hampir seperti artis ibu kota saja. Pura-pura tertawa bersama orang se kurang ajar dia.     

"Bang, aku mau tanya nih. Abang pasti kenal lah sama pak lukas." Aku mulai mencoba menggali informasi darinta.     

Dia berdehem. "Siapalah yang tak kenal Pria itu Mba…" ucapnya dengan nada suara negatif. Dahiku berkerut ada apa sebenarnya. Akusemakin tertarik untk menggali informasi lebih jauh.     

"Memangnya seterkenal itu ya Bang?" tanyaku lagi.     

"Iya, sangat terkenal. Terkenal kaya juga terkenal banyak istrinya." Ucapnya yang memelankan suaranya pada kalimat terakhir.     

Percakapan kami pun berlanjut. Lebih intens dari sebelumnya. Orang berasal dari sumatera utara itu bernama Sigit. Ia mulai membeberkan informasi yang membuat aku ternganga mendengarnya. Kata demi kata kuserap dengan baik agar aku tetap mengingatnya untuk referensi saat aku berargumen denganMas Sardi nanti malam.     

Bang Sigit tiba-tiba memasang wajah yang serius. Seolah ia akan menceritakan kisah pahit hidupnya. Padahal kan ini tidak ada hubungannya dengan dia. Pikirku. Ia juga memelankan suaranya. Nampaknya informasi ini tidka ada yang tahu. Dia selangkah mendekatkan diri ke padaku. Aku pun siap untuk mendengarkan setiap kata yang terucap dari lisannya.     

Bang Sigit berkata dengan berbisik kepadaku. Matanya mulai fokus.     

"Pak Lukas itu orangnya sangat kaya. Selain juragan sawit, dia itu juga saudagar kapal. Punya kapal setidaknya tiga. Itu yang aku tahu. Kapalnya bukan hanya kapal penumpang. Ada juga kapal mafia." Dahiku mulai berkerut mendengar cerita awal yang baru saja ku ketahui. Belum apa-apa semua sudah mengejutkan.     

"Maksudnya kapal mafia Bang?" tanyaku yan gbenar-benar tak tahu perihal itu.     

"Kapal mafia itu, kapal yang membawa barang-barang ilegal. Ya kapal yang bawa hal-hal yang ilegal lah pokoknya. Aku pun tak paham betul lah tentang itu. Yang aku tahu katanya bisa juga bawa orang pergi ke luar negeri. Hmmm.. tentu saja dengan cara ilegal, lebih parahnya ada juga transaksi penyelundupan.     

"Hah..!" Aku menjauhkan diri dari Bang Sigit karena terkejut.     

Bang Sigit lalu memberiku isyarat untuk mendekat lagi.     

"Jangan kaget dulu. Belum selesai." Ucapnya. Aku pun mendeakt lagi kepadanya. Kupsang telingaku baik-baik.     

Ia melanjutkan ceritanya.     

"Ada kabar lagi kalau di kapal itu menjual organ manusia. Entah mana yan benar dan mana yang salah. Tapi kamu akan bisa menilai setelah mendengar cerita antara aku dan dia." Bang Sigit nampak lebih serius dari sebelumnya. Aku yang awalnya meremehkannya pun mulai punya penilaian lain tentangnya.     

"Tunggu dulu Bang." Seketika mulut bang Sigit mengatup kembali. Padahal dia sudah bersiap untuk melanjutkan ceriatanya kepadaku. Namun aku tidak bisa percaya begitu saja dengannya.     

Dia menoleh ke arahku. Menatapku dengan tatapan bertanya. Kenapa?.     

"Kenapa Bang Sigit memberitahu aku. Alasannya apa? Jangan-jangan itu hanya karangan Bang Sigit belaka." Ucapku padanya. Bang Sigit mengecapkan bibirnya.     

"Aku kasihan padamu Mba Santi. Aku tidak tahu ada apa denga Masmu itu, jelas-jelas dia tahu masalahku dengan si Lukas itu. Aku tidak peduli jika Mas mu itu berhubungan dengannya dalam urusan perdagangan. Namun jika sampai sejauh ini. Aku benar-benar tidak habis pikir. Aku sudah menasihatinya Nti. Berkali-kali. Tapi dia tetap tidak mendenga. Lukas itu. Licik. Aku tidak tahu sebutan apa yang bisa ku sematkan kepadanya, dia itu lebih dari kata licik." Bang Sigit terdengar semakin menggebu-gebu, seolah hasrat amarahnya ingin tersalurkan sekarang juga.     

Aku hanya terdiam. Dia menatapku. Dia ingin aku yakin terhadapnya. Aku pun berpikir. Namun tidak lama kemudian aku mengangguk kepadanya. Sudahlah. Tidak ada salahnya kudengarkan dulu ceritanya.     

"Pak Lukas itu adalah orang yang sangat-sangat licik. Dia adalah orang terlicik pertama yang aku temui di duai ini. Aku bahkan menyesal pernah mengenalnya." Bang sigit memulai ceritanya.     

"Kami dahulu adalah rekan sekerja. Aku adalah sopir dia pun juga sopir. Yang membedakan adalah aku sopir truk milikku sendiri sementara dia adalah sopir truk bayaran milik orang lain. Selain itu aku bekerja lebih lama dari dia. Awalnya kami tidak saling kenal. Namun dia mendekatiku, sampai akhirnya pun kami menjadi cukup dekat. Awalnya aku merasa kasihan karena kehidupannya yang serba kurang. Namun meski dia itu serba kekurangan, dia tidak pernah pelit kepada siapa pun. Dia adalah orang yang sangat baik dahulu." Dia menahan nafas. Lalu menatapku. Belum ada yang aneh dari ceritanya.     

Dia menghembuskan nafasnya dan memulai lagi ceritanya. Sepertinya masih banyak stok cerita yang akan ia keluarkan kepadaku.     

"Yang paling membuat saya kagum dengannya adalah dia yang begitu mencintai istrinya. Ia tak pernah pergi main seperti kami para sopir kebanyakan. Dia benar-benar orang yang lurus. Tak pernah neko-neko dan selalu hati-hati dalam bertindak. Seiring berjalannya waktu kita menjadi semakin dekat. Semua orang juga semakin tahu kalau kami itu teman dekat. Aku pun mulai nyaman dengannya. Aku menceritakan segala hal tentang kehidupanku padanya, tak ada yang terlewat. Apa pun yang terjadi padaku pasti kuceritakan kepadanya. Dia itu pemberi solusi terbaik kala itu.     

Sampai akhirnya kudengar istrinya meninggal. Dan juga anaknya dalam sebuah kecelakaan. Sejak saat itu dia menjadi jarang muncul. Ya ilang-ilangan. Kadang muat, kadang tidak. Dia juga semakin tertutup kepadaku. Kami mulai tak saling bercerita lagi. Sampai akhirnya kita saling diam saat bertemu. Aku tidak tahu kenapa alasannya dia mendiamkanku saat itu. Sampai akhirnya ku dengar ternyata kini dia sudah menjadi orang kaya baru. Namun meski demikian aku tetap salut dengannya karena tidak meninggalkan pekerjaan sopirnya. Meski sekarang sudah tak sesering dulu saat memuat.     

Aku cukup senang mendengar kabar tentang kesuksesannya. Meski sebenarnya campur sedih juga. Karena pada akhirnya hubungan kami menjadi senjang. Padahal saat itu aku sedang sangat membutuhkan sarannya."      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.