Aku Tidak Mau…
Aku Tidak Mau…
Ye Fei sepertinya mengetahui apa yang Su Mohan ragukan, kemudian Ye Fei menegakkan dan mencondongkan tubuhnya ke arah Su Mohan. "Kita bisa mengambil foto pernikahan kapan saja."
Kemudian Su Mohan berpikir bahwa Ye Fei tidak boleh kelelahan, jadi Su Mohan hanya mengangguk dan berkata, "Baiklah, kita bisa melakukannya lagi lain kali."
Karena perubahan yang mendadak ini, keduanya terbang kembali ke Ibukota keesokan harinya. Sebaliknya, fotografer berambut putih sedikit enggan dengan berakhirnya sesi pemotretan mereka. Ia berulang kali meminta Su Mohan dan Ye Fei untuk mencarinya lagi ketika ingin mengambil foto di masa depan. Sama sekali tidak seperti seorang fotografer mahir tingkat internasional.
Setelah kembali ke rumah utama keluarga Su, Su Mohan kembali sibuk dengan urusannya. Meskipun Ye Fei sangat mengkhawatirkan luka-luka yang diderita oleh Su Mohan, Su Mohan memang harus mengurus banyak hal secara pribadi. Jadi yang bisa Ye Fei lakukan adalah memeriksa luka Su Mohan secara teratur setiap pagi dan sore, juga mengganti balutan perbannya.
Tentu saja, jika menemukan ada luka yang terbuka, Ye Fei akan memarahi Su Mohan. Tetapi setiap kali hal itu terjadi, Su Mohan hanya diam dan membiarkan Ye Fei memarahinya. Jika Su Mohan melihat Ye Fei marah, yang bisa ia lakukan hanya membujuknya dengan beberapa kalimat.
Malam sebelum Tahun Baru, Ye Fei sedang membaca buku di sofa, dan Lisa bersandar di dekat perapian untuk tidur siang di atas karpet. Beberapa hari ini, Ye Fei dan Lisa sangat akrab satu sama lain. Terkadang jika memiliki waktu luang, Ye Fei mengajak Lisa berjalan-jalan di taman. Terkadang mereka juga melihat pemandangan salju bersama, dan jika sedang malas bergerak, Lisa akan selalu berada di sisi Ye Fei di dalam kamar.
Langkah kaki tiba-tiba terdengar, dan Ye Fei, yang awalnya sedikit mengantuk, menjadi bersemangat. Ia menoleh dan melihat ke atas. Su Mohan yang tadi keluar untuk menyelesaikan urusannya sudah pulang.
Ye Fei melompat dari sofa dan bergegas ke arah Su Mohan. "Kamu sudah pulang."
Su Mohan mengerutkan kening dan memeluk Ye Fei, lalu memandangi piyama Ye Fei yang longgar dan berkata dengan serius, "Pergi dan istirahat dulu, tubuhku masih dingin."
"Aku tidak mau," bisik Ye Fei, masih memegangi leher Su Mohan dengan erat dan menyangga pundaknya. Selama ini, Su Mohan selalu sibuk dengan urusan pertunangan, bahkan dia hanya memiliki sedikit waktu untuk bertemu dengan Ye Fei setiap hari. Ditambah lagi Ye Fei biasanya tidak melakukan apa pun kecuali membaca buku, membuat Ye Fei semakin merindukan Su Mohan.
Hati Su Mohan melunak, selalu tidak ada alasan untuk menolak Ye Fei. Melihat bahwa Ye Fei menolak untuk melepaskannya, Su Mohan langsung memeluknya untuk menuju ke sofa dan menjejalkan selimut di antara dirinya dan Ye Fei untuk menghindari perasaan kedinginan.
"Foto-foto pernikahan yang kita ambil di pulau itu sudah datang hari ini." Su Mohan berkata dengan lembut, seolah-olah ia tidak tega merusak ketenangan di ruangan itu.
Sorot harapan melintas di mata Ye Fei. Setelah beberapa saat, ia melihat seorang pelayan berjalan dengan beberapa album foto dan pigura gantung, kemudian pelayan itu dengan hati-hati meletakkan barang-barang tersebut di atas meja kecil.
Hal pertama yang dilihat Ye Fei adalah foto pernikahan dengan resolusi tinggi yang diperbesar berkali-kali. Foto itu adalah foto pertama yang membuatnya merasa tertarik. Bukan karena foto tersebut adalah yang paling besar, melainkan karena dirinya dan Su Mohan di foto itu sangat serius.
Dalam foto itu, gaun pengantin yang awalnya putih, bersih, dan rapi menjadi basah. Tidak hanya berlumuran lumpur dan darah, namun ujungnya juga robek. Rambut panjangnya terurai dengan tetesan air pada tubuhnya sendiri. Sedangkan wajah dan matanya memiliki kontras hitam dan putih yang tajam. Tidak ada riasan, tetapi penampilan itu cocok dengan bibir merahnya yang menyala, memiliki dampak visual yang sangat mengejutkan.
Su Mohan di samping Ye Fei juga cukup serius. Tetapi tidak peduli betapa serius penampilannya, Su Mohan tidak bisa menyembunyikan auranya yang bermartabat. Kemejanya tidak lagi berwarna putih karena diwarnai oleh sedikit merah darah. Bibirnya yang tipis ditekan rapat, tatapan matanya juga terlihat dingin.